Identifikasi Escherichia coli O157:H7 dari Feses Ayam dan Uji Profil Hemolisisnya pada Media Agar Darah.

Jurnal Kedokteran Hewan
ISSN : 1978-225X

I Wayan Suardana, dkk

IDENTIFIKASI Escherichia coli O157:H7 DARI FESES AYAM DAN UJI
PROFIL HEMOLISISNYA PADA MEDIA AGAR DARAH
Identification of Escherichia coli O157:H7 from Chicken Feces and
Test of Hemolytic Profile on Blood Agar Medium
I Wayan Suardana1, Iwan Harjono Utama2, dan Michael Haryadi Wibowo3
1

Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar
2
Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar
3
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: iwayansuardana22@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan melakukan isolasi dan identifikasi serotipe lokal Escherichia coli (E. coli) O157:H7 dan uji profil hemolisisnya pada

media agar darah. Isolasi bakteri dilakukan dengan media eosin methylene blue agar (EMBA), dilanjutkan dengan identifikasi pada media
selektif sorbitol MacConkey agar (SMAC) dan uji konfirmasi menggunakan uji aglutinasi lateks O157 serta uji antiserum H7 sebagai konfirmasi
akhir dari E. coli O157:H7. Gambaran hemolisis diuji dengan menumbuhkan isolat pada media agar darah domba. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 7 isolat (8,54%) dari 82 sampel feses ayam teridentifikasi E. coli O157:H7 dan memperlihatkan profil enterohemolisis seperti halnya isolat
kontrol ATCC 43894. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa isolat lokal E. coli O157:H7 hasil isolasi dari feses ayam diketahui memiliki
patogenitas yang tinggi terkait dengan dihasilkannya enterohemolisin yang merupakan marka/penanda kemampuan dari isolat untuk
menghasilkan faktor virulensi Shiga like toxin .
____________________________________________________________________________________________________________________
Kata kunci: E. coli O157:H7, ayam, enterohemolisin, marka, Shiga like toxin

ABSTRACT
The aims of this study were to isolate and identify the local serotype of Escheria coli (E. coli) O157:H7 and its haemolysis profile test on
blood agar medium. In this study, the bacteria was isolated by culturing the agent in eosin methylene blue agar (EMBA) medium, followed by
cultured in selective medium sorbitol MacConkey agar (SMAC), and proven using O157 latex agglutination test to exactly confirm the E. coli
O157 serotype, and finally used H7 antiserum to complete identification of E. coli O157:H7 serotype. Hemolytic properties were tested by
culturing the agent in sheep blood agar medium. Results of study showed that 7 isolates (8.54%) out of 82 chicken’s fecal samples were identified
as E. coli O157:H7, and all of them wer e showed enterohaemolysis properties as shown in ATCC 43894 control. The results of the study
indícated that E. coli O157:H7 local isolates originated from feces of chickens were highly pathogenic according to their ability to produce an
enterohaemolysin substance that known as a marker for the bacteria to produce Shiga like toxin
____________________________________________________________________________________________________________________

Key words: E. coli O157:H7, chickens, enterohaemolysin, marker, Shiga like toxin

PENDAHULUAN
Infeksi
Escherichia
coli
O157:H7
pada
manusia ditandai dengan manifestasi klinis yang luas
mulai
dari
tanpa
menunjukkan
gejala
klinis/asimtomatis sampai terlihat adanya diare
berdarah atau tanpa berdarah serta yang lebih parah
berupa hemorrhagic colitis dan hemolytic uremic
syndrome (HUS) (Dutta et al., 2011; Peter et al., 2011).
Infeksi
umumnya

terjadi
karena
adanya
kontaminasi bakteri pada air minum atau air kolam,
adanya kontak yang dekat dengan hewan terinfeksi atau
perpindahan dari orang ke orang juga dapat terjadi
(Heuvelink et al., 1999; Karmali, 1989 yang disitasi
Rey et al., 2006).
Ayam diketahui merupakan salah satu reservoir
penting dari bakteri Escherichia coli (E. coli) O157:H7
yang perlu diwaspadai selain sapi sebagai reservoir
utamanya (Heuvelink et al., 1999). Sebagai salah satu
serotipe E. coli yang bersifat zoonosis, patogenitas dari
bakteri ini ditentukan oleh kemampuannya untuk
menghasilkan satu atau lebih sitotoksin yang sangat
potensial yang dikenal dengan nama Shiga like toxin
atau verotoxin, di samping kemampuan bakteri ini
untuk melakukan penempelan dan perlekatan terutama

