BOOK Muhamad Isnaini Gerakan Kerelawanan Generasi

GERAKAN KERELAWANAN GENERASI MILENIAL:
KASUS PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(PILKADA) JAKARTA 2017 DALAM PERSPEKTIF
KOMUNIKASI POLITIK
Muhamad Isnaini
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta
� emisnaini@gmail.com

Pendahuluan
Terdapat dua fenomena menarik pasca usainya Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Jakarta 2017. Pertama, tingginya partisipasi pemilih,
mencapai 75,75% pada putaran pertama dan 78% pada putaran kedua
(KPU 2017). Kedua, maraknya gerakan relawan, baik yang mendukung
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur maupun relawan yang
mendukung proses pilkada agar berlangsung jujur (Ginanjar 2017).
Gerakan relawan tersebut bibitnya dimulai dari tumbuhnya konsultankonsultan politik yang disewa para politikus yang mulai berlaga di
Pilkada langsung pada 2005. Sejak tahun 2012, mulai berkembanglah
fenomena relawan seperti sekarang, berupa antusiasme warga yang
berkelindan dengan keputusan sejumlah pegiat hak-hak sipil untuk
terlibat dalam pemilihan kepala-kepala pemerintahan (Ginanjar 2017).
Hal lain yang membuat Pilkada Jakarta bertambah semarak adalah

munculnya gelombang pemilih belia dengan antusiasme yang tinggi.
Berdasarkan data dari BPS DKI Jakarta (2016), jumlah penduduk
Jakarta mencapai 10,154 juta jiwa, dengan penduduk yang mempunyai
hak pilih (lebih dari 17 tahun atau sudah menikah) mencapai 7,218
juta jiwa (KPU 2017), dan pemilih muda (generasi milenial/generasi Y)
yang berusia 17-35 sekitar 44,7% (BPS DKI Jakarta 2016).
Menurut Ali (2016), pemilih generasi millennial  adalah pemilih
yang lahir tahun 1981–1999, dengan karakteristik cenderung bukan
pemilih ideologis, memiliki sikap politik yang cenderung apatis dan
banyak diantara mereka yang swing voters, dan cenderung tidak

411

Kolase Komunikasi di Indonesia

memiliki tingkat loyalitas yang tinggi terhadap partai. Generasi ini,
menurut Harmadi (2016) besar dan tumbuh di tengah derasnya arus
teknologi informasi, cenderung memiliki perilaku yang relatif mirip,
ermasuk soal pilihan dalam berpolitik dan berdemokrasi, sehingga
sering disebut sebagai connected kids. Padahal, pandangan umum

generasi milenial terhadap politik, seperti dikemukakan oleh Tapscott
(2013) adalah sikap antipatik, serta pesimis bahwa pesta demokrasi
(pemilu) tidak akan melahirkan perubahan.
Untuk menyiasati pesimisme tersebut, banyak generasi mudah
yang bergabung dengan gerakan kerelawanan sebagai bagian untuk
menghadirkan politik dengan wajah baru. Tapscott (2013) menyatakan
bahwa pandangan generasi internet adalah kumpulan anak manja,
pemalas, mementingkan diri sendiri ternyata salah besar. Justru
generasi milenial memiliki kepedulian untuk bermasyarakat dengan
terjun menjadi relawan, mengumpulkan uang, dan bekerjasama dengan
orang lain untuk memerangi kemiskinan, pencemaran penyakit, dan
perkara-perkara besar (Tapscott 2013).
Pada Pilkada Jakarta 2017 terlihat jelas bahwa mesin politik
kandidat tidak lagi didominasi partai politik, tetapi oleh gerakan
kerelawanan. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat
misalnya, mengandalkan relawan yang tergabung dalam “Teman Ahok”
untuk meraik suara. Handayani (2016) menyebut bahwa sebagia besar
sebagian besar relawan “Teman Ahok” datang dari kalangan mahasiswa,
dengan usia rata-rata 19-24 tahun. Dengan kata lain, pemilih berusia
belia ini mengorganisasi diri dan memimpin dukungan politik untuk

calon kepala daerah pilihan mereka (Handayani 2016). Pasangan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno juga demikian. Meski relawan pasangan ini
tidak semasif relawan Basuki-Djarot yang terkoordinasi, namun tetap
bergerak secara sporadis dan mengandalkan generasi mudah. Hal yang
sama juga terlihat pada pasangan Agus-Sylvi.
Meski demikian, gerakan kerelewanan tersebut tak melulu soal
kandidat. Generasi milenial, sebagaimana dikemukakan oleh Tapscott
(2013), selalu ingin menjadikan dunia yang sebagai tempat yang lebih baik
dalam kehidupan nyata, salah satunya dengan menjadi warga negara yang
baik. Maka, kerelawan generasi milenial juga berkelindan dengan ranah
ini melalui gerakan untuk menjadikan pemilihan umum (dan pemilihan

