Bencana dan Kerelawanan Perempuan Difabe

 

Bencana dan Kerelawanan Perem puan Diffabel 1
Oleh : Dati Fatimah 2
Jurnal Galang Vol. 3 No. 1, Februari 2008  
 
 
Abstract :  
 
Ancaman  bencana    yang  sama  bisa  mengakibatkan  dampak  berbeda  untuk 
komunitas  yang  berbeda.  Di  sini,  konsep  kerentanan  dan  kapasitas  menjelaskan 
perbedaan  risiko  yang  dihadapi  terkait  dengan  ancaman  bencana.  Begitu  juga  dengan 
komunitas  perempuan  diffabel,  yang  dalam  situasi  bencana,  dihadapkan  pada 
kerentanan  berganda  terhadap  bencana.  Sebagai  akibarnya,  dampak  bencana  yang 
ditanggung  menjadi  semakin  berat.  Namun  beberapa  temuan  dalam  studi  kecil  ini 
menunjukkan, bahwa dalam situasi keterbatasan, kerja kerelawanan perempuan diffabel 
menunjukkan  bentuknya.  Empati  dan  semangat  berbagi  adalah  bagian  dari  kerja 
kerelawanan  dari  perempuan  diffabel  yang  nampak  dalam  situasi  pasca  bencana  di 
Jogja, pasca gempa 27 Mei 2006.  
 
Keywords :  

Bencana, kerentanan, diffabel, perempuan, kerelawanan 
 
Pengantar  
 
Studi  tentang  bencana, ditunjukkan  oleh  hadirnya  dua  paradigma  utama,  yaitu 
paradigma  perilaku  (behavioral  paradigm)  dan  paradigma  struktural 3 .    Paradigma 
pertama  mendominasi  studi  bencana  pada  era  50‐an  yang  dicirikan  oleh  pendekatan 
teknokratis  yang  antara  lain  nampak  dalam  disiplin  ilmu  geologi,  morfologi  dan 
seismologi  yang  mengunggulkan  monitoring  dan  prediksi  bahaya.  Paradigma  hazard‐
centred  ini  menyatu  dalam  wacana  kapitalis  modern,  yang  nampak  dari  cara  pandang 
bahwa  alam  adalah  bagian  terpisah  dari  manusia  dan  merupakan  komoditi  yang  bisa 
1

Diffabel merupakan istilah yang banyak digunakan oleh pegiat masyarakat sipil sebagai kata ganti bagi
penyandang cacat. Dari segi semantik, diffabel yang merupakan akronim dari different ability dianggap
lebih menghargai kemampuan dan kapasitas daripada istilah penyandang cacat.
2
Penulis lepas, tinggal di Jogjakarta. Sejak tahun 1998 menggeluti isu-isu gender dalam anggaran dan
korupsi. Menulis dua buku tentang gender dan korupsi serta anggaran, serta menjadi co-author untuk
beberapa buku lain dalam tema yang sama. Sejak keterlibatannya dalam kerja kemanusiaan pasca gempa

Jogja-Jateng Mei 2006, mengkaji dan juga menulis beberapa artikel dan menjadi co-author beberapa buku
dalam tema gender dan bencana. Paper ini merupakan salah satu hasil dari kajian dan diskusi yang penulis
lakukan dengan teman-teman diffabel perempuan, beberapa aktivis perempuan di Jogja, dan pegiat Sapda
di Jogja, sebuah organisasi non pemerintah (ornop) yang memfokuskan pada isu diffabel, perempuan dan
anak.
3
Keith Smith 1999, sebagaimana dikutip dalam Hilhorst, D, “Unlocking Disaster Paradigms : An Actororiented Focus on Disaster Response”, abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and
Social Crisis, Network Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana
dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf

1

dikelola  dengan  pendekatan  pengetahuan  dan  administrasi  modern.  Karena  bencana 
banyak  terjadi  di  negara  berkembang,  maka  bencana  dianggap  sebagai  bagian  dari 
kehidupan yang tidak modern yang berujung pada kerentanan dan bahaya. Pendekatan 
ini juga sejalan dan bergandengan dengan penanganan bencana  melalui organisasi dan 
pendekatan militeristik. 
 
Selain paradigma perilaku di atas, studi tentang bencana juga diwarnai dengan 
paradigma  struktural  yang  muncul  menjelang  era  80‐an,  dimana  kajian  antropologi, 

sosiologi  dan  geografi  menyajikan  tantangan  terhadap  pendekatan  hazard‐centred  yang 
sangat  teknokratis  ini.  Tantangan  ini  nampak  dalam  paper  yang  dibuat  oleh  Kenneth 
Hewitt pada tahun 1983. Dalam papernya yang radikal dengan judul “Interpretations of 
the Calamity from the Viewpoint of Human Ecology”, ia memaparkan bahwa bencana bukan 
hanya  dihasilkan  oleh  proses  geomorfologi  saja.  Terutama  di  negara  sedang 
berkembang,  faktor  struktural  seperti  meningkatnya  kemiskinan,  jeratan  utang  hingga 
ke  persoalan  perubahan  sosial,  mempengaruhi  kerentanan  manusia  dan  masyarakat 
terhadap  bencana.  Pengantar  terhadap  kerentanan  sosial  menjadi  jantung  dari 
pemahaman  akan  bencana.  Inilah  yang  kemudian  memunculkan  pemahaman  akan 
keterkaitan  antara  bahaya  dan  kerentananan,  yang  kemudian  muncul  dalam  formula 
yang sangat terkenal saat ini, yaitu Risiko = Bahaya + Kerentanan 4 .  
 
