Prinsip Umum dan batasan kekuasaan dalam
RESUME GENERAL PRINCIPLES AND LIMITATION ON POWER TO MAKE TAX LAWS (PRINSIP
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
Nama/NIM
: MUHAMMAD AULIA Y. GUZASIAH/ 15/387682/PHK/08788
Mata Kuliah/ Dosen Pengampu : LEGISLASI FINANSIAL/ Adrianto Dwi Nugroho, S.H.,
Adv, LL.M.
Telah terbukti didalam sejarah berbagai negara, undang-undang perpajakan sering
disalahgunakan oleh lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakannya. Hal itu bisa terlihat
didalam sejarah perpolitikan penjajahan amerika atas inggris raya. Sehingga respon terhadap hal
tersebut menimbulkan revolusi dan melahirkan konsep “the rule of law” untuk membatasi
kekuasaan yang sewenang-wenang, termasuk dalam penerapan perpajakan yang pemungutannya
harus diatur dan memiliki dasar yang kuat dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berarti
bahwa tidak ada pajak yang dapat dipungut kecuali telah diatur dibawah kewenangan hukum dasar
(konstitusi).
Berbasis pada prinsip legalitas, prinsip-prinsip dalam pemungutan pajak mulai dilahirkan,
yang diantaranya, (1) Prinsip kesetaraan (principle of equality), (2) Prinsip fair play atau
kepercayaan publik dalam administratif (principle of fair play or public trust in tax administration),
(3) Prinsip proporsionalitas dan kemampuan berbayar (principle of proportionality and ability to
pay), (4) Prinsip non retroaktif (principle of nonretroactivy), (5) Keterbatasan konstitusi lainnya
(others constitutional limitations), (6) Piagam/deklarasi hak wajib pajak (charters of taxpayers
rights), (7) Perjanjian internasional (International agreements), yang penjelasan ringkasnya lebih
lanjut di uraikan sebagai berikut;
The principle of equality atau prinsip kesetaraan (1), mengartikan bahwa pemungutan pajak
diterapkan tanpa pengecualian bagi semua orang dengan keadaan yang sama, baik dari segi
prosedural maupun dari segi substantif. Dari segi prosedural, pemungutan pajak dipungut
sepenuhnya, tidak memihak dan memberikan perlakuan preferensial (khusus) atau deskriminatif
dalam penerapannya. Dari segi substantif, artinya pemungutan pajak harus diperlakukan sama bagi
semua orang dengan keadaan yang sama. Selain itu, prinsip ini juga mensyaratkan dasar
pemungutan pajak harus memiliki dasar yang rasional, misalnya pemberian pemungutan pajak
terhadap wajib pajak (tax payers) dengan keadaan yang berbeda, seperti yang berpenghasilan lebih
tinggi harus berbeda, sehingga sebagai basis rasionalnya menyimpulkan bahwa kemampuan wajib
pajak untuk membayar meningkat dengan pendapatan seseorang dan untuk pemberlakuan tarifnya
harus sesuai dengan kelasnya. Namun walaupun demikian, terhadap prinsip ini, diterapkan dengan
cara berbeda di tiap tiap negara, sehingga mengenai efektifitasnya agar sesuai dengan esensi dari
prinsip ini, tergantung terhadap tingkat pengawasan penerapan aturan perpajakan yang melandasi
prinsip ini.
The principle of fair play or public trust in tax administration atau Prinsip fair play (adil) atau
kepercayaan publik dalam administratif (2), mengartikan bahwa otoritas yang berwenang
memungut pajak tidak di perbolehkan memberikan kebijakan yang tidak adil atau merugikan
terhadap wajib pajak. Sehingga penerapan prinsip ini meberikan konsekuensi, yang pertama bahwa
otoritas pajak harus memberitahukan segala bentuk tindakannya yang berhubungan dengan wajib
pajak, lalu yang kedua di dalam prosesi sengketa didalam peradilan (litigasi), seorang wajib pajak
harus diberikan semua hak-hak yang oleh otoritas pajak memperbolehkannya, kemudian yang
ketiga otoritas pajak harus terikat oleh interpretasi hukum situasi tertentu wajib pajak. Disebagian
negara, aturan yang melandasi prinsip fair play ini merupakan bagian dari hukum administrasi.