pada sekum dan kolon (Krauss et al., 2003; Barlow et

al., 2006).
Analisis sifat virulensi dari suatu bakteri selain
pengungkapan secara genetika melalui pemahaman
substansi kromosom maupun plasmid, menurut
Pelczar dan Chan (1988) serta Oxoid (1998)
mengemukakan bahwa sifat virulensi dari suatu
bakteri dapat diketahui dari fenotipenya berupa
kemampuan bakteri melisiskan eritrosit. Bakteri
yang mampu melisiskan eritrosit bersifat lebih
virulen dibandingkan bakteri yang tidak mampu
melisiskan eritrosit. Kemampuan bakteri untuk
melisiskan eritrosit ditentukan oleh substansi berupa
protein ekstraseluler yang disebut hemolisin
(McKane dan Kandel, 1998). Pada media padat agar
darah, bakteri yang memproduksi hemolisin akan
memper-lihatkan perubahan warna pada zona
pertumbuhan bakteri. Bakteri yang memiliki
kemampuan untuk merusak eritrosit memperlihatkan
zona jernih/bening di sekitar pertumbuhan koloni
pada media agar darah dan dikelompokkan sebagai

bakteri yang bersifat β- hemolisis dan apabila di
sekitar pertumbuhan koloni memperlihatkan zona
yang tidak jernih dimasukkan ke dalam kelompok
bakteri yang bersifat α- hemolisis serta bakteri yang
1

Jurnal Kedokteran Hewan

tidak memiliki kemampuan untuk merusak eritosit
dikelompokkan ke dalam kelompok non-hemolitik
(McKane dan Kandel, 1998).
Beutin et al. (1989) mengungkapkan adanya jenis
hemolisin baru dari strain E. coli tertentu yang dikenal
sebagai enterohemolisin. Enterohemolisin sering
dijumpai pada beberapa strain yang termasuk dalam
pathovar enteropathogenic E. coli (EPEC) dan pada
serotipe verocytotoxigenic E. coli (VTEC). Beutin et al.
(1989) menemukan adanya kaitan yang erat antara
produksi verotoksin (Shiga like toxin ) dengan produksi
enterohemolisin beberapa strain E. coli. Secara

genetika dan serologis terdapat perbedaan antara
enterohemolisin dan α-hemolisin. Kedua jenis
hemolisin tersebut dibedakan dari penampakan zona
lisisnya pada media agar darah serta selang waktu
terdeteksinya kedua hemolisin tersebut. Produksi αhemolisin telah terlihat 3 jam setelah inkubasi pada
suhu 37 C, sedangkan enterohemolisin baru terlihat
setelah inkubasi semalam pada suhu inkubasi yang
sama. Di samping itu, zona hemolisis yang dihasilkan
oleh enterohemolisin pada umumnya lebih kecil.
Beutin et al. (1989) menemukan kaitan yang erat
antara kehadiran enterohemolisin (EHEC hemolisin)
dengan Shiga like toxin dari E. coli O157. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh Schmidt et al. (1995) yang
menyatakan bahwa, tingginya insiden ditemukannya
EHEC hemolisin pada strain E. coli yang memproduksi
Shiga like toxin diprediksi menunjukkan adanya
hubungan yang erat di antara kedua protein tersebut di
dalam patogenesis hemorrhagic colitis (HC) dan
haemolytic uremic syndrome (HUS) sebagai gejala
menciri dari infeksi E. coli O157:H7.

