Konflik Timur Tengah dan Ketergantungan

Konflik Timur Tengah dan Ketergantungan Minyak Indonesia
Oleh; Bagus Irmawansyah
Timur tengah semakin memanas. Disana, gejolak politik dan perang saudara seakan selalu
menghantui kehidupan masyarakatanya. Sejak Revolusi Kuba, perseteruan Iraq dan Amerika
Serikat, konflik Jalur Gazza di Pelestina, aksi massa Ikhwanul Muslimin Mesir hingga tuduhan
penyalahgunaan senjata kimia oleh pemerintahan Suriah bukanlah kabar baru bagi Indonesia.
Bahkan, tidak hanya di Indonesia, kabar berita di timur tengahpun menyeret perhatian dunia
internasional.
Masih terkait dengan timur tengah, baru-baru ini Amerika Serikat dikabarkan akan segera
meluncurkan serangan terhadap Negara Suriah. Suriah dikabarkan melakukan penyerangan
terhadap warga negaranya dengan mengguakan senjata kimia. Sesuai dengan kesepakatan dunia,
senjata kimia hanya boleh digunakan untuk melakukan penyerangan atas adanya ancaman dari
negara luar. Namun, presiden Amerika Serikat, Barack Obama memberikan tuduhan bahwa
pemerinatah Suriah dibawah kepeminpinan Bashar Al-Assad telah melakukan penyerangan
terhadap warga negaranya dengan menggunaakan senjata kimia. Akan tetapi, sejauh ini
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menerima bukti-bukti atas tuduhan Amerika Serikat
terhadap pemerintahan Suriah.
Terlepas dari apapun, konflik yang tengah terjadi di timur tengah jelas sangat berdampak besar
bagi kelangsungan hidup warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Disamping dampak moral,
yakni pelanggaran hak kemanusiaan, juga harga minyak dan besaran kuota impor minyak dari
timur tengah menjadi salah satu dampak negative yang patut diperhatikan, dan dampak tersbut

merupakan sebuah keniscayaan.
Dunia internasional paham betul keistimewaan yang dimiliki oleh hampir seluruh Negara-negara
timur tegah. Mengetahui hal tersebut, tidak heran jika banyak negara-negara ‘barat’ (Eropa,
Amerika Serikat) kerap kali mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah. Sebab, 66,5 persen
cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Sementara di Arab Saudi
sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari[1].
Timur tengah merupakan wilayah dengan penguasaan minyak terbesar di dunia. Menjadi
pengekspor minyak terbesar, timur tengah seakan menyimpan magnet yang mampu menarik
negara lain untuk menjadikan negara-negara Liga Arab sebagai mitra. Tentunya, dengan adanya
hubungan baik dengan negara-negara timur tengah, akan mempermudah bagi negara non-Arab
untuk mengakses sumber daya minyak dari timur tengah. Banyak sekali negara di belahan dunia
yang menggantungkan kebutuhan minyaknya pada negara arab, termasuk Indonesia.
Lantas, apa yang menjadi dampak khusus bagi Indonesia sebagai Negara ‘dunia ketiga’ yang
masih sangat bertekergantungan dengan sumber daya minyak? Tuliasan ini akan
menggambarkan betapa lemahnya Indonesia dalam mengolah sumber daya alamnya.
Ketergantungan minyak impor yang dialami oleh Indonesia kian diperparah dengan adanya
gejolak timur tengah. Pasalnya, selama ini timur tengah dipercayai mampu menyelamatkan krisis
minyak di Indonesia. Tulisan ini juga akan menggabarkan tentang pentingnya peran pemerintah
dan lembaga Negara untuk mengolah cadangan sumber daya alam Indonesia ditengah krisis yang
melanda timur tengah.


Melepas ketergantungan minyak timur tengah
Indonesia sering disebut sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Minyak bumi, batu
bara, emas, tembaga dan cadangan bumi lainnya seakan tertanam di bumi nusantara. namun
ironisnya, hingga kini Indonesia masih saja melakukan impor sumber daya alam dari negara lain.
Sebagai negara berkembang, Indonesia belum mampu mengolah minyak mentah secara mandiri.
Hingga akhirnya, impor minyak adalah salah satu langkah yang dinilai tepat oleh negara untuk
memenuhi kebutuhan minyak domestik. Negara-negara timur tengah menjadi negara pemasok
minyak terbesar bagi Indonesia. Sebut saja Suriah dan Libiya. Kedua Negara arab ini menjadi
negara dengan tingkat pemasokan minyak terbesar pada Indonesia.
Mengingat ketergantungan Indonesia yang besar pada minyak arab inilah, sekarang Indonesia
dirundung kegelisan. Pasalnya, dampak terjadinya konflik timur tengah mulai dirasakan oleh
Indonesia, yakni meningkatanya harga minyak dan berkurangnya pasokan minyak dari timur
tengah. Hal tersebut lebih diperparah dengan semakin berkurangnya cadangan minyak yang
dihasilkan oleh Pertamina sebagai BUMN yang konsen dalam bidang migas. Indonesia dengan
predikatnya sebagai negara berkembang, masih lemah dalam memanfaakan kekayaan alam
nusantara. Sejauh ini, langkah pemerintah untuk mengolah minyak dalam negeri selalu
bergantung pada Negara lain. Akibatnya adalah, pencapaian kesejahteraan rakyat tidak sebanding
dengan biaya yang harus dikeluarkan Negara untuk mengolah minyak ke luar negeri.
Seharunya, negara mampu melakukan swasembada minyak. Misal, dengan mengembangkan

