TESIS Fitri Sholihati S.500109020

(1)

i

PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH F ACTOR (VEGF ) PADA KARSINOMA

NASOFARING WHO TIPE 3 STADIUM III DAN IV

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama: Ilmu Biomedik

Oleh : Fitri Sholihati

S.500109020

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2014


(2)

ii

PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH F ACTOR PADA KARSINOMA

NASOFARING WHO TIPE 3 STADIUM III DAN IV

Disusun oleh: Fitri Sholihati S.500109020

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda

Tangan Tanggal

Pembimbing I dr. Made Setiamika, Sp THT-KL (K) ... ...2014

NIP. 19550727 198312 1 002

Pembimbing II Prof. Dr. dr. Ambar Mudigdo, Sp.PA (K) ... ...2014 NIP. 19490317 197609 1 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal...2014

Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Dr. H. Hari Wujoso, dr., Sp.F., M.M. NIP 196210221995031 001


(3)

iii

PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH F ACTOR PADA KARSINOMA

NASOFARING WHO TIPE 3 STADIUM III DAN IV

TESIS Disusun oleh: Fitri Sholihati S.500109020 Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Dr. H. Hari Wujoso, dr., Sp.F., M.M. ………. ………2014 NIP 19621022 199503 1 001

Sekretaris Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., SpA ………. ………2014 NIP 19441226 197310 1 001

Anggota dr. Made Setiamika, Sp THT-KL (K) ... ...2014 Penguji NIP. 19550727 198312 1 002

Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp.PA (K) ... ...2014 NIP. 19490317 197609 1 001

Telah dipertahankan di depan penguji

Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal ……….2014 Direktur Program Pascasarjana UNS Ketua Program Studi

Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S Dr. H. Hari Wujoso, dr., Sp.F., M.M. NIP 19610717 19861 1 001 NIP 19621022 199503 1 001


(4)

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, peneliti : Nama : Fitri Sholihati

NIM : S.500109020

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Perbedaan Ekspresi Vascular Endothelial Growth F actor pada Karsinoma Nasofaring WHO Tipe 3 Stadium III dan IV” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, September 2014 Yang Membuat Pernyataan

Fitri Sholihati


(5)

v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

Nama : dr. Fitri Sholihati

NIM : S.500109020

Tempat/Tanggal Lahir : Karanganyar, 7 Oktober 1975

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Bustanul Atfal – Karanganyar : Tahun 1980 - 1982 2. MI Sroyo – Karanganyar : Tahun 1982 - 1988 3. SMP Al Islam 1 – Surakarta : Tahun 1988 - 1991 4. SMA Al Islam 1 – Surakarta : Tahun 1991 - 1994 5. FK UNS – Surakarta : Tahun 1994 - 2000 6. PPDS I IK THT-KL FK UNS Surakarta : Januari 2009 -

sekarang

7. Magister Kedokteran Keluarga Minat Biomedik

Pascasarjana UNS : Januari 2009 –

sekarang


(6)

vi C. RIWAYAT KELUARGA

1. Nama Orangtua : H. Drs Soepadmo Hj. Amrin Salami 2. Nama Suami : Eko Budi Santoso, SE 3. Nama Anak : 1. Amira Nabila Sholihati

2. Naufal Fakhri Santoso

D. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter PTT Puskesmas Kedawung kabupaten Sragen, Jateng

Tahun 2000-2001 2. Dokter PTT Puskesmas Bendosari kabupaten Sukoharjo,

Jateng

Tahun 2002-2003


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya Tesis ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD dr. Moewardi Surakarta dan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret.

Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Dr. Made Setiamika, SpTHT-KL (K), selaku pembimbing kesatu dan selaku Kepala Bagian/SMF THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, bimbingan pada penelitian ini.

2. Prof. Dr. dr. Ambar Mudigdo, Sp.PA (K) selaku pembimbing kedua yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, bimbingan pada penelitian ini.

3. Dr. Vicky Eko N.H., MSc, SpTHT-KL selaku Sekretaris Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas


(8)

viii

Maret yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan dan bimbingan pada penelitian ini.

4. Dr. Sarwastuti Hendradewi, SpTHT-KL,Msi.Med, selaku Ketua Program Studi Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membimbing dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini.

5. dr. Hadi Sudrajad, SpTHT-KL, Msi. Med, selaku Sekertaris Bagian/ SMF THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah banyak memberi nasihat dan bimbingan selama menjalani program studi ini.

6. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki Soetardjo MMR, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan bekerja pada penulis.

7. Rektor Fakultas Kedokteran Universitas Maret Surakarta Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., MS, yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis.

8. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus M.S, selaku Direktur Program Studi Pascasarjana UNS yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis.

9. Dr. Hari Wujoso, dr., SpF., M.M, selaku Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga di Program Pasca sarjana UNS Surakarta.


(9)

ix

10.Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Maret Surakarta Prof. DR. Dr. Zaenal Arifin Adnan, Sp PD KR-FINASIM, yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis.

11.Dr. Ari Natalia Probandari, Ph. D selaku penguji dan Ketua Minat Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan nasihat dan bimbingan, masukan pada penelitian ini.

12.Kepada seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNS: Prof Dr dr Muhardjo, DHA, SPTHT-KL(K), dr. Djoko SS. SpTHT-KL(K), MBA, MARS, Msi, dr. Sutomo Sudono, SpTHT-KL(K), Almarhum dr. Chairul Hamzah, SpTHT-KL(K), dr. Sudargo, SpTHT-KL, dr. Bambang Suratman, SpTHT-KL(K), dr. Sudarman, SpTHT-KL(K), dr. Imam Prabowo, SpTHT-KL, dr. Putu Wijaya Kandhi, SpTHT-KL, dr. Novi Primadewi, SpTHT-KL, MKes, dr. Dewi Pratiwi, SpTHT-KL, MKes. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan arahan selama proses pendidikan dan penyelesaian penelitian ini.

13.Teman sejawat residen THT dan seluruh paramedis RSUD Dr. Moewardi dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

14.Orang tua alm H. drs Soepadmo dan Hj. Amrin Salami yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, semangat serta biaya kepada penulis, dengan penuh rasa hormat, cinta dan kasih sayang, gelar ini


(10)

x

ananda persembahkan. Tak lupa kepada kedua mertua, kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

15.Khusus untuk suami tercinta Eko Budi Santoso, SE terima kasih yang tidak terhingga atas segala keikhlasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat, cinta, kasih sayang dan doa yang tulus untuk penulis sehingga penelitian ini selesai.

16.Anak – anak tercinta Amira Nabila Sholihati dan Naufal Fakhri Santoso yang selalu mendoakan supaya cepat menyelesaikan sekolah.

Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, dan mohon kiranya diharapkan akan mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat.

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulus-tulusnya kepada semua guru, teman sejawat, paramedis dan karyawan di lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Universitas Sebelas Maret atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh pendidikan dokter spesialis, dan magister kedokteran keluarga.

Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amin.

