Fundamentalisme Radikalisme dan Terorism (1)

Fundamentalisme, Radikalisme dan Terorisme dalam Pemikiran Politik Islam

PENDAHULUAN

Dewasa ini isu fundamentalisme agama menjadi topik utama dalam kehidupan keberagamaan
tidak saja di tanah air, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti apa yang disinyalir Karen Amstrong,
hampir di setiap agama fundamentalisme selalu muncul, meski kadar dan bentuknya berbeda.
Namun, gerakan fundamentalisme agama yang paling tampak berhadap-hadapan, khususnya di
Indonesia, tidak lain kecuali terlibatnya dua agama Kristen dan Islam. Dalam Agama Kristen dan
Islam, fundamentalisme agama kadang menampak pada sikap keagamaan pemeluknya,
sementara di sisi lain fundamentalisme juga tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan
pemahaman ajaran agama semata. Kendati demikian, fundamentalisme agama tetap merupakan
suatu fenomena yang masih tetap samar.

Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut pada distingsi kelompok penganut agama. Artinya, cap
fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang mengaku sebagai kelompok pembaharu.
Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan tatkala melawan kelompok liberal, sementara
tuduhan yang sama juga kerap dialamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya
yang dinilai serba ekstrem. Hal yang sama juga terdapat pada term radikalisme dan terorisme,
terjadi perluasan makna yang mengakibatkan tidak jelasnya batasan-batasan istilah tersebut.


Dalam makalah ini, penulis lebih menitik beratkan masalah fundamentalisme, radikalisme dan
terorisme pada masa modern (saat ini), meski ada kajian sejarah tentang fundamentalisme,
radikalisme dan terorisme pada masa klasik.

PEMBAHASAN

A. Sejarah Fundamentalisme, Radikalisme dan Terorisme dalam Islam
Menurut penulis bahwa faham fundamentalisme telah lahir sejak masa klasik. Meski kami belum
menemukan peristiwa awal yang menjadi fenomena eksistensi fundamentalisme, akan tetapi kita

dapat mengambil beberapa gerakan dalam Islam sebagai bukti bahwa fundamentalisme telah
lahir pada masa itu.

Salah satu fenomena yang sangat terkenal yang mengingikan pemurnian ajaran Islam terjadi
pada masa Imam Syafi’i. Meski gerakan pemurnian tersebut telah diinginkan pada masa sebelum
Syafi’I, akan tetapi beliaulah dengan gemilang berhasil menggerakkan dan mempopulerkan
gerakan tersebut.[1]

Paham fundamentalisme saat itu lebih terkotak kepada masalah hukum dan sumber-sumbernya.
Pada masa sebelum dan masa Imam Syafi’I, pendapat-pendapat hukum telah meluas sumbernya,

tidak hanya berdasarkan sumber-sumber yang diakui dalam Islam. Ra’yu yang tidak bisa
dibuktikan berdasarkan dari sumber-sumber Islam akhirnya ditolak oleh Syafi’I sebagai sumber
dalam menetapkan hukum. Imam Syafi’I terkenal dengan gerakannya kembali kepada sunnah
dalam menetapkan hukum. Karena itulah ia dijuluki sebagai nashir al-hadis.

Sementara itu, radikalisme dan terorisme lebih mudah menelusurinya. Sebut saja gerakan
Khwarij dan Syi’ah yang menginginkan perubahan radikal dalam pemerintahan Islam saat itu.
Untuk mencapai tujuannya, sebagian dari kelompok Syi’ah dan hampir seluruh kelompok
Khawarij menggunakan cara-cara kekerasan yang menimbulkan rasa ketakutan di kalangan
kaum muslimin. Dalam sejarah, tercatat banyak perang untuk menumpas gerakan-gerakan ini,
baik pada masa Khilfah Rasyidah, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan seterusnya.