produksi minyak diberbagai sektor (hulu dan hilir). Membangun infrastruktur yang mampu
menunjang produktifitas minyak dalam negeri. Serta, memberikan pendidikan pada masyarakat
akan pentinnya sumber daya minyak bagi kelangsungan hidup manusia.
Kondisi Indonesia saat ini jauh tertinggal dari India, Singapura bahkan Malaysia. Sebut saja
industri otomotif di India. Indeks pertumbuhan industri otomotif India kian menanjak tiap tahun.
Singapura, dengan luas wilayah negaranya yang tidak lebih besar dari Provinsi Jawa Tengah
mampu mengelola minyak demi mencapai kesejahteraan warganya negaranya. Padahal, tidak ada
satu titik wilayahpun di Singapura yang mengandung cadangan minyak. Malaysia dengan luas
wilayah yang jauh lebih kecil dari Indonesia mampu menanamkan saham minyaknya di
Indonesia. Terbukti, kian berkembangnya Petronas sebagai salah satu perusahaan minyak asal
Malaysia menunjukan bahwa taraf Indonesia masih di bawah Malaysia dalam hal pengolahan
minyak. Hal demikian mengartikan bahwa intervensi negara dalam pengelolaan sumber daya
alam sangat diperlukan demi menunjang produktifitas minyak nasional. Peran serta dari
berbagai lembaga negara dan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai target pengolahan
minyak secara maksimal. Dengan demikian, Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya
mampu terlepas dari jeratan ketergantungan minyak timur tengah. Alhasil, kesejahteraan rakyat
dapat tercapai dan Indonesia mampu menjadi negara yang berdaulat.
Menanti peran aktif Negara
Indonesia kaya akan minyak dan sumber daya alam (SDA) lainnya. Kaya akan sumber daya
minyak, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara pengekspor minyak dunia. Namun, hal

demikian hanya isapan jempol belaka. Sampai saat ini, Indonesia masih melakukan impor

minyak dari timur tengah. Sedangkan pengolahan minyak dalam negeri, dinilai masih sangat
minim. Negara dalam hal ini jelas mendapat tanggung jawab yang tidak kecil.
Peran serta Negara dinilai masih setengah-setengah dalam hal pemanfaatan SDA yang ada di
nusantara. Lihat saja pada industri minyak bumi dan gas (migas) Blok Mahakam. Blok Mahakam
merupakan salah satu sumur minyak terbesar di Indonesia. Saat ini, Blok Mahakam tengah
dikelola oleh pihak swasta, yakni PT. Total E&P Indonesie. Total E&P Indonesie telah mengelola
Blok Mahakan sejak 31 Maret 1997 untuk 30 tahun kedepan. Setelah habis masa kontrak pada
1997, perusahaan asal Perancis ini mendapat perpanjangan kontrak dari pemerintah Indonesia
selama 20 tahun, hingga 2017. Tidak hanya Blok Mahakam yang dikuasai pihak asing. Beberapa
perusahaan minyak indonesia yang dikuasai asing antara lain Blok Siak Jambi, yang kini dikelola
oleh PT. Chevron Pasific Indonesia, Blok Natuna, Selat Madura dan lebih dari 72 perusahaan
minyak bumi dan gas (Migas) yang tersebar diseluruh pelosok nusanatara kini berada jauh dari
kontrol pemerintah Indonesia. Fenomena ini menjadi bukti akan kecilnya peran negara dalam
penguasaan SDA Indonesia.
Seharusnya, seluruh elemen negara mampu bergandengan-tangan dan memberikan kontribusi
nyata untuk pembangunan bangsa. Sebab, adanya rakyat, pemerintah, pengusaha dan birokrat
merupakan bagian penting dari keutuhan negara. Sejatinya, seluruh peran yang dimiliki oleh
aparatur negara haruslah mengacu pada pencapaian kesejahteraan rakyat dan warganya. Namun