Surakarta, Juli 2014

Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ……….. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ……… iii

PERNYATAAN ……… iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. v

KATA PENGANTAR ……… vii

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR SINGKATAN ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ……… xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

1. Tujuan Umum …... 3

2. Tujuan Khusus ... 3


(12)

xii

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Kajian Teori 1. Karsinoma Nasofaring ... 5

a. Anatomi ... 5

b. Histologi ... 6

c. Epidemiologi ... 6

d. Etiologi ... 8

1). Genetik ... 8

2). Lingkungan ... 9

3). Virus Epstein Barr ... 10

e. Diagnosis... 10

1). Gejala Klinis ... 11

2). Pemeriksaan Nasofaring ……... 11

3). Radiologi ... 11

4). Serologi ... 12

5). Pemeriksaan Patologi ... 13

f. Klasifikasi ... 13

g. Penentuan Stadium ... 13

2. Virus Epstein-Barr ... 16

3. Vascular Endothelial Growth Factor …………..……….. 19

a. Angiogenesis……….. … 19


(13)

xiii

b. Angiogenesis yang diinduksi tumor……… 20

c. Famili VEGF……… 24

d. Reseptor VEGF……… 24

e. Peran VEGF pada Angiogenesis……….. 25

f. Regulasi VEGF……… 28

4. Kerangka Teori ... 30

5. Kerangka Konsep ……… 33

6. Hipotesis Penelitian ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 35

B. Rancangan Penelitian ……... 35

C. Populasi dan Sampel ... 36

1. Sampel ... 36

2. Besar Sampel ... 36

3. Cara Pengambilan Sampel ... 37

D. Variabel Penelitian ... 37

E. Defenisi Operasionil Variabel... 37

F. Alat Penelitian ... 39

G. Cara Kerja ... 40

H. Teknik Analisis Data ... 44

I. Alur Penelitian……… 45


(14)

xiv

BAB IV. HASIL PENELITIAN ……… 46

A. Deskripsi Karakteristik Sampel ……… 46

B. Deskripsi VEGF ……….. 49

C. Uji Beda VEGF antara Pasien KNF WHO Tipe 3 Stadium III dengan Stadium IV ……… 51

BAB V. PEMBAHASAN ……… 54

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 57

A. KESIMPULAN ……… 57

B. SARAN ……… 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(15)

xv ABSTRAK

Fitri Sholihati. NIM: S920109002. 2014. Perbedaan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring WHO Tipe 3 Stadium III dan IV. TESIS. Pembimbing: dr. Made Setiamika, Sp THT-KL (K). Prof. Dr. dr. Ambar Mudigdo, Sp.PA (K). Tesis: Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Biomedik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang : Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas banyak ditemukan Indonesia. Sel tumor memproduksi VEGF (vascular endothelial growth factor) yang merupakan faktor proangiogenik yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastasis tumor Overekspresi

VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis yang buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma nasofaring, tumor sinus maksila dan tumor lidah.

Tujuan : mengetahui perbedaan ekspresi dari Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV, overekspresi

VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis yang buruk. Metode : Rancangan penelitian observasi analitik, dengan 24 sampel jaringn biopsi KNF WHO tipe 3 stadium III (12 sampel) dan stadium IV (12 sampel). Masing-masing sampel dilakukan pemeriksaan VEGF dengan teknik immunohistokimia. Dilakukan perhitungan skor histologi.

Hasil : Hasil pengujian dengan mann-whitney test menunjukkan bahwa perbedaan tersebut secara statistik dinyatakan signifikan (p = 0,003 < 0,05). VEGF pada pasien KNF WHO Tipe 3 stadium IV lebih tinggi dibandingkan VEGF pada pasien KNF WHO Tipe 3 stadium III.

Kesimpulan : Dari penelitian dapat disimpulkan terdapat perbedaan VEGF pada pasien KNF WHO Tipe 3 antara kelompok stadium III dan kelompok stadium IV.

Kata kunci : Karsinoma Nasofaring WHO tipe 3, VEGF


(16)

xvi ABSTRACT

F itri Sholihati. NIM: S920109002. 2014.Differences of Vascular Endothelial Growth F actor on Nasopharingeal Carcinoma WHO Type 3 Stage III and IV. Advisor I: dr. Made Setiamika, Sp THT-KL(K). Advisor II: Prof. Dr. dr. Ambar Mudigdo, Sp PA (K). Thesis: F amily Medicine Master Program, Sebelas Maret University Surakarta.

Background : Nasopharingeal carcinoma (NPC) is a malignan tumor often found in Indonesia. Tumor cells produce VEGF (vascular endothelial growth factor) which is a proangiogenic factor roled in angiogenesis for the tumor's growth, invasion, and spread. VEGF overexpression is related to tumor progressivity and poor prognosis in many variety of tumor, including nasopharingeal carcinoma, maxillary sinus tumor and tongue tumor.

Aim : Discover Vascula r Endothelial Growth Factor expression differences on nasopharingeal carcinoma WHO type 3 stage III and IV, VEGF overexpression is associated with tumor progressivity and poor prognosis.

Method : Analitic observasional research plan, with 24 sampels of WHO type 3 carcinoma stage III (12 sampels) and stage IV (12 sampels). Each sampel was inspected for the VEGF with imunohistochemistry technique. Histology score counting was done.

Result : Test result using mann-whitney test showed that the difference is significant statistically (p= 0,003 < 0,05). VEGF in NPC WHO type 3 stage IV patients is higher than VEGF in NPC WHO type 3 stage III patients.

Conclusion : From the research we could conclude that there is distinction of VEGF in NPC WHO type 3 beetween stage III group and stage IV group.

Keyword : Nasopharingeal carcinoma WHO type 3, VEGF


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

Gambar 2.1. Potongan sagital anatomi Nasofaring ... 5

Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring ... 6

Gambar 2.3. Infeksi EBV pada penderita carrier ...………...……... 19

Gambar 2.4. Mekanisme angiogenesis …..………. 21

Gambar 4.1 Diagram Distribusi Umur ……….. 47

Gambar 4.2 Diagram Distribusi Jenis Kelamin ……….. 48

Gambar 4.3 Diagram Distribusi Kategori VEGF pada Pasien KNF WHO Tipe 3 Stadium III dan Stadium IV ……….. 51


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

Tabel 2.1. Formula Digby ... 10

Tabel 3.1 Nilai P ( persentase jumlah sel) ……… 43

Tabel 3.2 Penilaian intensitas warna ……… 44

Tabel 4.1. Deskripsi Karakteristik Sampel ………. 46

Tabel 4.2. Deskripsi Skor VEGF pada Pasien KNF WHO Tipe 3 Stadium III dengan Stadium IV ……… 49

Tabel 4.3. Deskripsi Kategori VEGF pada Pasien KNF WHO Tipe 3 Stadium III dengan Stadium IV ……….. 50

Tabel 4.4. Hasil Uji Normalitas Skor VEGF ………. 52

Tabel 4.5. Hasil Uji Komparasi Skor Numerik VEGF ………. 52


(19)

xix

DAFTAR SINGKATAN

Ahr : Aryl hydrocarbon receptor

AJCC : american joint committee on cancer APAF-1 : apoptotic protease-activating factor-1 APC : antigen presenting cell

BAX : BCL -2 –assosiated protein Bcl-2 : Bcell leukemia2

BID : BH3-interacting domain death agonist CAD : caspase-activated dnase

CCL20 : Chemokin (C-C motif) ligand 20 CCR6 : Chemokin (C-C motif) reseptor 6 CD : cluster of differentiation

CT : computerized tomographic CTL : cytolitic T lymphocyte

CTLA4 : cytotoxic T lymphocyte antigen 4

CTLs : cytotoxic T lymphocytes

CXCR4 : Chemokin C-X-C motif reseptor 4 DNA : deoxyribonucleic acid

dsDNA : double-stranded deoxyribonucleic acid EA : earlyantigen

EBNA : Epstein-Barr nuclear antigen

EBV : Epstein-Barr Virus


(20)

xx FNAB : fine nedle aspiration biopsy FoxP3 : faktor transkripsi forkhead

GM-CSF : granulocyte-macrophage colony stimulating factor Gp : Glikoprotein

HLA : Human leucokocyte antigen ICAD : inhibitor caspase-activated Dnase IFN : Interferon

IFN- : interferon – Ig : Immunoglobulin IL : interleukin

IRF : Interferon regulatory factor

JAK : janus kinases

KC : keratinocyte-derived chemokine KNF : Karsinoma Nasofaring

LFA-1 : lymphocyte function antigen-1 LMP1 : Laten Membran Protein 1 MA : membrane antigen