Bacaan yang sama juga muncul dalam salah satu policy brief DFID yang berjudul 
“Disaster  Risk  Reduction  :  A  Development  Concern”.  Paper  ini  memandang  bahwa  dalam 
skala  yang  besar,  bencana  adalah  hasil  dari  kegagalan  pembangunan  yang 
meningkatkan  kerentanan  terhadap  bahaya.  Kegagalan  dari  pembangunan  dapat 
dijumpai  dalam  semua  level,  mulai  dari  tingkat  lokal  dan  nasional,  hingga  institusi  di 
tingkat  global  yang  sangat  dipengaruhi  oleh  negara‐negara  adidaya.  Dalam  policy  brief 
tersebut, terurai bahwa proses pembangunan bisa meningkatkan keterpaparan terhadap 
bahaya.  Pertumbuhan  kawasan  urban  yang  sangat  cepat  dan  tidak  terkelola  dengan 

baik  misalnya,  bisa  memicu  tingginya  kerentanan  terhadap    bahaya  seperti  banjir  dan 
juga gempa bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan urban membuat banyak keluarga 
tidak  bisa  membangun  rumah  yang  aman  terhadap  bahaya  karena  keterdesakan 
ekonomi  dan  lemahnya  daya  dukung  lingkungan.  Kemiskinan  dan  keterpinggiran 
dalam  proses  kebijakan  juga  meningkatkan  kerentanan  karena  banyak  kebijakan  tidak 
memperhitungkan  kondisi  dan  kebutuhan  orang  miskin.  Dalam  situasi  yang  sama, 
lemahnya skema proteksi sosial dari negara di satu sisi, serta menurunnya mekanisme 
pengaman informal di sisi yang lain, membuat kerentanan menjadi semakin meningkat. 
Inilah  potret‐potret  kegagalan  pembangunan  yang  berkorelasi  dengan  peningkatan 
keterpaparan terhadap bahaya 5 . 
 
Seiring  dengan  hadirnya  paradigma  baru  ini,  beberapa  perspektif  baru  juga 
menjadi  bagian  dari  kajian  dan  juga  kerja  tentang  bencana.  Salah  satunya  adalah 
4

Blaikie, et.al, 1993, sebagaimana dikutip dalam paper yang sama.
Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief, 2004, sebagaimana dimuat dalam
http://www.dfid.gov.uk/pubs/files/disaster-risk-reduction.pdf

5


2

mengkaji  dimensi  gender  dalam  bencana  dan  sekaligus  juga  bagaimana  integrasi 
perspektif ini dalam kerja pengelolaan bencana. Kehidupan perempuan, seperti halnya 
laki‐laki, diwarnai baik oleh relasi gender dalam konteks budaya tertentu, maupun oleh 
banyak hal, mulai dari umur, kapasitas fisik, etnik, ras, kondisi dan status ekonomi, dan 
banyak  hal  yang  lain.  Studi  bencana  dengan  menggunakan  perspektif  gender 
menegaskan  bahwa  perempuan  cenderung  menjadi  lebih  rentan,  karena  ketidakdilan 
gender  memang  ada  di  mana‐mana.  Kehidupan  keseharian  perempuan  bisa 
meningkatkan  keterpaparan  dalam  semua  bentuk  terhadap  kondisi  yang  tidak  aman 
dan kejadian bahaya. Perempuan juga cenderung memiliki kuasa yang lebih kecil dalam 
pengambilan  keputusan  di  level  keluarga,  sebagaimana  mereka  juga  relatif  tidak 
terepresentasikan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat publik. Ketika suara 
mereka tidak didengar, kebutuhan mereka dalam jangka menengah atau jangka panjang 
menjadi tidak diperhatikan. Beberapa kecenderungan perubahan di tingkat masyarakat 
juga  mempengaruhi  perempuan,  seperti  bisa  dicontohkan  dalam  kebijakan  negara 
untuk  privatisasi  layanan  publik,    dan  meningkatnya  angka  kemiskinan  yang  berarti 
juga  meningkatkan  jumlah  perempuan  yang  menjadi  miskin,  dan  juga  menjadi  lebih 
rentan terhadap bencana 6 .    

Namun,  dalam  studi  penelusuran  perspektif  gender  dalam  bencana,  Enarson 
dan  Meyreles  mengatakan,  bahwa  di  seluruh  dunia,  baik  pada  tataran  paradigma  dan 
teori, metodologi, dan juga pemilihan populasi dalam studi bencana, cara pandang yang 
dipakai  didominasi  oleh  cara  pandang  laki‐laki.  Perubahan  cara  pandang  dengan 
menjadikan analisa gender sebagai pijakan, mulai nampak dalam studi bencana dalam 
dua dasawarsa terakhir. Pada awalnya, studi ini antara lain diwarnai oleh isu perbedaan 
sosial  dan  kesehatan,  dan  tanggung‐jawab  perempuan  dan  korelasinya  bagi  tingginya 
angka  kematian  perempuan  dalam  bencana.  Dalam  deretan  ini,  juga  nampak  kajian 
terhadap  hambatan  budaya  yang  menghalangi  akses  perempuan  pada  bantuan  dalam 
masyarakat  patriarkhis  seperti  ditunjukkan  oleh  pengalaman  Asia  Selatan,  hingga 
pengalaman pekerja sosial perempuan dalam lingkungan yang bias gender di Amerika 
Serikat.    
 
