Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Adapun uraian pada tinjauan pustaka yang diuraikan adalah uraian teori-teori penelitian terdahulu yang dapat menjelaskan secara teori-teoritis kajian mengenai Ketimpangan dan Distribusi Pendapatan serta kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara. Sehingga akan menghasilkan hipotesa dan kerangka berpikir teoritis.

2.1. Landasan Teoritis 2.1.1. Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan nasional adalah hal yang mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999). Distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua ukuran pokok yaitu; distribusi ukuran, adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro, 2000).

Dalam kajian distribusi pendapatan, laju pertumbuhan ekonomi juga memperhatikan aspek pemerataan. Ada dua argumen yang berhubungan dengan masalah pembangunan ekonomi dengan pemerataan (Todaro, 2000).

A. Argumen tradisional

Argumen tradisional memfokuskan lebih di dalam pengelolaan faktor-faktor produksi, tabungan dan pertumbuhan ekonomi. Distribusi pendapatan yang sangat tidak merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat. Akibat dari pengaruh teori


(2)

dan kebijakan perekonomian pasar bebas, penerimaan pemikiran seperti itu oleh kalangan ekonom pada umumnya dari negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, baik secara implisit maupun eksplisit menunjukan bahwa mereka tidak begitu memperhatikan pentingnya masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Mereka tidak saja menganggap ketidakadilan pendapatan sebagai syarat yang pantas dikorbankan dalam menggapai proses pertumbuhan ekonomi secara maksimum dan bila dalam jangka panjang hal itu dianggap syarat yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup.

B. Argumen tandingan

Argumen tandingan karena terdapat banyak ekonom pembangunan yang merasa bahwa pemerataan pendapatan yang lebih adil di negara-negara berkembang tidak bisa dinomorduakan, karena hal itu merupakan suatu kondisi penting atau syarat yang harus diadakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000). Dalam argumen tandingan tersebut terdapat lima alasan yaitu:

1. Ketimpangan yang begitu besar dan kemiskinan yang begitu luas telah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehinggamasyarakat miskin tidak memiliki akses terhadap perolehan kredit. Berbagai faktor ini secara bersama-sama menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan GNP per kapita dibandingkan jika terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar.


(3)

2. Berdasarkan observasi sekilas yang ditunjang oleh data-data empiris yang ada kita mengetahui bahwa tidak seperti yang terjadi dalam sejarah pertumbuhan ekonomi negara maju, orang-orang kaya di negara-negara dunia ketiga tidak dapat diharapkan kemampuan atau kesediaannya untuk menabung dan menanamkan modalnya dalam perekonomian domestik.

3. Rendahnya pendapatan dan taraf hidup kaum miskin yang berwujud berupa kondisi kesehatannya yang buruk, kurang makan dan gizi dan pendidikannya yang rendah justru akan menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan pada akhirnya mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

4. Upaya-upaya untuk menaikkan tingkat pendapatan penduduk miskin akan merangsang meningkatnya permintaan terhadap barang-barang produksi dalam negeri seperti bahan makanan dan pakaian.

5. Dengan tercapainya distribusi pendapatan yang lebih adil melalui upaya-upaya pengurangan kemiskinan masyarakat, maka akan segera tercipta banyak insentif atau rangsangan-rangsangan materiil dan psikologis yang pada gilirannya akan menjadi penghambat kemajuan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa promosi pertumbuhan ekonomi secara cepat dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan serta penanggulangan ketimpangan pendapatan bukanlah tujuan-tujuan yang saling bertentangan sehingga yang satu tidak perlu diutamakan dengan mengorbankan yang lain. Untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau mengetahui


(4)

apakah distribusi pendapatan timpang atau tidak, dapat digunakan kategorisasi dalam kurva Lorenz atau menggunakan koefisien Gini.

2.1.2. Ketimpangan Pendapatan

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis (Todaro dan Smith, 2006). Dua ukuran yang pada umumnya digunakan dalam menganalisa distribusi pendapatan tersebut adalah size distribution of income (distribusi ukuran pendapatan) dan functional or factor share distribution of income (distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi). Size distribution of income secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Berdasarkan ukuran ini, cara mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan, apa yang lebih diperhatikan dari ukuran ini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya. Selain itu, lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan. Sedangkan functional or factor share distribution of income berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan nasional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit - unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan


(5)

laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini. Guna mengukur ketimpangan pendapatan di antara penduduk, ukuran yang digunakan berdasarkan pada ukuran size distribution of income. Namun, karena data pendapatan sulit diperoleh, maka pengukuran ketimpangan atau distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan. Terkait dengan hal tersebut, terdapat empat ukuran yang merefleksikan ketimpangan distribusi pendapatan yaitu koefisien Gini (Gini Ratio), Ukuran Bank Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L.

Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad,1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan di Negara Sedang Berkembang :

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita.

2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja


(6)

tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.

5. Rendahnya mobilitas sosial.

6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.

8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

2.1.3. Kurva Lorenzdan Koefisien Gini

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan - lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata (Lincolin Arsyad,1997)


(7)

Indeks Gini atau Gini ratio dikemukakan oleh C.GINI yang melihat adanya hubungan antara jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh keluarga atau individu dengan total pendapatan. Ukuran Gini Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai selang nilai antara 0 sampai dengan 1. Bila Gini Ratio mendekati nol menunjukkan adanya ketimpangan yang rendah dan bila Gini Ratio mendekati satu menunjukkan ketimpangan yang tinggi.

Rumus angka Gini Ratio ( Indeks Gini) adalah sebagai berikut: k Pi ( Qi + Qi – 1)

G = 1 -

i-1 10.000

Keterangan:

G = Gini Ratio

Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qi - 1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i - 1 k = Banyaknya kelas pendapatan

Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan.

2.1.4. Defenisi Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan adalah suatu kegiatan kondisi agregat dari kepuasan individu-individu yang mengantarkan pemahaman yang kompleks. Pertama tentang lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kedua, intensitas substansi tersebut dapat direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan yang tegas tentang kesejahteraan itu sendiri. Akan tetapi kesejahteraan


(8)

menyangkut pada pendidikan, kesehatan, diperluas pada perlindungan sosial seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua sampai keterbebasan dari kemiskinan (Ismail, 2013).

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.

Menurut Drewnoski (1974) dalam Bintarto (1989), melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek yaitu: (1) dengan melihat pada tingkat perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi, kesehatan, harapan hidup, dan sebagainya; (2) dengan melihat pada tingkat mentalnya, (mental/educational status) seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya; (3) dengan melihat pada integrasi dan kedudukan social (social status).

Menurut Todaro kesejahteraan W = ( Y,I,P ) dimana W adalah kesejahteraan, Y adalah pendapatan perkapita, I adalah ketimpangan, P adalah kemiskinan absolute dimana ketiga variabel ini mempunyai tingkat signifikan yang berbeda-beda dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2006).

Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indicator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah :


(9)

1. Tingkat pendapatan keluarga;

2. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan;

3. Tingkat pendidikan keluarga; 4. Tingkat kesehatan keluarga, dan

5. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga. Dalam memahami realitas tingkat kesejahteraan, pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan antara lain : (1) sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global (Taslim, 2004).

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.


(10)

2.2. Penelitian Terdahulu

T. Makmur, Safrida dan Kharisma Jayanth (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Ketimpangan Distribusi pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Desa Di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar” menghasilkan bahwa:

1. Dari hasil analisis menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) dapat disimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Peukan Bada adalah ketimpangan sedang untuk pekerjaan penduduk sebagai petani dan buruh dan ketimpangan rendah untuk pekerjaan penduduk sebagai pedagang dan PNS. Apabila dilihat secara keseluruhan sampel diperoleh indeks Gini sebesar 0,386 ini artinya pada Kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya sedang.

2. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan ketentuan apabila 40% penduduk pendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan seluruhnya maka digolongkan pendapatan tinggi sedang atau kurang merata, kelompok rumah tangga yang berada pada kategori ini adalah petani. Dan kelompok rumah tangga pedagang, PNS dan buruh berada pada kategori sedang, karena menerima lebih dari 12% pendapatan. Lebih lanjut apabila dilihat secara keseluruhan untuk secara keseluruhan Kecamatan Peukan Bada memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat di wilayah masih kurang merata atau ketimpangan sedang,


(11)

Hal ini menunjukkan bahwa 40% penduduk pendapatan rendah menerima 11,4% pendapatan per tahun, itu artinya ketimpangan di Kecamatan Peukan Bada masih kurang merata atau ketimpangannya sedang.

