pengaruh bi rate inflasi dan nilai tukar

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya

(Munir Fuady,1998).

Dengan demikian fungsi bank

adalah sebagai financial intermediary yang berarti menghimpun dana masyarakat
dan meyalurkan kembali ke masyarakat.

Bank menyalurkan dana kepada

masyarakat dalam bentuk kredit, dari kegiatan tersebut bank memperoleh
keuntungan. Kegiatan bank hendaknya tidak semata-mata demi keuntungan,
melainkan harus diarahkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Jumlah
kredit yang diberikan akan membawa konsekwensi terhadap resiko yang harus
ditanggung oleh bank. Semakin besar


jumlah kredit, maka semakin tinggi

resikonya, salah satunya adalah resiko likuiditas. Likuiditas merupakan
kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (Kasmir,2008).
Salah satu indikator likuiditas yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
likuiditas bank yaitu rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga atau Loan to
Deposit Ratio (LDR). LDR yang terlalu tinggi menunjukan bahwa suatu bank
meminjamkan seluruh dananya atau menjadi tidak likuid. LDR yang rendah
menunjukan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana untuk dipinjamkan
(Agus,2001).
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir Juli 1997 silam
menimbulkan dampak negatif yang sangat besar pada perekonomian Indonesia,
tak terkecuali sektor perbankan juga terkena imbasnya. Ketika ekonomi nasional
terus memburuk, pemerintah memutuskan untuk menutup 16 bank swasta
1

nasional pada awal November 1997 (Gatra, 1997) .Keputusan itu dibuat sejalan
dengan kesepakatan reformasi ekonomi antara Indonesia-IMF, likuidasi 16 bank
pertama ini diharuskan, melihat kondisi bank-bank tersebut telah memasuki utang

buruk, penyimpangan dalam

praktek perbankan dan penyimpangan lainnya.

Berikut disajikan grafik likuiditas bank umum di Indonesia :
Gambar 1.1 Perkembangan Tingkat Likuiditas Bank Umum Indonesia
Tahun 2011 ( dalam persen)

Loan to Deposit Ratio
84
82
80
78
76
74
72

LDR tahun 2011

i

t
ar
re
a
u
n
m
ja

ei
m

li
ju

r
be

m
m

te
ve
p
o
n
se

r
be

Sumber : data diolah dari situs resmi Bank
Indonesia

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa tingkat likuiditas dari bulan

Januari sampai bulan Agustus mengalami kenaikan sebesar 6,73% yang berarti
dalam kurun waktu 8 bulan bank umum di Indonesia mengalami keadaan dimana
dana untuk membayar kewajiban jangka pendek terus berkurang, akan tetapi pada
bulan September sampai Desember 2011, LDR mengalami penurunan sebesar
3,44% yang berarti masyarakat mulai menyimpan dananya di bank.

Likuiditas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu oleh
suku bunga Bank Indonesia. Suku bunga merupakan salah satu variabel yang
paling banyak diamati dalam perekonomian. Hal ini disebabkan pergerakannya

2

dilaporkan hampir setiap hari di media, oleh karena itu pergerakan suku bunga
dapat mempengaruhi keputusan pribadi, seperti memutuskan dananya untuk
berinvestasi ataupun untuk disimpan di bank. Suku bunga dapat digunakan
sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan
uang yang beredar dalam suatu perekonomian (Sunariyah,2004). Tingkat suku
bunga dijadikan salah satu kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk
mengatur beredarnya uang. Apabila peredaran uang dianggap terlalu banyak,
maka BI akan meningkatkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan sebaliknya jika peredaran uang dianggap sedikit maka BI akan menurunkan
tingkat suku bunga. Berikut disajikan grafik perkembangan suku bunga Bank
Indonesia :
Gambar 1.2 Perkembangan BI Rate Periode 2012-2013 di Indonesia

Sumber : situs resmi Bank Indonesia

Dari grafik diatas menunjukan bahwa tingkat BI Rate dari November
2012 sampai Mei 2013 tidak mengalami peningkatan ataupun penurunan akan
tetapi mengalami peningkatan sebesar 0,25% di bulan Juni 2013 yang kemudian
terus mengalami peningkatan sampai pada bulan November 2013. Ini berarti pada
rentang waktu yang cukup singkat, jumlah uang yang beredar di masyarakat
cukup dianggap banyak sehingga Bank Indonesia harus menaikan suku bunga