Dalam  penelusurannya,  Enarson  &  Meyreles  juga  menunjukkan  bahwa  studi 
tentang gender dan bencana  memandang gender sebagai konstruk sosial, menekankan 
perbedaan  kuasa  diantara  laki‐laki  dan  perempuan,  serta  merefleksikan  pendekatan 
kerentanan sosial dalam mengkaji bencana. Tetapi sayangnya, beberapa studi ini gagal 
dalam  membuat  analisa  yang  sistematis  dalam  mengkaji  keterkaitan  antara  gender 
dengan  kelas,  kasta,  ras,  etnis,  umur  dan  kemampuan  fisik 7 .  Dalam  situasi  seperti  ini, 
kajian tentang perempuan, diffabel dan bencana, juga belum banyak dilakukan. Tulisan 

6

Enarson, et.al, (2003), “Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local Disaster
Risk”, International Hurricane Center, Florida International University, June, sebagaimana dimuat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf
7
Enarson, E & Meyreles, L, “International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and
Possibilities”, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murciapapers/session2/Enarson_Meyreles_II_Original.pdf

3

ini adalah salah satu kajian pendek yang dilakukan untuk melihat kerentanan, dampak 
dan juga kerelawanan yang dilakukan oleh perempuan diffabel dalam situasi bencana. 
Kasus  yang  diambil  adalah  pengalaman  perempuan  diffabel  dalam  mengatasi  dan 
mengelola  ancaman  dan  bencana  gempa  bumi  yang  melanda  Jogja  dan  Jateng,  27  Mei 
2006.  
 
Perempuan, Diffabilitas dan Kerentanan  
 
...”Saat gempa, saya tergopoh turun dari tempat tidur dan ngesot 8  keluar pintu. Tak sempat 

meraih kursi roda, karena kejadiannya begitu cepat. Untung saja kamar saya  ada di bagian 
depan, dan alhamdulillah, saya selamat...”  
 
 
 
Cerita di atas adalah penuturan Mbak Rus, tentang pengalamannya ketika terjadi 
gempa  yang  menghantam  Jogja  dan  Jawa  Tengah  pada  pagi  hari,  27  Mei  2006.  Ia, 
seorang  diffabel  yang  mengalami  paraplegia  (lumpuh  karena  patah  tulang  belakang), 
merupakan seorang perempuan berusia 45 tahun. Ia juga beruntung, karena ia tak perlu 
waktu lama untuk segera sampai diluar dan selamat dari ancaman terkena reruntuhan 
rumah  yang  roboh  terkena  gempa.  Hal  ini  berbeda  dengan  penuturan  Mbak  Tari, 
seorang  diffabel  yang  tinggal  di  Ganjuran,  Bantul  yang  bahkan  tidak  sempat  lari  dan 
akhirnya tertimbun reruntuhan rumah. Ia tak bisa berbuat banyak, karena semua orang 
di  rumah  sibuk  menyelamatkan  diri,  dan  jalur  evakuasi  keluar  rumah  terlampau  jauh. 
Berbeda  dengan  pengalaman  Mbak  Rus  yang  kebetulan  kamarnya  ada  di  depan  yang 
juga sekaligus berfungsi sebagai warung, Mbak Tari mengatakan :  
...”Kamar  saya  ada  di  belakang,  dan  tidak  ada  pintu  langsung  ke  bagian  luar  rumah. 
Banyak kok kamar diffabel yang demikian. Biasanya sih supaya dekat kalau mau ke kamar 
mandi.  Tetapi  bisa  juga  karena  masih  ada  keluarga  yang  malu  kalau  ada  tamu  dan 
ketahuan kalau ada anggota keluarga yang diffabel bila kamarnya di depan..” 

 
Ilustrasi    ini  menggambarkan  perbedaan  situasi  yang  dirasakan  ketika  sama‐
sama terjadi bencana. Bencananya yang di rasakan orang yang tinggal di kawasan Jogja 
dan  Jateng  pagi  itu  memang  sama,  yaitu  gempa  berkekuatan  5.9  skala  richter.  Tetapi, 
gempa yang sama bisa menimbulkan dampak yang berbeda manakala kerentanan dan 
kapasitas  manusia  yang  terkena  memang  tidak  sama.  Dalam  pemaparan  yang 
diutarakan oleh Mbak Tari misalnya, rasa malu yang masih saja ada di banyak keluarga 
yang  memiliki  anggota  yang  diffabel,  seringkali  justru  menguatkan  kerentanan  sang 
diffabel  itu  sendiri.  Ini  juga  sesuai  dengan  analisis  yang  diutarakan  oleh  John  Twigg 
yang melihat bahwa dampak dari bencana yang sama dirasakan berbeda oleh kelompok 
yang berbeda. Sebagaimana dikutip dalam Living with Risk (UNISDR) 9 , ia mengatakan :  
8

Berjalan dengan cara bersimpuh. Merupakan satu cara berjalan yang banyak dipakai dalam situasi darurat
bagi diffabel yang biasa memakai alat bantu seperti kursi roda dan juga kruk.
9
Living with Risk, UN/ISDR, 2004, sebagaimana dimuat dalam http://www.unisdr.org/eng/about_isdr/bdlwr-2004-eng.htm.