MCP-1 : monosit chemoattractant protein-1 MHC I : Major Histocompatibility Complec satu

MRI : magnetic resonance imaging mRNA : messenger ribonucleic acid NF k B : nuclear factor-kappa B lymphocyte

NF-kB : nuclear factor-kappa B lymphocyte


(21)

xxi NK : natural killer

NOD2 : nucleotide oligomerization binding domain

PA : posterior-anterior

PCR : Polymerase Chain Reaction

ROR t : retinoid related orphan receptor t

STAT3 : signal transducer and activator of transcription 3 T-bet : TH1 specific Transcription factors

TCR : T-cell receptor TGF : tumour growth factor

TGF- : transforming growth factor- 1

Th : T helper

TIL : tumour-infiltrating lymphocytes TNF-α : tumor necrosis factor –α

TNM : Tumor, Nodul, Metastase Treg : T-regulatory

UICC : union international contre cancer USG : Ultrasonografi

VCA : viral capsid antigen

VEGF : vascular endhotelial growth factor WHO : World Health Organisation


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

Kanker merupakan sebuah proses hiperproliferasi yang melibatkan transformasi pada morfologi sel, disregulasi apoptosis dan metastasis (Khiong, 2010). Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas (kanker) yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Brenan, 2005).

Di Eropa dan Amerika keganasan nasofaring angkanya cukup rendah yaitu dengan kejadian kurang dari 1 diantara 100.000 penduduk. Sebaliknya di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi. Angka tertinggi didapatkan di propinsi Cina Tenggara yaitu 40 – 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk (Brenan, 2005). Di Indonesia KNF cukup banyak ditemukan meskipun angka kejadian yang pasti belum diketahui. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 /100.0000 penduduk pertahun (Roezin, et al., 2007; Tan, 2010). Di RSUD Moewardi angka prevalensi KNF Undifferentiated selama tahun 2008-2009 sebesar 89,1% dari seluruh penderita KNF yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi (Sari, 2010).

VEGF (vascular endothelial growth factor) merupakan faktor proangiogenik yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastasis tumor (Agulnik dan Siu, 2005). Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis yang buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma nasofaring, tumor sinus maksila dan


(23)

tumor lidah (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005; Strauss et al., 2005).

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al., 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis diregulasi oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor anti angiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin (Rosen, 2002) termasuk IL 17 (Numasaki, 2004).

Penelitian Agulnik dan Siu (2005) yang membandingkan ekspresi VEGF

antara sampel jaringan yang diambil dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai ekspresi VEGF 10%, 40% dan 80% (Agulnik dan Siu, 2005). Satu studi di China dari 127 spesimen KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF 66,9% (Sha dan He, 2006). Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103 penderita KNF. Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF pada seluruh sampel (Soo R. et al.,

2005).

Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF / VEGFR

telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan ekspresi Vascula r Endothelial Growth Factor

(VEGF ) pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV, dimana overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan


(24)

prognosis yang buruk.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah adakah perbedaan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini untuk menganalisis perbedaan ekspresi dari

Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini, diantaranya:

1. Untuk mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada stadium III pasien karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

2. Untuk mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor

pada stadium IV pasien karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

3. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan IV.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini, diantaranya:


(25)

Factor pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

b. Sebagai dasar pengembangan untuk biomarker pada penderita KNF WHO tipe 3, sehingga penelitian awal sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya dalam penentuan prognosis.

2. Manfaat Klinis

Hasil penelitian ini diharapkan membantu terutama dalam bidang THT-KL sebagai biomarker penentuan awal prognosis dari peran Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Karsinoma Nasofaring

a. Anatomi

Secara anatomi Nasofaring merupakan bagian sempit yang terdapat pada belakang choana. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis occiput dan vertebra cervikalis pertama. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding lateral dan pada bagian anterior dan posterior terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian superior dan lateral dari torus tubarius

merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum (Rusmarjono,

et al., 2007).

Gambar 2.1 Potongan sagital anatomi Nasofaring (Dikutip dari : Van De Graaf, 2001. Human Anatomy, Sixth Edition. The McGraw-Hill, p.605)


(27)

b. Histologi

Epitel bersilia respiratory type merupakan epitel yang melapisi mukosa nasofaring. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma nasofaring kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.

Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab (cited 2010 Jan 5).

Available from : http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502 c. Epidemiologi

Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu 6 per 100.000 penduduk dari total 12.000 kasus baru pertahun (Tan, 2010). Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki


(28)

urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Propinsi Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dengan didominasi suku Jawa, sedangkan Jakarta pasien karsinoma nasofaring terdiri atas populasi suku Jawa dan Cina.

Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang pertahun, dan merupakan masalah kesehatan yang serius di daerah ini. Pada Cantonese “boat people” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk

karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Angka kejadian karsinoma nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000 penduduk per tahun. (Witte, et al., 2001; Lee, 2003)

Berdasarkan dari beberapa penelitian jenis KNF banyak ditemukan adalah tipe WHO 2 dan WHO 3. Menurut penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang didapatkan WHO tipe 2 dan WHO tipe 3 sejumlah 112 kasus dari 127 kasus KNF (Lee, 2003).Pada penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya didapatkan dari 478 kasus terdapat 424 kasus WHO tipe 3, 48 kasus WHO tipe 2 dan 6 kasus WHO tipe 1 (Witte, et al., 2001). KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun jarang dijumpai pada penderita dibawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-59 tahun, sedangkan Wei WI (2006) rmendapatkan rata-rata usia 50 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2-3:1 (Witte, et al., 2001; Ballanger, 2003; Hariwiyoto, et al., 2006; Wei WI, 2006). Di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. Soetjipto


(29)

(1989) pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta (1980-1984) mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 % dan 89,6 % (Soetjipto, 1993). Sedangkan Roezin dan Mahfuzh (1996) ditempat yang sama mendapatkan angka 9 %, 11,3 % dan 79,5 %. Affandi (1992) pada penelitiannya di Lab/ UPF THT FK UNPAD / RS. Dr.Hasan Sadikin Bandung, selama 4 tahun (Januari 1986-Desember1989) mendapatkan KNF jenis poorly diff.Ca. 14,8 %, well diff.Ca. 10,5 % dan jenis Undifferentiated sebanyak 70,7 %. Sedangkan hasil penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 % dan 85,6 % (Kentjono, et al., 2000).

Di RSUD Moewardi angka prevalensi KNF Undifferentiated selama tahun 2008-2009 sebesar 89,1% dari seluruh penderita KNF yang datang ke poliklinik THT RSUD Moewardi (Sari, 2010).

d. Etiologi

Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial, akan tetapi banyak penelitian menunjukkan akan keberadaan virus Epstein Barr sangat dominan, disamping penyebab lain seperti faktor genetik dan faktor lingkungan (Witte, et al., 2001).

1). Genetik

Analisis genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan


(30)

lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Ballanger, 2003; Lee, 2003). 2). Lingkungan

Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine

merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring pada Cina Timur. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting dan dapat menjadi “alkylating Agent” yang diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel

squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal atau daerah nasofaring. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir, pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau

dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi (Witte,

et al., 2001; Adham, 2002; Lee , 2003; Ballanger, 2003).


(31)

3). Virus Epstein Barr

Sampai sekarang meskipun etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF. Virus Epstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. virus Epstein-Barr 1 & 2 (EBV1,2) yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus karsinoma nasofaring pada orang-orang di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian, Afrika dan Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi EBV-1. Kasus-kasus yang mengenai Alaska Innuits hampir seluruhnya berhubungan dengan infeksi EBV-2 (Witte, et al., 2001).