3

karena semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin tinggi pula minat
masyarakat untuk menabung, begitu pula sebaliknya (Sunariyah,2004)
Aktifitas perbankan dapat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dalam
negeri. Salah satu indikator perekonomian adalah inflasi. Terjadinya penarikan
dana oleh masyarakat dan bertambahnya jumlah kredit yang diiberikan kepada
masyarakat tersebut disebabkan oleh inflasi. Inflasi merupakan suatu nilai dimana
tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan (Bodie dan
Marcus, 2001). Kenaikan tingkat harga barang dan jasa menyebabkan
meningkatnya kebutuhan dana oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.dengan kondisi tersebut masyarakatakan cenderung menarik dana dan
meminta kredit dari bank. Dampak dari inflasi diantaranya yaitu menimbulkan

gangguan terhadap fungsi uang, meningkatkan kecenderungan untuk belanja,
melemahkan semangat untuk menabung, pengerukan tabungan dan penumpukan
uang, permainan harga diatas standar kemampuan, penumpukan kekayaan dan
investasi non produktif, distribusi barang relatif tidak stabil dan terkonsentrasi
(Dornbus & Fischer, 1997). Penurunan likuiditas yang disebabkan oleh dampak
inflasi tersebut ditunjukan oleh data inflasi yang pada tahun 2011 sampai tahun
2012 mengalami peningkatan yaitu dari 3,72% di tahun 2011 menjadi 4,21% di
tahun 2012. Peningkatan inflasi tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Gambar 1.3 Peningkatan Inflasi Tahun 2011-2012 (dalam persen)

4

inflasi
4.3
4.2
4.1
4
3.9
3.8
3.7

3.6
3.5
3.4
2011

inflasi

2012

Sumber : data diolah dari BPS
Dari grafik diatas dapat dikatakan apabila inflasi meningkat maka
Indonesia

masyarakat akan cenderung untuk menarik simpanannya atau melakukan
pinjaman dari bank, hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya dana di bank
sehingga kemungkinan bank akan menjadi tidak likuid.
Selain inflasi, faktor lain yang mempengaruhi likuiditas perbankan adalah
nilai tukar. Nilai tukar atau kurs menunjukan harga atau nilai mata uang. Menurut
Sadono Sukirno, kurs dapat didefinisikan sebagai jumlah uang domestik yang
dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan untukmemperoleh satu unit

uang asing. Kurs pertukaran valuta asing adalah faktor yang sangat penting dalam
menentukan apakah barang-barang di negara lain adalah “lebih murah” atau
“lebih mahal” dari barang-barang yang diproduksikan didalam negeri. Pada
dasarnya terdapat dua cara dalam menetukan nilaimata uang asing, yaitu:
berdasarkan permintaan dan penawaran nilai mata uang asing dan nilai tukar yang
ditetapkan oleh pemerintah (Sukirno, 2004). Meningkatnya nilai tukar rupiah dari
suatu mata uang asing, dalam hal ini Dollar AS terhadap Rupiah, dapat
mengakibatkan masyarakat lebih ingin untuk memiliki Dollar AS tersebut, dengan
menarik dana dari bank dan menukarnya dengan Dollar AS tersebut, sehingga
menurunkan

persediaan

perbankan,

yang

pada

akhirnya


mempengaruhi

kemampuan bank dalam membayar kewajiban jangka pendek dan memberikan
5

kreditnya, sehingga menurunkan LDR. Berikut disajikan grafik nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Amerika :
Gambar 1.4 pertumbuhan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
Tahun 2011 (dalam rupiah)
nilai tukar
10000
9800
9600
9400
9200
9000
8800
8600
8400

8200
8000
i
ar
u
n
ja

nilai tukar

et
ar
m

ei
m

li
ju

r
r
be
be
m
m
e
ve
pt
no
se

Sumber : data diolah dari BPS
Indonesia
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pada bulan Januari sampai

dengan Agustus nilai tukar Rupiah terhadap Dollar terus menguat dikarenakan
kembali masuknya aliran modal asing karena positifnya persepsi investor asing
terhadap kuatnya fundamental ekonomi Indonesia. Hal ini berdampak pada
pembelian Dollar oleh masyarakat dengan menukar rupiah dengan Dollar
sehingga cadangan Rupiah meningkat dan menjadikan bank menjadi likuid. Akan
tetapi pada akhir Agustus, nilai tukar rupiah melemah 0,37% sehingga seiring
dengan meningkatnya resiko global, rupiah mengalami depresiasi pada September
2011. Pelemahan rupiah terpengaruh oleh krisis AS yang mulai membaik, maka
dari itu para investor menarik investasinya dari Indonesia, karena dollar menguat
maka masyarakat dalam negeri pun menukar dollarnya ke rupiah sehingga terjadi
peningkatan jumlah rupiah yang ditarik masyarakat dari bank yang menyebabkan
bank menjadi tidak likuid.
6