4


....”Dampak dari bencana di tentukan oleh kerentanan satu komunitas terhadap ancaman 
bahaya.  Kerentanan  ini  tidak  natural,  karena  merupakan  hasil  dari  struktur  ekonomi, 
sosial,  kultural,  kelembagaan,  politik  dan  bahkan  faktor  psikologis  yang  mewarnai 
kehidupan manusia dan membentuk lingkungannya..”  
Keterpinggiran  perempuan  diffabel  dalam  kultur,  dan  bahkan  juga  tekanan  ini  sering 
dihadapi  oleh  keluarganya,  membuat  mereka  justru  menjadi  semakin  terpapar  pada 
ancaman  bahaya  seperti  gempa  bumi.  Keterpaparan  inilah  yang  kemudian  justru 
meningkatkan  kerentanan  mereka  terhadap  bencana,  dan  membuat  dampak  yang 
ditanggung menjadi lebih berat.  
 
Kajian tentang kerentanan terhadap ancaman bahaya menunjukkan bahwa pola 
kerentanan  itu  sendiri  terbagi  dalam  beberapa  kategori.  Salah  satu  kajian  tentang  pola 
kerentanan nampak dalam tabel berikut ini :  
 
Tabel 1 
Tipe Kerentanan 10
Aspek 
Jenis Kerentanan 
Integrasi  dalam  komunitas  (misal,  untuk  kaum  Kerentanan sosial 
migran atau minoritas) 

Keterlibatan  dalam  pengambilan  keputusan  Kerentanan sosial 
(misal, untuk perempuan) 
Memiliki kuasa atau mengontrol sesuatu  
Kerentanan psikologis 
Rasa  aman  (misal,  tingkat  kriminalitas  yang  Kerentanan psikologis 
tinggi)  
Kesehatan (orang diffabel) 
Kerentanan fisik 
Sumber daya fisik (rumah, uang, tabungan, dll) 
Kerentanan fisik 
 
Kategori ini juga tidak jauh berbeda, nampak dari kategori kerentanan yang dibuat oleh 
Mary  B.  Anderson  dan  Peter  J.  Woodrow 11 .  Dalam  konsep  yang  dibuat,  tujuan  dari 
intervensi  program  bantuan  adalah  meningkatkan  dalam  jangka  panjang,  kapasitas 
komunitas  dan  sekaligus  mengurangi  kerentanan.  Di  sini,  kerentanan  dan  kapasitas 
terbagi  dalam  kategori  tiga  kategori,  yaitu  pertama,  kerentanan  fisik/material  yang 
menjelaskan  sumber  daya  fisik  dan  material  yang  dimiliki  untuk  mengatasi  situasi 
bencana.  Kedua,  adalah  kerentanan  sosial/organisasional  yang  menggambarkan 
bagaimana  pola  hubungan  dan  organisasi  di  dalam  masyarakat.  Ketiga,  adalah 
10

Bradshaw, S (2004), “Socio-Economic Impacts of natural Disasters : A Gender Analysis”, Manuales,
Serie 32, GTZ-Cooperation Italiana-Naciones Unidas-CEPAL-Sustainable Development and Human
Settlements Division, Women and Development Unit, Santiago-Chile, May
11

Perangkat untuk capacity and vulnerability analisis dikembangkan oleh Anderson, M.B & Woodrow,
Peter J. (1989), “Rising from the Ashes : Development Strategies in Times of Disaster”, Westview Press,
sebagaimana dikutip dalam Williams, S., et.al. (1994), “The Oxfam Gender Training Manual”, Oxfam (UK
& Ireland), Oxford, UK.

5

kerentanan  motivasi/perilaku,  yang  menjelaskan  bagaimana  komunitas  memandang 
kemampuannya untuk menghasilkan perubahan.  
 
Bila  menggunakan  kajian  kerentanan  terhadap  ancaman  bencana,  kerentanan 
yang dihadapi oleh perempuan diffabel sebagaimana dialami oleh Mbak Rus dan Mbak 
Tari  menunjukkan  kerentanan  berganda  yang  mereka  alami.  Kerentanan  pertama 
adalah  dari  aspek  fisik,  karena  kemampuan  fisik  yang  berbeda  seringkali  membuat 
mereka lebih rentan ketika terjadi bencana.  Kerentanan kedua adalah kerentanan secara 
psikologis, sebagaimana diuraikan oleh Tari tentang rasa malu keluarga yang memiliki 
anggota keluarga yang diffabel. Perasaan malu ini, yang kemudian diwujudkan dalam 
membuat  ruang  bagi  anak  diffabel  di  rumah  bagian  belakang  dan  tanpa  akses  yang 
leluasa  untuk  penyelamatan  diri  ketika  terjadi  bahaya,  justru  menimbulkan  jenis 
kerentanan yang baru.  
 
Sedangkan  jenis  kerentanan  ketiga,  yaitu  kerentanan  sosial,  nampak  dari 
penuturan  Mbak  Rus  yang  mengaku  bahwa  masyarakat  di  lingkungan  tempat 
tinggalnya tidak ada yang memberi bantuan kepadanya. Meski diam‐diam dia berharap 
mendapat  bantuan  dalam  beragam  bentuk,  tetapi  ia  merasa  malu  untuk  mengajukan 
diri ketika bantuan didistribusikan. Prinsip yang dia pakai adalah dia tidak mau minta‐
minta  karena  malu.  Meminta  bantuan  pada  pemerintah  pun  dia  enggan  karena  dia 
merasa sungkan pada pemerintah desanya. Keengganan dan keterpinggiran ini nampak 
jelas  dalam  ekspresi  inferioritas  karena  difabilitas  yang  mempengaruhi  pilihan 
sikapnya.  
   
