Contoh Makalah Farmasi tentang Analisis Mikrobiologi

(1)

MAKALAH

ANALISIS MIKROBIOLOGI

VALIDASI METODE ANALISIS MIKROBIOLOGI

KELOMPOK 3:

HANNAN

MARTHIAN IVANSIUS

IRMAYANTI

NURLIAN

MAGFIRA

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MIPA

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU


(2)

PENDAHULUAN

Salah satu perhatian dunia adalah pertumbuhan mikroba yang tidak terkendali pada beberapa daerah, dikarenakan adanya perubahan iklim dan adanya resistensi mikroba maupun perubahan genetik mikroba itu sendiri. Bidang kesehatan, lingkungan dan pangan merupakan bidang yang paling bersinggungan dengan dunia mikrobiologi, sudah menjadi kewajiban untuk menerapkan pengawasan yang ketat terhadap keberadaan mikroba ini. Banyak kasus telah terjadi diantaranya buruknya sanitasi lingkungan tempat tinggal menyebabkan buruknya kualitas pangan sehingga semakin memperburuk kesehatan manusia didaerah tersebut. Kasus keracunan makanan misalnya, telah mendorong pengembangan metode inspeksi yang tepat sehingga penentuan mikroba yang meracuni makanan dapat ditentukan secara tepat, cepat dan akurat untuk mendapatkan hasil analisis mikrobiologi yang tepat, cepat dan akurat perlu diperhatikan beberapa factor diantaranya teknik pengambilan sampel, metode dan media yang digunakan, hingga pembacaan hasil akhir yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Pemilihan metode menempati urutan teratas penentu keberhasilan analisis.

Terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan metode diantaranya selektivitas dan sensitivitas metode yang digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan. Hal ini sangat dipahami dikarenakan mikroba merupakan jasad hidup yang hanya mampu berkembang biak pada kondisi tertentu. Oleh karena itu perlu adanya suatu pengujian yang akurat dan tepat serta diterima oleh regulator.

Salah satu cara untuk menentukan apakah suatu metode tepat dan akurat adalah melalui serangkaian percobaan atau pembuktian atau konfirmasi yang objektif di laboratorium dan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau dengan bahasa yang singkat disebut validasi metode. Namun terdapat beberapa hambatan ataupun tantangan dari setiap laboratorium dalam menerapkan validasi metode khususnya mikrobiologi diantaranya waktu, metode yang digunakan, jumlah ulangan, biaya, sensitivitas, selektivitas, recovery, dan beberapa parameter lain yang telah ditentukan serta kompleksitas pengujian mikrobiologi dikarenakan penggunaan jasad hidup. Oleh karena itu validasi metode mikrobiologi menjadi gampang gampang susah untuk dilakukan, sehingga membutuhkan pengetahuan yang mamadai ten validasi sekaligus verifikasi metode analisis mikrobiologi.

Tantangan inilah yang menggerakkan kami di Guide Consulting untuk mensinergikan pakar dalam bidang mikrobiologi untuk bergabung dalam seminar Microbial


(3)

Validation Method. Guide Consulting adalah perusahaan yang telah berpengalaman mengadakan seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan dunia mikrobiologi untuk berbagai industri maupun instansi pemerintah. Guide Consulting akan selalu menyelenggarakan seminar dan pelatihan yang dapat langsung diaplikasikan serta didukung oleh trainer-trainer ahli yang berpengalaman di bidangnya.


(4)

PEMBAHASAN A. Definisi

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi bahwa metode analisis tersebut sudah sesuai untuk peruntukannya (Gandjar, 2007).

B. Tujuan

1. Mengevaluasi kinerja metode. Meliputi: kepekaan. Selektivitas. Akurasi, presisi, dll., sekaligus menguji kelemahan dan keterbatasan metode

2. Menguji faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kinerja metode dan mengetahui besarnya pengaruh tersebut terhadap hasil analisis

3. Melakukan verifikasi atau pembuktian kinerja metode analisis baku yang diadopsi/ digunakan laboratorium.

C. Jenis Validasi Metode

1. Validasi primer, dilakukan jika laboratorium menggunakan metode analisis ‘baru’ hasil pengambangan atau metode yang dimodifikasi terhadap suatu metode standar. 2. Validasi sekunder, dilakukan utuk verifikasi, jika laboratorium menggunakan atau

mengadopsi metide standar yang telah divalidasi.