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dirumuskan masalah pokok
dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah terdapat pengaruh parsial suku bunga, inflasi dan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS terkadap likuiditas perbankan umum di Indonesia?
2. Apakah terdapat pengaruh simultan suku bunga, inflasi dan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS terhadap likuiditas bank umum di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan tujuan
penelitian yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaruh parsial suku bunga BI, inflasi dan nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS terkadap likuiditas perbankan umum di Indonesia
2. Untuk mengetahui pengaruh simultan suku bunga BI, inflasi dan nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS terkadap likuiditas perbankan umum di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
A. Manfaat Akademik / Teoritis
Penelitian ini dibuat agar dapat memberi pengetahuan dan informasi bagi para
pembaca, dan juga untuk menambah ilmu dan informasi bagi pembaca.
B. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan informasi dan sebagai
referensi bagi penelitian selanjutnya.

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Likuiditas
Menurut Mulyono (2001:101), Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan
rasio perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat dengan
jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan. LDR ini
menggambarkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban berupa dana yang
ditarik masyarakat dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya.
Menurut Martono (2002:82) menyatakan bahwa : Loan to Deposit Ratio
adalah rasio unntik mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali
kewajiban kepada nasabah yang telah menanamkan dananya dengan kredit-kredit
yang telah diberikan kepada para debiturnya.
Lukaman Dendawijaya (2005:116) mendefinisikan LDR adalah ukuran
seberapa jauh kemampuan Bank dalam membiayai kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya.
Menurut Kasmir (2004:130) rasio likuiditas merupakan rasio yang
digunakan untuk mengatur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Dendawijaya
(2009:116) mengemukakan bahwa Loan to Deposit Ratio adalah rasio antara
seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank.
Rasio ini menunjukan salah satun penilaian likuiditas bank. LDR tersebut
menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan
dana oleh masyarakat dengan mengandalkan kredit sebagai sumber likuiditasnya.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Tahun 2001, Loan to
Deposit Ratio atau LDR, adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga
tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak ketigayang mencakup

8

giro, tabungan, dan depositodalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana
antar bank.
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa LDR
merupakan rasio untuk mengukur kemampuan bank dalam menyalurkan kredit
kepada masyarakat yang berasal dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
bank yang dinyatakan dalam presentase. Rasio LDR digunakan untuk menunjukan
posisi likuiditas suatu bank.
Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, dalam kondisi normal angka LDR
seharusnya berada disekitar 85%-110% (Manurung, 2004 dalam Setyari,
2007:125). Besarnya LDR menunjukan kemampuan bank dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya. Oleh karena itu dalam penelitian ini LDR
digunakan sebagai indikator likuiditas perbankan. Rumus untuk mencari LDR
atau Loan to Deposit Ratio adalah sebagai berikut :
LDR =

Total Kredit
DPK

x 100%

Kredit merupakan total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak
termasuk antar bank). Dana Pihak Ketiga (DPK) mencakup giro, tabungan, dan
deposito (sesuai Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14
Desember 2001).
2.1.1

Teori Klasik
Commercial loan theory adalah teori yang dianggap paling kuno, nama

lain dari teori ini adalah real bills doctrine. Kajian teori ini dikemukakan oleh
Adam Smith dalam bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan
tahun 1776. Teori ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan
pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan
sendirinya (self liquidating).

