politik pencitraan dan demagog politik

Page | 1

POLITIK PENCITRAAN DAN DEMAGOG POLITIK
(Aplikasi Teori Dependency Dalam Maraknya Penggunaan Media
dalam Pembentukan Citra)
Roro Retno Wulan – Universitas Subang, Jawa Barat
(rorowoelan28@gmail.com)

ABSTRAK
Politik pencitraan dan kehadiran media massa dalam masa kampanye merupakan fenomena
yang menarik di Indonesia. Dimana momen kebenaran digantikan oleh momen citra, sehingga
membuka ruang bagi para selebritis politik baru yang lebih cocok disebut para demagog
politik.
Penelitian ini didasarkan kepada fenomena di masyarakat dan media dikaitkan dengan Teori
Dependensi Ball-Rockeach & DeFleur (1976). Dengan asumsi bahwa terjadi hubungan tarik
menarik antara sistem politik, sistem sosial, dan sistem media, akan saling terkait, terhubung,
dan membentuk efek terhadap kecenderungan perubahan sikap, pengetahuan dan perilaku di
masyarakat.
Sebagai studi yang didukung data-data berita dari media internet, maka penelitian ini
bertujuan memberikan masukan bagi dunia komunikasi politik bahwa penggunaan media
massa dan media social pada dasarnya membantu pembentukan citra di hadapan public.

Namun penerapannya lebih banyak membahayakan kepentingan masyarakat.
Hasil dari tulisan ini berupa penyadaran mengenai: 1) maraknya kampanye di media massa
memunculkan demagog politik, 2) politik dengan modal yang besar mampu membentuk citra
para demagog politik. Kesemuanya itu pada akhirnya merugikan masyarakat dan kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.

Kata kunci: demagog politik, politik pencitraan, media massa dan komunikasi politik

1

Page | 2

PENDAHULUAN
Munculnya media sebagai bagian dari komunikasi politik merupakan sebuah
fenomena menarik dalam komunikasi politik. Penggunaan media dalam proses sosialisasi
politik ini membuka ruang-ruang baru dalam komunikasi politik. Salah satu ruang baru
tersebut diisi oleh politik pencitraan. Politik pencitraan dimainkan dengan tujuan
terbentuknya opini publik yang diharapkan terhadap penokohan seseorang. Bagaimana
momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam
permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan

citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu
sendiri1. Citra yang sebenranya telah digantikan oleh citra yang telah direkayasa demi
kepentingan keterpilihan dalam pesta demokrasi.
Di Indonesia memang belum banyak penelitian tentang peran media social dan media
massa secara khusus berkaitan dengan komunikasi politik. Padahal para ahli komunikasi telah
banyak memperkirakan bahwa kedepannya komunikasi politik akan menarik untuk diteliti.
Salah satu alasannya karena pada pemilu 2019 mendatang, Indonesia akan banyak
memunculkan tokoh-tokoh baru pasca Orde Baru. Jumlah massa mengambang diprediksi
akan bertambah. Rakyat semakin cerdas dan sadar akan keterwakilannya. Akhirnya pemimpin
yang otentik dan dekat dengan rakyat akan semakin digandungi2. Itu berarti peran politisi
perlu meningkatkan kemampuan persuasifnya. Peran media akan semakin kuat dalam
mempengaruhi masyarakat.
ANALISA DEMAGOG POLITIK & PENCITRAAN
Pada kenyataannya memang media massa berperanan dalam merepresentasikan
realitas dan sekaligus memproduksinya. Media nyata-nyata menjadi bagian dari globalisasi
kapitalisme. Inilah yang menjadikan media massa seakan-akan memberikan ruang kepada
komunikator-komunikator politik palsu, yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan
pribadinya atau lebih dikenal sebagi demagog politik. Kehadiran mereka seakan-akan
disahkan oleh banyaknya publikasi di media, baik media massa maupun media social.
Menurut Mahfud MD dalam tulisan di blog-nya: “Demagog adalah agitator-penipu

yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan
untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau
1 Piliang, Amir Yasraf. 2005.
2 Mulyana, Deddy. 2013. Komunikasi Politik Politik Komunikasi. Hal 26

