PARIWISATA BERDIMENSI KERAKYATAN DAN BERKELANJUTAN.

PARIWISATA BERDIMENSI KERAKYATAN
DAN BERKELANJUTAN

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PUSAT PENELITIAN KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

PARIWISATA BERDIMENSI KERAKYATAN
DAN BERKELANJUTAN

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PUSAT PENELITIAN KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i


KATA PENGANTAR

Tulisan ini merupakan hasil pemikiran yang lahir dari hasil evaluasi terhadap
kebijakan pembangunan sektor kepariwisataan di Provinsi Bali yang telah berlangsung
selama beberapa dekade. Bagi Provinsi Bali, sektor pariwisata telah lama menjadi
primadona penghasil devisa. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah
Bali cenderung meningkat dari tahun-ke tahun mengungguli sektor-sektor lainnya.
Namun demikian, pengembangan sektor pariwisata di Balil nampaknya masih
menyimpan sejumlah permasalahan yang perlu mendapat perhatian lebih serius, antara
lain perkembangan pariwisata yang kurang merata, partisipasi masyarakat dalam rangka
pengembangan pariwisata, pelestarian budaya, dan lingkungan.
Berpijak dari permasalahan atas, dalam rangka pengembangan sektor
kepariwisataan di Bali, penulis mencoba untuk memformulasikan sebuah alternatif model
pengembangan pariwisata yang diharapkan mampu memberikan manfaat maksimal bagi
kesejahteraan ekonomi rakyat, pelestarian budaya dan lingkungan setempat secara
merata dan berkelanjutan.
Di samping dapat memberi manfaat bagi pengembangan dunia akademis, tulisan
ini juga merupakan hasil pemikiran yang diharapkan dapat djadikan rujukan dan bahan
pertimbangan bagi pihak penyusun dan pelaksana kebijakan pembangunan di bidang
kepariwisataan.


Denpasar, 18 November 2015
Penulis

ii

DAFTAR ISI

1.

Pendahuluan

1

2.

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan

2


3.

Pembangunan Pariwisata Bali Secara Berkelanjutan.

4

4.

Model Pegembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan dan Berkelanjutan
(Alternatif Model Pengembangan Pariwisata di Wilayah Bali Tengah)
5
4.1

Kerangka Berpikir

6

4.2

Landasan Pokok


6

4.2.1

7

4.3

Konservasi Lingkungan

4.2.2 Revitalisasi dan Konservasi Budaya

9

4.2.3

10

Pemberdayaan Masyarakat


Kerangka Model

11

4.3.1

Daya Tarik

11

4.3.2

Keterpaduan

12

4.3.2.1
4.3.2.2


Pihak-Pihak Terkait, serta Kedudukan dan
Peranannya

12

Hubungan antarpihak Terkait

13

DAFTAR PUSTAKA

15

iii

PARIWISATA BERDIMENSI KERAKYATAN
DAN BERKELANJUTAN
Oleh : I.B.G. Pujaastawa,M.A.∗

1. Pendahuluan

Sejak beberapa dekade terakhir ini banyak negara berkembang mulai melirik sektor
pariwisata sebagai sumber penghasil devisa sehubungan dengan makin melemahnya daya
saing komoditas andalan mereka. Di samping itu, ancaman krisis ekonomi global juga
semakin mendorong negara-negara di berbagai belahan dunia untuk memprioritaskan
pembangunan sektor pariwisata sebagai upaya pemulihan ekonomi. Oleh karenanya tidaklah
mengherankan apabila intensitas promosi pariwisata yang dilancarkan oleh negara-negara
berkembang jauh lebih gencar daripada negara-negara maju. Bagi Indonesia,

lahirnya

kebijakan otonomi daerah, merupakan peluang sekaligus tantangan bagi masing-masing
daerah untuk mengelola dan mengembangkan potensi kepariwisataan mereka.
Pulau Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sudah populer di dunia.
Hingga dewasa ini perkembangan pariwisata di Bali relatif lebih maju dibandingkan daerahdaerah lainnya di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan pula Bali relatif lebih dikenal
daripada pulau-pulau lainnya di Indonesia, bahkan tidak sedikit wisatawan mancanegara yang
lebih mengenal Bali daripada Indonesia sendiiri.
Bagi Provinsi Bali, sektor pariwisata telah lama menjadi primadona penghasil devisa
andalan. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali cenderung
meningkat dari tahun-ke tahun mengungguli sektor-sektor lainnya. Namun demikian,
pengembangan sektor pariwisata di Balil


nampaknya masih menyimpan sejumlah

permasalahan yang perlu mendapat perhatian lebih serius. Permasalahan yang dimaksud
antara lain adalah perkembangan pariwisata yang kurang merata, partisipasi masyarakat
dalam rangka pengembangan pariwisata, pelestarian budaya, dan lingkungan.
Berpijak dari latar belakang di atas, dalam rangka pengembangan sektor
kepariwisataan di Bali perlu dirumuskan model pengembangan pariwisata yang diharapkan
mampu memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan ekonomi rakyat, pelestarian
budaya dan lingkungan setempat secara merata dan berkelanjutan. Hal tersebut dianggap
penting agar perkembangan pariwisata tidak membawa kita pada kenikmatan menghitung
dolar yang harus ditebus dengan kerugian-kerugian sosial-budaya bahkan juga lingkungan.



