Proporsi Infeksi Opportunistik Pada Penderita Hiv Aids Di Rsup Haji Adam Malik Tahun 2010

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 HIV/AIDS
2.3.1

Epidemiologi
1. Situasi Global
Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda
menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka
seroprevalensi di antara pengguna obat suntik sangat bervariasi di
seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa bagian
timur, Rusia, dan India bagian utara (Mandal, 2008).

Tabel 2.1. Rekapitulasi Global Epidemi AIDS
Jumlah orang yang hidup dengan HIV tahun 2008
Total

33,4 juta [31,1 juta-35,8 juta]

Dewasa


31.3 juta [29,2 juta-33,7 juta]

Wanita

15,7 juta [14,2 juta-17,2 juta]

Anak < 15 tahun

2,1 juta [1,2 juta-2,9 juta]

Orang yang baru terinfeksi HIV tahun 2008
Total

2,7 juta [2,4 juta- 3,0 juta]

Dewasa

2,3 juta [2,0 juta-2,5 juta]

Anak < 15 tahun


430.000 [240.000-610.000]

AIDS-dengan kematian tahun 2008
Total

2,0 juta [1,7 juta-2,4 juta]

Dewasa

1,7 juta [1,4 juta-2,1 juta]

Anak < 15 tahun

280.000 [150.000-410.000]

Catatan: jarak estimasi pada tabel dibagi batas jumlah yang
aktual, berdasarkan informasi terbaik yang tersedia.
Sumber: UNAIDS dan WHO, 2009


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Diagnosis Infeksi HIV pada dewasa dan remaja
dilhat dari perilaku sex dan kategori transmisi, 2009–40 negara
dan 5 area dependen Amerika Serikat.
Sumber: CDC, 2009

Tabel 2.2. Epidemiologi HIV/AIDS di Asia
Jumlah orang
yang hidup
dengan HIV
Jumlah

2008: 4,7 juta

2001: 4,5 juta

[3,8 juta-5,5 juta]

[3,8 juta-5,2 juta]


Infeksi 2008: 350.000

baru HIV

2001: 400.000

[270.000-410.000]

Jumlah anak yang 2008: 21.000
baru terinfeksi

2001: 33.000

[13.000-29.000]

[18.000-49.000]

Jumlah kematian 2008: 330.000
terkait AIDS


[310.000-480.000]

2001: 280.000

[260.000-400.000]

[230.000-340.000]

Sumber: UNAIDS dan WHO, 2009

2. Situasi Nasional
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia
pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di Indonesia datri tahun ke tahun secara kumulatif
cenderung meningkat.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL Depkes RI mengadakan

kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil
sebagai berikut:

Tabel 2.3. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV Tahun 2006
Estimasi

No.

Kelompok Rawan Terinfeksi HIV

1.

Penyalahguna NAPZA suntik (IDU)

90.000

2.

Non-IDU partner dari IDU


12.810

3.

Wanita Penjaja Seks (WPS)

8.910

4.

Pelanggan WPS

28.340

5.

Pasangan pelanggan WPS

5.200


6.

Laki-laki Suka Laki-laki (LSL)

9.160

7.

Waria

3.760

8.

Pelanggan waria

2.230

Warga Binaan Pemasyarakatan


5.190

9.
10.

Jumlah ODHA

(WBP)
Umum

27.470

Total

193.070

Sumber: Depertemen Kesehatan RI, 2006
Pada April 2009, jumlah penderita HIV dan AIDS di
Provinsi Sumatera Utara berjumlah 1680 (AIDS 872+HIV808),
dengan kasus terbanyak pada kota Medan dengan jumlah 581

penderita AIDS dan HIV 600 orang, menyusul Deli Serdang
berjumlah 142 (HIV 76+AIDS 66) penderita. Jumlah penderita
AIDS yang meninggal di Provinsi Sumatera Utara yang
dilaporkan berjumlah 124 orang sampai dengan April 2009 (KPA
Provinsi Sumatera Utara, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Dasar Virologi dan Infeksi HIV
1. Struktur Genomik HIV
Acquired immune defficiency syndrome (AIDS) dapat
diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immmunodeficiency Virus) yang termasuk famili
retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV
(Djoerban, 2007). HIV adalah retrovirus, anggota genus
Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran fisikomia yang
merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih

kompleks daripada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi.
Virus mengandung tiga gen yang dibutuhkan untuk replikasi
retrovirus – gag, pol, dan env (Brooks, 2004.)

Gambar 2.2. Peta genome dari Lentivirus
Sumber: Osmand, 2002
Virion HIV-1 berbentuk icosahedral dan memiliki ujun tajam
eksternal sebanyak 72.

Lebih kompleks dibandingkan HTLV-1 dan

HTLV-2. Produk gen dapat dibagi menjadi tiga kelompok (Winn, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4. Antigen Mayor HIV, Tipe-1
Gen
Group-specific antigen/core

Produk Gen
P(protein) 18, p24, p55

(GAG)
Polymerase (POL)

P31, P51, P666

Envelope (ENV)

Gp (glycoprotein)41,
gp120, gp160

Sumber: Winn, 2006

2. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target
HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan
replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di
dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung
HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada
permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel
target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor
CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s
dendritik).

