Perbedaan ekspresi interleukin-10 (il-10) pada karsinoma nasofaring who tipe 3 stadium iii dan stadium iv Jurnal in indo

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

PERBEDAAN EKSPRESI INTERLEUKIN 10 (IL-10) PADA KARSINOMA
NASOFARING WHO TIPE 3 STADIUM III DAN STADIUM IV

Dian Eka Mulyati, Made Setiamika, Ambar Mudigdo
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Biomedik Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK
Latar Belakang : Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan bentuk tumor yang
berkaitan dengan infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Interleukin-10 merupakan
suatu modulator sel limfoid penting dan sekuennya bersifat homolog terhadap
open reading frame dari genom EBV.
Tujuan : Untuk menganalisis perbedaan antara ekspresi interleukin 10 (IL-10)
pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain
cross sectional di Departemen THT-KL FK UNS/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Sampel diambil secara consecutive sampling mulai Maret 2014 sampai Agustus

2014. Peneliti menganalisis perbedaan ekspresi IL-10 menggunakan imunohiskomia
pada KNF WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV. Uji beda secara statistik
dilakukan dengan mann-whitney test
Hasil : Dari 24 subjek penelitian didapatkan 12 penderita stadium III dan 12
penderita dengan stadium IV. Dari kedua kelompok ini didapatkan perbedaan tidak
bermakna pada variabel umur dan jenis kelamin. Dari kedua kelompok ini dianalisis
perbedaan ekspresi IL-10 pada kedua stadium didapatkan hasil yang bermakna ini
bisa diartikan bahwa ada perbedaaan ekspresi IL-10 pada stadium III dan stadium
IV. .
Kesimpulan : Terdapat perbedaan ekspresi IL-10 pada stadium III dan stadium IV
dimana ekspresi stadium IV lebih tinggi dibanding stadium III
Kata Kunci : Interleukin 10, karsinoma nasofaring, imunohistokimia
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan pada epitel nasofaring
yang sulit dideteksi secara dini karena letak keganasan awalnya yang
tersembunyi. Hal ini menjadi masalah besar karena prognosis penderita KNF
commit to user

1


2
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

sangat bergantung pada stadium klinis saat dilakukan diagnosis, dimana lebih dari
80% keberhasilan terapi terjadi pada stadium awal (stadium I–II) dan bila
penderita didiagnosis pada stadium lanjut (stadium III–IV), angka keberhasilan
kurang dari 40% (Soewito, 2011). Tumor ini memiliki insidensi sebesar 95% pada
keganasan nasofaring dewasa dan 20-35% pada pasien anak (Fujieda et al.,1996).
Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu: Tipe 1.
Karsinoma sel skuamosa keratinisasi, tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa
keratinisasi, tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi. Penentuan stadium dilakukan
berdasarkan atas kesepakatan antara Union Internationale Contre Cancer (UICC)
dan American Joint Committee on Cancer (AJCC) pada tahun 1986. Pembagian
TNM untuk KNF sesuai dengan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC seperti yang
dikutip oleh Wei (2006) dan Mulyarjo (2003). ). Gambaran patologi anatomi
terbanyak adalah jenis undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa
berkeratin 14% (Huang et al., 1999).
Faktor yang diduga sebagai predisposisinya adalah ras (Asian/Mongoloid),

EBV (Epstein Barr Virus) (Allen, 2005; Hartati, 2005; Anderson, 2007). Di
Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 diantara 100.000 penduduk
pertahun (Roezin, 2003; Tan, 2010). Karsinoma nasofaring dapat mengenai semua
usia. Insiden puncak terjadi pada 40 - 50 tahun, lebih sering pada laki-laki
dibanding perempuan dengan rasio 3,5 : 2 (ICMR Bulletin, 2003; Wei, 2006 ). Di
RSUD Moewardi angka prevalensi KNF selama tahun 2008-2009 KNF
Undifferentiated sebesar 89,1% (Sari, 2010).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

