Hukum Islam Hukum Waris dan Ketentuan

HUKUM WARIS DAN KETENTUAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN
DALAM ISLAM

Diajukan untuk:
Memenuhi Salah Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Nilai Tugas Mata Kuliah
Hukum Islam

Ditulis oleh:
Syifa Fauziah
0101 15 122
Semester II – D

Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Pakuan Bogor
2016
4

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala puji saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan
Izin-Nya saya dapat mengerjakan tugas makalah ini. Saya menulis makalah ini
sebagai persyaratan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan nilai
tugas pada mata kuliah Hukum Islam pada Universitas Pakuan, Bogor.
Makalah ini, saya buat karena mendapatkan tugas dari dosen mata kuliah
Hukum Islam dengan tema “Hukum Waris” dan judul “Hukum Waris dan
Ketentuan Pembagian Harta Warisan dalam Islam”, yang juga menjadikan
ini sebagai ilmu pengetahuan untuk saya dan juga untuk mendapatkan nilai tugas
mata kuliah Hukum Islam dari Bapak Nandang Kusnadi, S.H., M.H.
Demikian, makalah inisaya tulis untuk melengkapi tugas dari dosen mata
kuliah. Mohon maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan dalam karya ilmiah
ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
saya dalam menyelesaikan tugas ini.
Wassalamualaikum wr.wb.

Bogor, April 2016

Penulis

2


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Masalah......................................................................................5

1.2.

Identifikasi Masalah.............................................................................................6

1.3.

Tujuan...................................................................................................................6

BAB II

TINJAUAN UMUM.........................................................................................................7
2.1.

Ilmu Mawaris........................................................................................................7

2.1.1.

Pengertian Ilmu Mawaris.................................................................................7

2.1.2.

Tujuan Ilmu Mawaris.......................................................................................8

2.1.3.

Sumber Hukum Ilmu Mawaris........................................................................8

2.1.4.

Kedudukan Ilmu Mawaris.............................................................................11


2.1.5.

Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris.............................................................12

BAB III...........................................................................................................................13
PEMBAHASAN.............................................................................................................13
3.1.

Pembagian Waris Sebelum Turunnya Ayat Mawaris.......................................13

3.2.

Sebab Waris Mewarisi.......................................................................................14

3.3.

Halangan Waris Mewarisi.................................................................................15

3.4.


Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh.............................................................16

3.4.1. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh...............................................................16
3.4.2. Hijab......................................................................................................................19
3.4.3. Dzawil Furudh dan Ashabah................................................................................20
3.5.

Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan..........................................................21

3.5.1. Perhitungan Bagian Masing-Masing Ahli Waris...............................................22
3.6.

Pemasalahan Tertentu yang Berkenaan dengan Pembagian Warisan...........23

3.6.1. Masalah-Masalah.................................................................................................23

3

3.7.


Hikmah Pembagian Warisan.............................................................................23

BAB IV............................................................................................................................24
PENUTUP.......................................................................................................................24
4.1.

Simpulan.............................................................................................................24

4.2.

Saran...................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.


Latar Belakang Masalah
Harta yang dimiliki seseorang sering kali menimbulkan permasalahan
yang komplek dikalangan keluarga apabila sang pemilik harta telah meninggal
dunia, dan harta ini dinamakan harta warisan. Berbagai permasalahan
ditimbulkan, dari tata cara pembagian yang adil, ketentuan-ketentuan
pembagiannya didalam keluarga, dan permasalahan lainnya.
Sehingga, apabila dirasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian harta
warisan ini menimbulkan pertengkaran antar sesama anggota keluarga yang
merasa berhak atas harta warisan tersebut, terutama didalam keluarga yang
buta akan pembagian harta warisan yang benar dan adil.
Islam telah mengatur tata cara pembagian harta warisan yang sesuai
dengan ajaran islam dan secara terperinci dijelaskan dengan mengambil dasar
hukum sesuai dengan syariat islam, yaitu melalui Alquran, Alhadits,
Ijtihad,Ijma dan Qiyas.
Pada pembagian harta warisan menurut syariat islam ini merupakn tata
cara pembagian yang adil antara ahli waris, terutama ahli waris yang utama
yang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia.
Islam membedakan pembagian harta warisan yang didapatkan oleh wanita
dan pria, hal ini dibedakan dikarenakan ada hak yang memang berbeda antara

