2001 BAHAS BEDAH BUKU RENAISSANCE

BEDAH BUKU
"Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan" karya Prof Dr
azyumardi Azra, MA, diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,
180 halaman.
--------------------------------------------------------------------------------Pembahas Kedua1
Oleh Budi Sulistiono

Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada Pimpinan Bait
al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta yang telah memberikan waktu yang sangat
berharga di tempat yang mulia ini untuk berpartisipasi sebagai Pembahas II
Bedah Buku "Renaissans Islam Asia Tenggara", karya Prof Dr Azyumardi Azra2,
Rabu, 13 Juni 2001.
Terhadap beberapa pandangan yang disampaikan dalam karya tulis yang
saya anggap sebagai karya monumental ini, banyak sejalan, paling tidak :
a. Dari segi literatur, karya ini telah berhasil secara nyata menampilkan
sejumlah informasi sumber-sumber kajian keislaman di Asia Tenggara abad
ke-16 dan abad ke-17 M. Karenanya, karya ini telah berhasil mendorong
secara aktif sekaligus membekali kita semua untuk melacak, mengkaji, dan
memahami hingga kemungkinan dapat dilakukan rekonstruksi keberadaan
peran-peran individu muslim saat itu, khususnya berkait erat dengan ajaran
dan pemikiran keagamaan hingga pengaruhnya sebagaimana terwujud

dalam perilaku dan tindakan dalam realitas sosial mereka - secara empirik.
Mudah-mudahan. Untuk maksud itu, marilah sejenak kita membuka
lembaran ingatan ke abad XVI dan XVII Masehi kita menyaksikan suatu
kesuburan dalam penulisan sastera, filsafat, metafisika, dan teologi rasional
yang tidak terdapat tolok bandingnya di mana-mana dan di zaman apa pun
di Asia Tenggara. Penerjemahan al-Qur'an yang pertama dalam bahasa
Melayu telah diselenggarakan beserta kajiannya yang berdasarkan
al-Baydhawy; dan terjemahan-terjemahan lain serta kajian-kajian dan

Pembahas II Bedah Buku "Renaissans Islam Asia Tenggara",
karya Prof Dr Azyumardi Azra1, di Bait al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta
Rabu, 13 Juni 2001.
2
Kini, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Anggota Dewan Kurator Bait
al-Qur'an dan Museum Istiqlal, TMII, Jakarta
1 sebagai

karya-karya asli dalam bidang filsafat, tasawwuf dan ilmu kalam, semuanya
telah diselenggarakan pada zaman ini juga.
Banyak penulis berketatapan bahwa zaman inilah yang menandakan

zaman pembangunan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak pernah
berlaku pada waktu-waktu lampau di mana pun di Asia Tenggara umumnya
dan di Kepulauan Nusantara khususnya. Zaman ini juga bersamaan dengan
berlakunya proses pendalaman
atau intensifikasi pemahaman dan
penanaman Islam pada jiwa masyarakat Nusantara.
b. Sebagaimana diakui oleh penulis, bahwa karya ini ter-apresiasi dari sejumlah
pengamat dunia Islam yang memberikan analisis dan komentar secara positif
tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan
Malaysia. Di antara mereka adalah Fazlurrahman (halaman XV). Menurut
beberapa pengamat, dibanding ulama lain Fazlurrahman, lebih serius,
sistematis, dan obyektif - yang kebanyakan karyanya lahir dari penelitian di
Lembaga Riset Islam (Pakistan) dan Universitas Chicago, Amerika Serikat.
Tokoh yang dianggap intelektual Islam ini, paling serius dan berani setelah
Mohammad Iqbal, pernah melontarkan pandangannya dalam karya
bukunya, "Islam", terbit 1967, bahwa "al-Qur'an secara keseluruhan adalah
Kalam Allah; dan dalam pengertian biasa seluruhnya juga perkataan
Muhammad". Tentu saja pandangan tersebut ditolak mentah-mentah dari
Ulama yang berlanjut dengan demonstrasi besar mahasiswa dan pemogokan
total buruh, dan hampir satu tahun pers Pakistan menghebohkannya, bahkan