Virus Epstein-Barr hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Virus ini menginfeksi limfosit B dan epitel orofaring. EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi EBV. Virus Epstein-Barr mempunyai produk onkogen yang dikenal sebagai Latent Membran Protein-1 (LMP1) yang terbukti secara in vitro, menyebabkan transformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk immortal dan mempunyai peran penting pada karsinogenesis KNF (Bosman, 1996).

e. Diagnosis

Untuk dapat menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring, maka perlu dilakukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan


(32)

pemeriksaan histopatologi. 1). Gejala klinis

Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial (Brennan, 2005; Dol Cetti, et al., 2002; Adham, 2002; Lin, 2003; Roezin, et al., 2007). Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003). Gejala tumor leher yang besar, lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe 3 dibandingkan dengan KNF WHO tipe 1. Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang berobat ke dokter.

2). Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung yaitu rinoskopi posterior, nasoendoskopi dan flexiblelaringoskopi. 3). Radiologi

Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :

a). Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.

b). Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.


(33)

c). Foto thorak posterior/anterior (PA) dilakukan terutama untuk kepentingan kecurigaan adanya metastasis ke paru.

d). USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organ-organ intra abdomen.

Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan computerized tomographic scanning (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan tumor (Adinolodewo, et al., 2003; Adham, 2002; Witte, et al., 2001).

4). Serologi

Pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific vira l messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasofaring. Virus Epstein Barr dapat dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma (Adinolodewo, et al., 2003 ).


(34)

5). Pemeriksaan Patologi

a). Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah being servikalis.

b). Biopsi Histopatologi

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. f. Klasifikasi

Menurut WHO tahun 1987 , KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi yaitu ( Wei WI, 2006) :

1). Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ).

Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma maupun di luar sel.

2). Karsinoma sel epidermoid tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ).

Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau

berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional. 3). Karsinoma tanpa diferensiasi / Undifferentiated (WHO tipe III ).

Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas.

g. Penentuan Stadium

Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan


(35)

menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (union international contre cancer) dan AJCC (american joint committee on cancer) pada tahun 1986. Pada saat ini telah diterbitkan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC. Untuk KNF pembagian TNM sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besarnya dan perluasannya Tx : tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : tidak ada tumor primer Tis : karsinoma in situ Nasofaring :

T1 : tumor terbatas didaerah nasofaring

T2 : tumor meluas ke jaringan lunak daerah orofaring dan atau fossa nasalis T2a : tanpa perluasan ke daerah parafaring

T2b : dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan atau daerah sinus paranasal

T4 : tumor dengan perluasan ke daerah intra kranial dan atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring atau daerah orbita

N menggambarkan keadaan Kelenjar limfe regional ( N ) nasofaring : Nx : kelenjar limf regional tidak dapat dinilai

N0 : tidak ada metastasis kelenjar limf regional

N1 : adanya metastase kelenjar limf unilateral, dengan ukuran kurang atau sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula

N2 : adanya metastasis kelenjar limf bilateral kurang atau sama dengan 6 cm diatas fosa supraklavikula


(36)

N3 : adanya metastasis kelenjar limf N3a : lebih dari 6 cm

N3b : perluasan kedaerah fossa supraklavikula M menggambarkan Metastasis jauh ( M ) Mx : metastasis jauh tidak dapat di nilai M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : adanya metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium IIA : T2a N0 M0

Stadium IIB : T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0,N1 M0

Stadium III : T1 N2 M0

T2a,T2b N2 M0

T3 N0,N1,N2 M0

Stadium IV A : T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IV B : T1,2,3,4 N3 M0

Stadium IV C : T1,2,3,4 N0,N1,N2 M1

Penentuan stadium yang lain adalah yang digunakan oleh Ho, di mana hanya ada T1-3, sedangkan ada stadium V, yakni penderita dengan M1.


(37)

2. Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human herpes virus. Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa (Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).

Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV

Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda (double-stranded), panjangnya sekitar 172-kb pasangan basa. Dalam keadaan infeksi pada limfosit B, DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler ekstra kromosom (episome). Disamping itu didapatkan ekspresi gen laten yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan. Didapatkan protein ekspresi gen laten terdiri dari EBNA 1,2,3A,3B,3C, EBNA-LP yang dikontrol oleh p53, dan tiga protein membran yaitu latent membrane protein-1, 2A, 2B serta dua

Epstein-Barr virus encoded mRNA. Sebagian besar genom virus ditransformasikan oleh EBV secara in vitro dalam bentuk episom. Karena hal di atas muncullah teori bahwa EBV mengaktifkan transformasi melalui ekspresi beberapa gen yang aktif saat infeksi laten. Bentuk infeksi laten EBV pada sel limfosit B dibedakan menjadi 3 latensi : latensi I, latensi II, latensi III. Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen laten. Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan EBV dalam hubungannya dengan timbulnya penyakit (Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).


(38)

Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV. Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi sel limfosit B yang bersirkulasi dan ditemukan dalam jumlah besar di jaringan epitel saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui daerah tersebut. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel bagian distal, termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD) 21. Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran virus yang dapat mengenali CD 21 (Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).

Pada penderita carrier EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal (BZLF 1 atau ZEBRA), antigen awal (earlyantigen = EA), antigen laten (viral capsid antigen =

VCA) dan antigen membran (mambrane antigen = MA). Karena itu bila BZLF 1


(39)

tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP1 dan LMP-2 ( Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).

Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, double-strandeddeoxyribonucleic acid (dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier ini menjadi bentuk sirkuler ( lingkaran ) saat proses infeksi EBV - DNA menjadi virion yang infeksius (Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003; Abbas, et al., 2007).


(40)

Gambar 2.3. Infeksi EBV pada penderita carrier . Infeksi primer EBV dimulai di orofaring, setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang menyebabkan infeksi dapat menetap (dikutip dari Prasad, 1975).

3. Vascular Endothelial Growth F actor a. Angiogenesis

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan


(41)

pertumbuhan serta metastasis tumor (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor anti angiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Suatu tumor avaskular bergantung pada difusi pasif untuk suplai oksigen dan makanan serta untuk pembuangan produk sisa. Hal ini membatasi ukuran tumor sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, termasuk VEGF. Tumor juga memproduksi inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF- (Plank dan Sleeman, β00γ).

Mulanya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan dan sel endotel tetap diam. Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi „angiogenic switch‟ menuju proses angiogenesis (Plank dan Sleeman, β00γ). „Angiogenic switch‟ merupakan pertanda proses malignansi (Hicklin dan Ellis, 2005).

b. Angiogenesis yang Diinduksi Tumor

Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini


(42)

meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional, maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh (Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005). Pada jaringan normal, kestabilan vaskular dipertahankan oleh pengaruh yang dominan dari inhibitor angiogenesis endogen terhadap stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau penurunan regulasi inhibitor angiogenesis (Detmar, 2000).

Gambar 2.4. Mekanisme angiogenesis (dikutip dari Plank dan Sleeman, 2003)

1). Permulaan angiogenesis

Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima


(43)

menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik (protease) yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi secara garis besar dibagi menjadi matrix metalloproteases (MMPs) dan plasminogen activator (PA)/sistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui gap yang ada pada membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi protease oleh sel-sel endotel. Hal ini merupakan faktor kunci pada rangkaian angiogenesis, sebab tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan dihambat oleh membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler (pembuluh) induk (Plank dan Sleeman, 2003).

2). Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh

Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi pembuluh induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya. Hal ini akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan memungkinkan dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa penting dalam pembentukan


(44)

jaringan vaskular fungsional, akan tetapi stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui (Plank dan Sleeman, 2003). 3). Fase Vaskular

Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan berkurang. Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan yang kuat antar sel distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi protein (laminin, kolagen) untuk membentuk membran dasar. Akhirnya sel-sel penyokong periendotel (perisit) direkrut dan pembuluh darah baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah hipoksik di dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika daerah vaskularisasi yang baru pada tumor terus bertambah, akan melebihi suplai darahnya sendiri sehingga menimbulkan daerah hipoksik sendiri. Angiogenesis akan terus berlangsung dan kapiler-kapiler baru terus tumbuh, meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang tumbuh pesat dan heterogen (Plank dan Sleeman, 2003).