B. Fundamentalisme

Arti Fundamentalisme
Menarik untuk diajukan sebuah pertanyaan, siapakah sebenarnya yang disebut kelompok
fundemantalis itu? Untuk mengurai pengertian istilah tersebut, patut disimak pernyataan Daniel
B. Stevick, “we are all talking about something which we know exists, but which no one
defines”. Ternyata, kendati istilah “fundamentalisme” sering dipakai, tetapi tidak selalu
menunjuk pada arti yang sama.[2]


Salah satu penyebab perbedaan definisi itu karena peneliti berbeda pandang dalam mendekati
gejala “fundamentalisme”. Ada yang hanya menekankan aspek sosial semata, sebagian lain
memusatkan perhatian pada aspek politis. Ada juga yang memberikan perhatian pada aspek
doktrin religiusnya. Namun yang paling umum, gerakan fundamentalisme dihubungkan dengan
dua sikap yang sangat menyolok, yakni sikap ekstremitas dan sikap puritan yang bertumpu
kepada pemurnian agama.

di sini dimengerti sebagai sikap penganut agama yang hanya menekankan aspek ketaatan secara
harfiah atas sejumlah prinsip keagamaan yang dianggap mendasar. Jika demikian halnya, maka
fundamentalisme tidak cukup hanya diidentifikasi sebagai sikap ekstremitas suatu kelompok
puritan semata, melainkan juga melanda di kalangan yang dianggap sekuler, modernis dan
bahkan tradisionalis dalam memegangi prinsip keagamaannya.

Komunitas yang majemuk itu dibiasakan untuk saling menghormati dan menyadari adanya
perbedaan. Pada saat negara tak mendorong komunitasnya mengakui perbedaan, maka mereka
akan kesulitan menyatakan identitasnya. Dalam kebingungannya itu maka hal yang paling
mungkin untuk dilakukan adalah kembali kepada identitas tradisional yang mereka miliki.

Fundamentalisme Islam

Dalam komunitas Islam, munculnya istilah fundamentalisme yang berasal dari Barat sering kali
dikecam. Mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher, mengatakan bahwa pemeluk Kristen
Protestanlah yang pertama kali menggunakan istilah fundamentalisme. Mereka ingin kembali ke
dasar ajaran agama dengan menafsirkan kitab suci secara harfiah.

Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World
Disorder (1998) memandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global
yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi
politik.[3]

Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti
dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu
baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi
mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit

membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi,
politik, dan militer.

Fundamentalisme-radikal dapat dicegah seiring tumbuhnya kedewasaan umat beragama.
Kedewasaan umat beragama itu akan tumbuh jika mereka mendapat pemahaman yang memadai

tentang pluralitas dan pentingnya toleransi beragama. Sikap saling menghargai dan menghormati
dalam pergaulan antaragama dan antarbangsa dalam suasana yang penuh persamaan dan
persaudaraan harus tumbuh dari setiap jiwa umat beragama

C. Fundamentalisme Islam dan "Universitas Jihad"
Kelompok fundamentalisme Islam atau Islamis radikal terbagi dalam dua kelompok. Pertama,
kelompok yang bersifat nasional dan regional, yang bergerak dalam satu negara (nasional) dan
beberapa negara (regional) tertentu. Kedua, kelompok yang bersifat transnasional atau
supranasional yang tidak terikat kepada negara tertentu. Kelompok ini dikenal pula dengan nama
neofundamentalis, neoislamis, dan jihadis. Kaum fundamentalisme Islam atau Islam radikal
umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufr, kafir. Berdasarkan prinsip ini, mereka
semula mengharamkan mengambil dan menerapkan sistem demokrasi.[4]

Kelompok Islamis radikal nasional dan regional adalah mereka yang berusaha mendirikan negara
Islam dengan menggunakan kekerasan, termasuk menghilangkan nyawa manusia kalau perlu.
Bagi kelompok ini, syarat pertama mencapai tujuan adalah menjatuhkan secara paksa penguasa
suatu negara (nasional) atau beberapa negara (regional), mengambil alih kekuasaan, kemudian
mendirikan negara Islam. Kelompok Islamis radikal juga menggunakan konsep takfîr, yaitu
mengafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka dan menghalalkan darah dan harta
benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama

Khawârij al-judud (neo-Khawârij).