D. Klasifikasi Metode Analisis

Menurut USP 30-NF25 (2007), metode analisis diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

a. Kategori I :Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar komponen utama dalam bahan baku obat dan sediaan obat jadi atau bahan aktif lainnya seperti pengawet. b. Kategori II :Metode analisis yang digunakan untuk penetapan cemaran dalam bahan

baku obat atau hasil degradasinya dalam sediaan obat jadi.

c. Kategori III :Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kinerja dan kualitas sediaan obat jadi, seperti uji disolusi dan uji pelepasan obat (Gandjar, 2007).


(5)

E. Parameter Validasi Metode Analisis

Prosedur analisis yang harus divalidasi meliputi beberapa jenis pengujian, yaitu adanya pengotor, uji limit untuk mengendalikan keberadaan pengotor, serta uji kuantitatif komponen aktif atau komponen lain dalam produk obat-obatan. Selain itu, terdapat 8 parameter validasi metode analisis yaitu spesifisitas, presisi/ketelitian, akurasi/ketepatan, linearitas, kisaran, limit deteksi, limit kuantitasi, dan ketangguhan. Pemilihan parameter yang akan diuji tergantung dari jenis dan metode pengujian yang akan divalidasi (Chan, 2004).

1) Kecermatan (Accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur (Harmita, 2004).

Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard additionmethod). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding kimia CRM atau SRM) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Dalam kedua metode tersebut, persen peroleh kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. % Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel placebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Harmita, 2004).

Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen


(6)

misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi (Harmita, 2004).

Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen ditemukan. Kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD). Vanderwielen, dkk menyatakan bahwa selisih kadar pada berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Harga rata-rata selisih secara statistik harus 1,5% atau kurang. Kriteria tersebut dinyatakan secara matematik sebagai berikut:

{

Xd

X0.100

}

<5

{

Xd X0

.100

}

(

S(0,95nI)

)

n <1,5

Xd = Xi – X0

Ket: Xi = hasil analisis

X0 = hasil yang sebenarnya

I = nilai t pada tabel t’ student pada atas 95% S = simpangan baku relatif dari semua pengujian n = jumlah sampel yang dianalisis

(Harmita, 2004).

Sedangkan kadar analit dalam metode penambahan baku dapat dihitung sebagai berikut:

C C+S=

R1 R2

C=S

(

R1

R2R1

)

Ket: C = kadar analit dalam sampel

S = kadar analit yang ditambahkan pada sampel R1 = respon yang diberikan sampel

R2 = respon yang diberikan campuran sampel dengan tambahan analit


(7)

Untuk mendokumentasikan akurasi, ICH merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (missal 3 konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus dilaporkan sebagai persentase perolehan kembali (Gandjar dan Rohman, 2009)

Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: % Perolehan kembali =

(

CFCA

)

C¿A

X 100

Ket: CF = konsentrasi total sampel yang diperoleh dari pengukuran

CA = konsentrasi sampel sebenarnya

C*

A = konsentrasi analit yang ditambahkan

(Harmita, 2004).

Pada metode penambahan baku, pengukuran blanko tidak diperlukan lagi. Metode ini tidak dapat digunakan jika penambahan analit dapat mengganggu pengukuran, misalnya analit yang ditambahkan menyebabkan kekurangan pereaksi, mengubah pH atau kapasitas dapar, dll. Kriteria kecermatan dilakukan sama seperti pada metode simulasi. Pada percobaan penetapan kecermatan, sedikitnya lima sampel yang mengandung analit dan plasebo yang harus disiapkan dengan kadar antara 50% sampai 150% dari kandungan yang diharapkan. Persen perolehan kembali seharusnya tidak melebihi nilai presisi RSD. Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Analit pada matriks sampel (%)

Rata-rata yang diperoleh (%) 100 >10 >1 >0,1 0,01 0,001

0,000.1 (1 ppm) 0,000.01 (100 ppb) 0,000.001 (10 ppb) 0,000.000.1 (1 ppb)

98-102 98-102 97-103 95-105 90-107 90-107 80-110 80-110 60-115 40-120 (Harmita, 2004).