Akan tetapi, berlanjutnya angiogenesis akan meningkatkan pertumbuhan tumor, yang akan membutuhkan suplai darah baru. Pada tumor yang sangat ganas, kebutuhan akan pembuluh darah baru biasanya tidak pernah terpenuhi (Plank dan Sleeman, 2003).

Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak terbentuknya membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi.


(45)

Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku (Plank dan Sleeman, 2003).

c. Famili VEGF

In vivo, ekspresi VEGF-A telah menunjukkan peran kuncinya dalam vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan heterozigot pada gen VEGF secara embrionik letal, menimbulkan defek pada vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular. VEGF-A juga berperan penting dalam proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka, ovulasi, menstruasi, mempertahankan tekanan darah serta kehamilan. VEGF-A juga telah dihubungkan dengan berbagai kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan angiogenesis, seperti artritis, psoriasis, degenerasi makular dan retinopati diabetik (Hicklin dan Ellis, 2005)

Famili VEGF yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF -A (biasa disebut VEGF ), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan placenta growth factor (PlGF) (Hicklin dan Ellis, 2005).

d. Reseptor VEGF

Ligan VEGF menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase spesifik VEGFR-1 (fms-like tyrosine kinase1/Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3 (fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4) telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses limfangiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).


(46)

e. Peran VEGF Pada Angiogenesis

Vascular Endothelial Growth Factor merupakan golongan faktor angiogenik terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan utama dibalik angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas pokok sel endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi. VEGF mampu memicu ketiga proses tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel (VEGFR secara eksklusif terekspresi pada sel endotel).

VEGF juga bertindak sebagai faktor survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003). Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan permeabilitas vaskular 50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF mengaktivasi sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel. VEGF juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel endotel untuk migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

1). Permeabilitas

VEGF sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena dan vena kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi, sehingga pertama kali disebut sebagai vascular permeability factor (VPF). Faktanya VEGF

salah satu penginduksi permeabilitas vaskular yang paling poten, 50.000 kali lebih poten dari histamin. Kemampuannya untuk meningkatkan permeabilitas


(47)

mikrovaskular merupakan salah satu peran yang paling penting untuk VEGF, terutama dengan mempertimbangkan hipermeabilitas pembuluh tumor yang diperkirakan berperan besar untuk ekspresi VEGF pada sel-sel tumor (Hicklin dan Ellis, 2005)

Mekanisme pasti bagaimana VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa VEGF

menginduksi permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium dependent yang melibatkan produksi oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan peningkatan cGMP, dengan aktivasi jalur Erk1/2 dengan cara stimulasi prostaglandin PGI2 (Hicklin dan Ellis, 2005).

2). Aktivasi Sel Endotel

VEGF menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel dan endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan dan migrasi sel endotel. VEGF menyebabkan peningkatan ekspresi berbagai gen-gen sel endotel yang berbeda, termasuk faktor jaringan prokoagulan; protein jalur fibrinolitik, termasuk urokinase, aktivator plasminogen tipe jaringan, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan urokinase inhibitor; matrix metalloprotease; GLUT-1 transporter glukosa; sintase oksida nitrat; integrin; dan berbagai mitogen (Hicklin dan Ellis, 2005).

3). Survival

VEGF pertama kali tampak bekerja sebagai faktor survival pada sel-sel endotel retina, dan sekarang telah menunjukkan kerjanya dalam menyokong


(48)

survival beberapa macam sel-sel endotel baik in vitro dan in vivo. In vitro, telah menunjukkan bahwa VEGF mengaktivasi jalur PI3K-Akt yang juga meningkatkan regulasi protein antiapoptotik seperti bcl-2 dan A1; hal ini akan menghambat aktivasi caspase, dan meningkatkan regulasi anggota famili penghambat apoptosis termasuk survivin dan XIAP. VEGF juga mengaktivasi focal adhesion kinase (FAK) dan protein yang berhubungan yang telah menunjukkan kerjanya mempertahankan sinyal survival sel-sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, injeksi VEGF eksogen dapat mempertahankan pembuluh retina yang belum matang dari kerusakan, dan ketergantungan terhadap VEGF telah didapati pada sel-sel endotel pembuluh tumor yang baru terbentuk, tetapi tidak didapati pada pembuluh tumor yang telah stabil (Hicklin dan Ellis, 2005).

4). Proliferasi

VEGF adalah suatu mitogen bagi sel-sel endotel. Proliferasi sel endotel ini tampaknya melibatkan aktivasi Erk1/2 kinase yang dimediasi VEGFR-2. Aktivitas mitogenik VEGF mungkin juga melibatkan jalur protein kinase C, yang sebagian diregulasi oleh oksida nitrat. Walau peran mitogen VEGF penting bagi sel endotel, penting dicatat bahwa faktor angiogenik lain peran mitogennya bagi sel endotel lebih baik. Akan tetapi faktor angiogenik lain aktivitas pluripotennya kurang dibandingkan VEGF untuk proses-proses lainnya dalam angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

5). Invasi dan Migrasi

Degradasi membran dasar dibutuhkan untuk migrasi dan invasi sel endotel dan merupakan langkah awal yang penting dalam memulai angiogenesis. commit to user VEGF


(49)

menginduksi berbagai macam enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi, termasuk matrix degrading metalloproteinases, metalloproteinase interstitial collagenase, dan serin protease seperti urokinase-type plasminogen activator (uPA) dan tissue-type plasminogen activator (TTPA). Aktivasi bahan-bahan tersebut mengarah ke lingkungan yang prodegradasi yang memfasilitasi migrasi dan pertunasan sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

Mekanisme intraselular dimana VEGF menyebabkan peningkatan migrasi sel endotel belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan sinyal yang berhubungan dengan FAK yang menyebabkan pergantian adhesi fokal dan organisasi filamen actin serta reorganisasi actin yang diinduksi MAPK p38. Sebagai tambahan, telah diusulkan bahwa oksida nitrat juga berperan penting dalam migrasi sel endotel yang diinduksi VEGF. Oksida nitrat telah diimplikasikan dalam proses podokinesis sel endotel dan aktivasi sintase oksida nitrat endotel yang tergantung pada Akt yang dibutuhkan pada proses migrasi sel yang diinduksi VEGF (Hicklin dan Ellis, 2005).

f. Regulasi VEGF

Berbagai mekanisme dapat meregulasi ekspresi VEGF, yang paling penting adalah hipoksia. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1(HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut. Berbagai studi menunjukkan bahwa berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi ekspresi faktor angiogenik pada sel-sel tumor hingga menginduksi angiogenesis secara tidak langsung, seperti EGFR dan HER2, platelet-derived growth factor (PDGFs) dan COX-2. Beberapa onkogen berperan dalam regulasi VEGF, seperti c-src,


(50)

ABL, dan ras. Gen supresor tumor p53 berperan penting dalam regulasi VEGF. Perubahan genetik yang terjadi pada p53 akan meningkatkan ekspresi VEGF

(Wakisaka, 2004; Hicklin dan Ellis, 2005).


