Bencana dan Kerelawanan Perempuan Difabe
Bencana dan Kerelawanan Perem puan Diffabel 1
Oleh : Dati Fatimah 2
Jurnal Galang Vol. 3 No. 1, Februari 2008
Abstract :
Ancaman bencana yang sama bisa mengakibatkan dampak berbeda untuk
komunitas yang berbeda. Di sini, konsep kerentanan dan kapasitas menjelaskan
perbedaan risiko yang dihadapi terkait dengan ancaman bencana. Begitu juga dengan
komunitas perempuan diffabel, yang dalam situasi bencana, dihadapkan pada
kerentanan berganda terhadap bencana. Sebagai akibarnya, dampak bencana yang
ditanggung menjadi semakin berat. Namun beberapa temuan dalam studi kecil ini
menunjukkan, bahwa dalam situasi keterbatasan, kerja kerelawanan perempuan diffabel
menunjukkan bentuknya. Empati dan semangat berbagi adalah bagian dari kerja
kerelawanan dari perempuan diffabel yang nampak dalam situasi pasca bencana di
Jogja, pasca gempa 27 Mei 2006.
Keywords :
Bencana, kerentanan, diffabel, perempuan, kerelawanan
Pengantar
Studi tentang bencana, ditunjukkan oleh hadirnya dua paradigma utama, yaitu
paradigma perilaku (behavioral paradigm) dan paradigma struktural 3 . Paradigma
pertama mendominasi studi bencana pada era 50‐an yang dicirikan oleh pendekatan
teknokratis yang antara lain nampak dalam disiplin ilmu geologi, morfologi dan
seismologi yang mengunggulkan monitoring dan prediksi bahaya. Paradigma hazard‐
centred ini menyatu dalam wacana kapitalis modern, yang nampak dari cara pandang
bahwa alam adalah bagian terpisah dari manusia dan merupakan komoditi yang bisa
1
Diffabel merupakan istilah yang banyak digunakan oleh pegiat masyarakat sipil sebagai kata ganti bagi
penyandang cacat. Dari segi semantik, diffabel yang merupakan akronim dari different ability dianggap
lebih menghargai kemampuan dan kapasitas daripada istilah penyandang cacat.
2
Penulis lepas, tinggal di Jogjakarta. Sejak tahun 1998 menggeluti isu-isu gender dalam anggaran dan
korupsi. Menulis dua buku tentang gender dan korupsi serta anggaran, serta menjadi co-author untuk
beberapa buku lain dalam tema yang sama. Sejak keterlibatannya dalam kerja kemanusiaan pasca gempa
Jogja-Jateng Mei 2006, mengkaji dan juga menulis beberapa artikel dan menjadi co-author beberapa buku
dalam tema gender dan bencana. Paper ini merupakan salah satu hasil dari kajian dan diskusi yang penulis
lakukan dengan teman-teman diffabel perempuan, beberapa aktivis perempuan di Jogja, dan pegiat Sapda
di Jogja, sebuah organisasi non pemerintah (ornop) yang memfokuskan pada isu diffabel, perempuan dan
anak.
3
Keith Smith 1999, sebagaimana dikutip dalam Hilhorst, D, “Unlocking Disaster Paradigms : An Actororiented Focus on Disaster Response”, abstract submitted for session 3 of The Disaster Research and
Social Crisis, Network Panels of the 6th European Sociological Conference, tanpa tahun, sebagaimana
dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murcia-papers/session3/Hilhorst_III_Original.pdf
1
dikelola dengan pendekatan pengetahuan dan administrasi modern. Karena bencana
banyak terjadi di negara berkembang, maka bencana dianggap sebagai bagian dari
kehidupan yang tidak modern yang berujung pada kerentanan dan bahaya. Pendekatan
ini juga sejalan dan bergandengan dengan penanganan bencana melalui organisasi dan
pendekatan militeristik.
Selain paradigma perilaku di atas, studi tentang bencana juga diwarnai dengan
paradigma struktural yang muncul menjelang era 80‐an, dimana kajian antropologi,
sosiologi dan geografi menyajikan tantangan terhadap pendekatan hazard‐centred yang
sangat teknokratis ini. Tantangan ini nampak dalam paper yang dibuat oleh Kenneth
Hewitt pada tahun 1983. Dalam papernya yang radikal dengan judul “Interpretations of
the Calamity from the Viewpoint of Human Ecology”, ia memaparkan bahwa bencana bukan
hanya dihasilkan oleh proses geomorfologi saja. Terutama di negara sedang
berkembang, faktor struktural seperti meningkatnya kemiskinan, jeratan utang hingga
ke persoalan perubahan sosial, mempengaruhi kerentanan manusia dan masyarakat
terhadap bencana. Pengantar terhadap kerentanan sosial menjadi jantung dari
pemahaman akan bencana. Inilah yang kemudian memunculkan pemahaman akan
keterkaitan antara bahaya dan kerentananan, yang kemudian muncul dalam formula
yang sangat terkenal saat ini, yaitu Risiko = Bahaya + Kerentanan 4 .
