Rupa Kisah Hujan (Fragmen drama tentang cinta dan hujan)

Fragmen drama tentang hujan

Rupa Kisah Hujan
oleh Judha Jiwangga
26 Oktober 2016

Tokoh:
Seorang lelaki bernama Surya
Seorang perempuan bernama Rintik
(Lagu Hujan Bulan Juni mulai dimainkan. Di panggung terletak dua tempat duduk
dan satu meja. Situasi di luar sedang hujan. Tampak dua orang di panggung, seorang
lelaki yang tampak gelisah dan seorang perempuan yang kesal menunggu hujan
sambil membaca buku)

(Lampu Fade In menyoroti dua kursi dan satu meja)

L

: Hujan tak akan cepat usai. (mengajak perempuan berbicara)

P


: Hmm.... (melihat sekilas ke lelaki lalu membuang muka)

L

: Mungkin hujan ingin menceritakan sesuatu....

P

: Apa ada yang salah?! (membentak kesal)

L

: Tidak, hanya menerka maksud hujan saja

P

: Kau tahu! Hujan menjebakku di sini! (berpaling membuang muka)

L


: Setidaknya aku bisa bersamamu.... (berbisik)

P

: Apa!

L

: Ti... Ti... Tidak.... Emmm maksudku jangan berprasangka buruk pada hujan.

P

: Memang begitu adanya hujan! Ia mengurungku dalam penantian yang

membosankan ini!
(Hening)

L


: Mengapa kau begitu membenci hujan?

P

: Ada urusan apa kau bertanya-tanya seperti itu?!

L

: Em.... E... E... Tidak apa-apa. (Gugup) Waktu masih panjang dan tampaknya

hujan tak akan juga pergi. Mungkin kita bisa mengisi penantian ini dengan saling
berkisah.
P

: Sekarang aku yang bertanya! (kesal) Mengapa kau begitu tertarik kepada hujan?

L

: Tiap hujan, selalu ada seseorang yang kunantikan


P

: Ah, klise! Kau terlalu naif!

L

: Mungkin memang klise, tapi bagiku seperti itu!

P

: Lantas mengapa kau menunggunya saat hujan?

L

: Kami selalu bertemu dalam hujan, tapi kami tak pernah berkenalan. Aku hanya

mengaguminya dari jauh, karna kami terjebak pada satu ruang ketika hujan.
P

: Heh.... Kau ini pengecut! (tertawa sinis) Mengapa kau tak berani berkenalan


dengannya?
L

: Entah. Mungkin aku takut karena ia selalu kesal dengan hujan, tapi matanya

selalu mengisyaratkan kesedihan. Aku hanya tak mau memperkeruh suasana hatinya.
P

: Kau cinta dengan gadis itu?

L

: Aku tak tahu. Yang aku tahu, ketika aku melihat ia menanti hujan, aku merasa

tenang. Walaupun, banyak orang yang mengumpat karena hujan datang. Aku juga
sering senyum-senyum sendiri ketika melihat bibirnya yang cemberut. Aku juga
senang dengan caranya duduk dengan kesal tapi tampak sedih juga. Segalanya tampak
indah bagiku.
P


: Kau pernah mengajaknya berbicara?

L

: Belum

P

: Ah, kau ini lelaki macam apa?! (sambil tertawa terbahak-bahak)

L

: (diam memperhatikan perempuan itu sambil tersenyum)

P

: Maaf aku tertawa seperti ini, habis ceritamu lucu. (sambil mengatur napas) Lalu

bagaimana lagi?

L

: Yah, sampai detik ini aku masih menantinya.

P

: Setia juga kau! (menoleh ke jendela memastikan hujan telah reda, tetapi hujan

masih sangat lebat)
L

: Akhirnya aku bisa berbicara dengannya.... (berbisik)

P

: Apa?

L

: Ehhh.... Tidak.... Tampaknya hujan tak kunjung reda.


P

: Oh. Iya.

L

: Sekarang, bagaimana dengan kisahmu? Mengapa kau membenci hujan?

(Hening. Perempuan melamunkan sesuatu)

L

: Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu.

P

: Namaku Rintik tapi aku tak pernah suka hujan semenjak saat itu. (menarik

napas) Hujan mengingatkanku pada titik air mata pengkhianatan, pada seseorang yang

pernah menyakitiku. Namanya Badai (suara bergetar). Ia datang pada suatu saat, di
mana aku sedang menantikan cinta. Kami berkenalan. Ia tampak baik, sopan, dan
ramah ketika kami pertama bertemu. Ya, kala itu menjadi masa yang membahagiakan
bagiku. Ia selalu menggandengku ketika kami bersama, bahkan banyak orang yang
mengatakan bahwa kami seperti tak terpisahkan. (tiba-tiba terdiam, mulai menangis)
Tetapi, ia mengkhianatiku. Ia telah pergi dengan sesorang yang aku tak tahu sejak
kapan ia kenal. (menangis sejadi-jadinya)
L

: Ini ada sapu tangan

P

: (tidak memperdulikan) Ia tak lagi menjaga kepercayaanku. Ternyata ia selama....

se... la... ma ini. Aaaaaaa (berteriak)
L

: Tenanglah, jangan berteriak, banyak orang yang melihat kita.


(Suasana hening. Laki-laki bingung dan perempuan masih menangis. Perlahan-lahan
tangisnya mulai reda)

P

: Maaf ya. (sambil tersenyum dan menyeka air mata)

L

: Tak apa. Pantas kau membenci hujan.

P

: Karena saat itu hujan dan aku melihat Badai bersama perempuan lain!

L

: Hujan selalu membawa sejuta kisah (berbisik)

P


: Maaf, kau berbicara apa?

L

: Semoga kau bisa berdamai dengan hujan (gelagapan)

P

: Semoga. Terima kasih sudah mau mendengarkan kisahku.

L

: Tak apa-apa. Justru aku yang berterima kasih karena kau telah mengisi kisah

hujanku kali ini
P

: kau baik sekali (tersenyum sambil memperhatikan wajah lelaki itu). Sepertinya

kau tak asing bagiku.

L

: Iya kah?

P

: Aku sering melihatmu di tempat ini

L

: Lihat hujan sudah mulai reda. (gugup sembari menunjuk ke arah jendela)

P

: (melihat ke jendela) Iya. Tampaknya kita akan segera berpisah.

L

: Semoga hujan akan selalu mempertemukan kita (berbisik)

P

: Apa?

L

: Saatnya aku pergi! (gelagapan sambil membereskan barang-barangnya)

(Lagu Kuhentikan Hujan mulai dimainkan)
P

: Iya (tersenyum) Eh, tunggu! Siapa namamu?

L

: Surya (sambil berjalan keluar)

P

: Surya? Sur..... ya? Surya.....? Surya! Eh! Kau yang sering menuliskan puisi

untukku ketika hujan dan menaruhnya di meja ini?!

(Surya sudah pergi. Rintik memperthatikan arah di mana Surya pergi. Kemudian ia
membuka tasnya dan membaca puisi yang diberikan Surya sambil tersenyum-senyum.
Ia membaca sambil diiringi syair lagu Kuhentikan Hujan hingga selesai)
( Lampu Fade Out)

Saat hujan memelukku,
Mrican, 26 Oktober 2016

Judha Jiwangga