laki-laki dan perempuan itulah yang menjadi dasar dalam pembedaan bagian
harta warisan.
Hal umum yang diketahui masyarakat mengenai pembagian harta warisan
antara laki-laki dan perempuan ini yaitu apabila laki-laki mendapatkan dua (2)
bagian maka perempuan hanya mendapatkan 1 bagian saja, dan itu merupakan
hal yang adil, dimana karena seorang laki-laki merupakan seorang kepala
keluarga untuk keluarganya, sedangkan prempuan hanyalah seorang pengikut
bagi suaminya kelak.
Tetapi apabila kita melihat lebih dalam lagi, ada bagian-bagian yang tidak
diketahui secara umum untuk pembagian harta warisan bagi keluarga terutama
antara anggota keluarga laki-laki dan perempuan.

Oleh sebab itulah, dalam makalah ini saya membahas mengenai hukum
waris dan pembagiannya yang sesuai dengan syariat islam agar sesame
muslim dapat menegakkan keadilan dan dapat membagikan harta warisan
yang sesuai dengan hak masing-masing perorangan ahli waris.
1.2.

Identifikasi Masalah
Pada penulisan ini, saya mencoba mengemukakan permasalahan sebagai

berikut:
1) Bagaimana gambaran umum mengenai hukum waris dalam islam?
2) Bagaimana gambaran umum mengenai ketentuan pembagian harta
warisan dalam islam?
Dari uraian diatas dapatlah dirumuskan permasalahan yang akan ditulis,
yaitu:
“Bagaimana hukum waris dan ketentuan pembagian harta warisan dalam
islam?”

1.3.

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum waris dalam
islam.
2) Untuk memperoleh gambaran umum mengenai ketentuan pembagian
harta warisan dalam islam.

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1.
Ilmu Mawaris
2.1.1. Pengertian Ilmu Mawaris

6

Secara etimologi, mawaris (‫ )موارث‬merupakan bentuk jamak dari
miiraats (‫ث‬
‫مي يررا ث‬
‫ ) م‬yang artinya harta yang diwariskan, berasal dari kata
waratsa-yaritsu-wartsun-tuwaatsun.
Secara terminologi, ilmu waris yaitu ilmu tentang pembagian harta
peninggalan seseorang setelah meninggal dunia, atau disebut juga
sebagai ilmu faraidh ‫ض‬
‫( فرررائ م م‬ilmu yang mempelajari ketentuan yang
diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara. Adapun definisi ilmu
mawaris, yaitu:
“Alfiqhul muta’allaqi bil irtsi wa ma’rifatul hisaabil muushilu ilaa
ma’rifati qadril waajibi minattirkati likulli dzii haqqin”1
Artinya: “Ilmu Fiqih yang bersangkut paut dengan pembagian harta

warisan, mengetahui perhitungan yang dapat meyampaikan kepada
mengetahui kadar yang wajib dari harta pusaka yang telah menjadi milik
tiap orang yang berhak”2
Dengan kata lain, dapat didefinisikan bahwa ilmu mawaris atau
faraidh adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan
pembagian harta pusaka bagi ahli waris menurut syara’ ( ketentuan
hukum islam).
Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam ilmu mawaris,
diantaranya:
1) Al-Muwarritsun,

ialah

orang

yang

meninggal

yang

meninggalkan harta yang dibagikan untuk ahli waris.
2) Al-Waaritsun, ialah orang memiliki hubungan kekeluargaan
yang akan mewarisi harta peninggalan.
3) Mauruts, ialah harta yang akan dibagikan kepada ahli waris
setelah memenuhi kewajiban orang yang meninggal.
2.1.2. Tujuan Ilmu Mawaris
Adapun tujuan ilmu mawaris, yaitu:
1) Mengetahui secara jelas ahli waris dan jumlah bagian yang
berhak diterimanya.
2) Membagi harta warisan, kepada yang berhak menerimanya
agar tidak terjadi perselisihan dan sengketa terhadap masalah
harta warisan yang ditinggalkan.
1Anggota IKAPI, FIQIH (CV Armico:Bandung,1988),hlm.42.
2 Ibid.