Bacaan yang sama juga muncul dalam salah satu policy brief DFID yang berjudul
“Disaster Risk Reduction : A Development Concern”. Paper ini memandang bahwa dalam
skala yang besar, bencana adalah hasil dari kegagalan pembangunan yang
meningkatkan kerentanan terhadap bahaya. Kegagalan dari pembangunan dapat
dijumpai dalam semua level, mulai dari tingkat lokal dan nasional, hingga institusi di
tingkat global yang sangat dipengaruhi oleh negara‐negara adidaya. Dalam policy brief
tersebut, terurai bahwa proses pembangunan bisa meningkatkan keterpaparan terhadap
bahaya. Pertumbuhan kawasan urban yang sangat cepat dan tidak terkelola dengan
baik misalnya, bisa memicu tingginya kerentanan terhadap bahaya seperti banjir dan
juga gempa bumi. Kemiskinan yang akut di kawasan urban membuat banyak keluarga
tidak bisa membangun rumah yang aman terhadap bahaya karena keterdesakan
ekonomi dan lemahnya daya dukung lingkungan. Kemiskinan dan keterpinggiran
dalam proses kebijakan juga meningkatkan kerentanan karena banyak kebijakan tidak
memperhitungkan kondisi dan kebutuhan orang miskin. Dalam situasi yang sama,
lemahnya skema proteksi sosial dari negara di satu sisi, serta menurunnya mekanisme
pengaman informal di sisi yang lain, membuat kerentanan menjadi semakin meningkat.
Inilah potret‐potret kegagalan pembangunan yang berkorelasi dengan peningkatan
keterpaparan terhadap bahaya 5 .
Seiring dengan hadirnya paradigma baru ini, beberapa perspektif baru juga
menjadi bagian dari kajian dan juga kerja tentang bencana. Salah satunya adalah
4
Blaikie, et.al, 1993, sebagaimana dikutip dalam paper yang sama.
Disaster Risk Reduction as Development Concern, DFID, Policy Brief, 2004, sebagaimana dimuat dalam
http://www.dfid.gov.uk/pubs/files/disaster-risk-reduction.pdf
5
2
mengkaji dimensi gender dalam bencana dan sekaligus juga bagaimana integrasi
perspektif ini dalam kerja pengelolaan bencana. Kehidupan perempuan, seperti halnya
laki‐laki, diwarnai baik oleh relasi gender dalam konteks budaya tertentu, maupun oleh
banyak hal, mulai dari umur, kapasitas fisik, etnik, ras, kondisi dan status ekonomi, dan
banyak hal yang lain. Studi bencana dengan menggunakan perspektif gender
menegaskan bahwa perempuan cenderung menjadi lebih rentan, karena ketidakdilan
gender memang ada di mana‐mana. Kehidupan keseharian perempuan bisa
meningkatkan keterpaparan dalam semua bentuk terhadap kondisi yang tidak aman
dan kejadian bahaya. Perempuan juga cenderung memiliki kuasa yang lebih kecil dalam
pengambilan keputusan di level keluarga, sebagaimana mereka juga relatif tidak
terepresentasikan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat publik. Ketika suara
mereka tidak didengar, kebutuhan mereka dalam jangka menengah atau jangka panjang
menjadi tidak diperhatikan. Beberapa kecenderungan perubahan di tingkat masyarakat
juga mempengaruhi perempuan, seperti bisa dicontohkan dalam kebijakan negara
untuk privatisasi layanan publik, dan meningkatnya angka kemiskinan yang berarti
juga meningkatkan jumlah perempuan yang menjadi miskin, dan juga menjadi lebih
rentan terhadap bencana 6 .
Namun, dalam studi penelusuran perspektif gender dalam bencana, Enarson
dan Meyreles mengatakan, bahwa di seluruh dunia, baik pada tataran paradigma dan
teori, metodologi, dan juga pemilihan populasi dalam studi bencana, cara pandang yang
dipakai didominasi oleh cara pandang laki‐laki. Perubahan cara pandang dengan
menjadikan analisa gender sebagai pijakan, mulai nampak dalam studi bencana dalam
dua dasawarsa terakhir. Pada awalnya, studi ini antara lain diwarnai oleh isu perbedaan
sosial dan kesehatan, dan tanggung‐jawab perempuan dan korelasinya bagi tingginya
angka kematian perempuan dalam bencana. Dalam deretan ini, juga nampak kajian
terhadap hambatan budaya yang menghalangi akses perempuan pada bantuan dalam
masyarakat patriarkhis seperti ditunjukkan oleh pengalaman Asia Selatan, hingga
pengalaman pekerja sosial perempuan dalam lingkungan yang bias gender di Amerika
Serikat.