Didasarkan atas berbagai permasalahan di atas serta
mengacu pada hasil penelitian Karmali et al. (2003)
yang mengamati adanya perbedaan frekuensi serta
keparahan yang ditimbulkan serotipe E. coli O157:H7
terkait dengan adanya perbedaan karakteristik virulensi
yang dimiliki, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui tingkat insidensi E. coli O157:H7 pada
feses ayam, dikaitkan dengan uji profil hemolisisnya
pada media agar darah sehingga dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat mengungkap pola patogenisitas
E. coli O157:H7 isolat lokal hasil isolasi dan
identifikasi untuk selanjutnya dijadikan bahan kajian
dalam langkah-langkah selanjutnya.
MATERI DAN METODE
Pengambilan Sampel
Sampel feses ayam diambil secara asepsis,
langsung pada daerah sekum dan kolon dari ayam
yang berasal dari Tempat Pemotongan Ayam (TPA)
Mekar Sari Jaya Desa Ubung, untuk selanjutnya
ditempatkan pada pot sampel dan dibawa dengan

termos berisi es untuk analisis laboratorik di
laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas
Udayana. Berdasarkan estimasi prevalensi kejadian
penyakit sebesar 5% dan derajat kesalahan 5%, maka
jumlah sampel yang diperlukan untuk tingkat
2

Vol. 8 No. 1, Maret 2014

kepercayaan 95% adalah minimal sebanyak 76 sampel
(Martin et al., 1987).
Isolasi dan Identifikasi
Sampel feses diencerkan terlebih dahulu dengan
buffered peptone water (BPW) 0,1%, sebelum
ditumbuhkan pada medium agar atau cair ( nutrient
broth ) sehingga setelah inkubasi akan diperoleh jumlah
bakteri yang dapat dihitung.
Pemeriksaan E. coli
Sebanyak 15 ml media eosin methylene blue agar
(EMBA) dimasukkan ke dalam setiap cawan petri

untuk disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 C
selama 15 menit. Setelah sterilisasi media diambil dari
strerilisator untuk selanjutnya didiamkan pada suhu
kamar agar media menjadi padat. Dari pengenceran
sampel yang dikehendaki, sebanyak 0,1 ml larutan
tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri dengan
metode sebar menggunakan gelas bengkok. Inkubasi
dilakukan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Setelah
akhir inkubasi, koloni yang tumbuh dan berwarna hijau
metalik dengan titik hitam pada bagian tengahnya
dihitung sebagai koloni E. coli. Koloni yang tumbuh
dikoleksi dengan cara diinokulasikan pada media
nutrien agar miring untuk pemeriksaan selanjutnya.
Identifikasi Serotipe E. coli O157
Koloni positif E. coli dari media EMBA yang
ditanam pada media nutrien agar miring, selanjutnya
diinokulasikan pada media selektif sorbitol MacConkey
agar (SMAC). Setelah diinkubasikan pada suhu 37 C
selama 20-24 jam, serotipe E. coli O157 dideteksi dari
terlihatnya koloni jernih atau tidak berwarna dan

dianggap bersifat sorbitol negatif.
Uji Serologis dengan Latex Aglutination Test
Untuk konfirmasi yang lebih meyakinkan bahwa
koloni tersebut adalah serotipe E. coli O157, maka
pengujian dilanjutkan dengan menggunakan E. coli
O157 Latex Agglutination Test (Oxoid DR620 M).
Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya presipitasi
pada kertas lateks sesuai dengan kontrol.
Uji Serologis dengan Antiserum H7
Tahap akhir untuk memastikan koloni yang
diisolasi merupakan serotipe E. coli O157:H7,
pengujian selanjutnya dilakukan terhadap antigen
flagelanya yakni dengan uji antiserum H7. Koloni yang
positif pada uji lateks terlebih dahulu ditumbuhkan
pada media motil sebanyak 2-3 kali penanaman. Hasil
positif pada media ini ditandai dengan adanya
penyebaran pertumbuhan dari tempat tusukan. Setelah
ditumbuhkan pada media motil, isolat selanjutnya
ditumbuhkan pada media brain heart infusion (BHI)
yang bervolume 1,5 ml. Isolat diinkubasikan pada suhu

37 C selama 18-24 jam. Isolat yang tumbuh ditandai
dengan terjadinya kekeruhan pada media. Isolat pada
media
BHI
selanjutnya
diinaktivasi
dengan
penambahan formalin 40% dengan perbandingan 0,3