(8)

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogeny (Harmita, 2004).

Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility).

Sesuai dengan ICH, presisi harus dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda yaitu: a. Keterulangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama (berulang)

baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.

b. Presisi antara yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.

c. Ketertiruan merujuk pada hasil-hasil dari laboratorium yang lain.

Pengujian presisi pada saat awal validasi metode seringkali hanya menggunakan 2 parameter pertama yaitu keterulangan dan presisi antara. Reprodusibilitas biasanya dilakukan ketika akan melakukan uji banding antar laboratorium (Gandjar dan rohman, 2009).

Menurut Harmita (2009), keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Sedangkan yang dimaksud dengan ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Analis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Ketertiruan dapat juga dilakukan dalam laboratorium yang sama dengan menggunakan peralatan, pereaksi, dan analis yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis. Ditemukan bahwa koefisien variasi meningkat seiring dengan menurunnya konsentrasi analit. Pada kadar 1% atau lebih, standar deviasi relatif antara laboratorium adalah sekitar 2,5% ada


(9)

pada satu per seribu adalah 5%. Pada kadar satu per sejuta (ppm) RSDnya adalah 16%, dan pada kadar part per bilion (ppb) adalah 32%. Pada metode yang sangat kritis, secara umum diterima bahwa RSD harus lebih dari 2% (Harmita, 2004).

Untuk menetapkan presisi bahan campuran dan bahan sisa pada artikel obat, formula berikut ini harus digunakan untuk menentukan metode ketertiruan yang tepat (interlaboratorium).

RSD < 2 (1-0,5 log c)

dan untuk keterulangan :

RSD < 2 (1-0,5 log c) x 0,67

c = konsentrasi analit sebagai fraksi desimal (contoh: 0,1% = 0,001) Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

 Hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4,...xn maka simpangan bakunya adalah

SD =

(

Σ(X− ´X)2

)

n−1

 Simpangan baku relatif atau koefisien variasi (KV) adalah: KV = SD

x X 100%

Percobaan keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam replika sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen. Sebaiknya keseksamaan ditentukan terhadap sampel sebenarnya yaitu berupa campuran dengan bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) untuk melihat pengaruh matriks pembawa terhadap keseksamaan ini. Demikian juga harus disiapkan sampel untuk menganalisis pengaruh pengotor dan hasil degradasi terhadap keseksamaan ini (Harmita, 2004).

3) Linieritas dan Rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004).

Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam pengujian linearitas


(10)

adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam beberapa kasus, untuk memperoleh hubungan proporsional antara hasil pengukuran dengan konsentrasi analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik dulu sebelum dibuat analisis regresinya (Harmita, 2004).

Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50-150% kadar analit dalam sampel. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0-200%. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Parameter lain yang harus dihitung adalah simpangan baku residual (Sy) (Harmita, 2004).

Sy =

Σ

(

y1− ´y1

)

2

N−2 dimana ý1 = a + bx

Sx0 =

Sy b

Sx0 = standar deviasi dari fungsi

Vx0 =

Sx0 x

Vx0 = koefisien variasi dari fungsi

4) Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Selektivitas metode ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya atau pembawa


(11)

plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tadi. Penyimpangan hasil jika ada merupakan selisih dari hasil uji keduanya (Harmita, 2004).

Jika cemaran dan hasil urai tidak dapat diidentifikasi atau tidak dapat diperoleh, maka selektivitas dapat ditunjukkan dengan cara menganalisis sampel yang mengandung cemaran atau hasil uji urai dengan metode yang hendak diuji lalu dibandingkan dengan metode lain untuk pengujian kemurnian seperti kromatografi, analisis kelarutan fase, dan

Differential Scanning Calorimetry. Derajat kesesuaian kedua hasil analisis tersebut merupakan ukuran selektivitas. Pada metode analisis yang melibatkan kromatografi, selektivitas ditentukan melalui perhitungan daya resolusinya (Rs) (Harmita, 2004).

ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul hamper sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (sebagaimana dalam kromatografi). Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah komponen utama atau komponen aktif dan atau suatu pengotor. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor (impurities) maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini (Gandjar dan Rohman, 2009).

Penentuan spesifisitas metode dapat diperoleh dengan 2 jalan. Yang pertama (dan yang paling diharapkan), adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju ≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifisitas adalah dengan menggunakan detektor selektif, terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama. Sebagai contoh, detektor elektrokimia atau detektor fluoresen hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Gandjar dan Rohman, 2009).

5) Limit Deteksi dan Limit Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


(12)

Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan (Harmita, 2004).

Q = k × Sb

S1

Dimana:Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) K = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = simpangan baku respon analitik dari blangko

Sl = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a+bx)

Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.) 1. Batas deteksi (Q)

Karena k = 3 atau 10

Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka Q = 3Sy/x

S1 2. Batas kuantitasi (Q)

Q = 10Sy/x

S1

6) Ketangguhan metode (ruggedness)

Ketangguhan metode adalah derajat ketertiruan hasil uji yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, analisis, instrumen, bahan pereaksi, suhu, hari yang berbeda, dll. Ketangguhan biasanya dinyatakan sebagai tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Ketangguhan metode merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara lab dan antar analis (Harmita, 2004).

Ketangguhan metode ditentukan dengan menganalisis beningan suatu lot sampel yang homogen dalam lab yang berbeda oleh analis yang berbeda menggunakan kondisi


(13)

operasi yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda tetapi menggunakan prosedur dan parameter uji yang sama. Derajat ketertiruan hasil uji kemudian ditentukan sebagai fungsi dari variabel penentuan. Ketertiruan dapat dibandingkan terhadap keseksamaan penentuan di bawah kondisi normal untuk mendapatkan ukuran ketangguhan metode. Perhitungannya dilakukan secara statistik menggunakan ANOVA (Harmita, 2004).

7) Kekuatan (Robustness)

Untuk memvalidasi kekuatan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi yang kecil dan terus menerus dan mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi. Sebagai contoh, perubahan yang dibutuhkan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dapat mencakup (tapi tidak dibatasi) perubahan komposisi organik fase gerak (1%), pH fase gerak (± 0,2 unit), dan perubahan temperatur kolom (± 2-3°C). Perubahan lainnya dapat dilakukan bila sesuai dengan laboratorium (Harmita, 2004).

8) Stabilitas

Untuk memperoleh hasil-hasil analisis yang reprodusibel dan reliable, maka sampel, reagen dan baku yang digunakan harus stabil pada waktu tertentu (misalkan 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau tergantung kebutuhan) (Gandjar dan Rohman, 2009).

Stabilitas semua larutan dan reagen sangat penting, baik yang berkaitan dengan suhu atau yang berkaitan dengan waktu. Jika larutan tidak stabil pada suhu kamar, maka penurunan suhu hingga 2-80C dapat meningkatkan stabilitas sampel dan standar, pendinginan dalam

autosampler biasanya tersedia untuk keperluan ini. Stabilitas juga penting terkait waktu pengerjaan (Gandjar dan Rohman, 2009).

9) Kesesuaian Sistem

Sebelum melakukan analisis setiap hari, seorang analis harus memastikan bahwa siatem dan prosedur yang digunakan harus mampu memberikan data yang dapat diterima. Hal ini dilakukan dengan percobaan kesesuaian sistem yang didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima. Persyaratan-persyaratan kesesuaian sistem biasanya dilakukan setelah dilakukan pengembangan metode dan validasi metode (Gandjar dan Rohman, 2009).