Dalam penelusurannya, Enarson & Meyreles juga menunjukkan bahwa studi
tentang gender dan bencana memandang gender sebagai konstruk sosial, menekankan
perbedaan kuasa diantara laki‐laki dan perempuan, serta merefleksikan pendekatan
kerentanan sosial dalam mengkaji bencana. Tetapi sayangnya, beberapa studi ini gagal
dalam membuat analisa yang sistematis dalam mengkaji keterkaitan antara gender
dengan kelas, kasta, ras, etnis, umur dan kemampuan fisik 7 . Dalam situasi seperti ini,
kajian tentang perempuan, diffabel dan bencana, juga belum banyak dilakukan. Tulisan
6
Enarson, et.al, (2003), “Working with Women at Risk : Practical Guidelines for Assessing Local Disaster
Risk”, International Hurricane Center, Florida International University, June, sebagaimana dimuat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/WorkingwithWomenEnglish.pdf
7
Enarson, E & Meyreles, L, “International Perspectives on Gender and Disaster : Differences and
Possibilities”, tanpa tahun, sebagaimana dimuat dalam http://www.erc.gr/English/d&scrn/murciapapers/session2/Enarson_Meyreles_II_Original.pdf
3
ini adalah salah satu kajian pendek yang dilakukan untuk melihat kerentanan, dampak
dan juga kerelawanan yang dilakukan oleh perempuan diffabel dalam situasi bencana.
Kasus yang diambil adalah pengalaman perempuan diffabel dalam mengatasi dan
mengelola ancaman dan bencana gempa bumi yang melanda Jogja dan Jateng, 27 Mei
2006.
Perempuan, Diffabilitas dan Kerentanan
...”Saat gempa, saya tergopoh turun dari tempat tidur dan ngesot 8 keluar pintu. Tak sempat
meraih kursi roda, karena kejadiannya begitu cepat. Untung saja kamar saya ada di bagian
depan, dan alhamdulillah, saya selamat...”
Cerita di atas adalah penuturan Mbak Rus, tentang pengalamannya ketika terjadi
gempa yang menghantam Jogja dan Jawa Tengah pada pagi hari, 27 Mei 2006. Ia,
seorang diffabel yang mengalami paraplegia (lumpuh karena patah tulang belakang),
merupakan seorang perempuan berusia 45 tahun. Ia juga beruntung, karena ia tak perlu
waktu lama untuk segera sampai diluar dan selamat dari ancaman terkena reruntuhan
rumah yang roboh terkena gempa. Hal ini berbeda dengan penuturan Mbak Tari,
seorang diffabel yang tinggal di Ganjuran, Bantul yang bahkan tidak sempat lari dan
akhirnya tertimbun reruntuhan rumah. Ia tak bisa berbuat banyak, karena semua orang
di rumah sibuk menyelamatkan diri, dan jalur evakuasi keluar rumah terlampau jauh.
Berbeda dengan pengalaman Mbak Rus yang kebetulan kamarnya ada di depan yang
juga sekaligus berfungsi sebagai warung, Mbak Tari mengatakan :
...”Kamar saya ada di belakang, dan tidak ada pintu langsung ke bagian luar rumah.
Banyak kok kamar diffabel yang demikian. Biasanya sih supaya dekat kalau mau ke kamar
mandi. Tetapi bisa juga karena masih ada keluarga yang malu kalau ada tamu dan
ketahuan kalau ada anggota keluarga yang diffabel bila kamarnya di depan..”
Ilustrasi ini menggambarkan perbedaan situasi yang dirasakan ketika sama‐
sama terjadi bencana. Bencananya yang di rasakan orang yang tinggal di kawasan Jogja
dan Jateng pagi itu memang sama, yaitu gempa berkekuatan 5.9 skala richter. Tetapi,
gempa yang sama bisa menimbulkan dampak yang berbeda manakala kerentanan dan
kapasitas manusia yang terkena memang tidak sama. Dalam pemaparan yang
diutarakan oleh Mbak Tari misalnya, rasa malu yang masih saja ada di banyak keluarga
yang memiliki anggota yang diffabel, seringkali justru menguatkan kerentanan sang
diffabel itu sendiri. Ini juga sesuai dengan analisis yang diutarakan oleh John Twigg
yang melihat bahwa dampak dari bencana yang sama dirasakan berbeda oleh kelompok
yang berbeda. Sebagaimana dikutip dalam Living with Risk (UNISDR) 9 , ia mengatakan :
8
Berjalan dengan cara bersimpuh. Merupakan satu cara berjalan yang banyak dipakai dalam situasi darurat
bagi diffabel yang biasa memakai alat bantu seperti kursi roda dan juga kruk.