sehingga, bisa terjadi pengecualian terhadap prinsip fair play ini, jika penerapannya memberikan
kerugian bagi negara dalam hal ini pemerintah. Sebagai contoh, otoritas pajak bisa saja dalam
bertindak tidak memberikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada wajib pajak dalam hal terjadi
sengketa, dengan basis yang rasional bahwa bisa saja wajib pajak tersebut menghancurkan suatu
bukti tertentu atau menghindari atau melarikan diri yurisdiksi negara yang berwenang. Namun
walaupun demikian, prinsip ini agaknya sedikit bertentangan dengan prinsip ketertiban umum, yang
1
RESUME GENERAL PRINCIPLES AND LIMITATION ON POWER TO MAKE TAX LAWS (PRINSIP
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
seharusnya menurut suatu undang-undang pajak tertentu harus diterapkan dalam semua keadaan,
sehingga penerapannya tidak jarang menimbulkan banyak kerancuan di berbagai negara.
The principle of proportionality and ability to pay atau Prinsip proporsionalitas (berimbang)
dan kemampuan berbayar (3), mengartikan bahwa kewajiban membayar pajak harus didasari pada
kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak. Di beberapa negara, penerapan prinsip ini, sangat
tergantung oleh ketentuan yang ditentukan oleh lembaga legislatif, sehingga tidak jarang
penerapannya justru menyimpang akibat tarif progresif terhadap seorang wajib pajak yang tidak
sesuai dengan kemampuan membayarnya.
The principle of nonretroactivity atau prinsip non retroaktif (tidak berlaku surut) (4),
mengartikan bahwa suatu ketentuan perpajakan tidak boleh berlaku surut terhadap suatu ketentuan
yang telah ditetapkan sebelumnya terhadap wajib pajak. Disebagian negara, terhadap prinsip ini, di
tetapkan di dalam civil code atau kitab undang-undang hukum perdata, sehingga kebijakan hukum
pajak dapat dibuat berlaku surut selama tidak diatur atau yang dikecualikan oleh civil code. Selain
itu, kebijakan hukum pajak yang berlaku surut biasanya dikhususkan atau dibatasi terhadap
keadaan-keadaan tertentu atau terhadap kasus-kasus yang sifatnya ekstrim, misalnya di prancis,
mahkamah konstitusinya Misalnya, Mahkamah Konstitusi Perancis menyatakan bahwa suatu
kebijakan perpajakan tidak dapat berlaku surut penerapannya terhadap seorang wajib yang
mempunyai kasus yang sedang dalam proses pemidanaan dan namun dapat berlaku surut jika
diterapkan seorang wajib pajak yang mempunyai kasus yang telah mendapat putusan oleh
pengadilan. Selain itu, dibeberapa negara, lembaga legislatifnya membuat kebijakan hukum yang
berlaku surut untuk melindungi penerimaan pajak.
Others constitutional limitations atau keterbatasan konstitusi lainnya (5), artinya kebijakan
hukum suatu negara, selain pada prinsip-prinsip umum yang diterakan diatas, juga tergantung
terhadap apa yang telah ditentukan oleh konstitusi didalam suatu negara. Batasan-batasan dalam
menentukan kebijakan hukum perpajakan suatu negara juga bervariasi atau beragam tergantung
bagaimana ketentuan konstitusional yang dirumuskan dalam konstitusinya. Sehingga dengan
demikian, hal ini bisa membatasi kekuasaan lembaga legislatif dalam membuat suatu kebijakan
hukum perpajakan yang tidak sesuai dengan hak-hak konstitusional suatu warga negara.