(51)

B. Kerangka Teori

Keterangan : Memacu

EPITEL NASOFARING

FASE LATEN FASE LITIK

KARSINOMA NASOFARING

UNDIFFERENTIATED (STADIUM III)

APC

IL 17

VEGF METASTASE (STADIUM IV)

EBV

ANGIOGENESIS

STAT 3, IL 23 SEL Th 0

SEL Th 17 LIMFOSIT B

TUMOR TUMBUH

Act-1 FIBROBLAST/ IL 17 R

NF K β


(52)

Keterangan Kerangka Teori

Infeksi virus EBV pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan antara reseptor membran glikoprotein Gp350/220 pada virus dengan CD21 pada limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengkikat reseptor CD21 pada limfosit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk pada sitoplasma sel pejamu kemudian terjadi fusi TR (terminal repeat) yang berakibat episom berbentuk sirkuler, partikel-partikel EBV tersebut selanjutnya akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk kedalam nukleus yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, ditandai dengan proses aktifasi sel dan proliferasi sel tersebut sebagai pengabadian EBV pada limfosit B (limfosit B immortal). Sebagaian besar genom virus dalam cell line yang ditransformasikan oleh EBV berada dalam bentuk episom. Di dalam sel pejamu terjadi 2 fase proses infeksi yaitu infeksi litik dan laten. Infeksi litik ditandai dengan replikasi virus secara lengkap yang dapat menginfeksi sel dan menular ke orang lain. Sedangkan fase laten ditandai adanya ekspresi gen tertentu yang merupakan bagian dari genom dan dapat menghindar dari respon imun pejamu.

Langkah awal infeksi litik ditandai dengan aktivasi protein ZEBRA yang disandi oleh BZLF1 yang terdapat di sel epitel dan limfosit B. Pada saat ini produk beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempunyai korelasi dengan tahapan replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi early membrane antigen (EMA), early intra-celuler antigen (EA), viral capsid antigen (VCA), dan laten membrane antigen (LMA). Pada infeksi laten terjadi ekspresi dari beberapa protein yaitu EBNA1,2,3a,3c dan EBNA-LP, LMP dam Ebstein


(53)

Barr Encoded mRNA(EBER).

LMP1 dapat menginduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-1 pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. LMP1 mengaktifasi

nuclear factor-appa B lymphocyte (NF-B) dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. LMP1 menginduksi ekspresi proto-onkogen seluler Bcell leukemia2

(bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis. Selain itu LMP1 menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP1 dapat menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 yang dapat menginaktivasi fungsi p53 sehingga menghambat proses apoptosis sel. Dari beberapa hal di atas diketahui bahwa ekspresi LMP 1 berperan pada proses imortalisasi dan merupakan salah satu tahap dalam proses karsinogenesis KNF.

Karsinoma nasofaring akan mengekspresikan beberapa protein antigen, seperti EBNA1-6 dan LMP1,2. Protein antigen LMP1 akan mempunyai efek imunologik, dimana akan dikenali oleh APC yang mempresentasikan sel Th CD4+. Dengan aktifnya CD4+ akan mengeluarkan beberapa sitokin-sitokin diantaranya Th 17 yang akan membentuk sitokin IL 17.

Pada sel stromal dan fibroblas, IL-17 menginduksi cakupan luas dari mediator angiogenik, termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), yang diketahui memicu inflamasi dan angiogenesis tumor. IL-17 dapat meningkatkan produksi VEGF melalui fibroblas dan oleh karenanya dapat memicu pembentukan commit to user


(54)

pembuluh darah baru yang diinduksi oleh fibroblas dalam kondisi inflamasi dan pada tumor. Siklus IL-17-VEGF yang memodulasi angiogenesis melibatkan faktor angiogenik lain, yaitu TGF- . Banyak sel kanker yang mengekspresikan TGF -pada kadar yang tinggi, yang tampaknya meningkatkan pertumbuhan kanker dan metastasis dengan menstimulasi angiogenesis. IL-17 menginduksi VEGF, yang menyebabkan induksi TGF- dan oleh karena itu VEGF dapat memperantarai angiogenesis. TGF- meningkatkan penerimaan VEGF oleh sel endotel dengan cara meningkatkan ekspresi reseptor VEGF. IL-17 juga menginduksi IL-6 dan PGE2 dan meningkatkan ekspresi ICAM-1 dalam fibroblas. Keseluruhan molekul tersebut diketahui memiliki peran utama dalam angiogenesis dan invasi tumor. Angiogenesis akan memacu pertumbuhan tumor (Stadium III) dan metastase (Stadium IV).

C. Kerangka Konsep

KNF WHO TIPE 3

ANALISIS

FASE LITIK

VEGF

FASE

VEGF

FASE

KNF STADIUM III

KNF STADIUM IV


(55)

D. Hipotesis

Terdapat perbedaan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan IV, dimana ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor lebih tinggi pada stadium IV.

E. Penelitian Yang Relevan Peneliti

Tahun

Judul Variabel Hasil

Khrisna (2006)

Agulnik (2005)

Expression of VEGF as prognostic in primary

nasopharyngeal cancer and its relation to EBV status

State-of-the-art management Of Nasopharyngeal Carcinoma : Current and Future Directions

ekspresi VEGF status EBV rekurensi pada KNF Ekspresi VEGF nasofaring normal tumor jinak nasofaring KNF pola ekspresi VEGF sebagai marker tumor untuk diagnosa dini metastase pada KNF dan adanya EBV berkaitan dengan peningkatan regulasi VEGF. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan terhadap KNF stadium dini.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat :

1. Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk melakukan biopsi nasofaring.

2. Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi untuk melakukan pewarnaan hematoksilin eosin pada preparat jaringan biopsi nasofaring dan pembacaan serta memotong sedian parafin blok jaringan.

3. Laboratorium Biomedik FK-UNS untuk pewarnaan imunohistokimia dan pembacaan VEGF.

Waktu :

Waktu penelitian dimulai bulan april sampai dengan bulan september tahun 2014.

B. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasi analitik dengan jenis penelitian kuantitatif non eksperimental dan pendekatan cross-sectional. Observasional dalam penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dengan stadium III dan stadium IV pada karsinoma nasofaring WHO Tipe 3 .


(57)

C.Populasi

Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi dengan hasil pemeriksaan biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

D.Sampel

Sampel penelitian adalah penderita karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria penelitian.

Kriteria inklusi (penerimaan) :

1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah KNF WHO tipe 3.

2. KNF stadium III dan IV

3. Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan setelah mendapat penjelasan (informed consent).

Kriteria Eksklusi (penolakan) :

1. Pernah mendapat pengobatan radioterapi dan atau kemoterapi sebelumnya. 2. Pernah mendapatkan imunoterapi sebelumnya.

E.Besar Sampel

Sampel penelitian adalah pasien karsinoma nasofaring yang memnuhi kriteria penelitian. Perkiraan besar sampel dengan menggunakan rumus besar sampel untuk perbandingan means untuk dua sampel sebagai berikut : (Sampsize, 2013)

Tes Ho: m1 = m2, dimana m1 adalah mean pada populasi 1 dan m2 adalah mean pada populasi 2.


(58)

Perkiraan sampel : Alpha : 5 Power : 80

m1 : 35

m2 : 65

SD1 : 32,4 SD2 : 29,6 n1/n2 : 1

perkiraan besar sampel adalah n1/n2 = 12 (pergrup) keterangan :

m1 : mean pada populasi 1 m2 : mean pada populasi 2 SD1 : standar deviasi 1 SD2 : standar deviasi 2

Dari perhitungan sampel diatas, diperlukan 24 sampel pasien karsinoma nasofaring WHO tipe 3.

F. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive sampling (Non probability sampling) sampai besar sampel terpenuhi.

G.Variabel Penelitian 1. Variabel bebas (independent variabel) : Karsinoma Nasofaring WHO tipe 3 stadium III. Karsinoma Nasofaring WHO tipe 3 stadium IV.