9
Living with Risk, UN/ISDR, 2004, sebagaimana dimuat dalam http://www.unisdr.org/eng/about_isdr/bdlwr-2004-eng.htm.
4
....”Dampak dari bencana di tentukan oleh kerentanan satu komunitas terhadap ancaman
bahaya. Kerentanan ini tidak natural, karena merupakan hasil dari struktur ekonomi,
sosial, kultural, kelembagaan, politik dan bahkan faktor psikologis yang mewarnai
kehidupan manusia dan membentuk lingkungannya..”
Keterpinggiran perempuan diffabel dalam kultur, dan bahkan juga tekanan ini sering
dihadapi oleh keluarganya, membuat mereka justru menjadi semakin terpapar pada
ancaman bahaya seperti gempa bumi. Keterpaparan inilah yang kemudian justru
meningkatkan kerentanan mereka terhadap bencana, dan membuat dampak yang
ditanggung menjadi lebih berat.
Kajian tentang kerentanan terhadap ancaman bahaya menunjukkan bahwa pola
kerentanan itu sendiri terbagi dalam beberapa kategori. Salah satu kajian tentang pola
kerentanan nampak dalam tabel berikut ini :
Tabel 1
Tipe Kerentanan 10
Aspek
Jenis Kerentanan
Integrasi dalam komunitas (misal, untuk kaum Kerentanan sosial
migran atau minoritas)
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan Kerentanan sosial
(misal, untuk perempuan)
Memiliki kuasa atau mengontrol sesuatu
Kerentanan psikologis
Rasa aman (misal, tingkat kriminalitas yang Kerentanan psikologis
tinggi)
Kesehatan (orang diffabel)
Kerentanan fisik
Sumber daya fisik (rumah, uang, tabungan, dll)
Kerentanan fisik
Kategori ini juga tidak jauh berbeda, nampak dari kategori kerentanan yang dibuat oleh
Mary B. Anderson dan Peter J. Woodrow 11 . Dalam konsep yang dibuat, tujuan dari
intervensi program bantuan adalah meningkatkan dalam jangka panjang, kapasitas
komunitas dan sekaligus mengurangi kerentanan. Di sini, kerentanan dan kapasitas
terbagi dalam kategori tiga kategori, yaitu pertama, kerentanan fisik/material yang
menjelaskan sumber daya fisik dan material yang dimiliki untuk mengatasi situasi
bencana. Kedua, adalah kerentanan sosial/organisasional yang menggambarkan
bagaimana pola hubungan dan organisasi di dalam masyarakat. Ketiga, adalah
10
Bradshaw, S (2004), “Socio-Economic Impacts of natural Disasters : A Gender Analysis”, Manuales,
Serie 32, GTZ-Cooperation Italiana-Naciones Unidas-CEPAL-Sustainable Development and Human
Settlements Division, Women and Development Unit, Santiago-Chile, May
11
Perangkat untuk capacity and vulnerability analisis dikembangkan oleh Anderson, M.B & Woodrow,
Peter J. (1989), “Rising from the Ashes : Development Strategies in Times of Disaster”, Westview Press,
sebagaimana dikutip dalam Williams, S., et.al. (1994), “The Oxfam Gender Training Manual”, Oxfam (UK
& Ireland), Oxford, UK.
5
kerentanan motivasi/perilaku, yang menjelaskan bagaimana komunitas memandang
kemampuannya untuk menghasilkan perubahan.
Bila menggunakan kajian kerentanan terhadap ancaman bencana, kerentanan
yang dihadapi oleh perempuan diffabel sebagaimana dialami oleh Mbak Rus dan Mbak
Tari menunjukkan kerentanan berganda yang mereka alami. Kerentanan pertama
adalah dari aspek fisik, karena kemampuan fisik yang berbeda seringkali membuat
mereka lebih rentan ketika terjadi bencana. Kerentanan kedua adalah kerentanan secara
psikologis, sebagaimana diuraikan oleh Tari tentang rasa malu keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang diffabel. Perasaan malu ini, yang kemudian diwujudkan dalam
membuat ruang bagi anak diffabel di rumah bagian belakang dan tanpa akses yang
leluasa untuk penyelamatan diri ketika terjadi bahaya, justru menimbulkan jenis
kerentanan yang baru.
Sedangkan jenis kerentanan ketiga, yaitu kerentanan sosial, nampak dari
penuturan Mbak Rus yang mengaku bahwa masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya tidak ada yang memberi bantuan kepadanya. Meski diam‐diam dia berharap
mendapat bantuan dalam beragam bentuk, tetapi ia merasa malu untuk mengajukan
diri ketika bantuan didistribusikan. Prinsip yang dia pakai adalah dia tidak mau minta‐
minta karena malu. Meminta bantuan pada pemerintah pun dia enggan karena dia
merasa sungkan pada pemerintah desanya. Keengganan dan keterpinggiran ini nampak
jelas dalam ekspresi inferioritas karena difabilitas yang mempengaruhi pilihan
sikapnya.