2

Page | 3

sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering
mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan”. Fenomena demagog politik itu
sendiri sekarang menguat dengan munculnya politisi-politisi dadakan yang sebelumnya tidak
memiliki latar belakang politik, baik dalam pendidikan maupun pengalaman. Kemunculan
mereka ditandai dengan maraknya penggunaan media untuk tujuan mengiklankan pribadinya.
Terutama kehadiran media below the line di ruang public, seperti di jalan, di papan iklan, di
jembatan penyeberangan, di taman kota dan di pohon-pohon penghijau.
Konsep demagog sendiri lahir saat Aristoteles dan Plato menolak sistem pemerintahan
demokrasi karena diperkirakan akan melahirkan demagog-demagog politik. Inilah yang saat
ini terjadi di Indonesia. Tanpa kita sadari kemunculan para demagog politik di media malah
mengukuhkan penokohan dirinya. Media massa turut mengkonstruksi hal tersebut. Teknikteknik pencitraan digunakan dalam mengkonstruksi seseorang. Citra dan reputasi dikaburkan.

Citra sebagai persepsi masyarakat sebagai jati diri seseorang atau organisasi didasari oleh apa
yang masyarakat ketahui dan mereka kira tentang orang atau organisasi tersebut. Citra
tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan keputusan pilihan. Jika kita
memahami konsep citra maka akan dipahami bahwa citra sengaja diciptakan agar bernilai
positif3. Istilah lain dari citra adalah favourable opinion, opini public yang menguntungkan.
Frank Jefkins mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu
yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan pengalamannya. Jalalludin Rakhmat
menyebutkan bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan
realitas4. Citra dapat diidentifikasi. Demikian kebutuhan akan citra dan reputasi perseorangan
atau organisasi dapat diidentifikasi. Citra dibentuk dari pesan politik. Oleh karenanya pesan
tersebut harus sesuai dengan kebutuhan penerima pesan. Jika pesan tersebut dapat mewakili
kebutuhan penerima pesan maka pesan tersebut akan mudah diterima dan diinternalisasikan.
Pada akhirnya angka keterpilihan akan meningkat. Milbrath5 mensugestikan bahwa partisipasi
politik bervariasi berkaitan dengan empat faktor utama:
1. Sejauhmana orang menerima perangsang politik,
2. Karakteristik sosial seseorang,
3. Karakteristik pribadi seseorang,
4. Lingkungan politik dimana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.

3 Ardianto, Elvinaro.2011. Handbook of PR. Hal 62

4 Op cit
5 Russ & Althrof. 2011. Pengantar Sosiologi Politik. Hal 165

3

Page | 4

Dengan konsep tersebut citra dibuat, sehingga para demagog politik yang “baru naik
panggung” nampak sebagai orang yang kompeten, mumpuni, cerdas dan amanah dalam
menjalankan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Media menyebarkan pesan tersebut
seakan-akan itulah realitas yang ada.
TEORI DEPEDENSI DAN PRAKTEK KOMUNIKASI POLITIK

SISTEM POLITIK

SISTEM SOSIAL

SISTEM MEDIA

(tingkat stabilitas struktural yang bervariasi)

(jumlah & sentralitas informasi yg bervariasi)

AUDIENCES
(tingkat ketergantungan pd informasi media yg bervariasi)

EFEK
KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL

Gambar 1: Model Dependency Theory
(sumber : catatan perkuliahan dan Ball-Rockeach & De Fleur, 2013)

Jika kita meninjau kondisi ideal yang seharusnya terjadi di Indonesia, menurut
Dependency Theory dari Ball-Rockeach & DeFleur (1976) dengan asumsi “This theory
predicts that you depend on media information to meet certain needs and achieve certain
goals, like uses-and-gratifications theory, with ingredients from social categories theory, and
causal approaches”. Nampak bahwa sistem media memiliki kekuatan yang sama dengan
sistem sosial dan sebaliknya dalam mempengaruhi khalayak, dimana khalayak akan memilih
media sesuai denga kategori sosialnya, dan masing-masing sistem memiliki ketergantungan
satu sama lain dan jika kita masukkan asumsi sistem politik seperti dalam disertasi Prof.