Penulis : Dosen Program Studi Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana , Sekretaris Pusat
Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana.

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
2. Pariwisata Berdimensi Kerakyatan

Wacana mengenai pembangunan berdimensi kerakyatan merupakan reaksi keras
terhadap kebijakan pembangunan konglomerasi yang selama ini lebih berpihak pada para
pemilik modal (investor). Berbagai potensi kepariwisataan digali, dikembangkan, dan
dipromosikan

untuk

memperoleh

manfaat

ekonomi

yang

sebesar-besarnya

tanpa

memperhatikan hak-hak dan kepentingan masyarakat tuan rumah.

Para pemikir dan praktisi pembangunan pedesaan telah lama

menyadari bahwa

pembangunan konglomerasi kerap merugikan masyarakat setempat. Masyarakat sebagai
tuan rumah sekaligus pemilik sah atas sumber daya justru kerap mengalami marginalisasi
yang ditandai dengan terbatasnya kesempatan mereka untuk berperanserta dalam
pembangunan

pariwisata,

sehingga

perkembangan

sektor

pariwisata

tidak


mampu

memberikan manfaat signifikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka.
Atas dasar itu beberapa pakar menekankan pentingnya pembangunan dari bawah,
yakni pembangunan yang mengutamakan adanya partisipasi masyarakat lokal dalam
berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan
oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut,
atau apa yang dkenal dengan community-based resource management atau community
management (Korten, 1986). Ada tiga alasan dasar yang diajukan Korten mengenai mengapa
community management sangat penting sebagai ancangan dasar pembangunan, yaitu :
(1) Adanya local variety (variasi lokal) yang tidak dapat diberikan perlakukan sama.
Karakteristik daerah yang berbeda menuntut sistem pengelolaan yang berbeda
pula dan masyarakat lokallah yang paling memahami situasi daerahnya.
(2) Adanya local resources (sumber daya lokal) yang secara tradisional telah dikelola
oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Pengalaman mengelola sumber
daya

setempat

yang

telah

diwariskan

secara

turun-temurun

umumnya

menimbulkan akumulasi pengetahuan tentang pengelolaan. Pengambilalihan
pengelolaan ini akan dapat menimbulkan rasa ketersinggungan masyarakat, dan
masyarakat bersikap antipati terhadap proyek pembangunan.
(3) Adanya local accountability (tanggung jawab lokal) yang berarti bahwa
pengelolaan

yang

dilakukan

oleh

masyarakat

setempat

biasanya

lebih

bertanggung jawab, karena berbagai hal yang mereka lakukan terhadap sumber
daya akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Pengelolaan oleh
pihak luar kerap tidak mengandung kedekatan moral dengan masyarakat lokal,
sehingga tidak merasa mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi.

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

2

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata
berdimensi kerakyatan terasa kian meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini
manfaat pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang umumnya bukan
berasal dari warga masyarakat setempat. Pengembangan industri pariwisata bersekala besar
dan padat modal umumnya sangat kurang melibatkan peran serta masyarakat setempat,
bahkan justru mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi terhadap hak-hak komunitas
budaya lokal. Berkaitan dengan hal ini Cernea, (1991), menyatakan bahwa baik di negaranegara maju maupun berkembang masyarakatnya sering merasa tak berdaya untuk
mempengaruhi pola-pola pembangunan pariwisata.
Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan
pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pendekatan ini pada

dasarnya juga merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan lebih banyak
peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan kepada masyarakat lokal
untuk mengerahkan kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya setempat.
Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama dalam membuat keputusan dan
melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya (Cernea,
1991). Pendekatan ini melibatkan masyarakat sebagai proses pengembangan dirinya.
Konsep pembangunan dari bawah yang lebih mengedepankan partisipasi masyarakat
sebenarnya sudah menjadi jargon pembangunan yang selama ini banyak dibicarakan oleh
kalangan birokrasi. Konsep tersebut mengandung pengertian bahwa setiap kebijakan
pembangunan semestinya dimulai dari mendengar suara rakyat, atau berguru kepada rakyat,
dengan keyakinan bahwa “rakyat adalah sumber ilmu”. Berdasarkan sejumlah pengalaman,
gagasan – gagasan yang lahir dari proses seperti ini akan lebih mudah dimengerti dan
diterima oleh masyarakat karena ia disusun berdasarkan logika rakyat (Chambers, 1987).
Partisipasi masyarakat merupakan aspek terpenting dari konsep