Pada  akhirnya,  yang  menjadi  sandarannya  adalah  keluarga.  Karena  itu, 
semenjak  gempa,  mbak  rus  memilih  mengungsi  ke  rumah  orang  tuanya  di  kota.  Dia 
sendiri  merupakan  warga  Kota  Jogjakarta  meski  sehari‐hari  ia  tinggal  dan  bekerja  di 
warungnya  yang  ada  di  kabupaten  Bantul.  Karenanya  ketika  warungnya  ikut  rusak 
karena  gempa,  dia  tidak  mendapat  bantuan  apapun  dari  pemerintah,  baik  dari 
pemerintah kabupaten Bantul (dimana ia menetap), maupun pemerintah kota Jogjakarta 
(dimana  ia  sebetulnya  masih  tercatat  sebagai  warga  dan  akhirnya  menjadi  pilihannya 
ketika  mengungsi).  Dalam  kondisi  ini,  keterpinggiran  dan  kelemahan  dalam  sistem 
pendataan,  membuatnya  tak  bisa  mengakses  bantuan  ketika  terjadi  bencana.  Dalam 
salah  satu  manual  training  tentang  diffabel  dan  bencana  yang  dibuat  Oxfam,  nampak 
bahwa    diffabel  cenderung  tidak  menjadi  perhatian  dalam  sistem  registrasi  darurat. 
Karena  mereka  seringkali  tidak  terdata,  maka  mereka  juga  menghadapi  persoalan 
dalam akses kepada bantuan seperti makanan, air bersih dan pakaian serta kebutuhan 
spesifik sebagai diffabel 12 .  
 
 
 
12

Dicuplik oleh Oosters, B (2005), “Disability –Tsunami Emergency Response for ACFID”, dari manual
training “Disability, Equality and Human Rights : a Training Manual for Development and Humanitarian
Organisations, Harris, A. and Enfield, S., Oxfam Publication, Great Britain, 2003, sebagaimana dikutip
dalam http://accessforall.lk/disability_and_emergency_response_tsunami.pdf.

6

Beratnya Dampak yang Ditanggung 
 
Selain  tingginya  kerentanan  fisik  yang  juga  berkorelasi  dengan  banyaknya 
diffabel  yang  menjadi  korban  dalam  bencana,  isu  lain  yang  juga  penting  adalah 
mengkaji  dampak  bencana  pada  aspek  ekonomi.  Dalam  banyak  situasi,  bencana 
mengganggu bisnis dan pasar, menghancurkan asset dan infrastruktur produktif, serta 
mempengaruhi  pekerjaan  dan  kehidupan  banyak  keluarga.  Begitu  juga  bagi  diffabel, 
dampak  ekonomi  dari  bencana  bisa  menjadi  lebih  berat  karena  struktur  dan  karakter 
usaha  diffabel  yang  kebanyakan  adalah  sektor  informal  mengakibatkan  tingginya 
kerentanan  ketika  terjadi  tekanan  termasuk  di  dalamnya  adalah  bencana 13 .  Dengan 
kondisi fisik yang berbeda, serta peminggiran dalam sektor sosial dan ekonomi, sektor 
informal seperti menjadi tukang pijat, atau penjahit serta membuka usaha warung kecil‐
kecilan  adalah  banyak  usaha  yang  digeluti  oleh  diffabel.  Salah  satu  problem  utama 
dengan  karakter  usaha  seperti  ini  adalah  ketiadaan  proteksi  dan  asuransi,  rendahnya 
keuntungan  hingga  minimnya  tabungan.  Akibatnya,  ketika  terjadi  bencana,  tingginya 
kerentanan ini mengakibatkan banyak usaha diffabel menjadi terguncang. Pengalaman 
Mbak Rus juga menunjukkan kondisi serupa, ketika ia mengatakan bahwa dagangan di 
warungnya yang tersisa pun  ikut habis untuk  membiayai keseharian hidup. Ini terjadi 
karena  setelah gempa, selama 1 bulan dia tidak berdagang karena mengungsi di rumah 
orang  tuanya.  Untunglah,  selain  berjualan  sembako,  ia  juga  memiliki  ketrampilan 
membuat  smog  (sarung  bantal),  satu  jenis  keterampilan  yang  banyak  dikuasai  difabel 
perempuan.  Setelah  barang  dagangan  warungnya  habis,  praktis  ia  menggantungkan 
hidupnya  pada  hasil  dari  membuat  smog  ini,  walaupun  hanya  pas  untuk  memenuhi 
hidupnya sendiri. 
 
Salah  satu  studi  tentang  kondisi  perempuan  miskin  dalam  bencana  kekeringan 
di  India  juga  menunjukkan  kondisi  yang  serupa 14 .  Kemampuan  perempuan  miskin 
untuk  mendapatkan  uang  setiap  hari  adalah  strategi  bertahan  hidup  yang  esensial 
untuk  kehidupan  keluarga  yang  miskin  dan  juga  berada  pada  risiko  terkait  dengan 
krisis  lingkungan.  Tetapi  sayangnya,  akses  mereka  kepada  sumber  daya  kunci 
seringkali  terbatas.  Hal  ini  diperparah  dengan  struktur  dan  karakter  sektor  informal 
yang  dicirikan  antara  lain  oleh  ketiadaan  proteksi  sosial  baik  untuk  perawatan  anak 
ataupun  asuransi,  situasi  kerja  yang  tidak  dialogis  dengan  majikan,  serta  lingkungan 
kerja yang tidak sehat dan aman, yang membuat perempuan berada dalam risiko tinggi 
dalam situasi kekeringan.  