4

Page | 5

Soleh Soemirat6, maka akan nampak bahwa kondisi demokrasi Indonesia yang seharusnya
terjadi adalah adanya sinergi antara :
1. Sistem politik, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas regulasi dan pengawas
jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara, bekerja sama dengan
2. Sistem sosial, yang merupakan kondisi-kondisi riil sosial kemasyarakatan yang
menjadi obyek dari regulasi dan menjadi subyek umpan balik bagi pemerintah,
bekerja sama dengan
3. Sistem Media, yang berfungsi memberikan informasi, mendidik dan menjadi
kontrol sosial atas sistem politik dan sistem sosial.
Dengan tercapai kondisi ideal ini selayaknya pencitraan politik bisa diarahkan menjadi
konsep yang berguna dalam membantu masyarakat. Mereka dapat memilih calon pemimpin
yang tepat. Konsep meritokrasi bisa dijalankan di Indonesia. Masyarakat diberdayakan, diberi
informasi yang benar dan berimbang. Jadi masyarakat dapat memilih para wakil rakyat sesuai
dengan criteria kebutuhan mereka. Bukan menjadi ladang baru bagi para demagog politik.
Di sisi lain media terutama media massa selayaknya lebih banyak memiliki
keberpihakan kepada kepentingan masyarakat bukan kepada pemilik media. Di Indonesia saat

ini, beberapa media massa dan konglomerasinya notabene milik anggota partai. Pesan yang
disampaikan bahkan di beberapa kali kesempatan Nampak salling tuding, saling memojokkan
dan saling membuka kekurangan pihak lawan. Yang penting diwaspadai adalah adanya
kemungkinan janji-janji politik tersebut tidak dapat dipenuhi. Alih-alih menjalankan janjijanji kampanyenya, yang terjadi mungkin saja mereka akan menjadi perampok negara seperti
yang sudah-sudah. Di sini seharus kita sadar,

bahwa masuknya media massa ke ranah

domestik pemirsanya menjadikan pesan-pesan politik lebih merasuk ke dalam kehidupan
pribadi. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa saat ini tinggi, seakanakan khalayak tidak bisa hidup tanpa informasi dari media baik massa maupun sosial.
Walaupun pada dasarnya teori ini mengusung konsep seperti teori kategori sosial dimana
pemirsa memilih saluran sesuai dengan kategori sosialnya, namun tak dapat dipungkiri bahwa
iklan-iklan politik muncul dimana-mana. Sebagai penerima pesan kita tidak bisa keluar dari
kepungan pesan tersebut. Di sisi lain perlu disadari bahwa media bukan hanya sebagai alat
hiburan atau teman, malah sudah seperti keluarga sendiri. Media memiliki kemampuan
persuasi yang mampu merekayasa citra baik partai maupun para actor politik menjadi lebih

6 Catatan perkuliahan Fikom Unpad kelas kompol angkatan 2013

5


Page | 6

tepat di ranah kognitif khalayak. Inilah yang disebut “the Era of Imagology”, ketika citra
lebih penting dari realitas politiknya.
Menurut Rush & Althoff7 “Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensiagensi utama dari sosialisasi politik. Kebalikannya, semakin besar derajat perubahan di dalam
satu pemerintahan non-totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi
politik”. Maka jika Indonesia yang saat ini tidak memiliki stabilitas dalam sistem sosialnya
(munculnya konflik di beberapa daerah, tingginya harga barang kebutuhan pokok, dan
kurangnya kepastian hukum) menghadapi kondisi pesta demokrasi dimana para demagog
politik akan memanfaatkan keadaan tersebut dan membuat janji-janji kampanye yang manis
kepada rakyat dengan menggunakan jaringan media massa, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada saat pesta demokrasi nanti kita akan memilih para demagog tersebut yang
akhirnya menghancurkan bangsa dan negara ini sebagai sebuah kesatuan sistem. Inilah yang
diramalkan oleh Teori Dependensi. Ketiga sistem; sistem politik, sistem sosial, dan sistem
media, akan saling terkait terhubung, dan membentuk efek terhadap kecenderungan
perubahan sikap, pengetahuan dan perilaku. Jika kita keliru maka akan mengakibatkan
kekeliruan di semua unit.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas, tulisan ini memberikan gagasan ini berupa proposisi
mengenai: 1) maraknya kampanye di media massa memunculkan demagog politik, 2) politik
dengan modal yang besar member kesempatan pembentukan citra para demagog politik.
Akibatnya rakyat menjadi apatis terhadap pemilihan pimpinan daerah, tidak mempercayai
informasi dari media massa mainstream sehingga berpindah kepada media lainnya seperti
media social. Akibatnya lebih banyak lagi informasi yang menyesatkan dan membingungkan
jika masyarakat tidak dibekali oleh pengetahuan yang cukup. Maka satu saat gejolak politik
akan muncul dan merugikan kesatuan dan persatuan bangsa. Contohnya saat pemilihan
presiden dan kepala daerah pada prakteknya banyak ditunggangi oleh kepentingankepentingan yang bukan bagian dari visi-misinya. Yang menjadi kekhawatiran jika
kepentingan-kepentingan itu mengakibatkan kesengsaraan kepada rakyat miskin dan
memberikan keuntungan pada orang kaya. Maka yang akan terjadi orang miskin semakin
miskin dan yang kaya semakin kaya.
7 Russ & Althrof. 2011. Pengantar Sosiologi Politik. Hal 109