Charters of taxpayers rights atau piagam/deklarasi hak-hak wajib pajak (6). Selain ketentuanketentuan yang telah di tetapkan dalam konstitusi suatu negara untuk membatasi kekuasaan
pembuatan kebijakan hukum perpajakan, di beberapa negara, juga menyajikan suatu deklarasi atau
piagam memuat hak-hak yang dimiliki oleh wajib pajak. Deklarasi ini juga terkadang, umumnya
dibuat oleh otoritas perpajakan suatu negara yang sifatnya hanya mendeklaratifkan hukum yang
telah ada, artinya sifatnya tidaklah memiliki kekuatan independen. Sebagai contoh deklarasi hakhak wajib pajak ini misalnya, piagam hak dan kebebasan yang ada di kanada, di belgia ada piagam
wajib pajak, di prancis terdapat Chartedu contibuable (piagam wajib pajak).
Internasional agreements atau perjanjian internasional (7), mengartikan bahwa suatu otoritas
negara dalam membuat suatu perundang-undangan perpajakan bisa juga di batasai oleh suatu
perjanjian atau kesepakatan internasional. Pembatasan ini termasuk konvensi perpajakan bilateral,
perjanjian multiralteral terhadap perdagangan pasar bebas, kesepakatan yang berhubungan dengan
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), dan
Ketentuan pasal pada kesepakatan IMF. Lingkup pembatasan perjanjian atau kesepakatan
internasional terhadap perpajakan pun juga bergantung pada isi perjanjian atau kesepakatannya.
Sebagai contoh perdagangan pasar bebas Uni Eropa atau North American Free Trade Area
(NAFTA), membatasi kemampuan untuk memungut tarif, memberikan aturan perpajakan yang
sifatnya tidak langsung dan memberlakukan aturan pajak penghasilan. Selain itu, perjanjian baik
bilateral maupun multirateral selain diatas juga relevan terhadap pembatasan kekuasaan dalam
2
RESUME GENERAL PRINCIPLES AND LIMITATION ON POWER TO MAKE TAX LAWS (PRINSIP
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
perpajakan yang mengandung klausul anti deksriminasi yang dapat membatasi pemungutan pajak
penghasilan negara dari bukan penduduk
3
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
Nama/NIM
: MUHAMMAD AULIA Y. GUZASIAH/ 15/387682/PHK/08788
Mata Kuliah/ Dosen Pengampu : LEGISLASI FINANSIAL/ Adrianto Dwi Nugroho, S.H.,
Adv, LL.M.
Telah terbukti didalam sejarah berbagai negara, undang-undang perpajakan sering
disalahgunakan oleh lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakannya. Hal itu bisa terlihat
didalam sejarah perpolitikan penjajahan amerika atas inggris raya. Sehingga respon terhadap hal
tersebut menimbulkan revolusi dan melahirkan konsep “the rule of law” untuk membatasi
kekuasaan yang sewenang-wenang, termasuk dalam penerapan perpajakan yang pemungutannya
harus diatur dan memiliki dasar yang kuat dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berarti
bahwa tidak ada pajak yang dapat dipungut kecuali telah diatur dibawah kewenangan hukum dasar
(konstitusi).
Berbasis pada prinsip legalitas, prinsip-prinsip dalam pemungutan pajak mulai dilahirkan,
yang diantaranya, (1) Prinsip kesetaraan (principle of equality), (2) Prinsip fair play atau
kepercayaan publik dalam administratif (principle of fair play or public trust in tax administration),
(3) Prinsip proporsionalitas dan kemampuan berbayar (principle of proportionality and ability to
pay), (4) Prinsip non retroaktif (principle of nonretroactivy), (5) Keterbatasan konstitusi lainnya
(others constitutional limitations), (6) Piagam/deklarasi hak wajib pajak (charters of taxpayers
rights), (7) Perjanjian internasional (International agreements), yang penjelasan ringkasnya lebih
lanjut di uraikan sebagai berikut;
The principle of equality atau prinsip kesetaraan (1), mengartikan bahwa pemungutan pajak
diterapkan tanpa pengecualian bagi semua orang dengan keadaan yang sama, baik dari segi
prosedural maupun dari segi substantif. Dari segi prosedural, pemungutan pajak dipungut
sepenuhnya, tidak memihak dan memberikan perlakuan preferensial (khusus) atau deskriminatif
dalam penerapannya. Dari segi substantif, artinya pemungutan pajak harus diperlakukan sama bagi
semua orang dengan keadaan yang sama. Selain itu, prinsip ini juga mensyaratkan dasar
pemungutan pajak harus memiliki dasar yang rasional, misalnya pemberian pemungutan pajak
terhadap wajib pajak (tax payers) dengan keadaan yang berbeda, seperti yang berpenghasilan lebih
tinggi harus berbeda, sehingga sebagai basis rasionalnya menyimpulkan bahwa kemampuan wajib
pajak untuk membayar meningkat dengan pendapatan seseorang dan untuk pemberlakuan tarifnya
harus sesuai dengan kelasnya. Namun walaupun demikian, terhadap prinsip ini, diterapkan dengan
cara berbeda di tiap tiap negara, sehingga mengenai efektifitasnya agar sesuai dengan esensi dari
prinsip ini, tergantung terhadap tingkat pengawasan penerapan aturan perpajakan yang melandasi
prinsip ini.