9

Contohnya dalam The Bank Analyst’s Handbook menceritakan tentang
perusahaan kapas yang menggunakan kredit dari bank untuk membeli kapas dan
menjualnya dari Calcutta ke London, ketika barang sudah habis terjual, pedagang
memperoleh dana untuk membayar kredit bank sehingga kredit terbayar dengan
sendirinya (self-liquidating).
Penjelasan Adam Smith yang kedua tentang likuiditas adalah tentang
bagaimana bank menggunakan real bill atau tagihan nyata. Adam Smith
menjelaskan bahwa bank tidak bisa mencairkan dana lebih besar dari tagihan yang
sudah bank keluarkan. Walaupun Adam Smith menunjuk pada catatan bank,
dalam arti, bank mencanangkan peredaran uang mereka sendiri, ini merupakan hal
yang relevan pada masa sekarang mengenai setoran dan pinjaman bank.
Kasmir (2008:290) sependapat dengan Adam Smith walaupun dalam bahasa
yang berbeda, menurut peraturan pemerintah Indonesia besarnya LDR maksimum
adalah 110%, semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin
rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, hal ini disebabkan
karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin
besar. Maka dari itu bank tidak bisa memberikan kredit melebihi besar tagihan
dana yang dikeluarkan oleh bank. Susilo (2000) sependapat dengan teori diatas
dimana jika bank mempunyai LDR yang terlalu kecil maka bank akan kesulitan
untuk menutup simpanan nasabah dengan jumlah kredit yang ada, sehingga bank
akan dibebani dengan bunga simpanan yang besar sementara bunga dari pinjaman
yang telah diterima oleh bank terlalu sedikit. Jika bank mempunyai LDR yang
sangat tinggi, maka bank akan mempunyai resiko tidak tertagihnya pinjaman yang
tinggi pada titik tertentu bank akan mengalami kerugian.
2.1.2 Konsep Likuiditas Menurut Oliver G. Wood, Jr

10

Konsep likuiditas meurut Oliver G. Wood, Jr., University of South
Carolina bahwa suatu bank dianggap likuid apabila bank memenuhi kategori di
bawah ini:”
1. Memegang sejumlah alat likuid, cash assets, yang terdiri dari uang kas,
rekening pada bank sentral dan rekening pada bank-bank lainnya yang sama
dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
2. Memegang kurang dari jumlah alat-alat likuid sebagaimana disebutkan di atas
akan tetapi bank tersebut memiliki surat-surat berharga berkualitas tinggi yang
dapat segera ditukar atau dialihkan menjadi uang tanpa mengalami kerugian baik
sebelum jatuh tempo maupun pada waktu setelah jatuh tempo.
3. Memiliki kemampuan untuk memperoleh alat-alat likuid melalui penciptaan
hutang, misalnya penggunaan fasilitas diskonto, call money, penjualan surat
berharga dengan repurchase agreement.Bila kita tinjau maka, secara umum dapat
dikatakan bahwa sumber-sumber likuiditas perbankan dapat digolongkan dari dua
bagian baik itu dari sisi kiri maupun sisi kanan dari neraca tertimbang. Stored
Liquidity secara umum dapat dikatakan sebagai suatu proses yang alami dalam
artian bahwa sifat alami dari pinjaman bank dan fungsi-fungsi investasi adalah
untuk melemparkan kas untuk mendapatkan pembayaran bunga, pembayaran
pokok pinjaman, asset dana yang jatuh tempo. Proses yang tidak berlangsung
secara terus menerus mengikuti suatu aksi khusus yang diambil oleh bank untuk
mempercepat arus kas masuk. pada sisi kanan neraca, sumber likuiditas antara lain
insrumen pasar uang dan instrument antar bank, surat-surat pasar uang, dan
sebagainya.

11

2.1.3 Sumber Likuiditas
Sumber likuiditas bank adalah cadangan likuiditas yang terdiri dari
primary reserve dan secoundary reserve. Menurut Ashadi (1991), semakin besar
tingkat likuiditas sebuah bank akan mengakibatkan semakin kecil reservenya
sehingga semakin kecil pula likuiditas bank yang bersangkutan.
1. Primary reserve terdiri dari kas dan saldo rekening Koran pada bank Indonesia
(yang juga menampung ratio reserve requirement 2%).
2. Secoundary reserve terdiri dari rekening Koran pada bank lain serta money
market instrument (Sertifikat Bank Indonesia, Bank Acceptance, deposito pada
bank lain yang akan jatuh tempo, dan dokumen tagihan jangka pendek). Sumber
likuiditas lain adalah pinjaman pada debitur yang akan jatuh tempo, call money,
sindikasi kredit, last resort fund.

2.1.4

Penyebab Timbulnya Masalah Likuiditas

Manajemen likuiditas yang tidak baik antara lain disebabkan karena pihak bank
terlalu berani memberikan pinjaman tanpa memperhatikan portofolio atau
komposisi dananya, misalnya dilihat dari LDR yang diatas 100%. Adapun
penyebab lainnya yaitu :
1.