13

Fatimah & Sulistyo (dalam proses cetak), op.cit.
Lihat analisis antara perempuan miskin, sector informal, serta dampak yang ditanggung oleh bencana dalam Enarson,
”Gender Equality, Work and Disaster Reduction : Making the Connection, tanpa tahun,. Paper ini merupakan edisi
revisi dari Gender and Natural Disasters, Working Paper # 1 (September, 2000) yang dipersiapkan untuk ILO InFocus
Programme on Crisis Response and Reconstruction. Di sini, ia mengutip salah satu studi yang dilakukan oleh Agarwal
pada tahun 1990 yang mengkaji tentang mekanisme penyesuaian terhadap iklim dalam keluarga pedesaan di India dan
dampaknya pada keamanan sosial. Lihat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/Gender%20Equality,%20Work%20and%20Disaster%20Reduction.revised%20IL
O.doc
14

7

 
Menjadi  diffabel  juga  menjadikan  banyak  usaha  yang  selama  ini  digeluti  dan 
menjadi tumpuan hidup tidak lagi bisa dilakukan. Tentang  ini, Mbak Widi dari Sapda 
mengatakan :  
Ada diffabel baru yang tidak bisa lagi menjalankan profesi sebelumnya, misalnya tak bisa 
jongkok  dan  berdiri  secara  bergantian  untuk  menjemur  emping  yang  baru  dipukul. 
Solusi yang mungkin dilakukan adalah berganti usaha atau membeli alat press melinjo. 
Mayoritas dari mereka kemudian berganti usaha –kebanyakan berjualan kelontong atau 
usaha membuat makanan. Memang ada beberapa program untuk pemberian ketrampilan 
bagi  diffabel,  tetapi  mereka  mengeluhkan  karena  kebanyakan  pelatihan  tersebut  hanya 
mengajarkan  teori,  atau  hanya  disuruh  melihat  instruktur  mempraktekkan.  Akibatnya, 
sepulang  pelatihan,  ketrampilan  dan  kecakapan  tidak  menjadi  bertambah.  Juga  karena 
dalam  pelatihan,  tidak  diikuti  dengan  skema  untuk  mengatasi  persoalan  modal  baik 
berupa modal uang ataupun working capital. 
 
Ada juga pengalaman lain yang menunjukkan differensiasi kebutuhan seringkali 
dihadapkan dengan keengganan penyesuaian dari kebijakan dan administrasi lembaga 
pemberi bantuan. Nurul menceritakan pengalaman seorang diffabel, sebut saja bernama 
Wiwik  ketika  berhadapan  dengan  administrasi  dan  kebijakan  bantuan  dari  salah  satu 
lembaga internasional :  
Ia akan mendapat bantuan dari dua NGO internasional. Ia sudah mendapat mesin bordir 
dari salah satu NGO, sementara ia sangat membutuhkan dinamo untuk mengoperasikan 
mesin bordir tersebut. Sayangnya, NGO yang satunya tidak mau menyediakan dinamo 
tersebut  sehingga  akhirnya,    bantuan  mesin  bordir  belum  bisa  digunakan.  Ia  mau 
mengalihkan  usaha  ke  jenis  yang  lain,  tetapi  ia  tak  punya  modal  dan  peluang  baginya 
untuk mendapat bantuan juga tertutup karena ia sudah menerima bantuan.   
 
Selain  itu,  dalam  banyak  bencana,  selain  mengakibatkan  kerusakan  dan 
kematian,  dampak  berupa  perubahan  dalam  pola  hubungan  dengan  lingkungan 
terdekat  juga  menjadi  persoalan  bagi  diffabel.  Salah  satunya  dicontohkan  oleh  kondisi 
dimana  banyak  keluarga  belum  siap  menghadapi  kondisi  ada  anggota  keluarga  yang 
menjadi diffabel. Situasi menjadi lebih rumit manakala terjadi dengan perempuan yang 
juga  menjadi  ibu.  Dalam  situasi  ini,  para  perempuan  diffabel  baru  banyak  yang  tidak 
mampu mengelola urusan domestik, sehingga peran domestik harus beralih ke tangan 
suami. Nurul mengatakan,  
.....”Untuk diffabel yang mengalami paraplegia yang terjadi karena gempa, ada banyak 
persoalan di level domestik. Sebagai contoh, pasangan harus pulang ke rumah pada saat 
istirahat siang karena harus menemani pasangannya untuk urusan makan‐cebok dan 
lain‐lain. Apalagi sarana MCK juga tidak aksesibel, seperti masih harus menimba air....  
 Masalah  di  tingkat  domestik  juga  muncul  terkait  dengan  pengasuhan  anak  yang 
menjadi  terbengkalai.  Ini  sebetulnya  kesempatan  untuk  menata  ulang  relasi  di  tingkat 
domestik,  tetapi  sayangnya  menurut  Nurul,  ini  bukan  urusan  yang  mudah.  Masalah 
dan  ketegangan  di  tingkat  rumah  tangga  muncul  terutama  diakibatkan  dari  keberatan 
suami yang merasa beban bertambah. Tertimpa bencana memang tidak secara otomatis 