412

Muhamad Isnaini, Gerakan Kerelawanan Generasi...

kepala daerah) sebagai arena kontestasi yang jujur dan adil. Karena itulah,
muncul gerakan kerelawanan untuk mengawal pemungutan suara, yang
juga dimotori oleh generasi milenial, misalnya gerakan KawalPilkada.
Menurut Suryahudaya (2017), gerakan partisipasi politik yang aktif

dalam bentuk relawan adalah sebuah langkah maju dari demokrasi. Para
relawan justru bisa keluar dari berbagai kepentingan dan bias elite untuk
kemudian secara personal dan komunal berpartisipasi dalam politik.
Gerakan relawan yang independen sendiri juga memiliki kemampuan
untuk menyeimbangkan kekuatan oligarkis. Dengan demikian, gerakan
relawan adalah cara untuk mengimbangi kepentingan politik elite dalam
memilih calon pemimpin di daerah maupun nasional. Gerakan relawan
dengan sendirinya akan menjadi anjing penjaga (watch dog) bagi pemimpin
yang mereka pilih dan itu semakin menguatkan relasi representasi politik
antara yang terpilih dengan konstituennya (Suryahudaya 2017).
Hal yang unik dalam gerakan kerelawanan generasi milenial
adalah bentuk perjuangannya yang tidak lagi konvensional. Hal ini
sejalan dengan perspektif komunikasi politik, yakni penggunaan
media sebagai saluran komunikasi. Tapscott (2013) mengemukakan
bahwa sebagai generasi yang besar pada era digital, generasi milenial
akan menyapu habis model politik konvensional. Generasi milenial
justru ingin dilibatkan secara langsung, berinteraksi dengan politisi
dan masyarakat, menyumbangkan gagasan, melahirkan prakarsa
katalisator tidak hanya selama pemilihan, tetapi juga pemerintahan.
Perjumpaan generasi milenial dengan dunia digital menghadirkan

pola komunikasi yang menyingkirkan cara-cara tradisional. Maka,
media sosial pun menjadi pilihan para relawan untuk menarik sebanyak
mungkin pemilih. Seperti dikemukakan oleh Budiyono (2016), dalam
demokrasi di era digital ini, khususnya pada konteks kampanye
politik, media sosial telah berperan menjadi alat komunikasi yang bisa
menghubungkan para pelaku politik dengan konstituennya, antara
komunikator dan komunikan secara jarak jauh dan bersifat masif.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tulisan ini akan menjawab
dua permasalahan: (1) mengapa gerakan kerelawanan menjadi pilihan
generasi milenial dalam Pilkada Jakarta 2017; dan (2) bagaimana
partisipasi generasi milenial dalam gerakan kerelawanan tersebut?.
Dengan demikian, tujuan kajian ini adalah: (1) untuk Menjelaskan
413

Kolase Komunikasi di Indonesia

dan menganalisis alasan gerakan kerelawanan menjadi pilihan generasi
milenial dalam Pilkada Jakarta 2017; (2) untuk Menjelaskan dan
menganalisis partisipasi generasi milenial dalam gerakan kerelawanan.