Keberanian mengambil risiko terlalu tinggi tanpa diimbangi dengan

kemampuan memprediksi kondisi moneter dimasa depan akan menimbulkan
masalah likuiditas pada bank tersebut tinggal menunggu waktunya saja. Keadaan

12

easy atau tight money conditional adalah hal biasa yang harus dihadapi oleh
manajer likuiditas. Jadi tidaklah tepat bila keadaan uang ketat yang terjadi saat ini
dijadikan sebagai alasan dari timbulnya masalah likuiditas yang terjadi di dunia
perbankan.
2. Ketidak tersediannya sumber-sumber dana likuiditas yang cukup untuk
memenuhi kredit dan deposito akan menyulut timbulnya likuiditas. Pada
umumnya gejala semacam ini ditandai dengan kalah kliring yang dialami oleh
suatu bank. Proses kegiatan kliring merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh
suatu bank terutama apabila suatu bank berlokasi disuatu kota yang banyak
jumlah banknya. Hal ini terjadi karena pemegang rekening dari bank yang
berbeda melakukan transaksi bisnis tertentu yang diikuti dengan proses
pembayaran dengan cek masing-masing banknya.
3. Untuk memudahkan penyelesaiannya terutama apabila terlibat dalam transaksi
bisnis dan pembayarannya melibatkan ratusan pemegang rekening suatu bank,
proses kliring tanpa penyerahan uang secara fisik yang biasanya diatur oleh Bank
Indonesia merupakan jalan keluarnya.
2.1.5 Ketentuan Loan To Deposit Ratio
Seperti sudah dijelaskan dal teori-teori diatas bahwa Loan to Deposit Ratio
adalah indikator likuiditas perbankan dimana tingkat likuiditas dihitung
berdasarkan besar kecilnya tingkat LDR. Ketentuan Loan to Deposit Ratio
menurut Bank Indonesia pada surat edaran Bank Indonesia No.26/5/BPPP tanggal
29 Mei 1993 perihal tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum,

13

menyatakan bahwa tingkat kesehatan bank untuk kepentingan semua pihak yang
terkait, maka Bank Indonesia menetapkan :
1.

Untuk Loan to Deposit Ratio sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit nol

(0), artinya likuiditas bank tersebut tidak sehat.
2. Untik Loan to Deposit Ratio dibawah 110% diberi nilai kredit 100, artinya
likuiditas bank tersebut sehat.
Batas aman Loan to Deposit Ratio suatu bank secara umum adalah sekitar 90%100%, sedangkan menurut ketentuan bank sentral, batas aman LDR adalah 110%
(Simorangkir, 2000:147).
Rasio ini juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan suatu bank
dimana sebagian praktisi menyepakati bahwa batas aman LDR suaru bank adalah
80% dan batas toleransinya berkisar antara 85%-110%.
Jadi dapat disimpulkan apabila tingkat LDR tinggi maka memberikan indikasi
bahwa rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, hal ini
disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin
besar. Namun apabila tingkat LDR rendah maka semakin tinggi pula kemampuan
likuiditas bank tersebut.
2.1.6

Jenis-jenis Loan To Deposit Ratio (LDR)
Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat akan dibandingkan dengan

jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank bain intern maupun ekstern,
manurut Lukman Dendawijaya (2005:16) dapat dijabarkan bahwa yang termasuk
kedalam jenis-jenis LDR adalah :
1. Giro
Giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dan menggunakan cek,bilyet giro, dan surat perintah lainnya atau cara
pemindahbukuan. Dalam pelaksanaanya, giro ditatausahakan oleh bank dalam
suatu rekening yang disebut rekening koran. Jenis rekening giro ini dapat berupa :
a) Rekening atas nama perorangan

14

b) Rekening atas nama suatu badan usaha
c) Rekening bersama atau tabungan
Saat ini fungsi uang sebagai alat transaksi dan untuk berjaga-jaga menjadi alasan
akan kepemilikan uang tunai. Namun bagi kaum menengah keatas, memiliki
rekening giro pada bank merupakan suatu kebutuhan mutlak demi kelancaran
pembayaran demi urusan bisnis.
2. Deposito
Deposito atau simpanan berjangka adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
perjanjian. Apabila bsumber dana bank di dominasi oleh dana yang berasal dari
deposito berjangka, pengaturan likuiditasnya relatif tidak terlalu sulit. Akan tetapi
dari sisi biaya dana akan sulit untuk ditekan sehingga akan mempengaruhi tingkat
suku bunga kredit yang bersangkutan. Berbeda dengan giro, deposito akan
mengendap di bank karena para pemegangnya (deposan) tertarik akan tingkat
bunga yang ditawarkan oleh bank dan adanya keyakinan bahwa pada saat jatuh
tempo dananya yang akan ditarik kembali akan bertambah. Berikut merupakan
jenis-jenis deposito :
a) Deposito berjangka, adalah deposito yang dibuat atas nama dan tidak dapat
dipindahtangankan
b) Sertifikat deposito, adalah deposito yang diterbitkan atas unjuk dan dapat
dipindahtangankan atau dipergunakan, serta dapat dijadikan jaminan bagi
permohonan kredit.
c) Deposit On Call, adalah sejenis deposito berjangka yang pengambilannya dapat
dilakukan sewaktu-waktu, asalkan memberitahukan bank 2 hari sebelumnya.
3. Tabungan (saving)
Tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. Program tabungan yang pernah
diperkenankan pemerintah sejak tahun 1971 adalah tabanas, taska, tappelpram,