7

3) Melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah mengenai faraidh
yang tercantum dalam naskh Al-Quran dan Al-Hadits.
2.1.3. Sumber Hukum Ilmu Mawaris
Beberapa sumber hukum mengenai ilmu waris, baik dalam alquran
maupun alhadits, yaitu:
1) Al-Quran
Terdapat banyak

didalam

Al-quran

ayat-ayat

yang

membahas tentang masalah waris, diantaranya:
a. Q.S. An-Nisa (4) ayat 7, yang berbunyi:

“Bagi

laki-laki

ada

bagian

dari

harta

yang

ditinggalkan oleh ibu- bapak dan kerabatnya dan bagi
wanita ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh
ibu-bapaknya dan kerabatnya baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”(4:7)
b. Q.S An-Nisa (4) ayat 11-12, yang berbunyi:

”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
8

pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan272; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua273, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”(4:11)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

9

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)274. (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.” (4:12)
2) Al-Hadits
Seperti yang diriwatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim dari Ibnu Abbas ra, yaitu:
‫ أقاأل أرقسوقل أالل ل أحه صلى الله عليه وسلم ) أ أل لححققوا‬: ‫ أقاأل‬-‫عن لقهأما‬
‫ أرحضأي أالل ل أقه أ‬- ‫ع ل أباسس‬
‫عحن ابلحن أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ أفأما بأقأي أفقهأو لألوألى أرقجسل أذك أسر‬, ‫) ا أل لأفأرائأض حبألهلأها‬
“Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda:
‘Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak,
sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama
(lebih dekat).” (H.R. Imam Bukhori dan Muslim)
2.1.4. Kedudukan Ilmu Mawaris
Kedudukan ilmu mawaris adalah sebagai suatu pedoman untuk
mengatur pembagian harta warisann dengan ketentuan dan aturan yang
sudah pasti yang berasal dari Allah SWT, karena ada kalanya manusia
dihinggapi oleh ketidaktahuan dan kekhilafan dan hanya Allah sajalah
yang mengetahuinya, sebagaimana dalam Firman-Nya didalam surat AnNisa ayat 11, dan sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:

10

‫علح لقملوأها ال لأناأس أفاححلنى المقروءض أملقبقلوضض‬
‫علح لقملوقه ال لأناأس أوتأأعل ل أقملوا ال لأفأرحئأض أو أ‬
‫تأأعل ل أقملوا ال لققلرآأن أو أ‬
‫خحبلرقهأما )اخرده احمد‬
‫ختألحأف اث لأناحن حفى ال لأفحري لأضحة أفل أ ي أحجأداحن ا أأحددا ي ق ل‬
‫ع أوي قلوحشقك أ ألن ي أ ل‬
‫أوال لحعل لقم أملرقفلو ض‬
‫والنسائ والدرقطتى‬
“Palajarilah Alquran dan ajarkanlah kepada manusia, dan
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan juga kepada manusia. Karena aku
(Rasulullah) adalah orang yang akan direnggut (mati), ilmu itu akan
diangkat (dihilangkan). Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang
pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun
yang dapat member fatwa kepada mereka” (HR. Imam Ahmad, AnNasai, dan Ad-Daruquthny)
Dapat disimpulkan bahwa kedudukan ilmu faraidh terhadap
Alquran adalah sebagai usaha mensistemalisir dan merinci cara
pembagian warisan yang telah tersusun dalam Alquran.
2.1.5. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Pada sumber hukum mengenai ilmu mawaris, dapat diambil bahwa
hukum mempelajari ilmu mawaris atau faraidh hukumnya adalah Fardu
Kifayah. Sebagai umat Islam wajib mengetahui mengenai ketentuan
yang berkaitan dengan ilmu faraidh. Rasulullah SAW bersabda:
‫ب اللحه )رواه مسلم و ابو داوود‬
‫عألى حكأتا ح‬
‫أ ألقأسقموا ال لأماأل بأي لأن ا ألهحل ال لأفأراحئحض أ‬
“Berikanlah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut
kitabullah” (HR.Imam Muslim dan Imam Abu Daud)
Selain itu, Rasulullah juga bersabda:
‫عل ل أقملوأها أفاحن ل أأها حنلصقف ال لحعل لحم أوقهأو ي قن لأسى أوقهأو ا أ ل أوقل أشحيسئ ي قلرأفقع حملن ا ق ل أمحتى )رواه ابن ماجة‬
‫تأأعل ل أقموا ال لأفأرحيأض أو أ‬
‫والدرقطنى‬
“Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah kepada manusia karena dia
adalah separoh ilmu dan dia mudah dilupakan orang dan itu adalah
sesuatu yang akan dicabut pertama kali dari umatku” (HR Ibnu Majah
dan Ad-Daruquthni)

11

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.