pembangunan

berdimensi kerakyatan. Selama ini partisipasi kerap dipahami secara keliru dan sepihak. Para
perencana pembangunan, pemerintah dan aparatnya cenderung memahami partisipasi
sebagai dukungan yang harus diberikan oleh rakyat terhadap kebijakan dari atas (top down);
sedangkan kaum intelektual cenderung memposisikan rakyat sebagai subyek yang bisa
menciptakan kebutuhan pembangunannya sendiri. Konsep ini menempatkan rakyat pada
posisi equal powership berhadapan dengan pemerintah dan aparat pembangunan. Idealnya
rakyat diajak merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembangunan (Korten
dan Sjahrir, 1988)

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

3

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
3. Pembangunan Pariwisata Bali Secara Berkelanjutan.
Bertumpu pada potensi kebudayaan sebagai potensi dominan daerah Bali, dikaitkan
dengan kebudayaan sebagai daya tarik wisata dominan, maka sangatlah relevan jenis
pariwisata budaya ditetapkan sebagai jenis dan identitas pariwisata di daerah Bali. Pariwisata
budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya
menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan
bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di
dalamnya tersirat suatu cita-cita akan danya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan
kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang (Perda No.
3 Tahun 1991). Konsep ini dilandasi oleh proposisi bahwa kebudayan dan pariwisata harus
ada dalam pola hubungan interaktif yang bersifat dinamik dan progresif.
Pembangunan Bali secara berkelanjutan bertumpu pada paradigma keserasian antara
bidang ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan. Dalam upaya mengadaptasikan konsep
pariwisata budaya dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Geriya (1996) menawarkan
suatu model normatif yang mengintegrasikan secara holistik komponen-komponen pokok
sebagai berikut : (1) kebudayan sebagai identitas; (2) pola hubungan interaktif antara
kebudayaan, pariwisata, dan lingkungan sebagai landasan; (3) pariwisata untuk Bali sebagai
motivasi dan aspirasi; (4) pembangunan berwawasan budaya sebagai konsepsi payung; dan
(5) pariwisata berkualitas dan kesejahteraan masyarakat sebagai sasaran.
Kebudayaan sebagai identitas pemberi mengacu kepada posisi dan fungsi dominan
kebudayaan. Agar kebudayaan benar-benar dominan, maka kebudayaan harus mampu : (1)
memberikan identitas, dukungan, dan penjiwaan yang terefleksi dalam seluruh aspek kegiatan
pariwisata yang mencakup akomodasi, transportasi, atraksi, jasa, dan promosi melalui simbol,
landasan filosofis, dan wawasan religiusitas; (2) kebudayaan harus mampu berfungsi sebagai
pendekatan yang mengutamakan domain humanitas dan etis, serta memuliakan hartkat dan
martabat masyarakat sebagai aktor dan subyek.
Pola hubungan interaktif antara kebudayaan, pariwisata, dan lingkungan mencakup
peran kebudayaan dan lingkungan bagi pengembangan dan kemajuan pariwisata. Pariwisata
yang semakin maju juga dituntut untuk dapat memberikan kontribusi balik bagi pelestarian dan
kemajuan kebudayaan dan lingkungan. Dalam pola-pola hubungan yang bersifat interaktif –
dinamik – progresif tersebut tidak ada komponen yang berkedudukan sebagai obyek semata,
baik obyektifikasi kebudayaan maupun obyektifikasi lingkungan, karena obyektifikasi pada
hakikatnya adalah eksploitasi. Ketiga komponen tersebut harus berfungsi saling memuliakan,
sehingga dapat dicegah adanya egoisme sektoral.

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

4

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
Pariwisata untuk Bali sebagai motivasi dan aspirasi, terkait erat dengan motto yang
sangat aspiratif dan motivatif, yakni “Pariwisata untuk Bali, Bukan Bali untuk Pariwisata”. Motto
ini perlu diaktualisasikan dalam kegiatan lapangan yang mencakup seluruh aspek kegiatan
kepariwisataan. Motto ini sekaligus ingin menjaga harkat dan martabat manusia, kebudayaan,
dan alam Bali sebagai tujuan wisata di Nusantara.
Pembangunan berwawasan budaya sebagai kosepsi payung dimaksudkan melalui
konsep pembangunan Bali berwawasan budaya ingin diarahkan agar pembangunan memiliki
identitas, makna, kualitas, etis, memuliakan harkat dan martabat manusia, serta memajukan
kesejahteraan masyarakat secara material-spiritual. Pembangunan Bali berwawasan budaya
memiliki pokok-pokok pengertian sebagai berikut :
(1) Kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan nasional berfungsi sebagai
potensi dasar yang melandasi segala gerak dan langkah pembangunan, baik
sektoral, regional, maupun sumber daya, sehingga pembangunan emmiliki
identitas yang jelas;
(2) Pembangunan