kini yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar aparatur negara yang memiliki kewajiban
mengemban amanat rakyat justru seakan menjauh dari hak dan tuntutan rakyat.
Cacat politik, lemahnya penegakan hokum dan maraknya pelanggaran HAM merupakan salah
satu penyakit yang mengidap bangsa saat ini. Bangsa ini seakan menjadi bangsa yang bobrok.
Bangsa yang hanya menyisakan puing-puing rongsok. Mestinya, setiap warga yang duduk
dikursi pemerintahan mampu merubah dan memperbaiki kejumudaan tersebut. Namun sayang,
elit politik seakan tak tahu menahu akan rusaknya negara ini. Bak tokoh Sengkuni dalam cerita
wayang, elit politik hanya mampu untuk saling tukar kepentingan demi kantong pribadi, saling
adu domba hanya untuk satu jabatan, saling menebar terror hanya untuk lepas dari jeratan
hokum. Sangat tidak manusiawi memang. Kemudian, pengusaha sebagai mitra kerja pemerintah,
justru mengambil peran sebagai penguasa. Terlepas dari jalurnya, penguasahapun hanya
mengambil keuntungan kantong pribadi.
Jual beli tender proyek yang berujung pada korupsi bukanlah hal yang baru di Indonesia.
Korupsi minyak bumi dan gas (migas) yang terjadi di tubuh SKK Migas masih menggemparkan
di seantero nusantara. Disinyalir, dalam kasus tersebut banyak menyeret nama-nama petinggi
negara. Salah satu tokoh penting yang kini menjadi tersangka adalah kepala SKK Migas, Rudi
Rubiandini. Dan siapa menduga, kernel oil yang melatarbelakangi munculnya kasus korupsi
SKK Migas dipekerjakan oleh tenaga-tenaga ahli Indonesia.[2] Sangat miris…
Rakyat berharap negara mampu berperan-aktif untuk memaksimalkan pengolahan minyak dalam
negeri. Mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, sejatinya kekayaan alam Nusantara

sudah sepatutnya dimaksimalkan untuk kesejahteraan warga negaranya. Pemerintah harus
mampu membagi tugas dengan penguasaha dan birokrat untuk berkerja sama demi pencapaian
kesejahteraan warga negara. Negara harus mengeluarkan kebijakan yang pro-rakyat. Kebijakan
negara dalam hal pengolahan sumber daya minyak diharapkan mampu memberi tekana pada
seluruh lembaga pemerintah dan swasta untuk ikut andil dalam mengendalikan minyak nasional.
Dasar konstitusi inilah yang nantinya akan menjadi rujukan bagi seluruh kalangan masyarakat
untuk mengolah dan memproduksi minyak dalam negeri.

Membangun kesadaran ‘kaya sumber daya alam’
Media sering menyebutkan, bahwa Indonesia akan mengalami krisis minyak sebagai salah satu
dampak berlangusngnya gejolak timur tengah. Timur tengah memang tengah dilanda gejolak
politik dan ekonomi. Tidak menutup kemungkinan, pengolahan minyak timur tengah dan
pengiriman minyak keberbagai negarapun akan terganggu. Indonesia patut mengantisipasi hal
demikian. Karena memang, sejauh ini mesih saja mengimpor minyak dari timur tengah,
sedangkan tingkat pengolahan minyak dalam negeri belum dimaksimalkan.[3]
Salah satu kesalahan pemerintah adalah, besarnya ketergantungan impor minyak dari timur
tengah. Merupakan kesalahan fatal bagi Indonesia yang notabene adalah negara penghasil
minyak. Sudah semestinya bagi indonesia untuk mampu merubah paradigam impor menjadi
paradigama kaya akan minyak. Artinya, negara tidak melulu mengandalkan kiriman minyak dari
luar negeri, sedangkan potensi minyak dalam negeri belum dimanfaatkan secara maksimal.

Merupakan kesalahan mendasar bagi Indonesia, karena selama bertahun-tahun hanya menjadi
negara importir minyak.
Indonesia sempat menjadi raja minyak dunia, tepatnya pada saat era orde baru. Keberhasilan
pembangunan ekonomi pada saat itu juga adalah berkat penghasilan ekspor yang sangat besar
dari minyak terutama pada tahun 1973/1974.[4] Tahun 1973/1974 menjadi saat-saat dimana
kebijakan Oilboom menjadi trend dunia internasional. Tingkat perekonomian indonesia
melabung, pendapatan negara mencapai nilai tertingginya, dan tingkat pengangguran warga
masyarakat dapat ditekan. Namun sayang, menjelang lengsernya Soeharto dari jabatan presiden,
harga minyak dunia anjlok yang mengakibatkan Indonesia kolaps. Adidaya Oilboom terhenti,
dan menyisakan krisis yang berkepanjangan.
Hingga kini, Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi minyak nusantara.
ketergantungan impor minyak merupakan salah satu penyakit kejiwaan yang harus segera
disembuhkan. Seluruh warga masyarakat dan pemangku kebijakan harus mampu membangun
kesadaran akan bangsa yang kaya sumber daya alam. Dengan terbangunnya paradigma tersebut,
diharapkan akan mempu mendorong seluruh pihak yang bersangkutan untuk membenahi potensi
minyak dalam negeri.

[1] Data ini dapat dilihat dalam situs http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/03/24/krisistimur-tengah-minyak-dan-operasi-siluman/ – kajian timur tengah dan studi hubungan
internasional
[2] Info ini didapat dari kanal berita okezone.com

[3] Info ini didapat dari kanal berita okezone.com
[4] Lihat dalam jurnal; Sejarah ekonomi Indonesia pada era orde baru