15

tabungan ongkos naik haji, dal lai-lain. Akan tetapi kemudian semua bank
diperkenankan mengembangkan sendiri berbagai jenis tabungan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat tanpa perlu adanya persetujuan dari bank sentral
guna memberikan rangsangan yangbaik bagi para nasabah dan calon nasabahnya.
4. Kredit
Kredit adalah penyediaan uang tagihan yang harus dibayar dalam jangka tertentu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan termasuk pembelian surat berharga nasabahyang dilengkapi dengan
NPA (Note Purchase Agreement) dan pengambilalihan tagihan rangka kegiatan
anjak piutang.
2.2 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia
Sertifikat merupakan suatu surat keterangan atau pernyataan tertulis atau
tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti suatu
kejadian. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dikenal dengan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pendapat tersebut diperkuat oleh S.K Direksi BI
No. 31/67/Kep/DIR tertanggal 23 Juli 1998 tentang penerbitan dan perdagangan
SBI serta intervensi rupiah.
Menurut Adler Haymans Manurung (2003:19), Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
adalah surat berharga atas unjuk atas rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. BI
Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan moneter
yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Dengan
menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang

16

beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan
oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang.
2.2.1 Suku Bunga
Suku bunga adalah harga yang harus dibayar bank atau peminjam lainnya
untuk memanfaatkan uang selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan definisi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suku bunga itu merupakan balas jasa
yang akan diterima kemudian atas pengorbanan yang dilakukan atau dengan kata
lain suku bunga adalah harga dari penggunaan uang atau sebagai sewa
penggunaan uang dalam jangka waktu tertentu (Samuelson, 1990).
Menurut Nopirin (1992:176), fungsi tingkat bunga dalam perekonomian yaitu
alokasi faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dipakai
sekarang dan kemudian hari.
Menurut Sunariyah (2004:80), suku bunga adalah harga dari pinjaman. Suku
bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu.bunga
merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang
harus dibayarkan kepada kreditur.
Menurut Lipsey, Ragan dan Courant (1997:471) suku bunga adalah harga yang
dibayarkan untuk satuan mata uang yang dipinjam pada periode tertentu.
Prasetiantono (2000) mengemukakan apabila suku bunga tinggi, otomatis orang
akan lebih suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan
pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi ini, permintaan masyarakat
untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk
mengalokasikannya kedalam bentuk portofolio perbankan (deposit dan tabungan).
Seiring dengan berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun.
Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung stagnan, atau tidak
terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat
cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank. Beberapa aspek

17

yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia adalah
tingginya suku bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi
sebagai lembaga intermediasi (perantara), kebiasaan masyarakat untuk bergaul
dan memanfaatkan berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup tinggi,
dan sulit untuk menurunkan suku bunga perbankan bila laju inflasi selalu tinggi
(Prasetiantono, 2000:99-100).
2.2.2 Teori Klasik
Kaum di era klasik mengungkapkan bahwa suku bunga itu menentukan
besarnya tabungan maupun investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian
yang menyebabkan tabungan yang tercipta pada penggunaa tenaga kerja penuh
akan selalu sama dengan yang dilakukan pengusaha. Terlepas dari teori ekonomi
mikro, teori klasik menjelaskan bahwa tingkat bunga merupakan nilai balas jasa
dari modal. Dalam teori klasik, stok barang modal dicampuradukan dengan uang
dan keduanya dianggap mempunyai hubungan subtitusif. Semakin langka modal,
semakin tinggi suku bunga. Sebaliknya, semakin banyak modal semakin rendah
tingkat bunga (Nasution dalam Badriah Sappewali, 2001). Hal ini relevan apabila
teori diatas diterapkan dalam dunia perbankan, semakin rendah jumlah dana yang
ada di bank maka semakin tinggi tingkat bunga, dan apabila jumlah dana di bank
bertambah maka suku bunga pun diturunkan.
2.2.3 Teori Keynes
Dalam Sukirno (2008), Keynes mengkritik pandangan klasik mengenai
penentuan suku bunga. Dalam teori keuangan modern yang dikembangklan oleh
Keynes, suku bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Bank
sentral dan sistem perbankan adalah institusi yang akan menentukan besarnya