merupakan

proses

kegiatan

yang

menekankan

makna

kemanusiaan, etis, serta memuliakan kualitas, harkat, dan martabat manusia;
(3) Pembangunan tersebut harus mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat
secara seimbang material dan spiritual serta sekaligus dapat memberikan
kontribusi bagi kemajuan kebudayaan.
Pembangunan

berkualitas

dan

kesejahteraan

masyarakat

sebagai

sasaran

dimaksudkan agar konsepsi pariwisata budaya adaptif dengan konsep pembangunan Bali
berkelanjutan,

maka

pengembangan

pariwisata

budaya

harus

berorientasi

kepada

peningkatan kualitas. Pariwisata berkualitas adalah pariwisata yang perkembangannya secara
kongkrit : (a) berorientasi kebudayaan, (b) bersimpati pada kelestarian lingkungan, (c)
bermuara

pada

kemajuan

ekonomi,

pertumbuhan,

pemerataan,

dan

kesejahteraan

menyeluruh.

4. Model Pegembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan dan Berkelanjutan
(Alternatif Model Pengembangan Pariwisata di Wilayah Bali Tengah)
Uraian berikut ini mencoba menyajikan sebuah model pengembangan pariwisata
berbasis kerakyatan dan berkelanjutan sebagai alternatif model pengembangan pariwisata di
wilayah Bali Tengah (Pujaastawa, 2001, Pujaastawa, 2002).

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

5

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
4.1 Kerangka Berpikir
Pengembangan kepariwisataan di wilayah Bali Tengah mengacu kepada tiga aspek,
yakni aspek lingkungan (eco), aspek manusia atau masyarakat (socio), dan aspek budaya
(culture). Ketiga aspek tersebut merupakan suatu kesatuan eco-socio-culture yang bersifat
integral

dimana

satu

dengan

lainnya

memiliki

hubungan

timbal-balik

dan

saling

mempengaruhi. Ekspresi dari hubungan timbal balik tersebut melahirkan sistem subak yang
merupakan sistem sosial-budaya-lingkungan berbasis agraris yang sekaligus merupakan
corak khas wilayah Bali Tengah.
Berdasarkan hal tersebut, maka potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan dalam
rangka pengembangan sektor kepariwisataan di wilayah Bali Tengah meliputi potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya budaya. Kombinasi yang harmonis
antara ketiga jenis potensi tersebut melahirkan beraneka macam atraksi yang diharapkan
mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Masyarakat setempat, khususnya lembaga desa adat, dinas, dan subak yang
merupakan pemegang hak atas kekayaan sumber daya alam dan budaya berkedudukan
sebagai pemegang peran sentral dalam pengelolaan kepariwisataan. Dalam rangka itu juga
diperlukan hubungan kerjasama kemitraan dengan pihak-pihak pengusaha bidang pariwisata.
Sementara itu, pihak pemerintah, melalui lembaga-lembaga terkait diharapkan berperan
sebagai fasilitator sekaligus kontrol bagi pengelolaan pariwisata setempat.
Dengan demikian dalam rangka pengembangan pariwisata di wilayah Bali Tengah
kiranya perlu diformulasikan sebuah model pengembangan pariwisata yang lebih berorientasi
pada pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat, pelestarian budaya dan
lingkungan secara lebih merata dan berkelanjutan.

4.2 Landasan Pokok
Kebijakan pengembangan pariwisata pada masa lalu yang mengacu kepada
pendekatan advocacy, yakni pendekatan yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi,
telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa pariwisata tidak saja membawa
berkah, tetapi juga musibah. Kenikmatan meraup dolar kerap juga disertai dengan kerugiankerugian sosial-budaya, bahkan juga lingkungan. Oleh sebab itu perumusan model
Pengembangan Pariwisata Terpadu di wilayah Bali Tengah dilandasi oleh tiga aspek pokok
sebagai berikut :