Pembagian Waris Sebelum Turunnya Ayat Mawaris
Sebelum ayat-ayat tentang warisan diturunkan, pembagian warisan
didasarkan kepada sifat kekeluargaan patrilineal (kebapakan). Latar belakang
geografis pada waktu itu ikut menentukan.3
Jadi, dasar-dasar perwarisan yang digunakan sebelum ayat-ayat mawaris
adalah:
a) Hubungan kerabat (Annasabu wal Qarabahu), terbatas kepada lakilaki yang sudah dewasa dan fisiknya kuat, terdiri dari anak laki-laki,
saudara laki-laki, bapak, paman, keponakan laik-laki, dan anak lakilaki paman.
b) Janji setia (Alhalafu wal Mu’aqodah), dalam ikatan janji setia, salah
seorang laki-laki berikrar kepada temannya “Darahku darahmu,
pertumpahan

darahku

pertumpahan

darahmu,

perjuanganku

perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kau mewarisi
hartaku dan aku mewarisi hartamu, engkau dituntut membela
kematianku, aku menuntut bela kematianmu, engkau membayar denda
sebagai pengganti nyawaku, dan aku membayar denda sebagai

3 Op.cit,hlm.46.

12

pengganti nyawamu”. Adanya janji setia mengakibatkan masingmasing menerima bagian seperenam jika salah seorang meninggal.
c) Pengangkatan anak (Attabanniy), yaitu mengangkat anak laki-laki
orang lain, dipelihara, dan dimasukkan kepada keluarga yang
mengangkat dan berstatus sebagai anak kandung sendiri.
d) Hijrah, saat misi perjuangannya, Rasulullah SAW beserta rombongan
sahabat-sahabatnya berhijrah meninggalkan mekah menuju madinah.
Guna memperkuat rasa solidaritas diantara mereka, jika ada yang
sebagian meninggal dunia, maka harta peninggalan diwarisi oleh
kerabat yang sama-sama ikut berhijrah, sedangkan ahli waris yang
tetap ditinggalkan di Mekah, tidak ikut berhijrah tidak berhak
mendapat warisan.
e) Mu’akhah, disini dimaksudkan sebagai jalinan persaudaraan antara
kaum muhajirin dan golongan anshar yang dijadikan dasar saling
mewarisi.
3.2.

Sebab Waris Mewarisi
Tidak semua orang dapat mewarisi terhadap yang lain, tetapi karena
sebab-sebab tertentu yang diatur oleh syariat islam maka dapat waris
mewarisi. Adapun sebab-sebab seseorang dapat mewarisi orang yang
meninggal itu adalah karena:
1) Pertalian darah atau nasab (nasab haqiqi), yaitu dengan sistem
kekeluargaan bilateral/parental. Bilateral dalam hukum islam tidak
bersifat mutlak, pihak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak
menerima warisan, akan tetapi bagian laki-laki dua kali lebih banyak
dari bagian perempuan. Dalam hal ini ada beberapa yang dihapus dari
sebab waris mewarisi setelah turunnya ayat Alquran, yaitu:
 Janji setia (Alhalafu wal Ma’aqadahu) dihapus oleh firman
Allah surat Al-Ahzab ayat 6. Namun golongan hanafiah masih
tetap menggunakan janji setia sebagai dasar perwarisan pada


urutan yang terakhir, berdasarkan surat An-Nisa ayat 33.
Surat Al-Ahzab ayat 6 juga mempunyai maksud menghapuskan
hijrah dan Mu’akhah sebagai dasar perwarisan. Dan ditegaskan
lagi

dengan

sabda
13

Rasulullah

yang

berkaitan

dengan

terbebasnya kaum Muhajirin dan kembali ke kampung
halamannya dikota makkah, yang artinya: “Tidak ada hijrah