Halim, Salmiah, dan Satia (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Distribusi Pendapatan Dari Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi” menghasilkan bahwa: 1. Selain menjadikan usaha tani kopi Arabika sebagai sumber mata

pencaharian utama, petani sampel juga menekuni berbagai cabang usaha lain sebagai sumber mata pencaharian tambahan seperti, usaha tani nonkopi Arabika dan kegiatan produktif lain diluar usahatani. Pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani selama tahun 2011 sebesar 65,68%

2. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indikator koefisien Gini (Gini Ratio) berada dalam kategori menengah dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel berada dalam kategori rendah karena kelompok 40% petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17% jumlah keseluruhan pendapatan petani, sebesar 19,26%.

3. Menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988), jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43%. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS; 2010), jumlah petani kopi


(12)

Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67%, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga atau sekitar 83,33% berada dalam kategori tidak miskin.

Retnosari (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” menyimpulkan bahwa:

1. Faktor tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien positif. Hal ini menandakan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini berjalan searah dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat akan semakin meningkat pula.

2. Pengaruh variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diantaranya; pertama, faktor laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat ternyata memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga laju pertumbuhan penduduk meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thomas Robert Maltus; kedua, faktor pengeluaran pemerintah Jawa Barat memiliki pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini menunjukan pengaruh pengeluaran pemerintah yang signifikan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi, yang artinya kebijakan alokasi


(13)

pengeluaran pemerintah tepat sasaran; ketiga, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga jika investasi dalam negeri periode sebelumnya meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin meningkat.

Yasa dan Arka (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antardaerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Bali” menyimpulkan bahwa disparitas pendapatan antardaerah provinsi bali yang diukur dengan indeks williamson dalam periode 2001-2012 mengalami penurunan dengan nilai rata-rata sebesar 0,29 yang berarti disparitas tergolong dalam kriteria rendah. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap disparitas pendapatan antardaerah. Disparitas pendapatan antardaerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, sedangkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali melalui disparitas pendapatan antardaerah, atau dengan kata lain disparitas pendapatan antar daerah merupakan variabel mediasi dalam pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali.

Sugiharto (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik” menyimpulkan bahwa Berdasarkan indikator BPS tahun 2005


(14)

diketahui bahwa nelayan di Desa Benua Baru Ilir yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan tinggi sebanyak 3 responden (15%) dengan jumlah skor 20. Nelayan yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan sedang sebanyak 17 responden (85%) dengan jumlah skor berkisar 17-19. Berdasarkan ketiga indikator tersebut secara umum diketahui bahwa taraf hidup nelayan di Desa Benua Baru Ilir tergolong sejahtera.

2.3. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Pendapatan Kecamatan Sipoholon Ketimpangan Pendapatan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Pendapatan Konsumsi atau Pengeluaran rumah Tangga

Keadaan atauTempat Tinggal Kesehatan Anggota Keluarga Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Penddikan Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Fasilitas Tempat Tinggal


(15)

Untuk menganalisis ketimpangan pendapatan masyarakat Kecamatan Sipoholon, maka terlebih dahulu harus diketahui pola distribusi pendapatannya. Sedangkan untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat Kecamatan Sipoholon digunakan 8 indikator berdasarkan BPS 2005 dimana salah satu indikatornya adalah pendapatan dan 7 indikator lainnya yaitu, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

2.4. Hipotesis Penelitian

Melihat dari penjelasan dan uraian diatas dapat diambil hipotesis bahwa antara distribusi pendapatan dan ketimpangan serta kesejahteraan adalah:

1. Terdapat ketimpangan (kesenjangan ekonomi) distribusi pendapatan masyarakat di Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara. 2. Terdapat tingkat kesejahteraan masyarakat yang berbeda - beda di


(1)

2.2. Penelitian Terdahulu

T. Makmur, Safrida dan Kharisma Jayanth (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Ketimpangan Distribusi pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Desa Di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar” menghasilkan bahwa:

1. Dari hasil analisis menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) dapat disimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Peukan Bada adalah ketimpangan sedang untuk pekerjaan penduduk sebagai petani dan buruh dan ketimpangan rendah untuk pekerjaan penduduk sebagai pedagang dan PNS. Apabila dilihat secara keseluruhan sampel diperoleh indeks Gini sebesar 0,386 ini artinya pada Kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya sedang.

2. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan ketentuan apabila 40% penduduk pendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan seluruhnya maka digolongkan pendapatan tinggi sedang atau kurang merata, kelompok rumah tangga yang berada pada kategori ini adalah petani. Dan kelompok rumah tangga pedagang, PNS dan buruh berada pada kategori sedang, karena menerima lebih dari 12% pendapatan. Lebih lanjut apabila dilihat secara keseluruhan untuk secara keseluruhan Kecamatan Peukan Bada memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat di wilayah masih kurang merata atau ketimpangan sedang,


(2)

Hal ini menunjukkan bahwa 40% penduduk pendapatan rendah menerima 11,4% pendapatan per tahun, itu artinya ketimpangan di Kecamatan Peukan Bada masih kurang merata atau ketimpangannya sedang.

Halim, Salmiah, dan Satia (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Distribusi Pendapatan Dari Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi” menghasilkan bahwa: 1. Selain menjadikan usaha tani kopi Arabika sebagai sumber mata

pencaharian utama, petani sampel juga menekuni berbagai cabang usaha lain sebagai sumber mata pencaharian tambahan seperti, usaha tani nonkopi Arabika dan kegiatan produktif lain diluar usahatani. Pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani selama tahun 2011 sebesar 65,68%

2. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indikator koefisien Gini (Gini Ratio) berada dalam kategori menengah dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel berada dalam kategori rendah karena kelompok 40% petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17% jumlah keseluruhan pendapatan petani, sebesar 19,26%.

3. Menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988), jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43%. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS; 2010), jumlah petani kopi


(3)

Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67%, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga atau sekitar 83,33% berada dalam kategori tidak miskin.

Retnosari (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” menyimpulkan bahwa:

1. Faktor tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien positif. Hal ini menandakan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini berjalan searah dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat akan semakin meningkat pula.

2. Pengaruh variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diantaranya; pertama, faktor laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat ternyata memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga laju pertumbuhan penduduk meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thomas Robert Maltus; kedua, faktor pengeluaran pemerintah Jawa Barat memiliki pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini menunjukan pengaruh pengeluaran pemerintah yang signifikan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi, yang artinya kebijakan alokasi


(4)

pengeluaran pemerintah tepat sasaran; ketiga, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga jika investasi dalam negeri periode sebelumnya meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin meningkat.

Yasa dan Arka (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antardaerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Bali” menyimpulkan bahwa disparitas pendapatan antardaerah provinsi bali yang diukur dengan indeks williamson dalam periode 2001-2012 mengalami penurunan dengan nilai rata-rata sebesar 0,29 yang berarti disparitas tergolong dalam kriteria rendah. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap disparitas pendapatan antardaerah. Disparitas pendapatan antardaerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, sedangkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali melalui disparitas pendapatan antardaerah, atau dengan kata lain disparitas pendapatan antar daerah merupakan variabel mediasi dalam pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali.

Sugiharto (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik” menyimpulkan bahwa Berdasarkan indikator BPS tahun 2005


(5)

diketahui bahwa nelayan di Desa Benua Baru Ilir yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan tinggi sebanyak 3 responden (15%) dengan jumlah skor 20. Nelayan yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan sedang sebanyak 17 responden (85%) dengan jumlah skor berkisar 17-19. Berdasarkan ketiga indikator tersebut secara umum diketahui bahwa taraf hidup nelayan di Desa Benua Baru Ilir tergolong sejahtera.

2.3. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Pendapatan Kecamatan Sipoholon Ketimpangan Pendapatan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Pendapatan Konsumsi atau Pengeluaran rumah Tangga

Keadaan atauTempat Tinggal Kesehatan Anggota Keluarga Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Penddikan Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Sipoholon Fasilitas Tempat Tinggal


(6)

Untuk menganalisis ketimpangan pendapatan masyarakat Kecamatan Sipoholon, maka terlebih dahulu harus diketahui pola distribusi pendapatannya. Sedangkan untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat Kecamatan Sipoholon digunakan 8 indikator berdasarkan BPS 2005 dimana salah satu indikatornya adalah pendapatan dan 7 indikator lainnya yaitu, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

2.4. Hipotesis Penelitian

Melihat dari penjelasan dan uraian diatas dapat diambil hipotesis bahwa antara distribusi pendapatan dan ketimpangan serta kesejahteraan adalah:

1. Terdapat ketimpangan (kesenjangan ekonomi) distribusi pendapatan masyarakat di Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara. 2. Terdapat tingkat kesejahteraan masyarakat yang berbeda - beda di