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

6

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
4.2.1 Konservasi Lingkungan
Salah satu manfaat yang diharapkan dari pengembangan sektor kepariwisataan di
wilayah Bali Tengah adalah manfaat ekologis, yakni bagaimana sektor pariwisata dapat
memberikan manfaat positif bagi pelestarian lingkungan setempat.
Secara geografis sebagian besar wilayah Bali Tengah merupakan daerah dataran
tinggi dan pegunungan yang relatif subur. Berkenaan dengan ini tidaklah mengherankan
apabila wilayah Bali Tengah, khususnya Kabupaten Tabanan terkenal dengan julukan daerah
“lumbung Beras”, karena merupakan daerah penghasil beras terbesar di Bali.
Di wilayah Bali Tengah terdapat sejumlah kawasan lindung dan kawasan budidaya
yang sangat penting artinya bagi keseimbangan ekologi serta ketahanan pangan penduduk
Pulau Bali. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian linkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan. Jenis-jenis kawasan lindung serta sebaran lokasinya di wilayah Bali Tengah dapat
dirinci sebagai berikut :
(1) Kawasan Hutan Lindung
Merupakan Kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata
air, pencegahan banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Sebaran
lokasi kawasan hutan lindung di wilayah Bali Tengah ini

meliputi

sebagian

wilayah Kecamatan Petang (Badung), sebagian wilayah Kecamatan Penebel,
Baturiti, dan Selemadeg (Tabanan).
(2) Kawasan Resapan Air
Merupakan kawasan yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air
hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna
sebagai sumber air. Sebaran lokasi kawasan ini tumpang tindih dengan sebagian
kawasan hutan lindung dan budidaya tanaman keras/tahunan.
(3) Kawasan Sempadan Sungai
Merupakan

kawasan

sepanjang

kiri

kanan

sungai,

termasuk

sungai

buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Sebaran lokasi kawasan sempadan
sungai tersebar di beberapa tempat di wilayah Bali Tengah.

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

7

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
(4) Kawasan Sekitar Danau
Merupakan kawasan tertentu di sekeliling danau yang mempunyai manfaat penting
untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau. Sebaran lokasi kawasan ini
meliputi kawasan sekitar Danau Beratan.
(5) Kawasan Sekitar Mata Air
Merupakan kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi mata air. Sebaran lokasi kawasan ini hampir
di seluruh wilayah Bali Tengah.
(6) Kawasan Suaka Alam
Merupakan kawasan yang memiliki ekosistem khas yang merupakan habitat alam
yang memberi perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan
beranekaragam. Sebaran lokasi kawasan ini mencakup sebagian wilayah
Kecamatan Baturiti (Tabanan),

sebagian wilayah

Kecamatan Abiansemal

(Badung).
Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan, atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan. Jenis-jenis kawasan budidaya yang terdapat di wilayah
Bali Tengah adalah sebagai berikut :
(1) Kawasan Tanaman Pangan Lahan Basah
Merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan lahan basah di
mana pengairannya dapat diperoleh secara alamiah maupun teknis. Kawasan ini
tersebar di seluruh wilayah Bali Tengah.
(2) Kawasan Tanaman Pangan Lahan Kering
Meupakan kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan lahan kering untuk
tanaman palawija, hortikultura, atau tanaman pangan. Kawasan ini tersebar di
seluruh wilayah Bali Tengah.
(3) Kawasan Tanaman Tahunan/Perkebunan.
Merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman tahunan/perkebunan yang
menghasilkan bahan pangan dan bahan baku industri. Kawasan ini tersebar di
seluruh wilayah Bali Tengah.

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

8

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
4.2.2 Revitalisasi dan Konservasi Budaya
Masyarakat Bali Tengah merupakan bagian integral dari komunitas sosial-budaya Bali
dengan nuansa kehidupan yang dilandasi oleh agama Hindu yang sekaligus merupakan
identitas kultural orang Bali. Kebudayaan Bali pada dasarnya adalah ekspresi dari pola-pola
hubungan antara manusia dengan Tuhan (Ida sang Hyang Widhi Wasa), manusia dengan
lingkungan, dan manusia dengan sesamanya. Pola-pola hubungan tersebut tercermin dalam
konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan), yakni hubungan yang harmonis dan
seimbang antara manusia dengan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungannya.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan terekspresikan dalam bentuk sistem religi
(agama Hindu) dengan landasan konsep Panca Sradha, yaitui : (1) percaya akan adanya Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Hyang Maha Esa); (2) percaya akan adanya atman; (3)
percaya akan adanya karma phala; (4) percaya akan adanya punarbawa; dan (5) percaya
akan adanya moksa. Sedangkan pelaksanaan ajaran agama Hindu mengacu kepada tiga
kerangka utama, yaitu pemahaman terhadap tatwa, susila, dan pelaksanaan upacara. Dari
ketiga hal tersebut aspek upacara atau yadnya merupakan aspek yang paling menonjol dalam
kehidupan beragama masyarakat Bali. Upacara atau yadnya tersebut pada dasarnya
merupakan bentuk pengorbanan yang tulus dan suci. Dalam agama Hindu dikenal adanya
lima jenis yadnya yang disebut Panca Yadnya, yaitu : dewa yadnya, manusia yadnya, pitra
yadnya, rsi yadnya, dan bhuta yadnya.
Dalam konteks hubungan antara manusia (orang Bali) dengan lingkungannya
melahirkan kebudayaan Bali yang bernuansa agraris (agraris culture) sebagai konsekwensi
logis dari sebagian