3
digilib.uns.ac.id

Etiologi penyakit karsinoma nasofaring cukup kompleks salah satunya
Infeksi Epstein Barr Virus (EBV). Berbagai penelitian akhir-akhir ini telah
membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF (Huang et al., 1999).
Hubungan antara EBV dengan karsinoma nasofaring telah berhasil diteliti,
pertama kali hubungan tersebut terungkap dengan adanya deteksi kadar antibodi

anti-EBV yang tinggi dalam serum pasien dengan karsinoma nasofaring (Fujieda
et al.,1996).
Epstein Barr Virus (EBV) memproduksi suatu produk onkogen yaitu

sebuah open reading frame dalam genom EBV, yang bernama Bam HI C
Fragmen rightward ReadingFrame (BCRF-1) atau dikenal dengan nama viral

interleukin 10 (vIL-10) menunjukkan homologi sekuen yang luas dengan IL-10
yang berfungsi untuk menghambat sistem imun agar EBV masuk ke limfosit B
tanpa di ketahui oleh CD8+ atau Cytotoxic Lymphosit (CTL) dan EBV sukses
masuk ke limfosit B sehingga terjadi supresi dari limfosit T.
Tidak adanya respon imun, EBV bisa berada pada fase laten dengan
sukses sampai dengan fase laten akhir pada limfosit B dan memproduksi partikel
EBV tanpa halangan sehingga akan menyebabkan terjadinya proses keganasan
pada epitel orofaring (Budiani et al.,2002) karena tidak adanya CD8+ atau CTL
yang bertugas untuk melakukan sitotoksisitas terhadap sel target tersebut maka
tidak akan terjadi apoptosis melalui jalur granzyme dan perforin (Grenberg, 2001;
Abbas et al., 2007).
Tumor escape adalah mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap


respon imun yang bisa diakibatkan oleh penurunan MHC1 sehingga kurang
commit to user

4
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

dikenal oleh CTL (Abbas, 2007). Disamping itu EBV dapat memproduksi virus
interleukin 10 (vIL-10) yang homolog dengan interleukin 10 yang dapat
menghambat makrofag dan CTL atau CD8+ (Kim et al., 2006; Urosevic, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah ada perbedaan antara ekspresi
interleukin 10 (IL-10) pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan
stadium IV. Penelitian ini diharapkan akan berguna untuk pengembangan peranan
sistem imun terhadap paparan Epstain Barr Virus. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis perbedaan antara ekspresi interleukin 10 (IL-10) pada karsinoma
nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV.
Bahan Dan Metode
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional analitik dengan desain
penelitian Cross-sectional
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat ke
poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Sampel penelitian adalah
penderita KNF WHO tipe 3 sebanyak 24 sampel yang dimana 12 sampel stadium
III dan 12 sampel stadium IV telah memenuhi kriteria inklusi yaitu bersedia
menjadi subyek penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan setelah
mendapat penjelasan (informed consent).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

5
digilib.uns.ac.id

Pengumpulan Data
Preparat dengan hasil bacaan histopatologi KNF WHO tipe 3

(Undifferentiated) dilakukan pemotongan pada blok parafin setebal 4 mikron.

Hasil masing-masing kelompok blok parafin dipotong menjadi 1 slide dan
digunakan untuk pemeriksaan ekspresi interleukin 10 (IL-10)
Analisis data
Pada ekspresi interleukin 10 (IL-10) akan diuji distribusinya dengan
Shapiro-Wilk tes jika hasilnya terdistribusi normal maka selanjutnya di analisis
dengan menggunakan uji t, jika tidak terdistribusi normal akan di analisis
menggunakan Mann Whitney test.
Hasil Penelitian
Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami stadium III KNF
WHO Tipe 3, kelompok umur terbanyak dari 12 sampel berumur 61 – 70 tahun
Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami stadium IV KNF WHO
Tipe 3, dari 12 pasien terdapat kelompok umur terbanyak dari 12 sampel berumur
asing-masing berumur 41 – 50 tahun dan 51 – 60 tahun, Uji beda distribusi umur
antara kedua kelompok sampel secara statistik dinyatakan tidak signifikan (p =
0,273 > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat homogenitas
umur antara kedua kelompok sampel sehingga efek perancu dari karakteristik
umur terhadap ekspresi interleukin 10 dalam penelitian ini (kalaupun ada) dapat
dinyatakan terkontrol. Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami

stadium III KNF WHO Tipe 3, dari 12 sampel jenis kelamin terbanyak 11 orang
(91,7%) laki-laki dan pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami
commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