(59)

2. Variabel tergantung (dependent variabel) : Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor

H.Definisi Operasional

1. Karsinoma Nasofaring stadium III, dan stadium IV. Definisi : Tumor ganas epitel yang primernya terletak di nasofaring. Ukuran tumor :

T1 Tumor terlokalisir di nasofaring

T2 Tumor menyebar ke jaringan lunak orofaring dan fossa nasalis *T2a tanpa ekstensi parafaringeal

*T2b dengan ekstensi parafaringeal

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan sinus paranasal

T4 Tumor dengan ekstensi ranial nial dan keterlibatan syaraf ranial, fossa intratemporal, hipofaring dan atau celah maseter.

Limfonodi regional (N):

NX Limfonodi regional tidak dapat dinilai N0 Tidak ada limfonodi regiona metastasis

N1 Unilateral metastasis pada limfonodi, 6 cm atau lebih besar, diatas fossa supraclavicula

N2 Bilateral metastasis pada limfonodi, 6 cm atau lebih besar, diatas fossa supraclavicula

N3 Metastase di limfonodi *N3a Lebih besar dari 6 cm

*N3b menyebar ke fossa supraclavicula


(60)

Metastasis (M):

Mx Metastase tidak dapat dinilai M0 Tidak ada metastase

M1 Terdapat metastase jauh KNF stadium III yaitu :

T1 / N2 / M0. T2a,T2b / N2 / M0 T3 / N0,N1,N2 / M0

KNF stadium IV yaitu : T4 / N0,N1,N2 / M0 Tiap T / N3 / M0 Tiap T / Tiap N / M1 Skala pengukuran ordinal

2. Vascular Endothelial Growth Factor

Definisi : Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada KNF WHO tipe 3 adalah ekspresi protein pada matriks seluler glikoprotein yang berfungsi untuk mengikat komponen protein matriks ekstraseluler yang berfungsi meningkatkan angiogenesis. Ditunjukkan dengan adanya warna kecoklatan (coklat tua) sampai dengan kuning keemasan akibat dari reaksi enzimatis antara peroksidase dan DAB (Substract Enzim Peroksidase) yang mengikuti reaksi imunologis antara antigen dan monoklonal antibodi antihuman VEGF..

Alat ukur : Imunohistokimia

Cara ukur : Imunoreaktivitas antibodi monoklonal mouse anti human

VEGF.


(61)

Hasil ukur : Nilai positif : warna kecoklatan pada membran sel target. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologis. Variabel skala numerik.

I. Alat Penelitian

Alat penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu :

1. Alat pemeriksaan THT yaitu : lampu kepala, spekulum hidung, spatula lidah, pinset bayonet, kapas, lidokain efedrin 2 %.

2. Alat dan bahan melakukan biopsi nasofaring : tang biopsi , spekulum hidung, pinset bayonet, kapas, kasa, alat nasoendoskopi, xylocain spray 10%, PBS formalin, botol untuk menyimpan jaringan biopsi.

3. Alat untuk pengecatan imunohistokimia : Mikrotom, Poly L-Lysine glass slide (SIGMA), termometer, mounting media, microwave oven, inkubator, pipet mikro, deck glass, stop watch, humidified chamber, ruangan dalam kondisi kelembaban tinggi.

4. Mikroskop OLYMPUS seri B X 41.

J. Cara Kerja

Penderita dengan kecurigaan KNF dilakukan biopsi nasofaring dengan bantuan nasoendoskopi. Jaringan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi PBS formalin. Botol yang berisi jaringan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematosillin eosin oleh dokter spesialis Patologi Anatomi.

Preparat dengan hasil bacaan histopatologi KNF WHO tipe 3

(Undifferentiated) dilakukan pemotongan pada blok parafin setebal 4 mikron.


(62)

Hasil masing-masing kelompok blok parafin dipotong menjadi slide dan digunakan untuk pemeriksaan VEGF. Slide dilakukan pengecatan

imunohistokimia sebagai berikut :

1. Pemotongan blok parafin dengan tebal 4-5 mikron. Diletakkan pada slide poly-L- lysine selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 1 malam (agar lebih melekat pada slide).

2. Deparafinisasi :

a. Direndam dalam xylol I selama 5 menit b. Direndam dalam xylol II selama 5 menit c. Direndam dalam xylol III selama 5 menit d. Direndam dalam xylol IV selama 5 menit e. Direndam dalam alkohol absolut selama 5 menit f. Direndam dalam alkohol 95% selama 5 menit g. Direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit h. Dicuci dengan aquabides selama 5 menit

3. Retrival antigen dilakukan pada microwave oven dengan buffer sitrat pH 6,4 pada suhu sedang selama 2 menit kemudian dilanjutkan pada suhu rendah selama 1 menit.

4. Cuci dengan PBS selama 2 x 5 menit.

5. Tahap quenching endogenous peroksidase yaitu dengan memasukkan slide-slide tersebut ke dalam methanol H2O2 0,3% selama 30 menit.

6. Cuci kembali dengan aquades/PBS selama 2 x 5 menit.

7. Langkah-langkah selanjutnya dilakukan dengan humidified chamber :


(63)

a. Diberikan blocking reagent, dibiarkan selama 30 menit dan dicuci dengan aquadest/PBS 2 x 5 menit

b. Ditambahkan antibody primer yang telah dilarutkan sebelumnya dalam antibody diluents (1:50), ditunggu selama 60 menit atau disimpan terlebih dahulu dalam kulkas pada suhu 400C selama 18 jam dan dicuci dengan aquadest/PBS 2 x 5 menit.

c. Ditambahkan antibody sekunder berlabel biotin, ditunggu selama 30 menit pada suhu 300 C lalu dicuci dengan aquadest/PBS 2 x 5 menit.

d. Ditambahkan subtract DAB (diamino benzidine) ditunggu selama 5 menit lalu dicuci dengan aquadest/PBS 2 x 5 menit.

e. Dilakukan pewarnaan dengan counterstain dengan hematocillin mayer selama 30 detik kemudian dicuci dengan air mengalir selama 2-5 menit. f. Ditempelkan deck glass pada mounting media.

8. Masing-masing sampel diamati dengan mikroskop cahaya dan dievaluasi pada 9 lapang pandang dengan sebaran yang merata kemudian dibuat reratanya.

Tingkat ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor yang digunakan adalah mouse–anti VEGF dengan pengenceran 1:100. Sistem deteksi enzimatis ABC ( Avidin Biotin Complex ) menggunakan enzim peroksidase dan DAB ( Diamino Benzidin ) sebagai substan enzim. Nilai positif ditunjukkan dengan warna coklat keemasan hingga tua.


(64)

Penilaian makna tingkat ekpresi Vascular Endothelial Growth Factor

secara kuantitatif dinyatakan dalam Intensitas ( I ) dan Persentase ( P ) dan dinyatakan sebagai Skor Histologi.

Skor Histologi dihitung dengan rumus sebagai berikut :

(Tan, et al., 2001) Keterangan :

SH : Skor Histologi PS : Persentase Positif Sedang PK : Persentase Positif Kuat IN : Intensitas Negatif

IK : Intensitas Positif Kuat IS : Intensitas Positif Sedang IL : Intensitas Positif Lemah PN : Persentase Negatif Tabel 3.1 Nilai P ( persentase jumlah sel)

Kisaran Grade

0 - 25% 1

26 - 50% 2

51 – 70 % 3

76 – 100% 4

SH = (IKxPK) + (ISxPS) + (ILxPL) + (INxPN)


(65)

Tabel 3.2 Penilaian intensitas warna

Intensitas Grade

Reaksi warna IHC pada Membran Sel

Kuat 3 Coklat tua

Sedang 2 Coklat muda

Lemah 1 Kuning keemasan

Negatif 0 Biru-ungu

(Budiani, et al., 2006) Interval nilai skor histologi Makna kualitatif

0,00 – 3,75 : Negatif

3,76 – 7,50 : Positif lemah

7,51 – 11,25 : Positif sedang 11,26 – 15,00 : Positif kuat

Penilaian intensitas dan persentase dilaksanakan secara manual dengan mikroskop. Nilai skor histologi yang diperoleh berasal dari sembilan lapang pandang untuk masing-masing slide dan diambil nilai reratanya.