Adapun Islamis radikal transnasional atau supranasional adalah kelompok Islamis yang lebih
memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang selalu menekan dan
hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Anggota kelompok Islamis radikal
transnasional tersebar di seluruh dunia. Umumnya mereka menggunakan dua bahasa (Inggris dan
Arab) dalam berkomunikasi. Mereka berasal dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam. Mereka direkrut dari berbagai kelompok Islamis, seperti Al Qaeda, Ikhwân alMuslimîn, Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Jama’at-i Islami.

Islamisme dan demokrasi
Syukurlah, sejarah sedang berubah. Islam radikal dan fundamentalis yang antidemokrasi kini
sebagian bergabung ke dalam poros demokratisasi. Doktrin George W Bush dan kubu
neokonservatif (hawkish) di Gedung Putih yang telah lazim disebut imperialisme demokratik
seakan menemukan tantangan baru dengan kemenangan islamisme dalam pemilu demokratis di
dunia Islam, seperti Hamas di Palestina, Refah di Turki, dan seterusnya.

Dalam kasus Hamas, meminjam bahasa Fareed Zakaria (2006), AS menggunakan standar ganda
dalam agenda "imperialisme demokratiknya": menolak atau menegasikan kemenangan kelompok
islamisme yang dianggapnya hanya akan memunculkan kekuasaan para fundamentalis Islam
semacam mullah ala Iran atau teokrat ala Taliban. Setidaknya fakta ini telah menimbulkan fobia

Islam dan menjadi momok bagi AS/Barat dalam kasus Palestina yang masyarakatnya justru telah
memilih demokrasi. [5]

Di negara-negara Muslim kemenangan Islam politik (baca: islamisme) dalam pemilu yang
demokratis sebenarnya merupakan suatu pengalaman dan perkembangan baru. Kemenangan
elektoral Hamas di Palestina yang mengejutkan AS/Barat, seperti halnya kemenangan Refah di
Turki dan FIS di Aljazair tempo hari, semestinya membuka mata hati AS/Barat tentang betapa
signifikannya saling pengertian dan pemahaman antara para pemimpin AS/Barat dan tokoh
islamisme di dunia Muslim dalam mempraktikkan demokrasi. Dalam konteks Palestina,
penyusunan skenario oleh AS dan Israel untuk menggulingkan Hamas hampir pasti
kontraproduktif dan meningkatkan resonansi politik anti-Barat di dunia Islam.

Kemenangan Hamas membuktikan ketidaksahihan pandangan islamolog di Barat yang
mengemukakan bahwa islamisme telah mundur dan gagal memperjuangkan dan
mempertahankan kekuasaan politik di wilayah Muslim.

Namun, dewasa ini sejarah berbicara lain. Pandangan para islamolog dan orientalis itu tidak
selalu benar. Fakta historis memperlihatkan bahwa di Palestina Hamas memenangi pemilihan
umum. Di Turki Refah masih berjaya. Di Lebanon Hizbullah terus berkembang. Di Iran dan Irak
politik Syiah terus menguat. Sementara itu, di kawasan Asia Tengah (Uzbekistan, Kirgistan,

Kazakhstan, dan Tajikistan) gerakan Hizbut Tahrir memperoleh dukungan rakyat dengan
meyakinkan. Hizbut Tahrir berkembang di kawasan itu karena tidak ada kelompok oposisi yang

efektif. Situasi ini, dimanfaatkan Hizbut Tahrir dengan memperlihatkan dirinya sebagai satusatunya kelompok oposisi terhadap elite penguasa. Tiadanya kekuatan oposisi sekuler di Asia
Tengah telah mendorong Hizbut Tahrir menjadi political vehicle yang reasonable, apalagi mereka
memiliki kemampuan berorganisasi yang baik dan memperoleh sumbangan dana dari negaranegara Timur Tengah untuk mengembangkan kegiatan politiknya.

Memahami Gejala Fundamentalisme
Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan
pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada
pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang
sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti
fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari
praktek keagamaan mainstream.[6]

Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara
orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan
semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide
dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan
fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara

"penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.

Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam
bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah
bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan
luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak
disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.

Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih
kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini
tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke
dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses
modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi.
Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan,
komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.

Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox
misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern
Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang
dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner

berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan.
Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan
dalam segi-segi tertentu, semakin kuat.

Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar
"High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan
pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa
terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk
Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti
bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana
dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang
puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern,
sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.

Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus
Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai
terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang
mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan,
hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah
mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh

tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia
Muslim.

Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau
tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi
keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah
maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" visa-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif.
Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami
gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.

Fundamentalisme dimaknai sebagai pemikiran hitam putih yang tak ada ruang di antaranya.
Profesor Antropologi dari Universitas York, Toronto, Kanada, Dr Judith Nagata, dalam sebuah
kunjungannya ke Indonesia menyatakan, fundamentalisme-lah yang menyebabkan seseorang
atau sekelompok orang melakukan tindak kekerasan atas kelompok lain. Mereka menganggap
kelompok lain bertentangan dengan kelompoknya. Ini bisa saja hidup di benak suku bangsa atau
ras tertentu juga pemeluk agama, apa pun agamanya. Maka kurang tepat jika kemudian
fundamentalisme hanya disematkan kepada sebuah agama tertentu.

Menurut Judith, fundamentalisme tak hanya ada di dalam komunitas Islam, tapi juga di Kristen,
Buddha, Katolik, Hindu, Yahudi, maupun Sikh. Ia mengungkapkan, fundamentalisme, khususnya
fundamentalisme agama, tak hanya dipengaruhi oleh penafsiran atas teks suci saja, melainkan
juga berkait kelindan dengan kebijakan pemerintah di mana sejumlah komunitas agama tersebut
hidup dalam masyarakat atau negara yang begitu plural, terutama terkait dengan kemauan politik
dari sebuah pemerintahan.[7]

Judith menyontohkan bagaimana pemerintah Kanada memiliki kemauan politik yang bagus
dalam hal ini. Sebagai sebuah negara yang multikultur dan multikeyakinan, pemerintah Kanada
terus mendorong masyarakatnya yang plural tersebut untuk memahami komunitas yang berbeda
dengan dirinya.

Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for
Modernity, Legitimacy, and the Islamic State (1999) menyebut, Islam fundamentalis sebagai
manifestasi awal atas gerakan sosial masif yang mengartikulasikan agama dan aspirasi peradaban
dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi
non-negara, dan paradigma non-negara bangsa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar gerakan
lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan
tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal.
Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. “Bagi fundamenatlisme radikal,
menjadikan tauhid sebagai pembenaran bagi pendominasian terhadap yang lain; (adapun)
fundamentalisme moderat, menjadikan tauhid bukan untuk mendominasi yang lain,” tegasnya.

D. Radikalisme

Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu,
radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis
dan kekerasan.[8] Dalam perkembangannya, menurut penulis, bahwa radikalisme kemudian
diartikan juga sebagai faham yang menginginkan perubahan besar.

Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum.[9] Pertama,
radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut
muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang
ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti
tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau
pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan
tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.

Dan ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi
yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang
mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama agama dan
aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam
bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum
Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan
saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon.
Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi
pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.

Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar
pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk
aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan
ditata sesuai dengan doktrin agamanya.

Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat
seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap
menjadi komitmen kita semua untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya
terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya
kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat
tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama
sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya
tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Kalau kaum radikalis
agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan maka ini merupakan ancaman
besar bagi pluralisme.[10]

E. Terorisme
Teror secara etimologi berarti menciptakan ketakutan yang dikalukan oleh orang atau golongan
tertentu. Sementara terorisme adalah paham yang menggunakan kekerasan untuk menciptakan
ketakutan dalam usaha mencapai tujuan.[11]

Terorisme dapat dipandang dari berbagai sudut ilmu: Sosiologi, kriminologi, politik, psikiatri,
hubung-an internasional dan hukum, oleh karena itu sulit merumuskan suatu definisi yang
mampu mencakup seluruh aspek dan dimensi berbagai disiplin ilmu tersebut.

Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orangorang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

US Department of Defense tahun 1990. Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau
tindakan yang mengan-dung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak
milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama atau idiologi.
TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000. Terorisme adalah cara berfikir
dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan.[12]

Terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain, pertama,
adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua, penyalahgunaan simbol agama. Ketiga,

lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Kempat, faktor
eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara terhadap
sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan tidak adil bereaksi. Menurut
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, terorisme hanya bisa
dicegah secara fundamental kalau kita bisa menyelesaikan hingga keempat pokok masalah
tadi[13].

Dalam tulisan ini penulis hanya fokus pada dua poin yang pertama. Studi tentang terorisme
memperlihatkan bahwa pandangan agama yang keliru dan penyalahgunaan simbol agama
menjadi dalang utama aksi teroris. Demi alasan agama, orang bisa berkorban bahkan nyawa
sekalipun. Bahkan ada yang lebih ekstrem, demi menjaga kemurnian agama sendiri, komunitas
lain harus dihabisi karena berseberangan pandangan.

PENUTUP

Faham fundamentalisme adalah faham yang menginginkan pengembalian ajaran Islam kepada
kemurniannya. Sementara radikalisme adalah faham yang menginginkan perubahan secara besarbesaran dan drastis. Terorisme adalah faham yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan mereka. Faham fundamentalisme, radikalisme dan terorisme telah lama
mewarnai perjalanan dunia politik Islam. Bahkan beberapa kelompok besar dalam Islam seperti
Khawarij dan sebagian kelompok Syi’ah terkenal dengan tujuan mereka yang ingin mewujudkan
perubahan besar-besaran dalam dunia politik, dan untuk mencapai tujuan tersebut mereka
menggunakan cara-cara kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Memahami Gejala Fundamentalisme. Jurnal Ulumul Qur'an. Edisi 17 Dec
2000
Chulsum, Umi dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko, 2006.
Dephan, Terorisme. Artikel pada www.balitbangdephan.com. Didownload pada 25 September
2007.
Hodgson Marshal, The Venture of Islam I . Chicago: Chichago University Press, 1974.

Karyono, Ribut, Fundamentalisme Dalam Kristen – Islam . Yogyakarta: Kalika Press, 2003.
Kompasonline.com edisi Jumat, 02 Maret 2007.
Kompas edisi 2-9-2003
Penulis, Mencegah Fundamentalis-radikalis. Artikel internet pada www.isamkui.co.id
didownload pada 27 September 2007.
Penulis, Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004? Artikel pada www.Sinar
Harapanonline.co.id. didownload pada 24 September 2007.

______________________
[1] Marshal Hodgson menguraikan gerakan ini dengan sangat baik sekali, lihat Marhsal
Hodgson, The Venture of Islam I ( Chicago: Chichago University Press, 1974), h. 326.
[2] Ribut Karyono, Fundamentalisme Dalam Kristen – Islam (Yogyakarta: Kalika Press, 2003),
h. 25
[3] Ibid.
[4] Kompasonline.com edisi Jumat, 02 Maret 2007.
[5] Ibid.
[6] Azyumardi Azra, Jurnal Ulumul Qur'an. Edisi 17 Dec 2000
[7] Mencegah Fundamentalis-radikalis. Artikel internet pada www.isamkui.co.id didownload
pada 27 September 2007.
[8] Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya: Kashiko, 2006),
h. 561.
[9] Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?
Harapanonline.co.id. didownload pada 24 September 2007.

Artikel

pada

www.Sinar

[10] Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?
Harapanonline.co.id. didownload pada 24 September 2007.

Artikel

pada

www.Sinar

[11] Umi Chulsum, Kamus Besar, h. 659.
[12] Dephan, Terorisme. Artikel pada www.balitbangdephan.com. Didownload pada 25
September 2007.
[13] Kompas edisi 2-9-2003