besar penduduknya yang menggantungkan hidupnya dari bercocok

tanam. Unsur yang paling menonjol dan merupakan ciri khas kebudayaan agraris di Bali
adalah subak. Geertz (1980), memberikan batasan bahwa subak adalah areal persawahan
yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber mata air. Batasan subak secara formal, yaitu
masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri dari para petani yang
menggarap sawah pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber
(PERDA Bali No.02/DPRD/1972). Berdasarkan atas serangkaian studi lapangan, Sutawan
dan kawan-kawan (1986), menyatakan definisi subak sebagai organisasi petani lahan basah
yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber mata air secara bersama, memiliki satu atau
lebih pura subak, yaitu Pura Bedugul (tempat pemujaan Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai
Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri
maupun dalam hubungan dengan pihak luar. Dari sejumlah batasan mengenai subak tersebut

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

9

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
terlihat secara garis besar subak memiliki tiga aspek pokok, yaitu aspek religi, sosial, dan
fisik. Keberadaan subak-subak di wilayah Bali Tengah di samping sangat penting artinya bagi
ketahanan pangan penduduk Pulau Bali, juga sekjaligus merupakan potensi daya tarik wisata
yang khas.
Sebagai

upaya

untuk

menjaga

keseimbangan

hubungan

manusia

dengan

lingkungannya ditemukan adanya kearifan-kearifan lokal yang bernuansa religius (keyakinan)
yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pengelolaan sumber-sumber daya alam.
Kearifan lokal tersebut misalnya tercermin dalam konsep zonasi yang memandang gunung
sebagai zone luan (hulu atau kepala) yang bernilai suci atau sakral. Berlandaskan konsepsi
tersebut maka kawasan pegunungan yang membentang di wilayah Bali Tengah merupakan
kawasan yang dianggap suci dan merupakan ulu atau kepala baik bagi wilayah Bali Utara
maupun Bali Selatan. Di sepanjang kawasan ini terdapat serangkaian tempat-tempat suci
berupa pura-pura terpenting di Bali seperti Pura Batukaru, Pura Petali, Ulun Danu, Pura Pucak
Mangu, Pura Pucak Tedung, Besakih, dan lain-lainnya. Keberadaan pura-pura tersebut
merupakan benteng-benteng kesucian yang sekaligus merupakan suatu bentuk kearifan
ekologi yang sangat besar manfaatnya bagi kelestarian dan pelestarian sumber-sumber daya
alam.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya. yang pada
dasarnya mencerminkan hakikat manusia sebagai mahluk sosial, orang Bali terikat ke dalam
kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa adat. Banjar merupakan unit kesatuan sosial
yang terdiri dari himpunan sejumlah kepala keluarga. Sedangkan desa adat merupakan unit
kesatuan sosial yang terdiri dari himpunan banjar-banjar. Masing-masing desa adat memiliki
aturan (awig-awig) dan terikat oleh tempat pemujaan bersama yang disebut Kayangan Tiga
atau Tri Kayangan.

4.2.3 Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu dampak kebijakan pengelolan sumberdaya yang sering mendapat sorotan
pada masa lalu adalah munculnya fenomena marginalisasi masyarakat lokal dan
terabaikannya hak-hak mereka untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan sumberdaya
setempat.
Berpijak dari fenomena tersebut, maka pengelolaan potensi kepariwisataan dalam
rangka pengembangan kepariwisataan di wilayah Bali Tengah akan lebih mengedepankan
peranserta dan tanggungjawab masyarakat setempat. Hal tersebut dianggap penting sebagai
upaya menuju pengelolaan sumberdaya yang berbasis kerakyatan (community based