Farmakope Amerika (United States Pharmacopeia, USP) menentukan parameter-parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan kesesuaian sistem sebelum dianalisis. Parameter-parameter yang dapat digunakan meliputi: bilangan lempeng teori (N), factor


(14)

tailing, kapasitas (k’ atau α) dan nilai standar deviasi relative (RSD) tinggi puncak dan luas puncak dari serangkaian injeksi. Pada umumnya, paling tidak ada 2 kriteria yang biasanya dipersyaratkan untuk menunjukkan kesesuaian sistem suatu metode. Nilai RSD tinggi puncak atau luas puncak dari 5 kali injeksi larutan baku pada dasarnya dapat diterima sebagai salah satu criteria baku untuk pengujian komponen yang jumlahnya banyak (komponen mayor) jika nilai RSD ≥ 1% untuk 5 kali injeksi. Sementara untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, nilai RSD dapat diterima jika antara 5-15 % (Gandjar dan Rohman, 2009).


(15)

PENUTUP

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi bahwa metode analisis tersebut sudah sesuai untuk peruntukannya (Gandjar, 2007).

Tujuan validasi metode analisis yaitu untuk mengevaluasi kinerja metode. meliputi: kepekaan. Selektivitas. Akurasi, presisi, dll., sekaligus menguji kelemahan dan keterbatasan metode, menguji faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kinerja metode dan mengetahui besarnya pengaruh tersebut terhadap hasil analisis, dan melakukan verifikasi atau pembuktian kinerja metode analisis baku yang diadopsi/ digunakan laboratorium.

Parameter dari metode analisis mikrobiologi yaitu: Akurasi, Presisisi, Linieritas, Spesifisitas, LOD dan LOQ, Ketangguhan metode (ruggedness), Kekuatan (Robustness), stabilitas, dan kesesuaian sistem.


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Gandjar, Gholib., dan Rohman, 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Harmita, 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.3, Desember 2004.

Swartz, M.E., and Krull, I.S., 1997.Analytical Method Development and Validation, Marcell Dekker: USA.


(1)

plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tadi. Penyimpangan hasil jika ada merupakan selisih dari hasil uji keduanya (Harmita, 2004).

Jika cemaran dan hasil urai tidak dapat diidentifikasi atau tidak dapat diperoleh, maka selektivitas dapat ditunjukkan dengan cara menganalisis sampel yang mengandung cemaran atau hasil uji urai dengan metode yang hendak diuji lalu dibandingkan dengan metode lain untuk pengujian kemurnian seperti kromatografi, analisis kelarutan fase, dan Differential Scanning Calorimetry. Derajat kesesuaian kedua hasil analisis tersebut merupakan ukuran selektivitas. Pada metode analisis yang melibatkan kromatografi, selektivitas ditentukan melalui perhitungan daya resolusinya (Rs) (Harmita, 2004).

ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul hamper sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (sebagaimana dalam kromatografi). Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah komponen utama atau komponen aktif dan atau suatu pengotor. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor (impurities) maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini (Gandjar dan Rohman, 2009).

Penentuan spesifisitas metode dapat diperoleh dengan 2 jalan. Yang pertama (dan yang paling diharapkan), adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju ≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifisitas adalah dengan menggunakan detektor selektif, terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama. Sebagai contoh, detektor elektrokimia atau detektor fluoresen hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Gandjar dan Rohman, 2009).

5) Limit Deteksi dan Limit Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


(2)

Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan (Harmita, 2004).

Q = k × Sb S1

Dimana:Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) K = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = simpangan baku respon analitik dari blangko

Sl = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a+bx)

Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.) 1. Batas deteksi (Q)

Karena k = 3 atau 10

Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka Q = 3Sy/x

S1 2. Batas kuantitasi (Q)

Q = 10Sy/x S1

6) Ketangguhan metode (ruggedness)

Ketangguhan metode adalah derajat ketertiruan hasil uji yang diperoleh dari analisis sampel yang sama dalam berbagai kondisi uji normal, seperti laboratorium, analisis, instrumen, bahan pereaksi, suhu, hari yang berbeda, dll. Ketangguhan biasanya dinyatakan sebagai tidak adanya pengaruh perbedaan operasi atau lingkungan kerja pada hasil uji. Ketangguhan metode merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi normal antara lab dan antar analis (Harmita, 2004).