Jurnal Kedokteran Hewan

bagian formalin dalam 100 bagian BHI, untuk
selanjutnya disebut sebagai antigen. Antigen ini
selanjutnya diuji dengan antiserum H7 yang telah
diencerkan dengan perbandingan 1:500. Pengujian
dilakukan dengan mereaksikan 50 µl antigen dengan
50 µl antiserum di dalam plat. Plat selanjutnya diinkubasikan pada waterbath suhu 50 C selama 1 jam.
Hasil positif ditandai dengan terbentuknya butiran
pasir (presipitasi) pada dasar plat.
Uji Produksi Hemolisin
Produksi hemolisin ditentukan berdasarkan adanya
zona hemolisis yang dibentuk oleh isolat E. coli
O157:H7. Isolat ditanam pada blood agar base (Oxoid
CM55) dengan penambahan darah domba 5%,
kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24
jam. Terlihatnya zona bening di sekitar koloni setelah
18 jam inkubasi pada suhu 37 C dianggap sebagai
hasil positif produksi hemolisin (Osek, 2004).

I Wayan Suardana, dkk

Dari Gambar 1 memperlihatkan bahwa dari 3 isolat
pada plat petri nomor 1 dan 3 isolat pada plat petri
nomor 2 tidak memperlihatkan adanya warna seperti
halnya pada isolat kontrol ATCC 43894. Hasil ini
menunjukkan bahwa 6 isolat dari ke-2 plat tersebut
tidak memfermentasikan sorbitol sehingga menghasilkan warna koloni yang tidak berwarna. Di sisi lain,
sebagian besar E. coli memfermentasikan sorbitol
sehingga memberikan warna koloni merah muda.
Sensitivitas medium ini dalam skrining E. coli O157
adalah 100% dengan tingkat spesifisitas 85% (Oxoid,
1998).
Koloni bakteri yang tidak berwarna pada media
SMAC, selanjutnya diuji dengan O157 Latex
Aglutination Test. Koloni E. coli O157 yang benarbenar positif akan memperlihatkan reaksi aglutinasi
terhadap uji antiserum O157. Reaksi positif dan negatif
dari beberapa koloni bakteri yang diuji disajikan pada
Gambar 2.

Analisis Data
Data hasil penelitian disajikan secara deskriptif
dalam bentuk tabel ataupun gambar (Steel dan Torrie,
1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Isolasi dan Identifikasi E. coli O157:H7
Hasil penumbuhan E. coli pada EMBA
memperlihatkan koloni berwarna hijau metalik,
diameter 2-3 mm dengan titik hitam di bagian tengah
koloni. Koloni yang positif E. coli selanjutnya diseleksi
dengan menumbuhkan isolat E. coli pada media SMAC
untuk menduga adanya koloni E. coli O157. Koloni E.
coli O157 dalam media ini memperlihatkan warna
koloni yang tidak berwarna sebagai bukti bahwa koloni
E. coli O157 hasil isolasi tidak memfermentasikan
sorbitol. Hasil uji E. coli pada media SMAC setelah
diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37 C disajikan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Koloni E. coli O157 pada media sorbitol
MacConkey agar (Nomor 1 dan 2: Isolat lokal E. coli yang diuji,
3: Kontrol E. coli O157:H7 ATCC4389. Tanda panah (
)
menunjukkan hasil uji positif dari isolat E. coli O157:H7 hasil
isolasi)

Gambar 2. Hasil uji O157 latex aglutination test dari isolat
MK 35, MK40, MK5, MK19 dan MK41 dan kontrol ATCC
43894 (Tanda panah (
) menunjukkan hasil uji aglutinasi positif
dari isolat MK19)

Gambar 2 memperlihatkan bahwa isolat presumtif
E. coli O157 dari media SMAC dengan uji aglutinasi
lateks memperlihatkan adanya presipitasi seperti halnya
isolat kontrol ATCC 43894. Hasil uji positif ini
meneguhkan bahwa isolat yang diuji 100% merupakan
isolat E. coli O157. Dugaan ini dikuatkan dengan
akurasi dari uji E. coli O157 latex test sebagi uji yang
sangat akurat dengan tingkat sensitivitas 100% serta
tingkat spesifisitas 99% (Oxoid, 1998).
Pengujian lebih lanjut terhadap koloni E. coli O157
untuk menguji adanya antigen flagela H7. Beberapa
koloni E. coli O157 yang positif memiliki antigen
flagela H7 memperlihatkan adanya aglutinasi pada saat
diuji serologis. Dengan berpedoman pada serangkaian
uji di atas, maka isolat E. coli O157 yang diperoleh
sudah benar merupakan E. coli O157:H7. Adapun
jumlah isolat E. coli O157:H7 yang berhasil diisolasi
dan diiden-tifikasi dari 82 sampel feses ayam adalah
sebanyak 7 isolat atau 8,54%, yaitu isolat dengan kode
MK-5/3(5), MK-5/3(8), MK-5/3(8), MK-35, MK-40,
MK-41, dan MK-19/8(4). Hasil uji ini menunjukkan
3