6
digilib.uns.ac.id

stadium IV KNF WHO Tipe 3, dari 12 sampel jenis kelamin terbanyak 8 orang
(66,7%) laki-laki. Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami stadium
III KNF WHO Tipe 3, dari 12 pasien terdapat 9 orang (75,0%) yang memiliki
ekspresi interleukin 10 dengan kategori positif lemah dan 3 orang (25,0%) yang
memiliki ekspresi interleukin 10 dengan kategori positif sedang. Pada kelompok
sampel yang dikategorikan mengalami stadium IV KNF WHO Tipe 3, dari 12
pasien terdapat 4 orang (33,3%) yang memiliki ekspresi interleukin 10 dengan
kategori positif lemah, 7 orang (58,3%) yang memiliki ekspresi interleukin 10
dengan kategori positif sedang, dan 1 orang (8,3%) yang memiliki ekspresi
interleukin 10 dengan kategori positif kuat. Secara deskriptif ekspresi interleukin
10 pada pasien dengan stadium IV lebih kuat dibandingkan pada pasien dengan

stadium III. Uji beda ekspresi interleukin 10 antara kedua kelompok sampel
secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,038 < 0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan ekspresi interleukin 10 yang signifikan
antara kedua kelompok sampel, di mana ekspresi interleukin 10 pada pasien KNF
WHO Tipe 3 stadium IV lebih kuat dibandingkan interleukin 10 pada pasien KNF
WHO Tipe 3 stadium III.
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada 24 sampel penderita KNF WHO tipe 3
dengan kelompok usia terbanyak pada stadium III adalah 61 – 70 tahun yaitu
sebanyak 5 orang (41,7%) sedangkan penderita KNF WHO tipe 3 dengan
kelompok usia terbanyak pada stadium IV usia 41-50 tahun dan 61 – 70 tahun
yaitu masing-masing sebanyak 5 orang (41,7%). Rentang usia penderita terbanyak
commit to user

7
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

pada stadium III dan IV adalah usia 51-60 tahun yaitu 9 orang. Hal ini sesuai

dengan laporan Lasniroha (2008) di poli Onkologi THT–KL RSUD Dr. Moewardi
Surakarta yang mendapatkan usia terbanyak pada dekade 4 dan 5 dan penelitian
Mulyarjo (2002) dipoli Onkologi THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya tahun
2000-2001 didapatkan kelompok usia terbanyak pada dekade ke 5.
Pada penelitan ini didapatkan sebagian besar adalah pasien laki-laki 11
orang (91,7%) stadium III dan 8 orang (66,7%) stadium IV. Distribusi jenis
kelamin pasien laki-laki sebanyak 19 orang (79,1%) selebihnya sebanyak 5 orang
(20,9%) adalah pasien perempuan atau 3,7:1 Hasil ini tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian lain seperti pada penelitian Mulyarjo (2002) terhadap penderita
KNF selama tahun 2000-2001 yang mendapatkan angka perbandingan laki-laki
dan perempuan 2:1 dan penelitian Lasniroha (2008) yaitu 2,4:1, dan 2,6 : 1 oleh
Kuhuwael (2001), dan 1,4 : 1 oleh Soewito (2009) 3,25 :1 oleh Bastiana (2012).
Prosentase lebih tinggi laki-laki daripada perempuan kemungkinan karena
laki-laki lebih sering terpapar faktor- faktor resiko karsinoma seperti polusi udara
dan iritasi kronis pada mukosa nasofaring. Laki-laki juga lebih banyak yang
merokok dibandingkan perempuan.
Dari data didapatkan bahwa sebagian besar penderita KNF WHO tipe 3
yang datang berobat ke RSUD Dr.Moewardi Surakarta sudah dalam kondisi
stadium lanjut (Stadium III dan IV). Hal ini sesuai dengan penelitian Mulyarjo
(2002) pada penelitian di Poli Onkologi THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya

tahun 2000-2001 dan penelitian Lasniroha (2008) di Poli Onkologi RSUD

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

8
digilib.uns.ac.id

Dr.Moewardi Surakarta, didapatkam sebagian besar penderita KNF datang sudah
dalam stadium lanjut sebanyak 87%.
Penelitian tentang perbedaan antara ekspresi interleukin 10 pada
karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV dapat dilihat pada
tabel 4.2. (halaman 44) terlihat persamaan jumlah populasi sampel yang terdeteksi
IL-10 yaitu 12 stadium III dan 12 pada stadium IV dengan pengecatan
imunohistokima menunjukkan bahwa dapat mewakili hasil ekspresi dari masingmasing stadium.
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa distribusi kategori ekspresi interleukin
10 cukup jelas tidak merata dan berbeda antara kedua kelompok sampel. Secara
deskriptif ekspresi interleukin 10 pada pasien dengan stadium IV lebih kuat
dibandingkan pada pasien dengan stadium III. Uji beda ekspresi interleukin 10
antara kedua kelompok sampel secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,038 <
0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi
patologi dan stadium klinis pada KNF WHO tipe 3, peningkatan jumlah sel positif
IL-10 menunjukkan progresifitas KNF WHO tipe 3 karena semakin tinggi
stadium maka terjadi peningkatan ekspresi dari interleukin 10. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya Fujieda (1999) yaitu Skor IL-10 pada pasien
dengan stadium IV bernilai lebih tinggi dibanding dengan pasien dengan stadium
II atau III. Pasien dengan karsinoma nasofaring yang mengekspresikan IL-10
lebih kuat, memiliki stadium yang lebih buruk yaitu jika dibandingkan dengan
yang stadium III. Sehingga Ekspresi IL-10 dapat merupakan indikator prognostik
independen yang paling signifikan untuk menilai keseluruhan tingkat survival
commit to user

9
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

pada pasien dengan karsinoma nasofaring . Hasil tersebut mendukung penelitian
sebelumnya dari Yao (1997) yang menunjukkan bahwa peningkatan IL-10 dan
kadar protein pada jaringan KNF.
Interleukin 10 (IL-10) menghambat fungsi imunologis pada pasien
kanker. IL-10 yang dikeluarkan dari tumor solid menghambat aktivasi sel T dan
respon imun lokal yang diperantarai sel T, sehingga mencegah antigen presenting
cell untuk memperoleh akses terhadap antigen tumor, dan akan menghambat

fagositosis

dari

jaringan

makrofag

dengan

cara

menurunkan

sintesis

metalloprotease. Sekresi IL-10 lokal dapat menghambat penolakan lokal dari sel
imunogenik tumor baik pada konteks singenik dan allogenik.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Terdapat perbedaan ekspresi interleukin 10 ( IL-10) pada KNF WHO tipe
3 antara stadium III dan stadium IV dimana ekspresi pada stadium IV lebih tinggi
dibandingkan stadium III. Penelitian

ini menunjukkan bahwa ekspresi IL-10

meningkat pada pasien dengan KNF WHO tipe 3 pada stadium IV, mengesankan
bahwa ekspresi IL-10 memiliki peranan yang sangat penting pada perkembangan
KNF.
Saran
Pemeriksaan ekspresi IL-10 perlu dipikirkan untuk dapat digunakan
sebagai imunodetektor prognosis pada penderita KNF WHO tipe 3.