Pada akhirnya, yang menjadi sandarannya adalah keluarga. Karena itu,
semenjak gempa, mbak rus memilih mengungsi ke rumah orang tuanya di kota. Dia
sendiri merupakan warga Kota Jogjakarta meski sehari‐hari ia tinggal dan bekerja di
warungnya yang ada di kabupaten Bantul. Karenanya ketika warungnya ikut rusak
karena gempa, dia tidak mendapat bantuan apapun dari pemerintah, baik dari
pemerintah kabupaten Bantul (dimana ia menetap), maupun pemerintah kota Jogjakarta
(dimana ia sebetulnya masih tercatat sebagai warga dan akhirnya menjadi pilihannya
ketika mengungsi). Dalam kondisi ini, keterpinggiran dan kelemahan dalam sistem
pendataan, membuatnya tak bisa mengakses bantuan ketika terjadi bencana. Dalam
salah satu manual training tentang diffabel dan bencana yang dibuat Oxfam, nampak
bahwa diffabel cenderung tidak menjadi perhatian dalam sistem registrasi darurat.
Karena mereka seringkali tidak terdata, maka mereka juga menghadapi persoalan
dalam akses kepada bantuan seperti makanan, air bersih dan pakaian serta kebutuhan
spesifik sebagai diffabel 12 .
12
Dicuplik oleh Oosters, B (2005), “Disability –Tsunami Emergency Response for ACFID”, dari manual
training “Disability, Equality and Human Rights : a Training Manual for Development and Humanitarian
Organisations, Harris, A. and Enfield, S., Oxfam Publication, Great Britain, 2003, sebagaimana dikutip
dalam http://accessforall.lk/disability_and_emergency_response_tsunami.pdf.
6
Beratnya Dampak yang Ditanggung
Selain tingginya kerentanan fisik yang juga berkorelasi dengan banyaknya
diffabel yang menjadi korban dalam bencana, isu lain yang juga penting adalah
mengkaji dampak bencana pada aspek ekonomi. Dalam banyak situasi, bencana
mengganggu bisnis dan pasar, menghancurkan asset dan infrastruktur produktif, serta
mempengaruhi pekerjaan dan kehidupan banyak keluarga. Begitu juga bagi diffabel,
dampak ekonomi dari bencana bisa menjadi lebih berat karena struktur dan karakter
usaha diffabel yang kebanyakan adalah sektor informal mengakibatkan tingginya
kerentanan ketika terjadi tekanan termasuk di dalamnya adalah bencana 13 . Dengan
kondisi fisik yang berbeda, serta peminggiran dalam sektor sosial dan ekonomi, sektor
informal seperti menjadi tukang pijat, atau penjahit serta membuka usaha warung kecil‐
kecilan adalah banyak usaha yang digeluti oleh diffabel. Salah satu problem utama
dengan karakter usaha seperti ini adalah ketiadaan proteksi dan asuransi, rendahnya
keuntungan hingga minimnya tabungan. Akibatnya, ketika terjadi bencana, tingginya
kerentanan ini mengakibatkan banyak usaha diffabel menjadi terguncang. Pengalaman
Mbak Rus juga menunjukkan kondisi serupa, ketika ia mengatakan bahwa dagangan di
warungnya yang tersisa pun ikut habis untuk membiayai keseharian hidup. Ini terjadi
karena setelah gempa, selama 1 bulan dia tidak berdagang karena mengungsi di rumah
orang tuanya. Untunglah, selain berjualan sembako, ia juga memiliki ketrampilan
membuat smog (sarung bantal), satu jenis keterampilan yang banyak dikuasai difabel
perempuan. Setelah barang dagangan warungnya habis, praktis ia menggantungkan
hidupnya pada hasil dari membuat smog ini, walaupun hanya pas untuk memenuhi
hidupnya sendiri.
Salah satu studi tentang kondisi perempuan miskin dalam bencana kekeringan
di India juga menunjukkan kondisi yang serupa 14 . Kemampuan perempuan miskin
untuk mendapatkan uang setiap hari adalah strategi bertahan hidup yang esensial
untuk kehidupan keluarga yang miskin dan juga berada pada risiko terkait dengan
krisis lingkungan. Tetapi sayangnya, akses mereka kepada sumber daya kunci
seringkali terbatas. Hal ini diperparah dengan struktur dan karakter sektor informal
yang dicirikan antara lain oleh ketiadaan proteksi sosial baik untuk perawatan anak
ataupun asuransi, situasi kerja yang tidak dialogis dengan majikan, serta lingkungan
kerja yang tidak sehat dan aman, yang membuat perempuan berada dalam risiko tinggi
dalam situasi kekeringan.