K.Teknik Analisa Data

Data ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor akan diuji distribusinya dengan uji Shapiro Wilk, jika hasilnya terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji-t. Jika hasilnya terdistribusi tidak normal, maka digunakan uji Mann-Whitney.


(66)

L.Alur Penelitian

Populasi

Sampel penelitian Kriteria Inklusi

Pemeriksaan Histopatologi

Kriteria Eksklusi

Stadium III Stadium IV

Pemeriksaan Histopatologi

WHO Tipe 3 WHO Tipe 3

Pemeriksaan VEGF

Pemeriksaan VEGF


(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel yang diteliti meliputi umur dan jenis kelamin. Deskripsi kedua karakteristik tersebut pada masing-masing kelompok sampel dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Deskripsi Karakteristik Sampel

Karakteristik KNF WHO Tipe 3 p

Stadium III (n = 12)

Stadium IV (n = 12) Umur 1

31 – 40 tahun 41 – 50 tahun 51 – 60 tahun > 60 tahun

2 (16,7%) 3 (25,0%) 3 (25,0%) 4 (33,3%) 1 (8,3%) 3 (25,0%) 5 (41,7%) 3 (25,0%) 0,904

Jenis Kelamin 2 Laki-laki Perempuan 10 (83,3%) 2 (16,7%) 8 (66,7%) 4 (33,3%) 0,346

Keterangan: 1 Uji beda secara statistik dilakukan dengan mann-whitney test 2 Uji beda secara statistik dilakukan dengan chi square test.

Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa distribusi umur relatif merata pada tiap-tiap kategori dan juga relatif sama antara kedua kelompok sampel. Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami stadium III KNF WHO Tipe 3, dari 12 pasien terdapat 2 orang (16,7%) yang berumur 31 – 40 tahun, 3


(68)

orang (25,0%) yang berumur 41 – 50 tahun, 3 orang (25,0%) yang berumur 51 – 60 tahun, dan 4 orang (33,3%) yang berumur lebih dari 60 tahun. Pada kelompok sampel yang dikategorikan mengalami stadium IV KNF WHO Tipe 3, dari 12 pasien terdapat 1 orang (8,3%) yang berumur 31 – 40 tahun, 3 orang (25,0%) yang berumur 41 – 50 tahun, 5 orang (41,7%) yang berumur 51 – 60 tahun, dan 3 orang (25,0%) yang berumur lebih dari 60 tahun. Uji beda distribusi umur antara kedua kelompok sampel secara statistik dinyatakan tidak signifikan (p = 0,904 > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat homogenitas umur antara kedua kelompok sampel sehingga efek perancu dari karakteristik umur terhadap VEGF dalam penelitian ini (kalaupun ada) dapat dinyatakan terkontrol. Distribusi umur dan perbandingannya antara kedua kelompok sampel juga dapat dilihat pada gambar 4.1.

16.7

8.3 25.025.0 25.0

41.7 33.3 25.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 III IV P ro se n ta se ( % )

Stadium KNF WHO Tipe 3

31 - 40 th 41 - 50 th 51 - 60 th > 60 th

Gambar 4.1 Diagram Distribusi Umur


(1)

Lampiran 5 : Jadual Penelitian

Tahap penelitian

April-Mei

2014

Juni-Agust

2014

Juli-Agus

2014

Sept-Okt

2014

Persiapan

Presentasi Proposal

Pengumpulan Sampel dan

Biopsi Nasofaring

Analisa Data

Penulisan Laporan Tesis

Presentasi Hasil Akhir


(2)

Lampiran 6

Hasil Perhitungan Deskripsi Karakteristik Sampel

Crosstabs

Case Processing Summary

24 100.0% 0 .0% 24 100.0% Umur * Stadium

N Percent N Percent N Percent Valid Missing Total

Cases

Umur * Stadi um Crosstabul ation

2 1 3

16.7% 8.3% 12.5%

3 3 6

25.0% 25.0% 25.0%

3 5 8

25.0% 41.7% 33.3%

4 3 7

33.3% 25.0% 29.2%

12 12 24

100.0% 100.0% 100.0% Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium 31 - 40 t h

41 - 50 t h

51 - 60 t h

> 60 th Umur

Total

III IV Stadium

Total

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

12 12.33 148.00 12 12.67 152.00 24

St adium III IV Total Umur

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

70.000 148.000 -.120 .904 .932a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asy mp. Sig. (2-t ailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Umur

Not corrected f or ties. a.

Grouping Variable: Stadium b.


(3)

Crosstabs

Case Processing Summary

24 100.0% 0 .0% 24 100.0% Jenis Kelamin * Stadium

N Percent N Percent N Percent Valid Missing Total

Cases

Jenis Kelamin * Stadium Crosstabulation

10 8 18

83.3% 66.7% 75.0%

2 4 6

16.7% 33.3% 25.0%

12 12 24

100.0% 100.0% 100.0% Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Laki-laki

Perempuan Jenis Kelamin

Total

III IV St adium

Total

Chi-Square Tests

.889b 1 .346 .222 1 .637 .902 1 .342

.640 .320 .852 1 .356

24 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test

Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

2 cells (50.0%) hav e expect ed count less than 5. The minimum expected count is 3.00. b.


(4)

Hasil Perhitungan Deskripsi VEGF

Crosstabs

Case Processing Summary

24 100.0% 0 .0% 24 100.0% VEGF * Stadium

N Percent N Percent N Percent Valid Missing Total

Cases

VEGF * Stadi um Crosstabulation

5 0 5

41,7% ,0% 20,8%

7 11 18

58,3% 91,7% 75,0%

0 1 1

,0% 8,3% 4,2%

12 12 24

100,0% 100,0% 100,0%

Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Count

% wit hin Stadium Positif Lemah

Positif Sedang Positif Kuat VEGF

Total

III IV

St adium

Total


(5)

Hasil Perhitungan Deskripsi Skor VEGF

Explore

Stadium

Case Processing Summary

12 100.0% 0 .0% 12 100.0%

12 100.0% 0 .0% 12 100.0%

St adium III IV VEGF

N Percent N Percent N Percent

Valid Missing Total

Cases Descriptives 7,8233 ,25855 7,2543 8,3924 7,7370 7,6000 ,802 ,89564 7,00 10,20 3,20 ,98 1,880 ,637 4,148 1,232 9,2550 ,40548 8,3625 10,1475 9,1844 8,8350 1,973 1,40463 7,78 12,00 4,22 2,65 ,653 ,637 -,679 1,232 Mean

Lower Bound Upper Bound 95% Conf idence

Interv al f or Mean

5% Trimmed Mean Median

Variance St d. Dev iation Minimum Maximum Range

Interquart ile Range Skewness

Kurt osis Mean

Lower Bound Upper Bound 95% Conf idence

Interv al f or Mean

5% Trimmed Mean Median

Variance St d. Dev iation Minimum Maximum Range

Interquart ile Range Skewness Kurt osis St adium III IV VEGF

St at ist ic St d. Error


(6)

Hasil Perhitungan Uji Normalitas dan Uji Beda VEGF antara Pasien KNF

WHO Tipe 3 Stadium III dengan Stadium IV

Explore

Tests of Normality

,186 12 ,200* ,809 12 ,012

,186 12 ,200* ,904 12 ,179

St adium III IV VEGF

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig.

Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

12 8,25 99,00 12 16,75 201,00 24

St adium III IV Total VEGF

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

21,000 99,000 -2,950 ,003 ,002a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asy mp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

VEGF

Not corrected f or ties. a.

Grouping Variable: Stadium b.