Gambar 2.3. Poin potensial dari intervensi pada siklus hidup HIV
Sumber: University of Washington, 2004

Universitas Sumatera Utara

2.3.3

Transmisi Infeksi HIV
1. Transmisi melalui kontak seksual
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi
HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam
cairan semen, cairan vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV
melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya
terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek,
anus sering terjadi lesi.
2. Transmisi melalui darah atau produk darah
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama
homseksual) dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk
darah (Asjö, 2002). Diperkirakan bahwa 90 sampai 100% orang
yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami
infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko
infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi
HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000
(Nasronudin, 2007). Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah
sangat mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk
darah (contoh, konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk
perawatan hemofolia) (Lange, 2001)
3. Transmisi secara vertikal
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang
terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil , persalinan, dan
setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka
penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan
10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20% (Nasronudin, 2007). Di
mana alternatif yang layak tersedia, ibu-ibu positif HIV-1 tidak
boleh menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan
perinatal (Parks, 1996). Selama beberapa tahun terakhir,
ditemukan bahwa penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih
akurat dengan pengukuran jumlah RNA-virus di dalam plasma.

Universitas Sumatera Utara

Penularan vertikal lebih sering terjadi pada kelahiran preterm,
terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah dini (Cunningham,
2004).
4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain
Walaupun air liur pernah ditemukan dalam air liur pada
sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik
melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu
bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan
mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga
belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata,
keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV
(Nasronudin, 2007).
5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium
Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa
risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam
lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV
adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran
mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09%. Di
rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya,
terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam
2 tahun terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak terbukti terpapar
HIV (Nasronudin).

2.3.4

Patogenesis dan Patofisiologi HIV
1. Patogenesis
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel
CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga
memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya
CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang
dimediasi oleh gp41 (Mandal, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Patofisiologi HIV
Sumber: Castillo, 2005
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA
ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase
(RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangar
berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini ditranspor
ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel
pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus.
Pada aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini
dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein virus.
Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim
(misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk
menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan
sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru
(virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi
dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua
infeksi adalah grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa)
untuk HIV-1 (Mandal, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2. Patofisiologi
Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua
kekuatan limfosit dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap
sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif
menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan
sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus
ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem
imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga
timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang
dijumpai pada sebagian pasien AIDS (Sherwood, 2001).

Gambar 2.5. Patogenesis HIV
Sumber: Fauci, 2003

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,
seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3

Universitas Sumatera Utara

tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun
(Djoerban 2008).

Gambar 2.6. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan
perkembangan virus berkesinambungan pada infeksi HIV yang
tidak diterapi.
Sumber: Bennet, 2011

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat,
klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi
HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya

tubuh

masih

bisa

mengkompensasi

dengan

memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.

Universitas Sumatera Utara

2.3.5

Diagnosis dan Pemeriksaan Infeksi HIV/AIDS
1. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan
berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia
diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin,
2007).

Tabel 2.5. Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS
Gejala Karekteristik
Mayor Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis
Ensefalopati HIV
Minor

Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Herpes zoster multisegmental berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks kroniks progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Retinitis oleh virus sitomegalo

Sumber: Nasronudin, 2007

Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai
ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa serta
klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC (Nasronudin, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Klinis dan CD4 (CDC)
Tabel 2.6. Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut
CDC
Limfosit CD4

Kategori A

Kategori B

Kate-

(asimtomatis,

(simpto-

gori C

infeksi akut)

matis)

(AIDS)

>500 sel/mm3

A1

B1

C1

200-499 sel/mm3

A2

B2

C2

< 200 sel/mm3

A3

B3

C3

Sumber: Nasronudin, 2007

2. Pemeriksaan
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan adanya infeksi HIV. Salah satu cara penentuan
serologi

HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai

sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan
serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda.
Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik
Western blot (Nasronudin, 2007).
Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi
WB. Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen
protein HIV yang meliputi inti (p17, p24, p55), polimerase (p31,
p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).
Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes
penapisan melalui EIA terdapat potensi false positif 2%.
Interpretasi WB meliputi (Nasronudin, 2007):
a. Negatif: tidak ada bentukan pita
b. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi
kriteria hasil positif.

Universitas Sumatera Utara

Akurasi pemeriksaan serologi standar (EIA dan WB atau
immunoflourescent assay) sensitivitas dan spesifitasnya mencapai
> 98%(Nasronudin, 2007).

2.3.6

Penatalaksanaan Klinis Infeksi HIV/AIDS
Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI (Nasronudin, 2007)
a) Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis
makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS,
konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial,
membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam
seperti yang dilakukan di UPIPI.
b) Penatalaksanaan Khusus
Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi
infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi
malignansi.
Terapi Antiretroviral
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja
pada penderita yang dicurigai,

tetapi perlu menempuh langkah-

langkah yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai
faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek
samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan
kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak
terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV
(Nasronudin, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.7. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita
dewasa menurut WHO (2006).
Stadium

Pemeriksaan CD4 tidak

Pemeriksaan CD4 dapat

Klinis WHO

dapat dilakukan

dilakukan

I

II

III

ARV belum

Terapi bila CD4