13
Fatimah & Sulistyo (dalam proses cetak), op.cit.
Lihat analisis antara perempuan miskin, sector informal, serta dampak yang ditanggung oleh bencana dalam Enarson,
”Gender Equality, Work and Disaster Reduction : Making the Connection, tanpa tahun,. Paper ini merupakan edisi
revisi dari Gender and Natural Disasters, Working Paper # 1 (September, 2000) yang dipersiapkan untuk ILO InFocus
Programme on Crisis Response and Reconstruction. Di sini, ia mengutip salah satu studi yang dilakukan oleh Agarwal
pada tahun 1990 yang mengkaji tentang mekanisme penyesuaian terhadap iklim dalam keluarga pedesaan di India dan
dampaknya pada keamanan sosial. Lihat dalam
http://www.gdnonline.org/resources/Gender%20Equality,%20Work%20and%20Disaster%20Reduction.revised%20IL
O.doc
14
7
Menjadi diffabel juga menjadikan banyak usaha yang selama ini digeluti dan
menjadi tumpuan hidup tidak lagi bisa dilakukan. Tentang ini, Mbak Widi dari Sapda
mengatakan :
Ada diffabel baru yang tidak bisa lagi menjalankan profesi sebelumnya, misalnya tak bisa
jongkok dan berdiri secara bergantian untuk menjemur emping yang baru dipukul.
Solusi yang mungkin dilakukan adalah berganti usaha atau membeli alat press melinjo.
Mayoritas dari mereka kemudian berganti usaha –kebanyakan berjualan kelontong atau
usaha membuat makanan. Memang ada beberapa program untuk pemberian ketrampilan
bagi diffabel, tetapi mereka mengeluhkan karena kebanyakan pelatihan tersebut hanya
mengajarkan teori, atau hanya disuruh melihat instruktur mempraktekkan. Akibatnya,
sepulang pelatihan, ketrampilan dan kecakapan tidak menjadi bertambah. Juga karena
dalam pelatihan, tidak diikuti dengan skema untuk mengatasi persoalan modal baik
berupa modal uang ataupun working capital.
Ada juga pengalaman lain yang menunjukkan differensiasi kebutuhan seringkali
dihadapkan dengan keengganan penyesuaian dari kebijakan dan administrasi lembaga
pemberi bantuan. Nurul menceritakan pengalaman seorang diffabel, sebut saja bernama
Wiwik ketika berhadapan dengan administrasi dan kebijakan bantuan dari salah satu
lembaga internasional :
Ia akan mendapat bantuan dari dua NGO internasional. Ia sudah mendapat mesin bordir
dari salah satu NGO, sementara ia sangat membutuhkan dinamo untuk mengoperasikan
mesin bordir tersebut. Sayangnya, NGO yang satunya tidak mau menyediakan dinamo
tersebut sehingga akhirnya, bantuan mesin bordir belum bisa digunakan. Ia mau
mengalihkan usaha ke jenis yang lain, tetapi ia tak punya modal dan peluang baginya
untuk mendapat bantuan juga tertutup karena ia sudah menerima bantuan.
Selain itu, dalam banyak bencana, selain mengakibatkan kerusakan dan
kematian, dampak berupa perubahan dalam pola hubungan dengan lingkungan
terdekat juga menjadi persoalan bagi diffabel. Salah satunya dicontohkan oleh kondisi
dimana banyak keluarga belum siap menghadapi kondisi ada anggota keluarga yang
menjadi diffabel. Situasi menjadi lebih rumit manakala terjadi dengan perempuan yang
juga menjadi ibu. Dalam situasi ini, para perempuan diffabel baru banyak yang tidak
mampu mengelola urusan domestik, sehingga peran domestik harus beralih ke tangan
suami. Nurul mengatakan,
.....”Untuk diffabel yang mengalami paraplegia yang terjadi karena gempa, ada banyak
persoalan di level domestik. Sebagai contoh, pasangan harus pulang ke rumah pada saat
istirahat siang karena harus menemani pasangannya untuk urusan makan‐cebok dan
lain‐lain. Apalagi sarana MCK juga tidak aksesibel, seperti masih harus menimba air....
Masalah di tingkat domestik juga muncul terkait dengan pengasuhan anak yang
menjadi terbengkalai. Ini sebetulnya kesempatan untuk menata ulang relasi di tingkat
domestik, tetapi sayangnya menurut Nurul, ini bukan urusan yang mudah. Masalah
dan ketegangan di tingkat rumah tangga muncul terutama diakibatkan dari keberatan
suami yang merasa beban bertambah. Tertimpa bencana memang tidak secara otomatis
8
merubah kesadaran akan pola baru dalam pembagian peran antara laki‐laki dan
perempuan di tingkat rumah tangga, sehingga akibatnya beban perempuan diffabel
menjadi jauh lebih berat 15 .