6

Page | 7

Selain itu sudah saatnya wacana pluralisme tidak hanya menjadi slogan tapi harus
tercermin dalam sikap keseharian kita. Karenanya mungkin ada baiknya jika aspirasi

masyarakat yang takjub dengan hiruk pikuknya perpolitikan negara ini didengar dengan cara
membuka debat publik untuk membuktikan gagasan siapa yang paling layak untuk "dijual" ke
publik. Ini sekaligus akan memberikan pendidikan politik yang sehat pada masyarakat bahwa
sebuah gagasan politik layak diterima atau ditolak bukan karena didukung oleh kekuatan dan
mobilisasi massa, tetapi lebih karena didukung oleh kekuatan nalar dan argumentasi yang
meyakinkan. Inilah yang disebut komunikasi politik dalam tatanan praktis. Sehingga apa yang
menjadi asumsi Lane & Weber8 menjadi kenyataan bahwa “partisipasi politik itu ditentukan
oleh sikap-sikap sosial dan sikap-sikap politik individu yang mendasar, yang erat berasosiasi
baik dengan karakteristik pribadi dan sosialnya maupun dengan lingkungan sosial dan
lingkungan politik yang membentuk konteks perilaku politiknya”.

8 Opcit hal. 179

7

Page | 8

DAFTAR PUSTAKA:
Ball-Rokeach, S.J., & DeFleur, M.L. (1976). A dependency model or mass-media
effects. Communication Research, 3,3-21.
DeFleur, M. L. & Ball-Rokeach, S. (1989). Theories of mass communication (5th ed.). White
Plains, NY: Longman.
Rush, Michael & Philip Althoff. (2011). Pengantar Sosiologi Politik. Rajawali Press.
Bandung.
Ball-Rokeach, S.J., Power, G.J., Guthrie, K.K., & Waring, H.R. (1990). Value-framing
abortion in the United States: An application of media system dependency
theory. International Journal of Public Opinion Research, 2, 249-273.
Nimmo, Dan. 2006. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek. Remaja Rosdakarya. Bandung
Comb, James E. & Dan Nimmo. 1993. Propaganda Baru – kediktatoran perundingan politik.
Remaja Rosdakarya. Bandung
Subiakto, Henry & Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Kencana
Prenada Media Grup. Jakarta
Russ, Michael & Philip Althoff. 2011. Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit Rajawali. Jakarta
Duverger, Maurice. 2007. Sosiologi Politik. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta
Samovar, Larry & Richard E. Porter, Nemi Jain. 1981. Understanding Intercultural
Communication. Wadsworth. California
Croteau & Hoynes, 1997. Media/Society.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu politik Edisi Revisi. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Eddi Wibowo dkk. 2004. Ilmu Politik Kontemporer. YPAPI. Yogyakarta.
Catatan perkuliahan Kompol S3 oleh Prof Soleh Soemirat tanggal 7 November 2013.

8