setelah terbebasnya Makkah” (Sepakat AlHadits)
Tabanni (anak angkat/adopsi) juga dihapuskan oleh surat AlAhzab ayat 4-5 dan ayat 40.
Kerabat ini bila ditinjau dari segi penerimannya dapat

dikelompokkan menjadi:
a) Ashabul Furudhi Nasibayah, yaitu orang-orang yang
karena hubungan darah berhak mendapatkan bagian
tertentu.
b) Ashabah Nashbiyah, yaitu orang-orang yang karena
hubungan darah berhak menerima sisa bagian ashabul
furudh.
c) Dzawil Arham, yaitu kerabat agak jauh hubungannya
dengan yang mati.
2) Perkawinan yang sah / semenda (Mushaaharah), yaitu perkawinan
yang sah menurut syariat islam, menyebabkan adanya saling mewarisi
antara suami-istri, apabila yang meninggal pada waktu status
perkawinannya masih utuh atau dianggap utuh (dalam masa iddah
talak raj’iy).
3) Pemerdekaan budak / Wala’ (Nasab Hukmi), hak wala’ ini timbul atas
dasar memerdekakan budak meskipun tidak ada hubungan darah dan
telah diberikan hak untui mewarisi budak yang telah dimerdekakan.
3.3.

Halangan Waris Mewarisi
Halangan mewarisi ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Pembunuhan, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
terhadap muwarrisnya. Berdasarkan hadits Nabi, yang artinya: “Tidak
ada hak bagi pembunuh mewarisi sedikitpun” (HR.Nasai)
2) Berlainan agama, yang dimaksud berlainan agama adalah berlainan
antara islam dan kafir. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW, yang
artinya: “Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam” (Muttafaq Alaih)

14

3) Perbudakan, masih disebutkan dalam beberapa ayat bahwa status
mereka sebagai orang yang tidak cakap berbuat sesuatu. Maka budak
tidak dapat menerima warisan dari keluarganya. Diri dan segala
bendanya adalah milik tuannya.
3.4.

Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh
3.4.1. Ahli Waris dan Furudhul Muqoddaroh
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima pusaka atau bagian
dari harta warisan atau bagian dari harta warisan. Ditinjau dari sebabsebabnya, maka dapat diklasifikasikan dua bagian, yaitu:
Pertama, ahli waris sababiyah yaitu orang yang berhak menerima bagian
harta peninggalan atau harta warisan karena terjadinya hubungan perkawinan
dengan orang yang meninggal yaitu suami istri.4
Kedua, ahli waris nasabiyah, yaitu orang yang berhak menerima harta
peninggalan atau harta warisan karena ada hubungan pertalian darah atau
keturunan dengan orang yang meninggal dunia. Ahli waris nasabiyah ini
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Ushul AlMayyit ( Bapak, ibu, kakek,
nenek, dan seterusnya sampai keatas), Furu’al Mayyit ( Anak cucu dan
seterusnya sampai kebawah), dan Alhawasyis ( saudara, paman, bibi, serta
anak-anak mereka).5
Dari segi jenis kelamin, ahli waris dibagi menjadi dua jenis ahli waris,
yaitu:
1) Ahli Waris Laki-laki, semuanya ada 15 termasuk Mu’tiq (orang yang
memerdekakan budak), yaitu:
a) Anak laki-laki
b) Bapak
c) Suami
d) Cucu laki-laki dari garis laki-laki
e) Kakek dari ayah
f) Saudara laki-laki sekandung
g) Saudara laki-laki seayah
h) Saudara laki-laki seibu
i) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
j) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
k) Paman (dari ayah) kandung
l) Paman (dari ayah) seayah
4 Team guru Bina PAI MA, Fiqih XI (Akik Pusaka:Sragen, 2014),hlm.37.
5 Ibid.