8

merubah  kesadaran  akan  pola  baru  dalam  pembagian  peran  antara  laki‐laki  dan 
perempuan  di  tingkat  rumah  tangga,  sehingga  akibatnya  beban  perempuan  diffabel 
menjadi jauh lebih berat 15 .  
  Sementara  itu,  pada  tataran  publik,  dampak  yang  ditanggung  juga  terkait 
dengan  isu  akses  dan  partisipasi  diffabel  pada  program  pasca  bencana.  Beberapa   
problem menjadi penghambat akses diffabel pada program bantuan. Alasan ini mumcul 
mulai  dari  tidak  semua  keluarga  mau  membuka  informasi  bahwa  ada  anggota 
keluarganya  yang  diffabel,  hingga    keterbatasan  teknis  yang  menghambat  akses 
bantuan.  Diffabel  mungkin  tidak  bisa  mengakses  bantuan  karena  beberapa  alasan 
seperti  tidak  bisa  menghadiri  pertemuan  komunitas,  atau  tidak  bisa  mendengarkan 
pengumuman  lewat  radio  atau  tidak  adanya  kondisi  yang  dibuat  untuk 
menginformasikan  kepada  mereka,    mekanisme  alternatif  terkait  dengan  hak  dan 
layanan yang tersedia 16 . Selain itu, perasaan inferior juga menjadi bagian dari hambatan 
bagi  diffabel  untuk  terlibat  dan  berpartisipasi  dalam  program  bantuan,  sebagaimana 
dicontohkan oleh penuturan Mbak Rus di atas.  
 
 Kondisi  ini  masih  banyak  terjadi  dan  dengan  mudah  bisa  dijumpai  di  sekitar 
kita, biarpun sudah ada standar minimum bagi program bantuan dalam bencana. Salah 
satunya  nampak  dari  piagam  Sphere  yang  dalam  panduan  umum  menegaskan  bahwa 
kebutuhan penyandang cacat adalah sama dengan kebutuhan orang yang lain. Beberapa 
kebutuhan  ini  sama,  walaupun  harus  diperhitungkan  bahwa  mereka  mungkin 
membutuhkan  beberapa  hal  spesifik.  Untuk  bisa  bertahan  hidup  dalam  situasi  pasca 
bencana,  mereka  memerlukan  fasilitas  standar  yang  bisa  diakses  dalam  memenuhi 
kebutuhan  dasarnya.  Mereka  juga  memerlukan  dukungan  dan  jaringan  sosial,  yang 
biasanya disediakan oleh keluarganya. Piagam ini juga mendukung  representasi kaum 
diffabel  dalam  pengambilan  keputusan  dalam  setiap  tahapan  proyek,  mulai  dari 
assessment, design, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Dalam hal ini, upaya 
khusus  perlu  dilakukan  untuk  menjamin  partisipasi  aktif  semua  kelompok  dalam 
komunitas, termasuk diantaranya adalah diffabel.  Panduan ini juga menegaskan bahwa 
perhatian  terhadap  diffabel  sebagai  salah  satu  kelompok  rentan  dalam  bencana 
seharusnya menjadi croos cutting issues 17 . 

15

Fatimah & Sulistyo (dalam proses cetak), op.cit.
Oosters, B (2005), op.cit.
17
www.sphereproject.org
16

9

 
Kehidupan Harus Terus Berjalan  
......”Saya  senang  bisa  bergabung  dengan  sesama  teman  diffabel,  dan  bisa  membantu 
sesama.  Mungkin  saya  nggak  ngerti  teori  tentang  bagaimana  mengatasi  trauma  pasca 
bencana. Tetapi, saya  merasa perhatian itu penting dan yang ini bukan urusan sekolah 
apa bukan. Saya bisa berbagi, dan itu membahagiakan saya, mungkin juga orang lain..”  
 
Ditemui suatu sore di kantor Sapda di bilangan Patangpuluhan Jogjakarta, Mbak 
Tari, perempuan lajang berusia  36 tahun tersebut terlihat bersemangat. Wajahnya tidak 
menampakkan  kelelahan  walaupun  ia  harus  bolak‐balik  Jogja  Bantul  dengan 
menggunakan  sepeda  motornya  yang  sudah  dimodifikasi  menjadi  sepeda  motor  roda 
tiga. Ia juga terlihat bersemangat untuk ikut dalam beberapa kegiatan bagi diffabel yang 
akan  dilakukan  esok  harinya  di  Gunungkidul  dan  bahkan  cenderung  mengabaikan 
faktor  risiko  ikut  ke  Gunungkidul  dengan  naik  motor  karena  jalanan  yang  menanjak 
dan  berliku.  Ia  baru  menghitungnya  setelah  beberapa  teman  diffabel  yang  lain 
mengingatkan risiko ini dan menganjurkannya untuk menggunakan angkutan umum.  
 
Sebagaimana  dituturkan  di  atas,  walaupun  ia  mengaku  bahwa  bencana 
mengakibatkan  banyak  kehilangan  dan  juga  kerusakan,  tetapi  ia  mencoba  melihat  sisi 
lain dari bencana yang membuat hidup harus terus berjalan. Salah satunya, menurutnya 
adalah  bahwa  bencana  adalah  kesempatan  untuk  berbagi  ke  sesama.  Ia  mengatakan, 
dari  pengalamannya  sendiri,  betapa  dukungan  dari  sesama  adalah  hal  penting  dalam 
membuat kehidupan diffabel harus terus berjalan. Karena itu, ia memilih untuk berbagi 
perhatian dan empati untuk sesama yang menjadi diffabel karena gempa.  
 
Sementara  itu,  Mbak  Widi  juga  mengatakan  betapa  pendampingan  dengan 
metode peer group ini sangatlah penting dalam taruma healing bagi diffabel. Ia memberi 
contoh :  
....”Biasanya mbak, kalau ke sesama diffabel, lebih enak cerita karena kita kan juga ngerti 
dan  merasakan.  Misalnya,  ada  yang  menjadi  paraplegia,  nggak  malu  bertanya, 
bagaimana dengan pipis di celana yang nggak bisa ditahan? Bagaimana mengatasinya? 
Beberapa  dari  mereka  mengaku  malu  bila  bertanya  pada  perawat  atau  dokter.  Kalau 
kepada kami, karena pendekatan teman ya mereka lebih terbuka....”  
 