menuduhnya "tak percaya kepada al-Qur'an". Kondisi tersebut hingga
memaksanya menanggalkan jabatan direktur Lembaga Riset Islam dan
Anggota Dewan Penasihat Ideologi Pakistan, kemudian menghantarnya
hengkang dari Pakistan untuk kemudian ia hijrah ke Universitas Chicago
sebagai Guru Besar dalam pemikiran Islam, hingga wafatnya.
Dalam kesempatan yang bahagia ini, kiranya tidak terlalu mubadzir
jika kita sharing pandangan terhadap tokoh intelektual muslim ini a.n.:
bagaimana sebenarnya pemikiran tentang tokoh ini, dan bagaimana pula kita
menyikapinya ?
c. Penelusuran atas beberapa sumber-sumber yang terkait sebagaimana
terekam dalam naskah-naskah, melalui karyanya penulis telah berhasil secara
2

apik menampilkan dinamika sejarah sebagaimana terpantul dalam : (1)
berbagai peristiwa, antara lain "islamisasi di Asia Tenggara", yang pada tahap
awal diwarnai aspek tasawwuf atau mistik ajaran Islam (halaman 34-35).
Pada aspek ini menarik untuk disimak, strategi macam apa Islam pada masa
awal disosialisasikan di tengah masyarakat yang juga menurut penulis, masih
dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal ?
bagaimana pengenalan agama Islam diajarkan hingga seseorang mengerti,

memahami ajaran Islam pada masa itu, hingga kemudian menghasilkan
sejumlah karya yang berpengaruh di sejumlah wilayah yang sangat terjauh
jangkauannya ?. Memang, untuk memahami ajaran Islam seseorang akan
diajarkan bagaimana menghafal ayat-ayat al-Qur'an dan sejumlah Hadist.
Sejauh itu belum diketahui secara persis sejak kapan tradisi tersebut
terbentuk untuk di beberapa daerah Nusantara.; dalam karya tulis ini juga
ditampilkan (2) pergolakan pemikiran; (3) jaringan intelektual keulamaan.
d. Melalui rentangan waktu dalam jejak perjalanan hingga lahirnya karya tulis
ini, penulis dengan sikap yang jujur juga telah berhasil mengangkat persoalan
yang sangat urgen dan relevan tentang berbagai gejala sejarah Islam di
kawasan Asia Tenggara, di antaranya peran strategis Aceh.
Mari sejenak kita merenung sambil membuka lembaran sejarahnya
bahwa sejak Malaka jatuh ke tangan kaum imperialis dan kolonialis Portugis
pada tahun 1511 Masehi, banyak pedagang Islam yang datang ke Aceh
(Hamka, 1981). Dan Aceh kemudian mereka jadikan sebagai tempat
berdagang juga sebagai tempat menyebarkan agama Islam. Ketika kerajaan
Aceh telah dapat menggantikan kedudukan Malaka, baik sebagai pusat
perdagangan maupun pusat penyebaran agama Islam, Kerajaan Aceh telah
menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur
Tengah, yaitu Kerajaan Turki. Sebagai wujud dukungan masyarakat Islam di

luar Kerajaan Aceh, banyak Ulama dan pujangga dari berbagai negeri Islam
yang datang ke Aceh. Para Ulama dan pujangga di Aceh, mengajarakan Ilmu
Agama Islam dan berbagai ilmu pengetahuan, selain itu juga menulis
bermacam-macam kitab, khususnya ajaran agama Islam. Di antara Ulama
dan pujangga yang pernah datang di Aceh, menurut T Ibrahim Alfian, dalam
bukunya berjudul Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan Di Aceh, (1972) adalah
Muhammad Azhari yang mengajar Ilmu Metafisika; Syeikh Abdul Khair ibn
Syekh ibn Hajar ahli dalam bidang mistik; Muhammad Yamani, ahli Ilmu
3

Usul; Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid dari
Gujarat - mengajarkan Logika; Syeikh Bukhari al-Johari, terkenal dengan
karyanya Taj as-Salatin (Mahkota Segala raja)3.
Hamzah Fansuri tokoh sufi dengan aliran Wujudiyyah (Al-Attas,
1966), selain menulis banyak tentang ajaran Tasawwuf, ia juga menulis
tentang sejumlah syair, antara lain : Syair Si Burung Pungguk, syair si Burung
Pungai, syair si Dang Fakir, dan Syair Perahu. Aliran tasawwuf Wujudiyyah
berhasil dikembangkan karena dekat dengan penguasa selama tiga zaman,
yaitu : Sultan Alauddin Ri'ayat Syah IV Sayyid alMukammil (997-1011
H/1589-1604 M), Sultan Muda Alauddin Ali Ri'ayat Syah V (1011-1015