Sementara itu, pada tataran publik, dampak yang ditanggung juga terkait
dengan isu akses dan partisipasi diffabel pada program pasca bencana. Beberapa
problem menjadi penghambat akses diffabel pada program bantuan. Alasan ini mumcul
mulai dari tidak semua keluarga mau membuka informasi bahwa ada anggota
keluarganya yang diffabel, hingga keterbatasan teknis yang menghambat akses
bantuan. Diffabel mungkin tidak bisa mengakses bantuan karena beberapa alasan
seperti tidak bisa menghadiri pertemuan komunitas, atau tidak bisa mendengarkan
pengumuman lewat radio atau tidak adanya kondisi yang dibuat untuk
menginformasikan kepada mereka, mekanisme alternatif terkait dengan hak dan
layanan yang tersedia 16 . Selain itu, perasaan inferior juga menjadi bagian dari hambatan
bagi diffabel untuk terlibat dan berpartisipasi dalam program bantuan, sebagaimana
dicontohkan oleh penuturan Mbak Rus di atas.
Kondisi ini masih banyak terjadi dan dengan mudah bisa dijumpai di sekitar
kita, biarpun sudah ada standar minimum bagi program bantuan dalam bencana. Salah
satunya nampak dari piagam Sphere yang dalam panduan umum menegaskan bahwa
kebutuhan penyandang cacat adalah sama dengan kebutuhan orang yang lain. Beberapa
kebutuhan ini sama, walaupun harus diperhitungkan bahwa mereka mungkin
membutuhkan beberapa hal spesifik. Untuk bisa bertahan hidup dalam situasi pasca
bencana, mereka memerlukan fasilitas standar yang bisa diakses dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Mereka juga memerlukan dukungan dan jaringan sosial, yang
biasanya disediakan oleh keluarganya. Piagam ini juga mendukung representasi kaum
diffabel dalam pengambilan keputusan dalam setiap tahapan proyek, mulai dari
assessment, design, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Dalam hal ini, upaya
khusus perlu dilakukan untuk menjamin partisipasi aktif semua kelompok dalam
komunitas, termasuk diantaranya adalah diffabel. Panduan ini juga menegaskan bahwa
perhatian terhadap diffabel sebagai salah satu kelompok rentan dalam bencana
seharusnya menjadi croos cutting issues 17 .
15
Fatimah & Sulistyo (dalam proses cetak), op.cit.
Oosters, B (2005), op.cit.
17
www.sphereproject.org
16
9
Kehidupan Harus Terus Berjalan
......”Saya senang bisa bergabung dengan sesama teman diffabel, dan bisa membantu
sesama. Mungkin saya nggak ngerti teori tentang bagaimana mengatasi trauma pasca
bencana. Tetapi, saya merasa perhatian itu penting dan yang ini bukan urusan sekolah
apa bukan. Saya bisa berbagi, dan itu membahagiakan saya, mungkin juga orang lain..”
Ditemui suatu sore di kantor Sapda di bilangan Patangpuluhan Jogjakarta, Mbak
Tari, perempuan lajang berusia 36 tahun tersebut terlihat bersemangat. Wajahnya tidak
menampakkan kelelahan walaupun ia harus bolak‐balik Jogja Bantul dengan
menggunakan sepeda motornya yang sudah dimodifikasi menjadi sepeda motor roda
tiga. Ia juga terlihat bersemangat untuk ikut dalam beberapa kegiatan bagi diffabel yang
akan dilakukan esok harinya di Gunungkidul dan bahkan cenderung mengabaikan
faktor risiko ikut ke Gunungkidul dengan naik motor karena jalanan yang menanjak
dan berliku. Ia baru menghitungnya setelah beberapa teman diffabel yang lain
mengingatkan risiko ini dan menganjurkannya untuk menggunakan angkutan umum.
Sebagaimana dituturkan di atas, walaupun ia mengaku bahwa bencana
mengakibatkan banyak kehilangan dan juga kerusakan, tetapi ia mencoba melihat sisi
lain dari bencana yang membuat hidup harus terus berjalan. Salah satunya, menurutnya
adalah bahwa bencana adalah kesempatan untuk berbagi ke sesama. Ia mengatakan,
dari pengalamannya sendiri, betapa dukungan dari sesama adalah hal penting dalam
membuat kehidupan diffabel harus terus berjalan. Karena itu, ia memilih untuk berbagi
perhatian dan empati untuk sesama yang menjadi diffabel karena gempa.