15

m) Anak laki-laki paman sekandung
n) Anak laki-laki paman seayah
o) Orang laki-laki yang membebaskan budak
2) Ahli waris perempuan, semuanya ada 10 termasuk wanita yang
memerdekakan budak, yaitu:
a) Anak Perempuan
b) Cucu perempuan dari garis laki-laki
c) Ibu
d) Istri
e) Saudara perempuan sekandung
f) Nenek dari garis ibu
g) Nenek dari garis bapak
h) Saudara perempuan sebapak
i) Saudara perempuan seibu
j) Orang perempuan yang membebaskan budak
Dari seluruh ahli waris diatas, maka ada yang berhak, menerima
peninggalan. Adapun jumlah bagian yang berhak diterima oleh ahli waris
diatas atau yang disebut Furudhul Muqaddarah, yaitu:
1) Ahli waris yang mendapatkan bagian setengah (1/2), yaitu:
a) Anak perempuan tunggal, sesuai dengan Q.S An-nisa ayat 11.
b) Cucu perempuan dari anak laki-laki, tetapi apabila ayah dari cucu
perempuan itu masih ada maka ia terhalang (Mahjub Hirman).
c) Saudara perempuan kandung tunggal dan saudara perempuan
seayah bila saudara perempuan sekandung tidak ada, sesuai dengan
Q.S An-Nisa ayat 176.
d) Suami, apabila istri yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan) sesuai dengan
Q.S. An-Nisa ayat 12.
2) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4), yaitu:
a) Suami, bila istri yang meninggal dunia itu mempunyai anak (lakilaki atau perempuan) atau cucu dari anak laki-laki, sesuai dengan
Q.S. An-Nisa ayat 12.
b) Istri (seorang atau lebih), apabila suami tidak mempunyai anak,
baik dari istri sendiri atau istri yang lain atau cucu dari anak lakilaki, sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat 12.
3) Ahli waris yang mendapat seperdelapan (1/8), yaitu:

16

a) Istri (seorang atau lebih), apabila suami mempunyai anak (baik
dengan hasil perkawinan dengannya atau dengan istri yang lain)
atau jika tidak ada anak tetapi mempunyai cucu, dalam keadaan
semacam ini istri baik istri itu seorang atau lebih dari satu maka
bagian istri itu seperdelapan. Hal ini sesuai dengan Q.S. An-Nisa
ayat 8.
4) Ahli waris yang mendapat dua pertiga (2/3), yaitu:
a) Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat bagian dua pertiga
jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak
ada anak perempuan, hal ini diqiyaskan kepada anak perempuan.
c) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, sesuai dengan
Q.S. An-Nisa ayat 176.
d) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5) Ahli waris yang mendapat sepertiga (1/3), yaitu:
a) Ibu, apabila anaknya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak
laki-laki atau ia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau
perempuan) sekandung, seayah atau seibu.
b) Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan yang
seibu).
6) Ahli waris yang mendapat seperenam (1/6), yaitu:
a) Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu memiliki anak atau cucu
dari anak laki-laki atau saudara-saudara (laki-laki atau perempuan),
sekandung, seayah, atau seibu.
b) Bapak, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki.
c) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) apabila ibu tidak ada.
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih, apabila
yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal (seorang
saja). Jika anak perempuan lebih

dari seorang maka cucu

perempuan tidak mendapat bagian.
e) Kakek, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki sedang bapaknya tidak ada.
f) Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan).

17

g) Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, apabila saudara
perempuan sekandung ada dua orang atau lebih, maka saudara
sebapak tidak mendapat bagian.
3.4.2. Hijab
Hijab artinya satir, dinding, atau penutup. Maksudnya adalah penghalang
bagi ahli waris yang semestinya mendapat bagian menjadi tidak mendapatkan,
atau masih menerima tetapi jumlahnya berkurang, karena ada ahli waris yang
hubungan kerabatnya lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hijab dan
yang terhalang disebut mahjub. Hijab ada dua macam, yaitu:
1) Hijab Hirman, yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli
waris tidak dapat bagian sama sekali, karena ada ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya. Misalnya : cucu laki-laki terhalang sama sekali
oleh anak laki-laki.
2) Hijab Nuqshan, yaitu penghalang yang mengurangi bagian yang
seharusnya diterima, karena ada ahli waris lainnya. Misalnya: istri
mendapatkan bagian seperempat jika tidak ada anak, tetapi karena ada
anak maka bagian diterimanya adalah seperdelapan.
Adapun ahli waris yang tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris
ada, yaitu tetap akan mendapat bagian harta warisan adalah ahli waris yang
dekat yang disebut al-aqrabun.
3.4.3. Dzawil Furudh dan Ashabah
1) Dzawil Furudh, yaitu ahli waris yang bagian warisnya telah
ditentukan. Ahli waris yang termasuk dzawil furudh adalah suami, istri,
anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), ibu, ayah
(suatu ketika dapat menjadi ashabah), saudara perempuan sekandung,
saudara perempuan seayah, saudara perempuan/laki-laki seibu, kakek
(suatu ketika dapat menjadi ashabah), dan nenek.
2) Ashabah, yaitu ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa
mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada dzawil
18