H/1604-1607 M), dan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H /
1636 M) (Hasjmy, 1971). Di antara murid Hamzah Fansuri adalah
Syamsuddin as-Sumatrani atau lebih dikenal dengan nama Syamsuddin
Pasai, dan di antara karya monumentalnya adalah Durrat al-Faraid, Hidayat
al-Habib, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Mir'atul-Qulub, Mir'atul-Muhaqqiqin,
Mir'atul-Mukmin.
Beberapa karya lain yang berkaitan dengan sifat dua puluh dan
martabat tujuh Syeikh Nuruddin al-Raniri, adalah seorang Ulama dan
Pujangga yang pernah berada di kerajaan Aceh. Selama di Aceh ia berhasil
menyusun sejumlah karya penting mengenai agama Islam, baik dalam
bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu Klasik. Di antaranya ialah Syirat
al-Mustaqim, Fath al-Mubin ala al-Mulhidin, Kifayat ash-Shalah. Karya sastra
yang berhasil ia himpun adalah Bustan as-Salatin merupakan karya besar.
Karya sastra yang disusun pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) ini,
merupakan kitab yang mengandung nilai-nilai keagamaan, juga mempunyai
nilai-nilai sejarah, khususnya mengenai sejarah kerajaan Aceh.
Pada masa kekuasaan Taj al-Alam Syafiatuddin (1641-1675), di istana
Aceh pernah terdapat seorang ulama dan pujangga, yakni Syeikh Abdurrauf
Sinkel, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Di antara
Kitab ini mempunyai nilai-nilai keagamaan dan merupakan buku

pedoman untuk para Raja yang sedang memegang pemerintahan. Pada masa
itu, karya agung ini pengaruhnya sangat besar diKepulauan Nusantara hingga
abad ke-19, dan banyak digunakan di kalangan warga Kraton-Kraton diJawa
Tengah dan Semenanjung Tanah Melayu.
3

4

karya-karyanya adalah Mir'at alTullab fi Tahshil Ma'rifah Ahkam a-Syar'iyyah li
al-Malik al-Wahhab (1663), Umdah al-Muhtajin, Kifayah al-Muhtajin, Hujjah ala
Jum'ah alMukhasanah.
Jika peranan strategis yang pernah dimiliki bahkan berhasil
dipentaskan oleh Aceh tempo doeloe itu tidak cukup dikaji, disimak
melainkan lebih untuk dimengerti peran-peran sosial, politik, ekonomi, dan
budaya dari kelampauannya, bukan tidak mungkin "Renaisans Islam
Indonesia" akan terwujud. Persoalannya adalah, sudah siapkah Sumber Daya
yang kita miliki untuk melakukan semacam terobosan untuk mencari pilihan
strategis membendung arus kemerosotan minat akan ilmu pengetahuan,
filsafat, dan pencarian intelektual, yang berlangsung sejak abad XVIII Masehi,
dan konon nyaris padam, dapat ditanggulangi ? Seberapa jauh wacana

intelektual dalam varian keilmuan sebagai wujud aktivitas pengembangan
dan karakteristik keintelektualan yang pernah kita capai hingga melahirkan
tokoh-tokoh semacam Abdurrauf as-Sinkel, Nuruddin ar-Raniri, dan
tokoh-tokoh yang sezamannya ?
e. Dengan simpatik, ternyata penulis melalui karya monumental ini yang
kita bedah pada hari ini secara konsisten dan kronologis mengungkap bahwa
signifikansi ulama Jawi dalam pembaharuan Islam di Nusantara bisa dilihat
bukan hanya dari aktivisme mereka dalam penulisan kitab-kitab atau
risalah-risalah keagamaan, melainkan juga dari keterlibatan mereka di
institusi-institusi sosial keagamaan dan pendidikan ummat (Azra, 1999:153),
melalui dayah, surau, dan pesantren, mereka mentransmisikan gagasan dan
praktek keagamaan yang mereka terima di Haramayn kepada generasi baru
Muslim. Setidaknya dengan lahirnya sejumlah 'dayah'4, "pesantren', 'pondok',
'surau', dan semisalnya menunjukkan bahwa proses belajar mengenali dan
memahami tentang Islam telah diajarkan melalui pendidikan yang diajarkan
dan di bawah pengelolaan atau bimbingan seorang guru, ustadz, teungku,
ulama, ajengan, kyai, dan sebagainya. Tempat-tempat pendidikan tersebut
biasanya didirikan di dekat masjid atau rumah guru, pelajaran yang
diberikan di antaranya : baca-tulis Arab.