commit to user

10
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, AK., Litchman, AH., 2007, Immunity to Tumor in : Celluler and
Molecular Immunology, ed. 7th , Philadelphia, WB Saunders, p : 397 – 439.
Allen,M.D., Young,L.S., and Dawson, C.W., 2005, The Epstein-Barr Viral
Encoded LMP2-A and LMP2-B Protein Promote Epitelial Cell Spreading
and Motility. J. Virol. 79:1789-1802
Anderson,M., Forsby,N., Klein, G.,Henle, W., 2007, Relationship between the
Epstein-Barr Viral and Undifferential Nasopharyngeal Carcinoma:
Corelated nucleic acid hybridation and histopatological examination. Int.J.
Cancer 20: 486-494.
Bambang,S.S,1988. Karsinoma Nasofaring, dalam Cermin Dunia Kedokteran,
vol.9,36-8
Baratawidjaja KG. 2004; Imunologi dasar. Edisi VI. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;
p.219-32
Bosnan, F.T., 1996, Aspek-aspek Fundamental Kanker, dalam Onkologi, Ed
Vande Velde, Bosman,Wagener, hal 3-35.
Budiani D, Hutahaen S, Haryana SM, Soesatyo M, Soroseno W, 2002, interleukin
10 levels in Epstein Barr Virus associated nasopharyngeal carcinoma,
Microbiol Immunol Infec, June 22 p :268-265
Budiani,DR, Retnaningsih D, Mujahid A, Wijayanti Y, Mudigdo , 2006,
Expresion of LMP1 in Javanese Colon Carcinoma Patient with Duke’s
Classification system; Indicated the Association of EBV Infection in
Colon Malignancy. Kongres Nasional XV Perhimpunan DOkter Spesialis
Patologi Indonesia. Clinicopathologic Parameters in Ductal Carcinoma in
situ of the Breast, Oncology Report; 1081-1086
Brennan, B., 2006, ‘Nasopharyngeal Carcinoma’ Annual Oncology 13, p ;100715
Chan J.K.C,2005, Nashopharyngeal Carcinoma. In: Patology & Genetics Head
and Neck Tumour. WHO Classification of Tumours, edited by Leon
Barnes et al, IARC Press. 85-87.
Chien YC, Chen JY, Liu MY, Yang HI, Hsu MM, Chen CJ, Yang CS, 2003,
Serology Markesr of EBV Infection and Nasopharyngeal Carcinoma in
Taiwanese men, N Engl J Med; 345: 1877-82
Fujieda S,Saxon A, Zsang K, 1996, Direct evidence that yi and y3 swithing in
human B cells is interleukin 10 dependent. Mol Immunol ;33:1335-3

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

11
digilib.uns.ac.id

Gulley, M.L., 2000, ‘Molecular Diagnostic of Epstein-Barr Viral Related Disease’
Jurnal of Moleculer Diagnosis, vol 3, No 1, p:1-10.
Grenberg PD. 2001; Mechanisme of tumor immunology. In: Parslow TG, Stites
DP, Terr AI, Imbonden JB, editor. Medical Immunology. 7th edition.
Singapore:McGraw-Hill; .p.568-76
Hata A, Shi Y, Massague J. 1998; TGF-b signaling and cancer: structural and
functional consequences of mutation in Smad. Mol Med Today ; 257-74
Hartati,E.D., 2005, Perbedaan Skor Histologi Ekspresi Protein EBNA 1 danLMP
1 pada Karsinoma Sel Transisional Kandung Kemih Berdifensiasi Baik
dan Buruk, Skripsi Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran UNS,
Surakarta, p.26-33.
Huang, D.P., 1999, Aetiology Faktor and Pathogenesis in Nasopharyngeal
Carcinoma, Ed Gibb, V.H, Hongkong, p.31-51
Kim HS,Kim JS, Park JT,2006. The Association Between CD 99 and LMP1
Expresion in Nasopharyngeal Carcinoma, Exp.Oncol;28(1),:40-43
Kitagawa N, Goto M, Korozumi K, Maruo S, Fukayama M, Naoe T, Yasukawa
M, Hino K, Suzuki T, Todo S, Takada K, 2000, Epstein Barr Virus
encoded poly (A) (-) RNA supports Burkitt’s lymphoma growth through
interleukin 10 induction, EMBO J;19:6742-50
Kentjono WA, 2001, Perkembangan
Terkini Penatalaksanaan Karsinoma
Nasofaring Naskah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher, FK UNAIR,
Jakarta
Kentjono WA, 2003; Peran imunologi pada kanker nasofaring dan aplikasinya.
Majalah Kedokteran Tropis Indonesia ; 14(1):123-1
Korcum AF, Ozyar E, Ayhan A, 2006, Epstein Barr Virus Genes and
Nasopharyngeal Cancer, Turkish Journal of Cancer;36(3):97-103
Kresno SB, 2001, Immunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI
2001;ed.4: p7-12.
Lasniroha Y, 2006, Hubungan antara ekspresi LMP I dengan tingkat Ekspresi p53
Mutan pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated, Fakultas
Kedokteran UNS, Surakarta.
Lee N, Chan K, 2008 Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd
ed. McGraw-Hill Co, Inc. commit
p 362-6.to user