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

10

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
management). Masyarakat sebagai salah satu stakeholder haruslah dilibatkan dalam
pengelolaan berbagai sumberdaya yang terdapat di daerah/wilayah mereka. Masyarakat lokal
memiliki hak-hak azasi untukk menginterpretasikan, memelihara dan mengelola sumberdaya
yang mereka miliki (Ascherson 2000). Neil Faulkner (2000 : 30) mengemukakan konsep yang
disebutnya “Democratic Archaeology from Below”, yang pada dasarnya mengedepankan
partisipasi masyarakat pada semua jenis dan tingkat pekerjaan. Kearifan lokal maupun
lembaga tradisional yang berkembang di masyarakat bersangkutan dalam pengelolaan
sumberdaya budaya harus tetap dipelihara dan dilibatkan. Pemerintah maupun instansi yang
berwenang berperan sebagai fasilitator dalam pengelolaan sumberdaya budaya yang
bersangkutan.
Dalam pengelolaan warisan budaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata,
yang diadopsi dari sidang umum ICOMOS, pada bulan Oktober 1999 antara lain disebutkan
sebagai berikut :
“Konservasi warisan budaya merupakan media atau sasaran untuk melakukan
pertukaran budaya antara wisatawan domestik maupun internasional dengan
masyarakat lokal, dan pemahaman tentang warisan budaya masyarakat lokal
haruslah menjadi prioritas pertama. Bila terjadi konflik kepentingan antara
wisatawan di suatu pihak dan masyarakat lokal di lain pihak, maka
pengelolaan sumberdaya budaya harus dilakukan secara berkelanjutan untuk
kepentingan generasi kini maupun yang akan datang. Masyarakat lokal atau
penduduk asli harus dilibatkan dalam perencanaan konservasi dan pariwisata,
serta konservasi dan pariwisata tersebut harus menguntungkan masyarakat
lokal”.
Ketelibatan dan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya harus dimulai
sedini mungkin atau sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. pengelolaan
sumberdaya tersebut harus mampu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat
setempat. Di samping itu pengelolaan sumberdaya harus dilakukan secara berkelanjutan,
bukan saja untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang.

4.3 Kerangka Model
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan seperti di atas, maka
kerangka model pengembangan pariwisata di wilayah Bali Tengah adalah sebagai berikut :

4.3.1 Daya Tarik
Pemerintah Daerah Provinsi Bali telah menetapkan bahwa kepariwisataan yang
dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism) yang dalam
pengembangan dan perkembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

11

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang
dominan (PERDA Bali Nomor 3 Tahun 1991). Meskipun kebijakan pengembangan
kepariwisataan di Bali bertumpu pada kebudayaan Bali sebagai potensi dominan, namun data
obyektif lapangan di wilayah Bali Tengah menunjukkan bahwa potensi yang berpeluang
sebagai daya tarik wisata dominan adalah potensi ekologis (atraksi alam). Sedangkan potensi
sosial-budaya (atraksi budaya) merupakan potensi penunjang. Jenis-jenis atraksi alam yang
dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata meliputi : ekologi persawahan, perkebunan,
hutan, pegunungan sungai, air terjun, dan mata air panas. Sedangkan jenis-jenis atraksi
budaya yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata menyangkut berbagai aspek
kehidupan masyarakat petani pedesaan yang meliputi : pola menetap, tradisi bercocok tanam,
sistem religi dan adat-istiadat, dan kesenian tradisional.
Dalam konteks makro, keseluruhan jenis potensi ekologis tersebut pada dasarnya
merupakan sebuah ekosistem pertanian (ekosistem subak) dan jenis-jenis potensi sosialbudaya pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sistem sosial-budaya petani
pedesaan. Dengan demikian, lingkungan, masyarakat dan kebudayaan Bali Tengah
merupakan suatu kesatuan eco (lingkungan) – socio (masyarakat) – cultural (kebudayaan)
yang berbasis agraris.

4.3.2 Keterpaduan
Pengertian keterpaduan dalam hal ini menyangkut keterpaduan antara daya
tarik/obyek wisata dan keterpaduan antar para pelaku pariwisata. Keterpaduan antardaya tarik
wisata menyajikan kombinasi yang harmonis antara potensi ekologi dan sosial-budaya,
sehingga menghasilkan suatu kesatuan eco-socio-cultural. sebagai pencerminan dari proses
interaksi manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini ekologi pertanian (potensi ekologi)
dan kebudayaan masyarakat petani (potensi sosial-budaya) terintegrasi secara harmonis
dalam satu kesatuan yang disebut subak (untuk sistem pertanian lahan basah) dan subak
abian untuk sistem pertanian lahan kering. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subak
merupakan resource base atau basis utama dari pengembangan kepariwisataan di wilayah
Bali Tengah.

4.3.2.1 Pihak-Pihak yang Terkait serta Kedudukan dan Peranannya.
Keterpaduan antar potensi juga harus ditunjang dengan pengelolaan secara terpadu
dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antarberbagai pihak. Pihak-pihak yang
terkait dalam pengembangan pariwisata subak di wilayah Bali Tengah meliputi : (1)

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

12

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
Masyarakat desa adat, desa dinas, dan subak, (2) Pengusaha pariwisata, dan (3) pemerintah.
Dalam rangka pengelolaan pariwisata subak, maka masyarakat desa adat, desa dinas, dan
subak

berkedudukan sebagai “tuan rumah” sekaligus sebagai pemegang hak atas

keberadaan

potensi

kepariwisataan

setempat,

serta

pengambil

keputusan

dalam

pengembangan sektor kepariwisataan di wilayahnya. Pengusaha bidang pariwisata
berkedudukan sebagai mitra usaha, khususnya dalam hal kerjasama pemasaran paket-paket
wisata. Sedangkan pemerintah melalui instansi-instansi yang terkait berperan sebagai
fasilitator sekligus melakukan kontrol terhadap berbagai proses kegiatan sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