Untuk kalangan masyarakat Aceh, masyarakat Ulama dibagi dalam
beberapa tingkat : Teungku Meunasah, Teungku di Rangkang, Teungku di
Balee, Teungku Chik.
4

5

Jalur pendidikan dayah, surau, pesantren sebagai asset ummat
sedemikian, menarik untuk disimak bukan hanya dari upaya mengemban
satu tujuan yang fundamental yaitu tujuan "da'wah Islamiyah", melainkan
dalam aspek proses hingga terbentuknya satu jaringan yang luas di kalangan
mereka5. Jaringan semacam ini berfungsi untuk pertukaran santri, pelayanan
keagamaan, informasi mengenai kecenderungan sosial pemerintahan, serta
untuk melindungi sikap ortodoksi Islam. Dan kini saatnya kita sharing
pendapat di seputar persoalan pilihan strategi macam apa dan dalam
suasana bagaimana jaringan-jaringan itu berhasil dilahirkan dan
dipertahankan ?
Kehadiran dayah, surau, pesantren yang didukung oleh para tokoh
kharismatis ajengan, kyai, tuan guru, teungku, juga telah berhasil bukan
sekedar memperkenalkan bahkan menciptakan kondisi berlasungnya tulisan

Arab sebagai tradisi komunikasi di berbagai wilayah multi-etnis. Secara
historis, tidak diketahui secara persis kapan aksara (huruf) Arab kian gencar
dipakai di berbagai bahasa daerah di seantero Nusantara, terutama Melayu
dan Jawa. Sejumlah ahli, sementara itu hanya bisa mengatakan, hal itu terjadi
seiring dengan sosialisasi Islam di wilayah Nusantara. Dan sejak kapan Islam
terserap di varian wilayah Nusantara ini, juga masih menjadi pembicaraan
hangat, meski bisa dipastikan antara abad ke-7 dengan berpedoman pada
berita aksara Arab yang terukir pada nisan makam Fatimah binti Maimun,
yang wafat tahun 1080 Masehi; sampai abad ke-13.
Hasil yang dapat kita tatap di seantero Nusantara adalah corak dan
istilah penamaan tulisan Arab yang telah beradaptasi dengan variasi bahasa
dan kegunaannya di daerah-daerah, maka lahirlah aksara Arab dalam
wilayah budaya masyarakatnya, misalnya di wilayah budaya Melayu,
dikenal dengan aksara Jawi, di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda lahir
istilah aksara Pegon6, di kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan istilah

Berbeda dengan Ulama Islam Syiah (Algar, 1969; Blinder, 1965),
Ulama Sunni di Indonesia tidak mempunyai organisasi ulama yang bersatu.
Kebanyakan Ulama di Indonesia adalah orang-orang swasta, masing-masing
melakukan tugas di lingkungan yang terbatas (Horikoshi, 1987).

6
Sebutan kata "pegon" berasal dari kata "pegu", kemudian mengalami
nasalisasi menjagi "pegoan" dan "pegon" yang berarti "cara melafazkan yang
5