Ketangguhan metode ditentukan dengan menganalisis beningan suatu lot sampel yang homogen dalam lab yang berbeda oleh analis yang berbeda menggunakan kondisi


(3)

operasi yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda tetapi menggunakan prosedur dan parameter uji yang sama. Derajat ketertiruan hasil uji kemudian ditentukan sebagai fungsi dari variabel penentuan. Ketertiruan dapat dibandingkan terhadap keseksamaan penentuan di bawah kondisi normal untuk mendapatkan ukuran ketangguhan metode. Perhitungannya dilakukan secara statistik menggunakan ANOVA (Harmita, 2004).

7) Kekuatan (Robustness)

Untuk memvalidasi kekuatan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi yang kecil dan terus menerus dan mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi. Sebagai contoh, perubahan yang dibutuhkan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dapat mencakup (tapi tidak dibatasi) perubahan komposisi organik fase gerak (1%), pH fase gerak (± 0,2 unit), dan perubahan temperatur kolom (± 2-3°C). Perubahan lainnya dapat dilakukan bila sesuai dengan laboratorium (Harmita, 2004).

8) Stabilitas

Untuk memperoleh hasil-hasil analisis yang reprodusibel dan reliable, maka sampel, reagen dan baku yang digunakan harus stabil pada waktu tertentu (misalkan 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau tergantung kebutuhan) (Gandjar dan Rohman, 2009).

Stabilitas semua larutan dan reagen sangat penting, baik yang berkaitan dengan suhu atau yang berkaitan dengan waktu. Jika larutan tidak stabil pada suhu kamar, maka penurunan suhu hingga 2-80C dapat meningkatkan stabilitas sampel dan standar, pendinginan dalam

autosampler biasanya tersedia untuk keperluan ini. Stabilitas juga penting terkait waktu pengerjaan (Gandjar dan Rohman, 2009).

9) Kesesuaian Sistem

Sebelum melakukan analisis setiap hari, seorang analis harus memastikan bahwa siatem dan prosedur yang digunakan harus mampu memberikan data yang dapat diterima. Hal ini dilakukan dengan percobaan kesesuaian sistem yang didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima. Persyaratan-persyaratan kesesuaian sistem biasanya dilakukan setelah dilakukan pengembangan metode dan validasi metode (Gandjar dan Rohman, 2009).

Farmakope Amerika (United States Pharmacopeia, USP) menentukan parameter-parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan kesesuaian sistem sebelum dianalisis. Parameter-parameter yang dapat digunakan meliputi: bilangan lempeng teori (N), factor


(4)

tailing, kapasitas (k’ atau α) dan nilai standar deviasi relative (RSD) tinggi puncak dan luas puncak dari serangkaian injeksi. Pada umumnya, paling tidak ada 2 kriteria yang biasanya dipersyaratkan untuk menunjukkan kesesuaian sistem suatu metode. Nilai RSD tinggi puncak atau luas puncak dari 5 kali injeksi larutan baku pada dasarnya dapat diterima sebagai salah satu criteria baku untuk pengujian komponen yang jumlahnya banyak (komponen mayor) jika nilai RSD ≥ 1% untuk 5 kali injeksi. Sementara untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, nilai RSD dapat diterima jika antara 5-15 % (Gandjar dan Rohman, 2009).


(5)

PENUTUP

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi bahwa metode analisis tersebut sudah sesuai untuk peruntukannya (Gandjar, 2007).

Tujuan validasi metode analisis yaitu untuk mengevaluasi kinerja metode. meliputi: kepekaan. Selektivitas. Akurasi, presisi, dll., sekaligus menguji kelemahan dan keterbatasan metode, menguji faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kinerja metode dan mengetahui besarnya pengaruh tersebut terhadap hasil analisis, dan melakukan verifikasi atau pembuktian kinerja metode analisis baku yang diadopsi/ digunakan laboratorium.

Parameter dari metode analisis mikrobiologi yaitu: Akurasi, Presisisi, Linieritas, Spesifisitas, LOD dan LOQ, Ketangguhan metode (ruggedness), Kekuatan (Robustness), stabilitas, dan kesesuaian sistem.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Gandjar, Gholib., dan Rohman, 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Harmita, 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.3, Desember 2004.

Swartz, M.E., and Krull, I.S., 1997.Analytical Method Development and Validation, Marcell Dekker: USA.