The principle of fair play or public trust in tax administration atau Prinsip fair play (adil) atau
kepercayaan publik dalam administratif (2), mengartikan bahwa otoritas yang berwenang
memungut pajak tidak di perbolehkan memberikan kebijakan yang tidak adil atau merugikan
terhadap wajib pajak. Sehingga penerapan prinsip ini meberikan konsekuensi, yang pertama bahwa
otoritas pajak harus memberitahukan segala bentuk tindakannya yang berhubungan dengan wajib
pajak, lalu yang kedua di dalam prosesi sengketa didalam peradilan (litigasi), seorang wajib pajak
harus diberikan semua hak-hak yang oleh otoritas pajak memperbolehkannya, kemudian yang
ketiga otoritas pajak harus terikat oleh interpretasi hukum situasi tertentu wajib pajak. Disebagian
negara, aturan yang melandasi prinsip fair play ini merupakan bagian dari hukum administrasi.
sehingga, bisa terjadi pengecualian terhadap prinsip fair play ini, jika penerapannya memberikan
kerugian bagi negara dalam hal ini pemerintah. Sebagai contoh, otoritas pajak bisa saja dalam
bertindak tidak memberikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada wajib pajak dalam hal terjadi
sengketa, dengan basis yang rasional bahwa bisa saja wajib pajak tersebut menghancurkan suatu
bukti tertentu atau menghindari atau melarikan diri yurisdiksi negara yang berwenang. Namun
walaupun demikian, prinsip ini agaknya sedikit bertentangan dengan prinsip ketertiban umum, yang
1
RESUME GENERAL PRINCIPLES AND LIMITATION ON POWER TO MAKE TAX LAWS (PRINSIP
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
seharusnya menurut suatu undang-undang pajak tertentu harus diterapkan dalam semua keadaan,
sehingga penerapannya tidak jarang menimbulkan banyak kerancuan di berbagai negara.
The principle of proportionality and ability to pay atau Prinsip proporsionalitas (berimbang)
dan kemampuan berbayar (3), mengartikan bahwa kewajiban membayar pajak harus didasari pada
kemampuan wajib pajak untuk membayar pajak. Di beberapa negara, penerapan prinsip ini, sangat
tergantung oleh ketentuan yang ditentukan oleh lembaga legislatif, sehingga tidak jarang
penerapannya justru menyimpang akibat tarif progresif terhadap seorang wajib pajak yang tidak
sesuai dengan kemampuan membayarnya.