6

Jawoe, dan sebagainya. Umumnya, pendekatan untuk pengenalan huruf Arab
dengan kaidah Baghdadiyyah, secara estafet pengajaran dilanjutkan secara
langsung kepada bacaan Juz Amma (dengan cara hafalan atau cukup bacaan),
kemudian berpindah ke surat-surat alQur'an yang panjang, dimulai dari
surah al-Baqarah hingga khatam (selesai). Untuk jenjang pengenalan ajaran
Islam yang lebih tinggi diberikan pengajaran dari berbagai kitab, pada masa
itu lebih berorientasi kepada keahlian yang dimiliki oleh para guru atau kyai.
Misalnya untuk kajian tentang hukum Islam akan dipelajari melalui kitab,
antara lain : Miftah al-Jannah, Shirat, Sabilal al-Muhtadin, Bidayah, Kitab Delapan
dan Majmu'; Matan Taqrib, Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Tahrir, Iqna', Fath
al-Wahhab, Mahally, Tuhfan wa al-Nihayah. Adapun mengenai ilmu alat, akan
diberikan pelajaran tentang Sharaf (perubahan kata dalam bahasa Arab),
kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab Ajrumiyyah, dilanjutkan
Mukhtashar, Mutammimah, dan terakhir dengan Alfiyah bersama Syarahnya.
Untuk di beberapa wilayah/daerah, pelajaran Nahwu merupakan pokok dan
wajib dipelajari sebelum membuka/ mempelajari kitab-kitab (fikih, tafsir
al-Quran, hukum, tasawwuf, dan sebagainya). Sebab seluruh kitab tersebut
ditulis dengan bahasa dan huruf Arab.
Selain diajarkan tafsir al-Quran dan Hadist, para santri juga diberikan
pelajaran Balaghah, yang mencakup di dalamnya ilmu ma'ani, ilmu bayan,
dan ilmu badi'; Majmu' Khams al-Rasail, Jawahir al-Maknun. Tasawwuf ,
akan diberikan pelajaran melalui kitab, antara lain Ihya Ulumiddin, Tanbih
al-Ghafiqin. Demikian pula pelajaran tentang Logika (ilm al-Manthiq),
dengan cara mempelajari dari kitab a.l. Matan al-Sullam, Idhahul Mubham.
Untuk kalangan ahli di bidang Tauhid, guru akan memberikan pelajarannya
dengan mempelajari kitab : Matan as-Sanusi, Kifayah al-Awam dan Hudhudi,
ad-Dasuqi. Perihal Ushul al-Fiqh, akan diperoleh melalui kitab a.l. Jam'u
al-Jawami', al-Waraqat, Lathaif Isyarah, Ghayah al-Usul. Melalui upaya yang
diliputi suasana kejujuran dan keikhlasan itu, mereka telah menunjukkan
hasil nyata.

tidak tepat". Namun ditemui pula daerah yang bernama Pegu di Persia yang
memang banyak mempengaruhi aksara Arab.
7

Demikian, mudah-mudahan karya tulis yang sedang kita kaji bersama ini
sudah tentu diharapkan dapat memberi jawaban atas permasalahan aktual
yang tengah berlangsung. Terima kasih dan permohonan maaf atas segala
kekurangan dalam penyampaian pembahasan ini.
Pamungkas kata, mudah-mudahan acara "Bedah Buku" yang akan
selalu diprogramkan oleh Bait al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta suatu
langkah positif untuk menimba pengalaman dan pencarian solusi ke arah
"membangkitkan semangat intelektual ummat", amien.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alfian,T.Ibrahim, "Wadjah Rakjat Atjeh Dalam Lintasan Sedjarah",
dalam Dewan Bahasa ,jilid xvi,Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan
Pustaka;
------------, (1972), Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan Di Aceh,
-------------, et al., 1983/1984; Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Daerah Sumatera Selatan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjend Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta;
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib,1990; Islam Dalam Sejarah Dan
Kebudayaan Melayu, (Terj.), edisi-4, Mizan, Bandung;
------------,1966; "Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century",
dalam Monographs of the Malaysia Branch Royal Asiatic Society , nomor 111,
singapore, Malaysia Printed Ltd.
Algar, Hamid, 1969, Religion and State in Iran: the Role of the Ulama in the Qajar
Period, Berkely, University of California Press.
Binder, Leonard, 1965, The Proofs of Islam: Religion and Politics in Iran, In Arabic and
Islamic Studies in Honor of Hamilton A.R.Sibb, Al-Maqdisi-Juy,
ed.,Cambridge, Harvard University Press.
Drewes, G.W.J., 1977; Directions for Traveller on the Mystic
8

Path , The Hague;

Al-Falembani, Syeikh Abd al-Samad al-Jawi, 1953; Sair al-Salikin, cetakan ke-3,
Kairo;
Halidi, Yusuf,1980; Ulama Besar Kalimantan Muhammad Arsyad al-Banjari ,
Banjarmasin;
Hamidi, UU., 1977; "Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh", dalam
Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, dalam Alfian, (ed.), LP3ES, Jakarta;
Hamka, 1981, Sejarah Ummat Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Hasjmy, Ali,1971; Hikajat Perang Sabi Mendjiwai Perang Atjeh Lawan
Banda Aceh, Firma Faraby;
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kyai dan Perubahan Sosial, (terj.), P3M, Jakarta;
Mansour, M.D., et al., 1970; Sejarah Minangkabau, Bhratara,

9

Jakarta;

Belanda,