furudh. Ahli waris yang tergolong ashabah adalah anak laki-laki, cucu
laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki, saudara seayah lakilaki, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, anak laki-laki saudara
laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah, anak laki-laki paman
kandung, anak laki-laki paman seayah, dan orang yang memerdekakan.
Ashabah ada tiga macam, yaitu:
a) Ashabah binafsihi, yaitu orang yang menerima harta warisan
dengan sendirinya, kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan yang
meninggal dunia tanpa diselingi oleh orang perempuan.
b) Ashabah bilghair, yaitu orang yang mendapatkan sisa bagian harta
warisan karena bersama ahli waris laki-laki yang setingkat, seperti
anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki, cucu
perempuan dari anak laki-laki bila bersama cucu laki-laki dari anak
laki-laki, saudara perempuan sekandung bila bersama saudara lakilaki sekandung, saudara perempuan seayah bila bersama saudara
laki-laki seayah.
c) Ashabah Ma’al Ghair, yaitu ahli waris perempuan yang mendapat
sisa bagian harta warisan ketika bersama dengan ahli waris
perempuan lain (dalam garis lain), seperti saudara perempuan
sekandung bila bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan seayah bila
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari ana
laki-laki.

3.5.

Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan
Sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris, maka harus
diselesaikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1) Biaya perawatan jenazah/tajhiz
Mulai saat meninggalnya jenazah hingga penguburannya, seperti biaya
memandikan, mengkafani, mengusung dan menguburkannya biayanya
diambil dari harta si mayit.
2) Pelunasan hutang

19

Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhori dan Ibnu Abbas,
yang artinya:
“Seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW, dan berkata
Ibuku telah meninggal dan punya tanggungan puasa satu bulan,
apakah aku harus menunaikannya? Beliau menjawab, ‘kalau ibumu
punya hutang apakah engkau membayarnya? Ia berkata: ya, beliau
bersabda: ‘kalau begitu hutang kepada Allah itu lebih berhak
dibayar’.” (H.R Imam Bukhori)
Dari hadits diatas, para ulama membedakan jenis hutang menjadi dua
macam, yaitu:
a) Pertama: Daimullah (hutang kepada Allah), seperti: zakat, haji,
pembayaran kafarat, dsb.
b) Kedua: Dainul Ibad (Hutan kepada sesame manusia), seperti
hutang uang atau benda-benda lainnya.
3.5.1. Perhitungan Bagian Masing-Masing Ahli Waris
Sebelum menentukan bagian masing-masing ahli waris, karena bagian
yang diberikan kebanyakan adalah berupa pecahan seperti ½, 1/3, ¼, atau 1/6.
Maka untuk menentukan penerimaan masing-masing ahli waris dapat
ditempuh sistem Asal Masalah (KPT = Kelipatan Persekutuan Terkecil) yang
dapat dibagi oleh angka penyebut yang ada. Dalam pembuatan asal masalah
ada empat jenis pecahan yang perlu diketahui, yaitu:6
1) Mumatsalah, yaitu apabila ada angka pecahan dua atau lebih yang
masing-masing angka penyebutnya sama. Seperti angka 1/3 dengan 2/3.
Maka asal masalahnya aalah menetapkan angka yang sesuai dengan
angka penyebutnya yaitu 3.
2) Mudakhalah, yaitu apabila angka pecahan dua atau lebih yang mana
angka penyebut yang besar dapat dibagi tepat oleh angka penyebut
yang kecil. Seperti ½ dan 1/6. Angka 6 dapat dibagi 2 = 3. Maka asal
masalahnya adalah menetapkan angka penyebut yang terbesar, yaitu
angka 6.
6 Anggota IKAPI, FIQIH (CV Armico:Bandung,1988),hlm.69.