Cara  yang  dilakukan  adalah  dengan  mendatangi  rumah  sesama  diffabel  yang 
terkena  dampak  bencana.  Di  sana,  mereka  mengajaknya  mengobrol,  dan  berbagi 
keluhan  dan  juga  berbagi  pengalaman.  Tips‐tips  kecil  tetapi  praktis  juga  dibagikan, 
karena seringkali penyelesaian masalah kecil ini akan sangat berarti bagi diffabel. Bagi 
diffabel  baru  misalnya,  ketrampilan  kecil  seperti  bagaimana  menggunakan  kruk  atau 
menyetel kursi roda, adalah contohnya.   
 
Tak  hanya  ke  sesama  diffabel,  karena  kehidupan  dengan  komunitas  tempat 
tinggal juga tetap harus dibangun. Di lingkungan rumahnya di Ganjuran, Bantul, mbak 
Tari  memang  tidak  berpindah  hidup  di  tenda  walaupun  rumah  mereka  juga  runtuh. 
Masalahnya  karena  neneknya  yang  sudah  lanjut  usia  tidak  mau  pindah  ke  tenda  dan 
kebetulan  masih  ada  kandang  kayu  yang  masih  berdiri,  sehingga  di  situlah  mereka 

10

tinggal  setelah  gempa.  Tetapi,  mereka  mengembangkan  cara  lain  untuk 
mengkompensasi  ketidaksertaan  dalam  aktivitas  komunitas,  termasuk  diantaranya 
adalah  ketidakterlibatan  dalam  dapur  umum  bersama  dengan  perempuan  yang  lain. 
Sehari‐hari,  keluarga  mereka  adalah  pengrajin  tempe,  dan  begitu  juga  dengan  situasi 
setelah  gempa.  Mereka  beruntung  karena  mereka  memiliki  stock  memadai  dan  alat 
produksi  tidak  rusak,  sehingga  usaha  ini  tidak  sampai  berhenti  walau  rumah  hancur. 
Bentuk  kompensasi  yang  dilakukan  adalah  membagikan  tempe  yang  dibuat  ke  dapur 
umum yang ada di lingkungannya. Tari mengakui, bahwa mungkin yang dilakukannya 
tidak  setimpal,  tetapi  ia  mengatakan  bahwa  keterbatasan  situasi  membuatnya 
memikirkan model kerelawanan yang mungkin untuk dilakukan.  
 
Ilustrasi di atas juga menunjukkan bahwa perempuan diffabel, dalam kondisinya 
yang  terbatas  sebetulnya  menyimpan  banyak potensi.  Pemahaman  bahwa  perempuan, 
apalagi diffabel perempuan, hidup dalam situasi yang tidak aman dan secara otomatis 
juga menjadi lebih rentan terhadap bencana, seringkali diikuti stereotype atau anggapan 
yang  minor  dalam  memandang  perempuan  ketika  menghadapi  bencana.  Tetapi  justru 
kebalikannya, pembagian kerja secara seksual bisa mendorong perempuan unuk secara 
proaktif mengambil tindakan untuk menyelamatkan kehidupan.  
Enarson  mencontohkan  peran‐peran  penting  yang  dimainkan  oleh  perempuan, 
baik di level domestik ataupun di di ranah publik. Sayangnya, karena dianggap sebagai 
kebiasaan  dan  semestinya  dilakukan  oleh  perempuan,  kerja  dan  kontribusi  ini  jarang 
dihargai  dan  seringkali  tidak  diperhitungkan.  Di  tingkat  domestik  misalnya,  kerja 
perempuan  seperti  memasak,  mencuci,  menjahit  dan  mengurus  kebun  dan 
membersihkan  rumah  setelah  bencana  adalah  kerja  yang  sangat  penting.  Begitu  juga 
dengan peran menjaga kesehatan keluarga, serta peran pengasuhan dimana mereka bisa 
mengajari anak‐anak tentang keselamatan dan perlindungan diri. Sementara di tingkat 
publik, peran‐peran kunci juga dimainkan oleh perempuan. Dalam masa darurat pasca 
gempa  misalnya,  berdirinya  dapur  umum  dalam  hitungan  jam  setelah  bencana  adalah 
membuktikan  kontribusi  sekaligus  ketangguhan  perempuan  menghadapi  bencana. 
Begitu  juga  dengan  kerja  kerelawanan  perempuan  diffabel  yang    diatas  dicontohkan 
dengan menjadi bagian dari trauma healing untuk sesama diffabel, yang sangat berarti 
untuk pemulihan kehidupan.  
Dalam  situasi  seperti  ini,  apakah  perempuan  menjadi  korban  ataukah  menjadi 
pahlawan  dalam  situasi  bencana,  akan  ditentukan  ketika  ketrampilan,  pengetahuan, 
kapasitas dan jaringan perempuan diperhitungkan. Dalam hal ini, perlu untuk melihat, 
apakah  laki‐laki  dan  perempuan,  atau  apakah  antara  kelompok  mayoritas  dengan 
kelompok  minoritas,    diffabel  atau  bukan,  dapat  bekerja  bersama  secara  penuh  dan 
setara  untuk  membuat  komunitas  menjadi  lebih  aman  dan  kehidupan  bisa  terus 
berjalan.  
 
 
 

11