4.3.2.2 Hubungan Antarpihak yang Terkait.
Hubungan antarpihak yang terkait mencakup : (1) hubungan antarlembaga
masyarakat lokal (desa adat, desa dinas, dan subak), (2) hubungan antarlembaga masyarakat
lokal dan pihak pengusaha pariwisata, (3) hubungan antarlembaga masyarakat lokal,
pengusaha pariwisata, dan pemerintah.
Hubungan Antarlembaga masyarakat lokal merupakan hubungan internal “tuan
rumah”, yakni hubungan antar lembaga desa adat, desa dinas, dan subak. Hubungan ini
mencakup hubugan kerjasama dari tahap

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari

berbagai program kepariwisataan. Hak dan kewajiban dari masing-masing lembaga diatur
dalam bentuk awig-awig atau nota kesepahaman yang disepakati oleh semua pihak.
Hubungan antara lembaga masyarakat lokal dengan pihak pengusaha pariwisata
bersifat hubungan kemitraan yang saling menguntungkan. Secara lebih kongkrit, lembaga
masyarakat lokal sebagai “tuan rumah” menjalin kerjasama dengan pihak-pihak pelaku bisnis
pariwisata untuk mengemas berbagai jenis paket-paket wisata yang sesuai dengan standar
dan selera pasar serta memasarkannya kepada para wisatawan. Berkenaan dengan hal
tersebut, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak perlu diatur dalam bentuk perjanjian
atau nota kesefahaman yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hubungan antara lembaga pemerintah dengan lembaga-lembaga masyarakat lokal
dan pihak pengusaha pariwisata mencakup peran aktif lembaga-lembaga pemerintah melalui
instansi-instansi

terkait

untuk

memfasilitasi

proses

penyusunan

berbagai

kebijakan

kepariwisataan setempat sekaligus melakukan kontrol terhadap implementasinya.

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

13

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan dan Berkelanjutan
di Wilayah Bali Tengah

Eco

Socio

Kesejahteraan

P
E
L
E
S
T
A
R
I
A
N

SUBAK

Cultur

Potensi Ekologis
Persawahan
Perkebunan
Hutan
Pegunungan
Sungai

Potensi
Sumber Daya
Manusia
(Masyarakat)

Kesejahteraan

Potensi Budaya
Religi
Kesenian
Mata Pencaharian
Arsitektur

Desa Adat
Desa Dinas

Daya Tarik

Subak

Daya Tarik

P
E
L
E
S
T
A
R
I
A
N

PARIWISATA

Pemerintah

Politis

Materi Penataran Sadar Wisata 2004

Pengusaha

MANFAAT

Ekonomi

14

Pariwisata Berdimensi Kerakyatan & Berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA

Acherson, Neal, 2000. Public Archaeology, Volume 1, No. 1, Halaman : 1-14.
Cernea, Michael M. 1988. Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan. (Basiliu Bengo,
Teko penerjemah). Jakarta : Universitas Indonesia.
Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (pepep Sudradjat,
penerjemah). Jakarta : LP3ES.
Foulker, Neal, 2000. “Archaeologi from Below” dalam Public Archaeology, Volume 1,
No.1, Halaman : 21 – 23.
Geertz, Cliffiord. 1980. “Organization of Balinese Subak”, dalam Coward E.W. Jr. (ed.) :
Irrigation and Agricultural Development in Asia. Cornell University, Ithaca.
Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global
Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar : Upada Sastra.
Korten D.C. dan Sjahrir (ed). 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. (A. Setiawan
Abadi, penerjemah). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Korten, David C. (ed.), 1986. Community Management : Asian Experience and
Perspektives. Connenticut : Kumarian Press.
Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan Pariwisata Terpadu Bertumpu pada Model
Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah. Kerjasama Kementerian
Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Prngetahuan Indonesia dan Universitas
Udayana, Denpasar.
Pujaastawa, I.B.G. 2002. Pariwisata Subak : Menjaga Identitas Kultural dan
Keseimbangan Ekologi Bali Tengah. Makalah Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia III, Denpasar, 16 – 19 Juli 2002.
Sutawan, dkk., 1986. Studi Mengenai Subak Gede : Suatu Wadah Koordinasi Antar
Subak di Bali. Kerjasama Sub Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum
Propinsi Bali dengan Universitas Udayana, Denpasar.

***************

Materi Penataran Kelompok Sadar Wisata

15