The principle of nonretroactivity atau prinsip non retroaktif (tidak berlaku surut) (4),
mengartikan bahwa suatu ketentuan perpajakan tidak boleh berlaku surut terhadap suatu ketentuan
yang telah ditetapkan sebelumnya terhadap wajib pajak. Disebagian negara, terhadap prinsip ini, di
tetapkan di dalam civil code atau kitab undang-undang hukum perdata, sehingga kebijakan hukum
pajak dapat dibuat berlaku surut selama tidak diatur atau yang dikecualikan oleh civil code. Selain
itu, kebijakan hukum pajak yang berlaku surut biasanya dikhususkan atau dibatasi terhadap
keadaan-keadaan tertentu atau terhadap kasus-kasus yang sifatnya ekstrim, misalnya di prancis,
mahkamah konstitusinya Misalnya, Mahkamah Konstitusi Perancis menyatakan bahwa suatu
kebijakan perpajakan tidak dapat berlaku surut penerapannya terhadap seorang wajib yang
mempunyai kasus yang sedang dalam proses pemidanaan dan namun dapat berlaku surut jika
diterapkan seorang wajib pajak yang mempunyai kasus yang telah mendapat putusan oleh
pengadilan. Selain itu, dibeberapa negara, lembaga legislatifnya membuat kebijakan hukum yang
berlaku surut untuk melindungi penerimaan pajak.
Others constitutional limitations atau keterbatasan konstitusi lainnya (5), artinya kebijakan
hukum suatu negara, selain pada prinsip-prinsip umum yang diterakan diatas, juga tergantung
terhadap apa yang telah ditentukan oleh konstitusi didalam suatu negara. Batasan-batasan dalam
menentukan kebijakan hukum perpajakan suatu negara juga bervariasi atau beragam tergantung
bagaimana ketentuan konstitusional yang dirumuskan dalam konstitusinya. Sehingga dengan
demikian, hal ini bisa membatasi kekuasaan lembaga legislatif dalam membuat suatu kebijakan
hukum perpajakan yang tidak sesuai dengan hak-hak konstitusional suatu warga negara.
Charters of taxpayers rights atau piagam/deklarasi hak-hak wajib pajak (6). Selain ketentuanketentuan yang telah di tetapkan dalam konstitusi suatu negara untuk membatasi kekuasaan
pembuatan kebijakan hukum perpajakan, di beberapa negara, juga menyajikan suatu deklarasi atau
piagam memuat hak-hak yang dimiliki oleh wajib pajak. Deklarasi ini juga terkadang, umumnya
dibuat oleh otoritas perpajakan suatu negara yang sifatnya hanya mendeklaratifkan hukum yang
telah ada, artinya sifatnya tidaklah memiliki kekuatan independen. Sebagai contoh deklarasi hakhak wajib pajak ini misalnya, piagam hak dan kebebasan yang ada di kanada, di belgia ada piagam
wajib pajak, di prancis terdapat Chartedu contibuable (piagam wajib pajak).
Internasional agreements atau perjanjian internasional (7), mengartikan bahwa suatu otoritas
negara dalam membuat suatu perundang-undangan perpajakan bisa juga di batasai oleh suatu
perjanjian atau kesepakatan internasional. Pembatasan ini termasuk konvensi perpajakan bilateral,
perjanjian multiralteral terhadap perdagangan pasar bebas, kesepakatan yang berhubungan dengan
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), dan
Ketentuan pasal pada kesepakatan IMF. Lingkup pembatasan perjanjian atau kesepakatan
internasional terhadap perpajakan pun juga bergantung pada isi perjanjian atau kesepakatannya.
Sebagai contoh perdagangan pasar bebas Uni Eropa atau North American Free Trade Area
(NAFTA), membatasi kemampuan untuk memungut tarif, memberikan aturan perpajakan yang
sifatnya tidak langsung dan memberlakukan aturan pajak penghasilan. Selain itu, perjanjian baik
bilateral maupun multirateral selain diatas juga relevan terhadap pembatasan kekuasaan dalam
2
RESUME GENERAL PRINCIPLES AND LIMITATION ON POWER TO MAKE TAX LAWS (PRINSIP
UMUM DAN BATASAN KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UNDANG-UNDANG PAJAK)” DALAM
CHAPTER “LEGAL FRAMEWORK OF TAXATION (FRANS VANIE\STENDAEL)” DALAM BUKU
“VICTOR THURONYI, 1996. TAX LAW DESIGN AND DRAFTING VOLUME 1
perpajakan yang mengandung klausul anti deksriminasi yang dapat membatasi pemungutan pajak
penghasilan negara dari bukan penduduk
3