20

3) Muwafaqah, yaitu apabila ada angka pecahan dua atau lebih, yang
masing-masing angka penyebutnya dapat dibagi tepat oleh angka yang
sama seperti ¼ dan 1/6 atau 1/6 dengan 1/8. Maka akar masalahnya adalah
dengan cara menggandakan salah satu penyebut dengan hasil bagi
penyebut lainnya, 4 x (6:2) = 12, 6 x (8:2) = 24
4) Mubayarah, yaitu apabila angka-angka penyebut bagian ahli waris
yang ada tidak sama, tidak bisa dibagi oleh penyebut yang kecil.
Seperti ½ dengan 1/3, atau 1/3 dan ¼. Maka asal masalahnya adalah
dengan mengalikan angka penyebutnya, ½ dan 1/3 = 2 x 3 = 6, 1/3 dan ¼
= 3 x 4 = 12.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan sisa pembagian harta warisan,
yaitu:
a) Al-Aul, yaitu cara mengatasi masalah pembagian harta yang kurang
dengan jalan cara merubah asal masalahnya menjadi besar.
b) Ar Radd, yaitu cara mengatasi masalah pembagian harta yang lebih
dengan cara mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris.

3.6.

Pemasalahan Tertentu yang Berkenaan dengan Pembagian Warisan
3.6.1. Masalah-Masalah
a) Masalah Gharrawain, yaitu dua yang sangat terang.
b) Masalah Musyarakah, atau masalah hajariah atau himariyah.
c) Kakek bersama saudara.
d) Masalah Akdariyah, yaitu mengeruhkan atau menyusahkan.
e) Banci (Khuntsa)
f) Orang yang meninggal bersama-sama.
g) Orang-orang yang hilang (AlMafqud)

3.7.

Hikmah Pembagian Warisan
1) Menciptakan suatu keadilan yang hakiki menurut ketentuan hukum AlQuran dan Hadits.
2) Menjunjung tinggi dan melestarikan sunnah rasul, sesuai dengan hadits
yang artinya:

21

“ilmu itu ada tiga yang lain hanya sebagai anjuran, yaitu ayat yang
mukhamat (kongkret), sunnah yang diikuti, dan pembagian waris yang
adil” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
3) Mementingkan dan memperhatikan kepentingan anak yatim.
4) Menghindarkan terjadinya perselisihan dan persengketaan

yang

disebabkan oleh masalah pembagian warisan.

BAB IV
PENUTUP
4.1.

Simpulan
Secara terminologi, ilmu waris yaitu ilmu tentang pembagian harta
peninggalan seseorang setelah meninggal dunia, atau disebut juga sebagai ilmu
faraidh ‫ض‬
‫( فرررائ م م‬ilmu yang mempelajari ketentuan yang diperoleh oleh ahli
waris menurut ketentuan syara.
Adapun tujuan dari mempelajari ilmu mawaris untuk membagikan harta
warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan menjalankan perintah
Allah SWT.
Sumber dasar hukum dari ilmu mawaris ini adalah Al-Quran, Hadits,
Ijtihad, Ijma dan Qiyas. Didalam al-quran pada surat An-Nisa menjelaskan
tentang tata cara pembagian harta waris bagi umat islam.
Kedudukan ilmu mawaris adalah sebagai suatu pedoman untuk mengatur
pembagian harta warisann dengan ketentuan dan aturan yang sudah pasti yang
berasal dari Allah SWT.
Pada sumber hukum mengenai ilmu mawaris, dapat diambil bahwa hukum
mempelajari ilmu mawaris atau faraidh hukumnya adalah Fardu Kifayah.
Sebagai umat Islam wajib mengetahui mengenai ketentuan yang berkaitan
dengan ilmu faraidh.
Saran
Sebagai umat islam, hendaknya kita mengetahui, mempelajari dan

4.2.

menerapkan ilmu mawaris atau faraidh ini. Mengingat begitu pentingnya ilmu
mawaris untuk pembagian harta waris yang sesuai dengan syariat islam, yang
dasar hukumnya sudah jelas yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan sumber hukum
islam lainnya. Ketentuan ini sangat adil jika dilihat dalam aspek manapun,
22

tidak ada ketentuan mengenai waris yang jelas dan terperinci menjelaskan
mengenai pembagian harta warisan.

DAFTAR PUSTAKA
Anggota IKAPI. FIQIH. 1988. Bandung: CV Armico.
Team guru Bina PAI MA. Fiqih XI. 2014. Sragen: Akik Pusaka.

23