Sementara itu, Mbak Widi juga mengatakan betapa pendampingan dengan
metode peer group ini sangatlah penting dalam taruma healing bagi diffabel. Ia memberi
contoh :
....”Biasanya mbak, kalau ke sesama diffabel, lebih enak cerita karena kita kan juga ngerti
dan merasakan. Misalnya, ada yang menjadi paraplegia, nggak malu bertanya,
bagaimana dengan pipis di celana yang nggak bisa ditahan? Bagaimana mengatasinya?
Beberapa dari mereka mengaku malu bila bertanya pada perawat atau dokter. Kalau
kepada kami, karena pendekatan teman ya mereka lebih terbuka....”
Cara yang dilakukan adalah dengan mendatangi rumah sesama diffabel yang
terkena dampak bencana. Di sana, mereka mengajaknya mengobrol, dan berbagi
keluhan dan juga berbagi pengalaman. Tips‐tips kecil tetapi praktis juga dibagikan,
karena seringkali penyelesaian masalah kecil ini akan sangat berarti bagi diffabel. Bagi
diffabel baru misalnya, ketrampilan kecil seperti bagaimana menggunakan kruk atau
menyetel kursi roda, adalah contohnya.
Tak hanya ke sesama diffabel, karena kehidupan dengan komunitas tempat
tinggal juga tetap harus dibangun. Di lingkungan rumahnya di Ganjuran, Bantul, mbak
Tari memang tidak berpindah hidup di tenda walaupun rumah mereka juga runtuh.
Masalahnya karena neneknya yang sudah lanjut usia tidak mau pindah ke tenda dan
kebetulan masih ada kandang kayu yang masih berdiri, sehingga di situlah mereka
10
tinggal setelah gempa. Tetapi, mereka mengembangkan cara lain untuk
mengkompensasi ketidaksertaan dalam aktivitas komunitas, termasuk diantaranya
adalah ketidakterlibatan dalam dapur umum bersama dengan perempuan yang lain.
Sehari‐hari, keluarga mereka adalah pengrajin tempe, dan begitu juga dengan situasi
setelah gempa. Mereka beruntung karena mereka memiliki stock memadai dan alat
produksi tidak rusak, sehingga usaha ini tidak sampai berhenti walau rumah hancur.
Bentuk kompensasi yang dilakukan adalah membagikan tempe yang dibuat ke dapur
umum yang ada di lingkungannya. Tari mengakui, bahwa mungkin yang dilakukannya
tidak setimpal, tetapi ia mengatakan bahwa keterbatasan situasi membuatnya
memikirkan model kerelawanan yang mungkin untuk dilakukan.
Ilustrasi di atas juga menunjukkan bahwa perempuan diffabel, dalam kondisinya
yang terbatas sebetulnya menyimpan banyak potensi. Pemahaman bahwa perempuan,
apalagi diffabel perempuan, hidup dalam situasi yang tidak aman dan secara otomatis
juga menjadi lebih rentan terhadap bencana, seringkali diikuti stereotype atau anggapan
yang minor dalam memandang perempuan ketika menghadapi bencana. Tetapi justru
kebalikannya, pembagian kerja secara seksual bisa mendorong perempuan unuk secara
proaktif mengambil tindakan untuk menyelamatkan kehidupan.
Enarson mencontohkan peran‐peran penting yang dimainkan oleh perempuan,
baik di level domestik ataupun di di ranah publik. Sayangnya, karena dianggap sebagai
kebiasaan dan semestinya dilakukan oleh perempuan, kerja dan kontribusi ini jarang
dihargai dan seringkali tidak diperhitungkan. Di tingkat domestik misalnya, kerja
perempuan seperti memasak, mencuci, menjahit dan mengurus kebun dan
membersihkan rumah setelah bencana adalah kerja yang sangat penting. Begitu juga
dengan peran menjaga kesehatan keluarga, serta peran pengasuhan dimana mereka bisa
mengajari anak‐anak tentang keselamatan dan perlindungan diri. Sementara di tingkat
publik, peran‐peran kunci juga dimainkan oleh perempuan. Dalam masa darurat pasca
gempa misalnya, berdirinya dapur umum dalam hitungan jam setelah bencana adalah
membuktikan kontribusi sekaligus ketangguhan perempuan menghadapi bencana.
Begitu juga dengan kerja kerelawanan perempuan diffabel yang diatas dicontohkan
dengan menjadi bagian dari trauma healing untuk sesama diffabel, yang sangat berarti
untuk pemulihan kehidupan.
Dalam situasi seperti ini, apakah perempuan menjadi korban ataukah menjadi
pahlawan dalam situasi bencana, akan ditentukan ketika ketrampilan, pengetahuan,
kapasitas dan jaringan perempuan diperhitungkan. Dalam hal ini, perlu untuk melihat,
apakah laki‐laki dan perempuan, atau apakah antara kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas, diffabel atau bukan, dapat bekerja bersama secara penuh dan
setara untuk membuat komunitas menjadi lebih aman dan kehidupan bisa terus
berjalan.
11