Kajian Teoretik
Pembagian Generasi
Adalah William Strauss dan Neil Howe yang memperkenalkan
pembagian generasi berdasarkan karakteristik masyarakat Amerika.
Metcalf (2016) menjelaskan, dalam buku Generations (1990) dan
he Fourth Turning (1997), Strauss dan Howe berupaya meyakinkan
masyarakat bahwa terjadi perulangan generasi dalam siklus 80 tahun.
Setelah empat generasi berbeda, maka generasi kelima akan muncul
dengan ciri yang serupa generasi pertama, generasi keenam dengan
gererasi kedua, dan seterusnya. Generasi yang muncul pada keempat
variasi, memiliki sekuens yang sama: artis (adaptif), nabi (idealis),
pengembara (reaktif) dan yang paling hebat, pahlawan (civic).
Strauss dan Howe, sebagaimana dikutip Metcalf (2016) mendeiniskan
generasi sebagai agregat dari semua orang yang lahir selama rentang
waktu sekitar dua puluh tahun atau sekitar satu rentang fase kehidupan:
anak-anak, dewasa muda, usia pertengahan dan usia tua. Masing-masing
generasi mempunyai kecenderungan karakter, kepercayaan, nilai dan
tingkah laku yang berbeda, dibentuk dan dipengaruhi oleh periode sejarah
tertentu dimana mereka tumbuh dan menjadi dewasa. Umumnya peristiwa
besar serta tren sosial-kebudayaan mengubah secara fundamental zeitgeist

generasi itu tumbuh dibesarkan.
Adapun pembagian generasi menurut Strauss dan Howe antara
lain (Metcalf 2016): pertama adalah  generasi pre baby boom yaitu
penduduk atau masyarakat yang hidup dan menimba pengalaman
hidupnya sebelum  tahun 1945; kedua, generasi baby boom, yaitu
kelompok generasi yang hidup setelah Perang Dunia ke II, yaitu
antara 1946 dan 1964, dengan ciri idealis, hidup berdikari dan kurang
bergantung pada keluarga, kerja dan pekerjaan; ketiga, , generasi X (the
baby bust) yaitu generasi yang lahir di antara tahun 1965-1980, dengan
ciri telah terpapar oleh perkembangan gemerlap budaya pop, skeptis
terhadap otoritas dan kemerdekaan., ingin berwirausaha, hidup damai,
stabil, serta mempunyai keluarga sebagai tujuan hidup; keempat,
generasi Y, yang lahir di antara tahun 1981-1995, dan disebut dengan

414

Muhamad Isnaini, Gerakan Kerelawanan Generasi...

generasi millenial, karena generasi ini mencapai umur produktif di dua
dasawarsa awal abad ke-21.

Tapscott (2013) membagi generasi berdasarkan parameter
demograis, dan mempopulerkan istilah generasi X, Y, dan Z. Karena
tulisan ini fokus pada generasi Y (milenial), maka yang akan dibahas
lebih banyak adalah generasi tersebut. Menurut Tapscott (2013), ciri khas
generasi milenial adalah mudah berinteraksi dengan beragam media
hanya melalui alat berlayar ukuran dua inci. Mereka menggunakan
ponsel untuk beragam aktivitas. Untuk berbicara, mengecek dan
membalas surat elektronik. Mereka menggunakan ponsel untuk kirim
pesan, berselancar di dunia maya, bermain game, mencari arah atau
jalan, mengambil gambar dan membuat video. Mereka ber-Facebook
setiap saat, termasuk saat bekerja atau belajar, atau memberitahukan
status mereka melalui Twitter kapan pun mereka mau.
Di samping Strauss dan Howe serta Tapscott, terdapat ahli lain
yang juga mengelompokkan pembagian generasi, misalnya Zemke et
al, Lancaster & Stillman, Martin & Tulgan, serta Oblinger & Oblinger
(Putra 2016). Berikut disajikan pengelompokkannya:
Tabel 1
Pengelompokan Generasi
Ahli


Label

Tapscott

-

Baby Boom
Generation
(1946-1964)

Generation X
(1965-1975)

Digital
Generation/Gen
Y/Millenial
(1976-2000)

-


Strauss &
Howe

Silent
Generation
(1925-1943)

Boom
Generation
(1943-1960)

X Generation
(1961-1981)

Millenial
Generation
(1982-2000)

-


Zemke et al

Veterans
(1922-1943)

Baby
Boomers
(1943-1960

Gen-Xers
(1960-1980)

Nexters
(1980-1999)

-

Lancaster
& Stillman

Traditionalist
(1900-1945)

Baby
Boomers
(1946-1964)

Generation
Xers
(1965-1980)

Generation Y
(1981-1999)

Martin &
Tulgan

Silent
Generation
(1925-1942)

Baby
Boomers
(1946-1964)

Generation X
(1965-1977)

Millenials
(1978-2000)

Oblinger &
Oblinger

Matures
(