12
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

Lin,H.S., 2003, Malignant Nasopharyngeal Faktors,
http://www.emedicine,com/ent/tropic 269 html

emedicine

journal,

Maa J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, 2007, Retropharyngeal Lymphonode
Metastasis in Nasopharyngeal Carcinoma Prognostic Value and Staging
Categories Clin Cancer Res; 13(5):1445-52
Macswee,K.F., Crawford, D.H., 2003, Epstein Barr Viral Recent Advances, The
Lancet Infection Disease, vol 3, p.131-140.
Middledrop JM, 2003, Human Herpesviridae 4 (HHV-4) Epstein Barr Virus
(EBV) Crit Rev Oncol Hematol; 45(1) 1-36
Mulyarjo, Diagnosis dan Pnatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tumor Ganas, THT-KL, Surabaya; FK UNAIR; 2003,
hal 38-47
Neel

HB III,1998,Nasopharyngeal carcinoma:
management. Oncology 6:87-95.

diagnosis,

staging,

and

Roezin A,1995, Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan
Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia,pp.27488
Roezin, A., Syafril, A., 2003, `Karsinoma Nasofaring`, dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, ed. Ke 5, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, hal.146-150.
Sampsize,2013, http://sampsize.sourceforge.net/cgi-bin/s2.cgi
Sari A.K, 2010, Gambaran Kejadian Karsinoma Nasofaring Tahun 2007 – 2009
Di RSUD Dr Moewardi Surakarta, Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.
Skinner DW, Haselt CA, TsaoSY, 1991, Nasopharingeal Carcinoma modes od
presentation, in Ann Otol Rhinol Laryngol, no.100, 544-51
Sudigdo SA, Ismael S, 2002, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed.2,
Sagung Seto, Gramedia, Jakarta, hal :37
Soetjipto D, 1993, Karsinoma Nasofaring:Mungkinkah Melakukan Diagnosis
Dini?, dalam Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI, Bukittinggi, 284297
Soewito MY, Kadir A, Savitri E, Bahar B., 2011, Respons antibodi IgA terhadap
Epstein-Barr virus (EBV) pada keluarga penderita kanker nasofaring.
to user
Perhati.
[cited
2011commit
November
26].
Available
from:

13
digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

http://www.perhati.org/wpcontent/uploads/2011/11/Respons-antibodi-IgAdr.pd
Tan IB., 2010, Treatment of Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia; Looking
into The Mirror, Makalah Nasional Kongres PERHATI-KL XV, Makasar.
Witte MC, Neel HB, 2008, Nasopharyngeal Cancer In : Johnson JT,Rassekh
Creds, Bailey B, Head and Neck Surgery Otolaryngology second ed.
Lippincott Raven Philadelphia,New York,p.1637-53
Wei I William, 2006 ‘Nasopharyngeal Camcer, in Calhoum KH, Healy G.B,
Jhonson J.T, Jackler
R.K, Pilbury H, Trady M.E editors Bailey B.J
Head and Neck Surgery - Ottolaryngology,
4nd , Philadelphia,
Lippicot Wiliam & Walkins, p : 1650 – 1672.
Xu J, 2000, Analysis and Significance of Latent Menbran Protein 1 Antibodies in
the Sera of Patient with EBV Asscociated Diseases, The Immunology
Journal, Denver ,p.2015-2022
Zheng, H., Li, L.,Hu, D., 2007., Role of Epstein Barr virus encoded latent
membrane protein 1 in the cacinogenesis of nasopharyngeal carcinoma,
Cellular & Molecular Immunology, Cina, vol : 4, No: 3,p 185 – 192.

commit to user