18

penawaran uang pada suatu waktu tertentu. Sedangkan permintaan uang
ditentukan oleh keinginan masyarakat untuk memegang uang.
2.3 Inflasi
Menurut Samuelson (2001) inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa maupun faktor-faktor
produksi. Sementara menurut Sadono Sukirno (2008) inflasi merupakan suatu
masalah yang terus menerus mendapat perhatian dari pemerintah. Tujuan jangka
panjang pemerintah adalah menjaga agar tingkat inflasi yang berlaku berada pada
tingkat yang sangat rendah. Tingkat inflasi nol persen bukan merupakan tujuan
utama kebijakan pemerintah karena hal tersebut sangat sulit dicapai. Ada kalanya
tingkat inflasi meningkat dengan tiba-tiba atau wujud sebagai akibat suatu
peristiwa tertentu yang berlaku diluar ekspektasi pemerintah, misalnya efek dari
depresiasi atau pengurangan nilai mata uang yang sangat besar atau
ketidakstabilan politik (Sukirno dalam Teori Pengantar Makroekonomi, 2008).
Rahardja dan Manurung (2004) mengungkapkan bahwa suatu
perekonomian dikatakan telah mengalami inflasi jika tiga karakteristik berikut
dipenuhi, yaitu:
1) Terjadi kenaikan harga
2) Kenaikan harga bersifat umum
3) Berlangsung terus-menerus
Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah
suatu perekonomian sedang dilanda inflasi atau tidak, diantaranya yaitu:
1) Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indeks Harga Konsumen adalah indeks harga yang paling umum digunakan
sebagai indikator inflasi. IHK mempresentasikan harga barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat dalam periode tertentu.
2) Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Indeks Harga Perdagangan Besar yaitu indikator yang menggambarkan
pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan pada tingkat

19

produsen di suatu daerah pada periode tertentu. Jika pada IHK yang diamati
adalah barang-barang akhir yang dikonsumsi masyarakat, pada IHPB hal yang
diamati adalah barang mentah dan barang setengah jadi yang menjadi input bagi
produsen untuk diproduksi menjadi barang jadi.
3) GDP Deflator
Prinsip dasar GDP deflator adalah membandingkan antara tingkat pertumbuhan
ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil.
2.3.1 Jenis-Jenis Inflasi
Berdasarkan kepada sumber atau penyebab kenaikan harga-harga yang
berlaku, inflasi biasanya dibedakan kepada tiga bentuk berikut (Sadono Sukirno,
2008) :
1) Inflasi tarikan permintaan
2) Inflasi desakan biaya

2.3.1.1 Inflasi Berdasarkan Asal Mulanya
1) Inflasi Tarikan Permintaan
Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan
pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi
dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi
mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini menyebabkan
inflasi. Hal tersebut dijelaskan dalam gambar berikut :
Gambar 2.1 Inflasi Tarikan Permintaan

Sumber : Sadono Sukirno, 2008
0

20

Gambar 2.1 menerangkan wujudnya inflasi tarikan permintaan. Kurva AS adalah
penawaran agregat dalam ekonomi, sedangkan

AD 1 ,

AD 2 ,

dan AD 3

adalah permintaan agregat. Misalkan pada mulanya permintaan agregat adalah
AD 1 , maka pendapayan nasional adalah Y 1 dan tingkat harga adalah

P1 .

Perekonomian yang berkembang pesat mendorong kepada kenaikan permintaan
agregat, yaitu menjadi

AD 2 . Akibatnya pendapatan nasional mencapai tingkat

kesempatan kerja penuh, yaitu Y F

dan tingkat harga naik dari

P1 ke

PF .