Jurnal Kedokteran Hewan

bahwa ternak ayam lokal berpeluang sebagai reservoir
alamiah E. coli O157:H7 selain ternak sapi yang
dikenal sebagai reservoir utama. Hasil penelitian ini
diperkuat oleh hasil penelitian Chinen et al. (2009)
yang berhasil menemukan 4 dari 39 (10,3%) sampel
karkas ayam diketahui positif mengandung E. coli
O157.
Hasil Uji Hemolisis Isolat E. coli O157:H7
Hasil uji hemolisis terhadap ke-7 isolat E. coli
O157:H7 pada media agar darah, bersama-sama dengan
isolat kontrol E. coli ATCC 43894 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji hemolisis isolat E. coli O157:H7 pada
media agar darah
Karakteristik uji
No
Isolat E. coli O157:H7
hemolisis
1.
ATCC 43894 (Kontrol
EntHly
positif)
2.
MK-41
EntHly
3.
MK-35
EntHly
4.
MK-5/3(8)
EntHly
5.
MK-5/10(4)
EntHly
6.
MK-5/3(5)
EntHly
7.
MK-40
EntHly
8.
MK-19/8(4)
EntHly
EntHly= enterohemolisin

Gambaran lengkap hasil uji hemolisis dari isolat
pada media agar darah disajikan Gambar 3.

Gambar 3. Fenotipe hasil uji hemolisis antara isolat kontrol
E. coli ATCC 43894 dengan isolat MK-35, MK-41, MK-40
dan MK-5/3(8) pada media agar darah

Dari Gambar 3 memperlihatkan adanya zona
perubahan warna (bening kekeruhan) di sekitar isolat
yang diuji dengan kode MK-35, MK-41, MK-40 dan
MK-5/3(8) seperti halnya isolat kontrol E. coli ATCC
43894. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolat
lokal E. coli O157:H7 hasil isolasi dari feses ayam
memiliki sifat virulensi yang secara fenotipe sama
dengan isolat kontrol.
McKane dan Kandel (1998) menyatakan bahwa
bakteri yang memiliki kemampuan melisiskan eritrosit
secara sempurna sehingga membentuk zona bening di
sekitar tempat pertumbuhan kuman digolongkan ke
dalam β-hemolisis. Jika kerusakan yang terjadi tidak
sempurna dan hanya terjadi kebocoran pada eritrosit
sehingga terlihat zona yang tidak terlalu jernih dan
sering disertai dengan terjadinya perubahan warna
sehingga media menjadi kehijauan sampai kecoklatan
dikelompokkan sebagai α-hemolisis. Didasarkan atas
rentang waktu ter-lihatnya zona jernih kekeruhan pada
4

Vol. 8 No. 1, Maret 2014

seluruh isolat yang diuji yaitu setelah 24 jam inkubasi,
maka dapat disimpulkan bahwa jenis hemolisis yang
dihasilkan oleh strain E. coli O157:H7 yang diuji
dikelompok-kan ke dalam jenis enterohemolisin.
Hasil penelitian yang didapat sesuai dengan hasil
penelitian dari Beutin et al. (1989) yang menemukan
terbentuknya fenotipe enterohemolisin pada seluruh
serotipe O157 yang diuji baik O157:H7 maupun
O157:H-. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Osek
(2004) yang menemukan semua serotipe O157 asal
hewan dan manusia juga positif enterohemolisin setelah
18 jam inkubasi. Leotta et al. (2008) menemukan
98,6% strain E. coli O157 asal feses manusia yang
berasal dari Argentina, Australia, dan New Zealand
diketahui positif memproduksi enterohemolisin.
Nataro dan Kaper (1998) menjelaskan bahwa pada
umumnya strain E. coli O157:H7 memiliki sebuah gen
pengkode hemolisin yang terdapat pada plasmid
dengan berat molekul 60-MDa yang lebih dikenal
dengan istilah enterohemolisin. Gen ini hampir
dijumpai pada semua strain E. coli O157:H7 dan cukup
tersebar luas pada strain E. coli penghasil Stx yang
non-O157 seperti strain O111:H. Gen pengode
hemolisin berupa gen ehxA, memiliki kesamaan sebesar
60% dengan gen hlyA. Gen yang mengode hemolisin
lebih banyak diekspresikan oleh E. coli uropatogenik.
Peranan
dari
enterohemolisin
masih sedang
diperkirakan yaitu: akibat dari lisisnya eritrosit, maka
akan dilepaskan komponen sel darah merah berupa
heme dan hemoglobin, dimana komponen ini akan
berperanan dalam memacu pertumbuhan E. coli
O157:H7, dan dapat juga sebagai sumber zat besi. Di
samping itu, Oxoid (1998) menambahkan bahwa
hemolisis yang ditimbulkan oleh enterohemolisin
umumnya lebih lambat dan kurang luas jika
dibandingkan dengan sifat hemolisis yang ditimbulkan
oleh α-hemolisis, namun adanya penambahan
mitomycin-C
dapat
meningkatkan
kemampuan
hemolisis dari isolat baik pada serovar STEC O157
maupun non-O157 (Sugiyama et al., 2001).
Beutin et al. (1989) menemukan adanya keterkaitan
antara produksi enterohemolisin dengan verotoksin/
Shiga like toxin . Hasil penelitianya menemukan bahwa
sebanyak 89% strain yang positif enterohemolisin juga
positif Shiga like toxin. Fenomena keterkaitan ini
dibuktikan lebih lanjut oleh Schmidt et al. (1996) yang
membuktikan bahwa hemolisin EHEC dari O157:H7
memiliki aktivitas repeats-in-toxin (RTX) yang tinggi,
dan dibuktikan bahwa hemolisin EHEC dengan
kapasitas pembentukan pore-forming yang luar biasa
dianggap berperanan penting didalam patogenesis
terjadinya hemorrhagic colitis (HC) dan hemolytic
uremic syndrome (HUS).
Berdasarkan atas hasil penelitian ini maka
disimpulkan bahwa ditemukannya enterohemolisin
pada strain lokal E. coli O157:H7 merupakan penanda
epidemiologi untuk seleksi secara cepat ditemukannya
E. coli O157:H7 yang memproduksi verotoksin sebagai
faktor virulensi, meskipun masih memerlukan
konfirmasi lanjut.

Jurnal Kedokteran Hewan

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi E.coli
O157:H7 pada feses ayam adalah 8,54%. Keseluruhan
serotipe E. coli O157:H7 hasil identifikasi pada media
agar darah domba memiliki fenotipe enterohemolisin.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
telah mendanai proyek penelitian ini melalui dana
Penelitian Hibah Fundamental Tahun Anggaran 2009
dengan Kontrak No. 1491B.3/H14/HM/2009 tanggal
16 April 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, R.S., K.S. Gobius, and P.M. Desmarchelier. 2006. Shiga
toxin-producing E. coli in ground beef. Int. J. Food Microbiol.
111:1-5.
Beutin, L., M.A. Montenegro, I. Orskov, F. Orskov, J. Prada, S.
Zimmermann, and R. Stephan. 1989. Close association of
verotoxin (Shiga-like toxin) production with enterohemolysin
production in strains of Escherichia coli. J. Clin. Microbiol.
27(11):2559-2564.
Chinen, I., S. Epsteyn, C.L. Melamed, L. Aguerre, E.M. Espinosa,
M.M. Motter, A. Baschkier, E. Manfredi, E. Miliwebsky, and M.
Rivas. 2009. Shiga toxin producing E. coli O157 in beef and
chicken burgers, and chicken carcass in Buenos Aires,
Argentina. Int. J. Microbiol. 132:167-171.
Dutta, T.K., P. Roychoudhury, S. Bandyopadhyay, S.A.Wani, and I.
Hussain. 2011. Detection and characterization of Shiga toxin
producing Escherichia coli (STEC) & enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) in poultry birds with diarrhoea. Indian
J. Med. Res. 133:541-545.
Heuvelink, A.E., J.T.M. Zwartkruis Nahuis, R.R. Beumer, and E.D.
Boer. 1999. Occurrence and survival of verocytotoxin producing
Escherichia coli O157 in meats obtained from retail outlets in the
Netherlands. J. Food Protect. 62(10):1115-1121.
Karmali, M. A., M. Mascarenhas, S. Shen, K. Ziebell, S. Johnson, R.
Reid-Smith, J. Isaac-Renton, C. Clark, K. Rahn, and J. B. Kaper.
2003. Association of genomic O island 122 of Escherichia coli
EDL 933 with verocytotoxin-producing Escherichia coli

I Wayan Suardana, dkk

seropathotypes that are linked to epidemic and/or serious disease.
J. Clin. Microbiol. 41:4930-4940.
Krauss, H., A. Weber, M. Appel, B. Enders, H.D. Isenberg, H.G.
Schiefer, W. Slenczka, A.V. Graevenitz, and H. Zahner. 2003.
Zoonoses. Infectious Diseases Transmissible from Animals to
Humans. 3rd ed. ASM Press. USA.
Leotta, G.A., E.S. Miliwebsky, I. Chinen, E.M. Espinosa, K.
Azzopardi, S.M. Tennant, R.M. Robins-Browne, and M. Rivas.
2008. Characterization of Shiga toxin-producing Escherichia coli
O157 strains isolated from humans in Argentina, Australia, and
New Zealand. BMC Microbiol. 8:46-61.
Martin, S.W., A.H. Meek, and P. Willeberg. 1987. Veterinary
Epidemiology. Principles and Methods. Iowa State University
Press/Ames. USA.
McKane, L. and J. Kandel. 1998. Microbiology. Essentials and
Applications. 2nd ed. McGraw-Hill, Inc. Philadelphia.
Nataro, J.P., and J.B. Kaper. 1998. Diarrheagenic Escherichia coli.
Clin. Microbiol. Rev. 78:142-201.
Osek, J. 2004. Phenotypic and genotypic characterization of
Escherichia coli O157 strains isolated from human, cattle, and
pigs. Vet. Med-Czech. 9:317-326.
Oxoid. 1998. The Oxoid Manual. 8th ed. Complied by E.Y.Bridson
(former Technical Director of Oxoid).
Pelczar, C.J. and E.C.S. Chan. 1988. Elements of Microbiology..
(Diterjemahkan Hadioetomo, R.S., T. Imas, S.S. Tjitrosomo dan
S.L. Angka). Edisi ke-1. Indonesia University Press, Jakarta.
Peter, C.H., F.T. Councell, C. Keys, and S.R. Monday. 2011.
Virulence characterization of Shiga-toxigenic Escherichia coli
isolates from wholesale produce. Appl. Environ. Microbiol.
77(1):343-345.
Rey, J., S. Sanchez, J.E. Blanco, J. Hermoso de Mendoza, M.
Hermoso de Mendoza, A. Garcia, C. Gil, N. Tejero, R. Rubio,
and J.M. Alonso. 2006. Prevalence, serotypes and virulence
genes of Shiga toxin-producing E. coli isolated from ovine and
caprine milk and other dairy products in Spain. Inter. J. Food
Microbiol. 107:212-217.
Schmidt, H., L. Beutin, and H. Karch. 1995. Molecular analysis of
the plasmid-encoded hemolysin of Escherichia coli O157:H7
strain EDL 933. Infect. Immun. 63(3):1055-1061.
Schmidt, H., E. Maier, H. Karch, and R. Benz. 1996. Pore-forming
properties
of
the
plasmid-encoded
hemolysin
of
enterohemorrhagic Escherichia coli O157:H7. Eur. J. Biochem.
241:594-601.
Steel, R.G.D., and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur
Statistika. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta
Sugiyama, K., K. Inoe, and R. Sakazaki. 2001. Mitomycinsupplemented washed blood agar for the isolataion of shiga
toxin-producing Escherichia coli other than O157:H7. Letters in
Appl. Microbiol. 33:193-195.

5