Ini berarti inflasi telah terwujud. Apabila masyarakat masih tetap menambah
pengeluarannya maka permintaan agregat menjadi

AD 3 . Untuk memenuhi

permintaan yang semakin bertambah tersebut, perusahaan –perusahaan akan
menambah produksinya dan menyebabkan pendapatan nasional riil meningkat
dari

YF

menjadi

Y 2 . Kenaikan produksi nasional melebihi kesempatan

kerja penuh akan menyebabkan kenaikan harga yang lebih cepat, yaitu dari
ke

PF

P2 .

Disamping dalam masa perekonomian berkembang pesat, inflasi tarikan
permintaan juga dapatberlaku dalam masa perang atau ketidakstabilan politik
secara terus-menerus. Dalam masa seperti ini pemerintah berbelanja jauh melebihi
pajak yang dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluaran tersebut
pemerintah terpaksa mencetak uang atau meminjam dari bank sentral.
Pengeluaran pemerintah yang berlebihan tersebut menyebabkan permintaan
agregat akan melebihi kemampuan ekonomi tersebut menyediakan barang dan
jasa. Maka kejadian ini akan mewujudkan inflasi (Sadono Sukirno, 2008).

21

2) Inflasi Desakan Biaya
Menurut Sukirno (2008) inflasi ini juga berlaku dalam masa perekonomian
berkembang dengan pesat ketika tingkat pengangguran sangat rendah. Apabila
perusahaan-perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka
akan berusaha menaikan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang
lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja baru dan dengan penawaran
pembayaran yang lebih tinggi. Langkah ini menyebabkan biaya produksi
meningkat yang akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga-harga berbagai
barang. Inflasi desakan biaya dapat diterangkan dalam gambar berikut :
Gambar 2.2 Inflasi Desakan Biaya

0
Sumber : Sadono Sukirno, 2008

Pada gambar diatas, kurva

AS 1 ,

AS 2

dan

AS 3

adalah kurva penawaran

agregat, sedangkan kurva AD adalah permintaan agregat. Andaikan pada mulanya
kurva penawaran agregat adalah

AS 1 , dengan demikian pada mulanya

keseimbangan ekonomi negara tercapai pada pendapatan nasional

Y 1 , yaitu
22

pendapatan nasional pada kesempatan kerja penuh, dan tingkat harga adalah pada
P1 . Pada tingkat kesempatan kerja yang tinggi perusahaan-perusahaan sangat
memerlukan tenaga kerja. Keadaan ini cenderung akan menyebabkan kenaikan
upah dan gaji. Kenaikan upah akan menaikan biaya, dan kenaikan biaya akan
memindahkan fungsi penawaran agregat keatas, yaitu dari
AS 2 . Sebagai akibatnya tingkat harga naik dari

P1

AS 1

menjadi

menjadi

P2 . Harga

barang yang tinggi mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah lagi, maka
biaya produksi akan semakin tinggi. Pada akhirnya ini akan menyebabkan kurva
AS 2

penawaran agregat bergeser dari
menaikan harga dari

P1

ke

menjadi

AS 3 . Perpindahan ini

P3 . Dalam proses kenaikan harga yang

disebabkan oleh kenaikan upah dan kenaikan penawaran agregat ini pendapatan
nasional riil terus mengalami penurunan, yaitu dari

YF

menjadi

Y2

dan

Y 3 . Berarti akibat dari kenaikan upah tersebut kegiatan ekonomi akan menurun
dibawah

tingkat

kesempatan

kerja

penuh.

2.3.1.2 Inflasi Ditinjau Dari Asal Inflasi
1) Inflasi dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi ini timbul misalnya karena kenaikan gaji pegawai negeri, panenan gagal
dan sebagainya.
2) Inflasi diimpor (imported inflation)
Menurut Sukirno (2008) inflasi dapat juga bersumber dari kenaikan harga-harga
barang yang diimpor. Inflasi ini akan wujud apabila barang-barang impor yang

23

mengalami kenaikan harga mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan
pengeluaran perusahaan-perusahaan. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami,
inflasi diimpor adalah inflasi yang berasal dari luar negeri yang timbul
karenanegara-negara yang menjadi mitra dagang negara tertentu mengalami
inflasi yang tinggi. Kenaikan harga diluar negeri yang menjadi mitra dagang
utama yang secara langsung maupun tidak langsung akan menaikan biaya
produksi dalam negeri. Kenaikan ini akan menaikan harga barang-barang.

2.3.2 Penggolongan Inflasi
Menurut Boediono (1998:162) inflasi dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:
1)
2)
3)
4)

Inflasi ringan
Inflasi sedang
Inflasi berat
Hiperinflasi

:
:
:
: