Perempuan dan Kerelawanan dalam Bencana

LAPORAN PENELITIAN

BENCANA DAN KERELAWANAN PEREMPUAN :

Studi Kasus Penanganan Bencana di Kabupaten Bantul, DIY

Oleh :

Dat i Fat im ah Ret no Agust in

(Perhimpunan Aksara – Jogjakarta)

Pemenang Philantrophy Research Award III Pirac – Ford Foundation 2007

PAHLAWAN DALAM KESENYAPAN : CATATAN PENGANTAR

Adalah perasaan yang campur aduk ketika harus menuliskan kehidupan para perempuan pasca gempa, sebagaimana juga pengalaman menceritakan satu kejadian yang mengubah kehidupan manusia. Bencana, dalam keadaan ketidaksiapan dan minimnya perhatian terhadapnya, memang harus dibayar sangat mahal. Kehilangan nyawa anggota keluarga, saudara, teman dan kerabat, hingga kerusakan dan kehilangan harta benda dan juga infrastruktur komunal. Tetapi, walau pada awalnya diliputi dengan nuansa kesedihan yang mendalam, wajah‐wajah penuh semangat untuk kembali bangkit adalah pertanda bahwa kehidupan tidak berhenti karena bencana. Semangat, harapan dan solidaritas inilah yang terpancar kuat dari wajah‐wajah para penyintas (survivors), yang selamat dalam kejadian Gempa 27 Mei 2006 yang menghantam Jogja dan Jawa Tengah.

Ketika akhirnya kami menjadi salah satu pemenang Philantrophy Research Award III Pirac ‐Ford Foundation tahun 2007, kami bagaikan menuliskan sepenggal hidup dari perjalanan keterlibatan kami didalamnya. Walaupun mungkin kami tidak menjadi bagian utama dari cerita yang dituliskan di sini, pada bagian‐bagian tertentu, cerita ini adalah juga bagian dari cerita hidup kami. Dan sebagaimana diungkap di muka, rasa yang campur aduk inilah yang kemudian akan bisa Anda dapatkan dari 5 bab laporan riset yang kami tuliskan. Pada bagian tertentu, sarat dengan nuansa kesedihan dan rasa yang menyentuh, sementara pada bagian lain, kamipun harus larut dalam menuliskan semangat para pahlawan yang berjuang untuk bangkit kembali.

Siapakah para pahlawan tersebut, yang juga akan Anda baca dalam laporan ini? Mereka ini, adalah para perempuan yang karena situasi, merasa terpanggil untuk melakukan serangkaian upaya mengkonsolidasi gerakan dan sumber daya, dan berbagi dengan sesama. Upaya mereka ini sangatlah berarti walaupun seringkali luput dari perhatian dan peliputan. Mereka inilah, para pahlawan dalam kesenyapan, yang menjadi nafas dan inspirasi utama buku yang kami tulis.

Laporan ini juga tidak akan bisa kami selesaikan, tanpa dukungan, kritisi dan bimbingan dari Dr. Rohman Ahwan yang menjadi pembimbing selama proses penelitian. Walaupun tidak cukup intensif, tetapi masukan dan juga referensi untuk penelitian yang kami dapatkan dari Beliau, sangatlah berarti bagi kami dalam menyelesaikan laporan ini. Selain itu, kami juga belajar banyak dari menjalin kerja sama dengan PIRAC dalam menyelesaikan laporan ini.

Laporan ini juga tidak akan mungkin bisa Anda baca, tanpa kontribusi berarti dari para narasumber utama penulisan ini. Mulai dari para perempuan di dusun Kadisoro, Nangsri, Imogiri, Piyungan, juga teman‐teman NGO di Jogja (Wawan, Leny, mas Dedy, Zaki dan Rinto, Unang, Mbak Yuni, Widyanta, Amin, Mbak Reny, Mbak Endang), juga dari Pemerintah dan DPRD (Bu Tutik KPP dan Agung Laksmono). Tanpa terkecuali, satu sumbangsih yang sangat berarti juga kami dapatkan dari Endah dan Titin yang telah menjadi asisten untuk kerja penelitian ini. Kesediaan mereka bekerja dalam limitasi waktu dan fasilitas, menjadikan kami mampu melampaui kendala‐kendala teknis dalam pelaksanaan penelitian. And last but not least, Laporan ini juga tidak akan mungkin bisa Anda baca, tanpa kontribusi berarti dari para narasumber utama penulisan ini. Mulai dari para perempuan di dusun Kadisoro, Nangsri, Imogiri, Piyungan, juga teman‐teman NGO di Jogja (Wawan, Leny, mas Dedy, Zaki dan Rinto, Unang, Mbak Yuni, Widyanta, Amin, Mbak Reny, Mbak Endang), juga dari Pemerintah dan DPRD (Bu Tutik KPP dan Agung Laksmono). Tanpa terkecuali, satu sumbangsih yang sangat berarti juga kami dapatkan dari Endah dan Titin yang telah menjadi asisten untuk kerja penelitian ini. Kesediaan mereka bekerja dalam limitasi waktu dan fasilitas, menjadikan kami mampu melampaui kendala‐kendala teknis dalam pelaksanaan penelitian. And last but not least,

Salam dan selamat membaca......

Jogjakarta, Juni 2008

Dati Fatimah ( datifatimah@gmail.com ) Retno Agustin ( retnoagustin@gmail.com ).

SI NOPSI S

Dapur umum, yang segera berdiri dalam hitungan waktu yang pendek setelah terjadi krisis dan bencana adalah potret yang nyata dalam kehidupan sekitar kita, seiring meningkatnya kejadian bencana dan krisis. Begitu juga dengan kondisi pasca gempa yang melanda Jogja dan Jateng, 27 Mei 2006. Segera setelah gempa terjadi, perempuan dengan sigap dan spontan, mendirikan dapur umum secara darurat. Waktu itu, bersama dengan kelompok masyarakat yang lain seperti kaum lelaki yang melakukan peran evakuasi korban, peran perempuan ini sangatlah penting dalam penyelamatan kehidupan dalam situasi krisis.

Sayangnya, walaupun perannya sangat signifikan, namun ini tidak secara otomatis diikuti dengan penghargaan yang memadai. Adalah menarik untuk mengkaji bahwa sebagian responden penelitian ini menganggap tidak ada yang istimewa dengan kerelawanan perempuan seperti nampak dalam kasus dapur umum ini. Hal ini disebabkan peran memasak dianggap sudah seharusnya dilakukan oleh perempuan. Begitu juga peran‐peran kerelawanan perempuan yang lain seperti perawatan orang sakit, pengelolaan fasilitas kesehatan masyarakat bersama bernama posyandu, dan banyak aktivitas lain yang dilakukan perempuan secara sukarela.

Buku yang Anda baca ini adalah laporan penelitian tentang bagaimana kerelawanan perempuan dalam situasi bencana tumbuh, terkelola dan direspon oleh pihak yang terkait. Sebagai sebuah studi kasus yang mengambil setting di kabupaten Bantul, buku ini ingin menjawab pertanyaan kunci tentang apa sajakah model‐model kerelawanan perempuan yang muncul, dan bagaimana ini terhubung dengan kerelawanan dan pihak yang lebih luas.

Apakah perempuan menjadi korban ataukah menjadi pahlawan dalam situasi bencana, akan ditentukan ketika ketrampilan, pengetahuan, kapasitas dan jaringan perempuan diperhitungkan. Dan sayangnya, ini tak selalu didapatkan para perempuan ketika bencana terjadi di Bantul, sebagaimana nampak dalam kajian yang Anda baca ini.

BAB I PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Pagi hari di Sabtu 27 Mei 2006, sebuah gempa dangkal berkekuatan 5.9 Skala Richter mengguncang Jogjakarta dan Jawa Tengah. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi kurang sedikit, ketika bumi bergoyang dengan sangat kencang. Gempa saat itu, sangatlah mengejutkan bagi masyarakat yang sebelumnya menganggap daerah tempat tinggalnya adalah kawasan aman dari bahaya gempa bumi. Gempa yang terjadi di tengah perhatian publik yang justru berpusat pada ancaman bencana letusan gunung Merapi yang berada di sebelah utara Jogjakarta ini, membawa banyak kerusakan dan juga kerugian. Data yang dikumpulkan Bappenas menunjuk angka korban jiwa sebanyak 5.760 orang meninggal dunia, 388.758 rumah rusak termasuk sebanyak 187.474 rumah yang roboh (Rencana Aksi Nasional, Buku I).

Tabel

1.1. Perbandingan beberapa bencana internasional Negara Jenis bencana Kejadian Korban jiwa Kerusakan Kerusakan

Alam

Kerigian Kerigian (US$ juta)

(US$ juta)*

4,450 4,747 Pakistan

Indonesia Tsunami 26 Des 2004

2,900 2,992 Sri Lanka

Gempa bumi

08 Okt 2005

1,454 1,551 India (gujarat)

Gempa Bumi

Gempa Bumi

Honduras Badai Mitch 25 Okt-8 Nov 1998

2,198 2,345 Indonesia(Yogya-Jateng) Gempa Bumi

Thailand Tsunami 26 Des 2004

3,134 3,134 Sumber: Asia Disaster Preparednes Centre, Thailand: ECLAC, EM-DAT, World Bank, Juni 2006 Catatan: * Harga Konstan tahun 2006

27 Mei 2006

Tabel di atas menunjukkan, meskipun jumlah korban jiwa sangat jauh dibawah jumlah korban jiwa tsunami misalnya, tetapi jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan tidak terlampau jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tingkat kepadatan penduduk di Jogjakarta dan Jawa Tengah yang mengakibatkan tingginya angka kerusakan pada bangunan baik rumah, maupun infrastruktur publik dan dunia usaha.

Dalam data yang lebih rinci, menunjukkan DIY mengalami kerusakan sebagai berikut:

Tabel 3.2. Data Rumah Rusak di DIY karena Gempa 1

No Kabupaten/Kota Jumlah Rumah Rusak

Selain mengakibatkan ratusan ribu rumah rusak dan roboh, gempa juga mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana umum. Rusaknya puluhan pasar, ratusan sekolah, tempat ibadah, bangunan perkantoran dan sarana usaha membuat skala kerugian memang sangat tinggi. Untuk bangunan pendidikan, jumlah bangunan sekolah di DIY dan Jateng mencapai 2.630 unit dengan perkiraan jumlah kerusakan dan kerugian mencapai Rp 1.74 Triliun. Sementara pada sektor kesehatan, jumlah kerusakan diperkirakan mencapai Rp 1.5 Triliun, dan

1 Pemprop DIY (2007), “Lesson Learnt dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Bumi”, disampaikan dalam workshop sehari Lesson Learned Bencana Jogja-Jateng : Masukan Bagi Penyusunan RPP dan

Perpres UU 24/2007 tentang Penanganan Bencana, data per 7 Mei 2007 Perpres UU 24/2007 tentang Penanganan Bencana, data per 7 Mei 2007

kerusakan dan kerugian dalam sektor ini mencapai Rp 9.025 Triliun. 2

Selain menghancurkan dan meluluhlantakkan sarana dan prasarana yang ada, gempa bumi ini juga mengakibatkan dampak psikologis bagi masyarakat. Secara umum, masyarakat Jogjakarta dikatakan berada dalam situasi beban sosial ekonomi yang berat. 3 Besarnya dampak gempa ini juga berpengaruh bagi kesehatan mental bagi banyak anggota masyarakat. Kondisi ini nampak dari penuturan Bu Ponirah, salah satu penyintas dari Gedongan, Kasihan berikut ini :

....”Kalau mengingat saat itu, rasanya ngeri, ngeri sekali... Juga stress. Bagaimana tidak stress, wong rumahnya hancur semua. Berteduhnya di bawah pohon, dan kehujanan selama 3 hari dan barang ‐barang hancur semua....”

Gempa sebagai sebuah pengalaman sejarah yang membawa luka bersama bagi masyarakat, menjadi magnet bagi sejumlah donor, organisasi nasional‐lokal maupun penyintas untuk bergerak bersama. Gempa mengundang bantuan datang bertubi, tentu saja dengan ragam cara dan motif.

2 Buku Utama Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Propinsi DIY dan Propinsi Jawa Tengah, Bappenas, Bab III, Juli, 2006

3 Policy Brief Gender Working Group (GWG) untuk respon bencana Jogja-Jateng, Mainstreamingkan Gender dalam Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa : Libatkan Perempuan dalam

Seluruh Proses Rehabilitasi-Rekonstruksi. Naskah, Tidak Diterbitkan, 2006.

Penanganan gempa bumi Jogja‐Jateng memberi pembelajaran betapa berharganya kerelawanan dan solidaritas warga. Hari pertama dan kedua pasca bencana, masyarakat dari luar daerah bencana telah mulai bergerak, mengirimkan bantuan logistik maupun relawan untuk membantu warga korban bencana. Dibantu para relawan, tanpa dikomando warga masyarakat (perempuan‐laki‐laki, tua‐muda, kaya‐miskin) gumbregah, bangkit, bergerak, bekerja bahu membahu, bergotong royong membersihkan puing‐puing dan menata kembali dusunnya masing‐masing. Di sana‐sini, posko‐posko bantuan pun didirikan dan diorganisir

secara sigap oleh berbagai paguyuban masyarakat sipil. 4

Para perempuan tak kalah sigap, dengan responsifnya mereka bergerak mendirikan dapur umum. Mereka membagi tugas dengan cepat untuk mengumpulkan bahan pangan yang masih bisa diselamatkan di setiap rumah kemudian mengaturnya sebagai lumbung pangan selama beberapa hari. Bencana kelaparan yang mengikuti kejadian bencana direduksi karena

kecekatan perempuan untuk bertindak mengamankan hajat dasar masyarakatnya. 5 Aktivitas massa itu digerakkan oleh spirit altruisme dan kerelawanan (voluntarism) yang sangat tinggi di antara warga sendiri. Tiga bulan fase tanggap bencana, kerja‐kerja karitatif sungguh mewarnai

interaksi antara penyintas dengan penyintas 1 , penyintas dengan relawan luar komunitas maupun penyintas dengan jejaring masyarakat sipil lainnya. Memasuki fase rehabilitasi dan rekonstruksi, sejumlah organisasi perempuan perempuan mempraktikkan pendekatan yang lain. Bantuan karitatif sebagai bagian dari filantropi sangat baik untuk kerja‐kerja tanggap bencana. Namun untuk kerja jangka panjang justru tidak mendidik masyarakat, bahkan ditakutkan akan membawa ketergantungan masyarakat pada pemberi bantuan. Karenanya pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi, kerja karitatif berusaha untuk diintegrasikan dengan kerja pemberdayaan komunitas warga korban.

4 Widyanta, AB. Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya Dan Jateng), dalam Jurnal RENAI

Governance Bencana tahun ke 7 no 1. 2007.

5 Agustin, Retno. Gender yang Direkonstruksi dalam Bencana Alam(i)? Pengabaian vis a vis Kebangkitan Perempuan Penyintas dalam Penanganan Gempa dalam Widyanta, AB (ed) Kisrah-Kisruh

di Tanah Gempa. Jogjakarta : CPRC-FS. Mei 2007.

Model ‐model partisipasi yang sangat spontan, mandiri dan digerakkan oleh spirit altruitik dan norma informal merupakan ciri modal sosial yang berbasiskan warga. Sebagaimana ditandaskan oleh Fukuyama, modal sosial yang mewujud dalam jaringan warga merupakan jalan pintas yang mengatasi masalah koordinasi dalam organisasi yang sangat

terdesentralisasi 6 . Dalam penanganan gempa bumi jogja‐jateng, modal sosial berbasis warga inilah yang menjadi jaring pengaman bagi korban dan survivor untuk melampaui krisis paska bencana. 7

Akan tetapi, dalam temuan kami, dalam setiap tahapan bencana kerja perempuan baik pada sector domestic maupun publik sering tidak diperhitungkan. Padahal, bila melihat situasi pada detik‐detik awal tanggap bencana, perempuan lah yang dengan sangat cekatan dan sigap segera melakukan langkah‐langkah penting penanganan bencana. Dapur umum –meskipun merupakan kerja domestic‐ namun merupakan refleksi sikap assertif dan sukarela yang dilakukan oleh perempuan ketika menghadapi bencana. Kesedihan dan kepiluan karena bencana memang dirasakan, tetapi hidup harus terus berjalan : orang perlu makan, perlu menyambung hidup dan tenaga, dan karenanya, dapur umum adalah jawabannya. Di sini, perempuan memegang peran kunci. Penelitian kami menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam proses rehabilitasi‐rekonstruksi merupakan hal yang tak lazim dalam masyarakat yang kental nuansa patriarkisnya. Pandangan mata aneh maupun cibiran merupakan reaksi yang kerap diterima para perempuan. Tantangan balik dari laki‐laki acap menghadang perempuan yang secara sukarela (volunterisme) hendak terlibat dalam proses rekonstruksi. Namun dalam catatan lapangan juga terdapat pengalaman keberhasilan perempuan dalam meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah latent leader yang berkemampuan untuk mengawal proses pemulihan bencana dengan lebih berkeadilan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengangkat sebuah potret realitas yang penting namun sering terabaikan dalam penanganan kebencanaan, yaitu perempuan penyintas. Realitas

6 Fukuyama, Francis. Guncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru; Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 243

7 Widyanta,AB. Op.Cit 7 Widyanta,AB. Op.Cit

II. PERMASALAHAN PENELITIAN :

Bentuk ‐bentuk kerelawanan perempuan dan ruang Penelitian ini ingin mengungkap pertanyaan mendasar mengenai bagaimana bentuk‐bentuk kerelawanan dan siasat perempuan merebut ruang partisipasi dalam penanganan kebencanaan? Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan penelitian, peneliti merumuskan sejumlah pertanyaan ‐pertanyaan kunci, antara lain :

1. Sistem sosial kebencanaan seperti apakah yang melahirkan tokoh‐tokoh perempuan dalam penanganan bencana?

2. Bagaimana pengaruh dari sistem sosial ini terhadap bentuk‐bentuk partisipasi perempuan baik di ruang domestik atau publik? Apa sajakah hambatan yang dihadapi dan strategi yang diambil perempuan untuk merebut ruang partisipasi?

3. Bagaimana proses dan perkembangan hubungan antara bentuk kerelawanan perempuan yang ada dengan kelompok‐kelompok lain (LSM, organisasi lokal, pemerintah) pasca bencana? Bagaimana kelompok‐kelompok lain tersebut memainkan peran linking social capital sehingga kerelawanan perempuan lokal dapat terhubung dengan ruang public yang lebih luas.

III. TUJUAN PENELITIAN :

Penelitian ini ditujukan untuk:

1. Menemukan bentuk‐bentuk kerelawanan perempuan dan siasat partisipasi perempuan dalam penanganan bencana

2. Menunjukkan model filantropi perempuan dalam penanganan kebencanaan.

3. Memetakan pola hubungan antara perempuan dengan pihak‐pihak lain dalam mobilisasi modal sosial untuk penanganan bencana.

4. merumuskan rekomendasi bagi proses penanganan bencana yang berperspektif gender.

IV. KERANGKA TEORI :

a. Bencana

.......”Pada dasarnya, tidak ada yang disebut sebagai bencana alam; yang ada adalah bahaya‐ bahaya alam, seperti misalnya siklon dan gempa bumi. Perbedaan antara sebuah bahaya dan sebuah bencana merupakan suatu hal yang penting. Sebuah bencana terjadi jika sebuah komunitas terkena dampak sebuah bahaya (biasanya diartikan sebagai sebuah peristiwa yang melampaui kapasitas komunitas tersebut untuk menghadapinya). Dengan kata lain, dampak sebuah bencana ditentukan oleh sejauh mana kerentanan sebuah komunitas terhadap bahaya. Kerentanan seperti ini tidak bersifat alami. Ia merupakan dimensi manusiawi dalam bencana, hasil dari keseluruhan faktor‐faktor ekonomi, sosial, budaya, institusi, politik dan bahkan psikologi yang membentuk hidup manusia dan menciptakan lingkungan di mana mereka

tinggal... 8 ” Bencana bukan hanya menghancurkan tatanan fisik, namun juga tatanan sosial,

ekonomi dalam masyarakat. Bencana menjadi triger yang memicu peningkatan kerentanan yang sudah terdapat dalam masyarakat sebelum bencana terjadi. Kerentanan tersebut bukan hanya reprentasi dari rendahnya kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan sosial dan alam, namun juga representasi salah urus oleh negara atas masyarakatnya. 9

8 Twigg, J (2001), sebagaimana dikutip dalam Living with Risk, UNISDR, 2004, chapter 1,

9 Fatimah, Dati. Yang Sering terabaikan: Gender dan Anggaran dalam Bencana dalam Widyanta, AB (ed) Kisrah-Kisruh di Tanah Gempa. Jogjakarta : CPRC-FS. Mei 2007.

Dalam situasi bencana tercipta kondisi chaotic dan kepanikan. Masyarakat harus beradaptasi dengan ritme alam dan sosial yang berubah. Fokus pada penyelamatan diri dan keluarga mengakibatkan masyarakat sulit terorganisir. Di sisi lain, negara juga harus beradaptasi dengan ritme birokrasi darurat bencana. Proses untuk beradaptasi dengan kondisi bencana ini yang mengakibatkan kegagapan bagi masyarakat maupun negara. Meski bagaimanapun juga, negaralah yang harus bertanggung jawab atas masyarakatnya.

Hoffman (1999;2002), menegaskan pandangan mengenai bencana ditinjau dari sudut pandang ekonomi politik. Menurut hoffman: (1) bencana dapat dihindari dan kejadian alam tidak harus berubah menjadi bencana kalau dampaknya bisa diatasi dengan baik; (2) manusia tidak dilihat sebagai korban yang tidak tertolong tetapi sebagai aktor yang mampu dengan tingkatannya masing‐masing memecahkan dan menghadapi kejadian alam atau bahkan menghindarinya. Disini sumber yang dimiliki penduduk berperan penting dalam pemulihan; (3) isu keadilan menjadi penting. Kelompok kaya jarang menderita separah yang dialami oleh kelompok miskin dalam setiap bencana, walaupun bencana tetaplah merupakan penderitaan

umum dengan tingkat keparahannya masing‐masing. 10

Salah satu aspek penting dalam kajian tentang bencana adalah kajian tentang kerentanan. Perspektif kerentanan memandang bahwa situasi yang ditimbulkan dari bencana tidak hanya berasal dari bencana itu sendiri, seperti gempa, badai dan angina topan, tetapi

sebagai kombinasi dari 3 faktor, yaitu: 11

10 Hoffman, 1999;2002, dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Anthropologi Universitas Gadjah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur : Analisis Konteks, Proses dan Ranah

Dalam Konstruksi Bencana”, Halaman 13.

11 Lihat analisis yang melihat kontribusi ketiga actor ini dalam Tierney, K (2007), “Recent Sociological Contributions to Vulnerability Science”, Department of Sociology and Institute of Behavioral Science,

Natural Hazards Center, University of Colorado. Dalam paper yang sama, Tierney mengutip beberapa riset yang mengkaji banyak aspek dan contoh dari kerentanan dalam berbagai kondisi, misalnya perbedaan kerentanan berbasis ras, yaitu antara yang berkulit putih dan hitam sebagaimana diajukan oleh Robert Bullard.

1. Bencana itu sendiri, seperti topan, badai, gempa dan tsunami.

2. Kondisi fisik dan karakter dari lingkungan yang terbentuk. Sebagai contoh, banyak struktur bangunan dan infrastruktur yang tidak tanggap terhadap dampak fisik dari bencana.

3. Kerentanan populasi, merupakan konstruk yang kompleks yang mencakup beberapa faktor seperti ketersediaan sumber daya (seperti pendapatan dan kesejahteraan), ras, etnis, gender, umur, pengetahuan tentang cara‐cara penyelamatan dalam bencana, dan factor yang terkait dengan modal social dan budaya. Sebagai gambaran, keterlibatan dalam aktivitas dan ruang sosial akan membantu menyediakan informasi dan bantuan yang bermanfaat. Pengetahuan juga memampukan anggota komunitas untuk bisa berinteraksi secara baik dengan institusi sosial yang ada. Di sisi yang lain, kerentanan populasi juga bisa meningkat karena langkah‐langkah yang diambil oleh pemerintah dan institusi lain yang gagal dalam melindungi populasi. Dari perspektif kerentanan misalnya, bencana badai Katrina menjadi semakin parah karena kegagalan dari system proteksi sosial dan system manajemen darurat yang tidak memadai dalam melindungi dan menjaga survivor.

b. Gender dan Bencana

Deklarasi Beijing dan Rencana Aksinya dengan jelas mengakui bahwa degradasi lingkungan dan bencana mempengaruhi seluruh kehidupan manusia dan seringkali membawa dampak langsung yang lebih bagi perempuan. Sessi khusus ke‐23 dari General Assembly pada tahun 2000 juga mengidentifikasi bencana alam sebagai tantangan terkini yang bisa mempengaruhi implemnetasi menyeluruh dari rencana aksi Beijing ++ ini. Karenanya, dibutuhkan strategi untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pengembangan dan implementasi pencegahan bencana, mitigasi dan strategi recovery.

Salah satunya variabel penting yang harus diperhitungkan adalah bahwa bencana yang sama bisa membawa dampak yang berbeda bagi kelompok gender yang berbeda. Sama‐sama terjadi bencana banjir atau gempa misalnya, dampak yang ditimbulkan bagi laki‐laki dan perempuan tidaklah identik, yang salah satunya disebabkan oleh perbedaan kerentanan terhadap bencana karena relasi gender yang ada. Laporan UN/IASC juga menuliskan bahwa struktur relasi gender adalah bagian dari konteks budaya dan sosial yang mempengaruhi kapasitas komunitas untuk mengantisipasi, menyiapkan diri, mempertahankan diri dan juga melakukan pemulihan karena bencana.

Elaine Enarson dalam papernya yang berjudul “Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the Connection”, menjelaskan bahwa risiko terhadap bencana terdistribusikan secara berbeda di dalam masyarakat. Menurutnya, sebagai sebuah konsep yang kompleks, kerentanan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang yang dibutuhkan baik untuk bertahan hidup maupun menjalani masa recovery setelah bencana. Namun, ia menggarisbawahi bahwa perempuan dan anak perempuan adalah merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang berada pada daftar kelompok dengan risiko tinggi terhadap bencana (Enarson, 2000). Menurut Blaikie (2003:300), perempuan orang tua dan anak‐anak, atau kelompok yang berstatus sosial rendah, minoritas kelompok dengan akses yang terbatas, kelompok yang tidak memiliki capital sosial, mengalami

nasib yang paling buruk 12

Masih dalam paper yang sama, Enarson memaparkan bagaimana perempuan bekerja secara tidak dibayar dan seringkali secara sosial tidak diperhitungkan. Kesukarelawanan

12 Blaikie, 2003:300, ibid. dalam Irwan Abdullah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Anthropologi Universitas Gadjah Mada “Dialektika Nature, Kultur Dan Struktur : Analisis Konteks, Proses dan Ranah

Dalam Konstruksi Bencana”, Halaman 13.

perempuan dalam penanganan bencana sangat multiwajah, sebagaimana tergambar dalam pengalaman penanganan bencana di Nicaragua berikut ini: 13

After the storm subsided, international aid began entering the area near her village. She saw that the village leader, a man who lost his farm, was more concerned about his own than other village members. . .So she traveled to the mayor’s office, where she had never been before. She visited the Peace Corps volunteer in town, whom she did not know. Through her dedication, persistence, and patience, she had seven houses built and legally put in the wife/mother’s name. She insisted that latrines be built for all families. She rallied 10,000 trees to be planted on the deforested hills that surrounded her village. She learned about water diversion tactics, and found an engineer to teach her village to build gavion‐walled channels.

Masih dalam tulisan yang sama, Enarson menceritakan bahwa perempuan lebih bermotivasi dibandingkan laki‐laki dalam melakukan tindakan pencegahan bencana. Perempuan bukan hanya merawat kesehatan anggota keluarganya, namun juga secara lebih luas memperhatikan kesehatan masyarakat secara lebih luas. Dicontohkan Enarson, perempuan turut membersihkan sampah yang dibawa banjir di wilayah tetangga mereka. Kerja penanganan bencana juga mengikutsertakan perempuan dalam pencarian bantuan kemanusiaan. Berbeda dengan imaji yang dihadirkan media mengenai perempuan sebagai korban yang penakut dan aktor yang pasif. Dalam kerja kemanusiaan, perempuan terlibat secara kuat untuk pencarian bantuan kemanusiaan serta distribusi barang dan pelayanan tanggap bencana. Meski juga harus diakui bentuk partisipasi dan kerelawanan perempuan menjadi lebih berat ketika harus berhadapan dengan norma pembagian kerja berbasis seks dan

gender. 14 Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai entitas yang tak berdaya justru

meminggirkan perempuan dalam kerja‐kerja penanganan bencana. Di sisi lain, pandangan ini

13 Lihat Enarson, Contribution by S. Henshaw of the World Food Program to the internet conference on Gender Equality, Environmental Management and Natural Disaster Mitigation sponsored by Division for

the Advancement of Women, November 2001.

14 Enarson dalam Women’s Voluntary Work Expands : Gender Equality, Work, And Disaster Reduction: Making The Connections, 14 Enarson dalam Women’s Voluntary Work Expands : Gender Equality, Work, And Disaster Reduction: Making The Connections,

Mengambil pendekatan Hoffman di atas, seharusnya perempuan juga dipandang dan diperlakukan sebaga aktor yang berdaya. Kerja sukarela yang dilakukan perempuan merupakan bukti keberdayaan perempuan. Kerja‐kerja kerelawanan mereka ini menjadi kian penting dalam proses rekonstruksi yang panjang. Ketika itu, kepentingan ekonomi laki‐laki dan perempuan sering bertabrakan. Belajar dari pengalaman kerelawanan perempuan di Bantul, kerelawanan perempuan merupakan bagian dari proses pemerdayaan perempuan untuk melakukan kerja‐kerja tak berupah pada masa sebelum bencana, namun kerelawanan perempuan itu selalu mempunyai makna positif bagi masayarakat baik pada masa sebelum bencana, terlebih pada masa sesudah bencana. Bagi perempuan relawan, kerelawanannya merupakan usahanya untuk meningkatkan kapasitas perempuan serta untuk meningkatkan solidaritas komunitas dalam rangka mendukung proses rekonstruksi yang lebih berkeadilan gender. 15

c. Perkembangan Konsep Modal Sosial

Semenjak James Coleman mengenalkan konsep modal sosial hingga sekarang belum ada formulasi tunggal untuk menjelaskan pengertian konsep ini. 16 Menurut Francis Fukuyama salah satu kelemahan konsep modal sosial adalah belum ada kesepakatan dalam pengertian konsep atau teori ini. 17 Titik temu yang hampir tidak berbeda antar berbagai pengertian terletak

15 Enarson, Ibid

16 Banyak yang mengatakan bahwa Coleman mengenalkan konsep ini melalui esai yang berupa suplemen, Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology, 94: Supplement,

1988. Tetapi tidak sedikit yang menyebutkan bahwa Robert Putnam dalam karya-karyanya yang terlebih dahulu mengenalkan konsep ini.

17 Francis Fukuyama, Social Capital and Development: The Coming Agenda, SAIS Review vol. XI no.

1, Winter Spring 2002, hal. 5 < http://www.saisreview.org > 1, Winter Spring 2002, hal. 5 < http://www.saisreview.org >

bekerja bersama dalam sesuatu yang berguna bagi kelompok tersebut. 18

Konsep modal sosial berbeda dari konsep modal manusia dan modal fisik, namun terkadang terjadi tumpang‐tindih dalam pemahaman. Karena bentuk‐bentuk modal yang ada mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Untuk membangun determinasi yang lebih tegas atas konsep modal sosial, Field, Schuller dan Baron me ‐review konsep modal sosial dengan menyebutkan modal sosial ‐secara luas‐ sebagai jaringan ‐jaringan sosial dan hubungan yang terjadi dalam jaringan‐jaringan sosial tersebut, terutama hubungan resiprositas dalam meraih tujuan bersama. 19

Modal sosial merupakan konsep yang terdiri atas dua dimensi yang berbeda tetapi saling bertautan antara dimensi struktural dan kognitif. Dimensi struktural lebih menekankan pada pengorganisasian dan jaringan dari masyarakat, baik yang berbentuk formal maupun informal. Sedangkan dimensi kognitif lebih menekankan pada aspek nilai‐nilai, sikap‐sikap, kepercayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat yang membimbing sikap hidup masyarakat tersebut. Secara singkat, dapat dikategorikan bahwa dimensi struktural adalah sesuatu yang dapat dilihat dengan konkret sedangkan yang kedua lebih abstrak.

Tipologi Modal Sosial secara sederhanal dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu bonding social capital, bridging social capital, linking social capital.

Pertama, apa yang disebut dengan Bonding Social Capital dapat kita sebut dengan perekat sosial, yaitu, nilai budaya, persepsi dan tradisi atau adat‐istiadat (custom). Pengertian bonding social capital adalah tipe modal sosial dengan karakteristik ikatan yang kuat (adanya

18 Thomas F Carroll Social Capital, Local Capacity Building, and Poverty Reduction , Social Development Papers No. 3, Office of Environment and Social Development, Asian Development Bank,

May, 2001, hal. 1

19 J. Field, T. Schuller, dan S. Baron, Social Capital: Critical Perspectives. Oxford: Oxford University Press, 2000, hal 1. seperti yang dikutip oleh David Piachaud, Capital and the Determinants of Poverty

and Social Exclusion, CASE paper 60, Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of Economics, Houghton Street, 2002, hal. 6 < http://sticerd.lse.ac.uk/Case > and Social Exclusion, CASE paper 60, Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of Economics, Houghton Street, 2002, hal. 6 < http://sticerd.lse.ac.uk/Case >

Kedua, Bridging Social Capital bisa berupa Institusi maupun Mekanisme. Bridging social capital (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Tipologi ini bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada. Stephen Aldidgre menggambarkannya sebagai pelumas sosial, yaitu pelancar dari roda‐roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas dari pada bonding social capital. Dia bisa bekerja lintas kelompok etnis, maupun kelompok kepentingan. Keanggotaannya lebih luas dan tidak hanya berbasis pada kelompok tertentu.

Bridging social capital bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam). Interaksi sosial merupakan modal utama untuk mewujudkan tujuannya ini. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Interaksi yang terjalin bisa berwujud kerjasama atau sinergi antar kelompok, yaitu upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain.

Ketiga, apa yang disebut dengan linking social capital, dalam tipe ini menunjukkan hubungan yang terjadi antara kelompok‐kelompok sosial yang berbeda. Dalam konteks penelitian ini, mungkin voluntary group tertentu menjalin kerjasama dengan pihak atau institusi yang lebih tinggi statusnya, baik secara kekuasaan formal, dan kedudukannya dalam suatu masyarakat, misalnya voluntary group bekerjasama dengan LSM maupun lembaga pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan daya tahan dari masyarakatnya.

V. METODE PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini dikategorikan penelitian studi kasus. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Studi kasus mempunyai penekanan terhadap perhatian ataupun pertanyaan dalam suatu kasus tertentu yang tentunya dihubungkan dengan tujuan penelitian dari peneliti tersebut.

Langkah‐langkah penelitian yang akan diterapkan dalam studi kasus tentang Kerelawanan dan Perjuangan Perempuan Merebut Ruang Partisipasi (Studi kasus keterlibatan perempuan dalam penanganan bencana di kabupaten Bantul, DIY, tahun 2006‐2007)

1. Pendekatan, Pengumpulan Data dan Analisis

Studi kasus dilakukan di Kabupaten Bantul untuk mendapatkan data tentang bentuk‐ bentuk kerelawanan dan siasat‐siasat partisipasi yang dilakukan perempuan dalam penanganan bencana. Dari depth interview dan pengamatan langsung di daerah penelitian diharapkan diperoleh data kualitatif tentang bentuk‐bentuk bentuk kerelawanan dan siasat‐ siasat partisipasi yang dilakukan perempuan dalam penanganan bencana. Pengkodingan terhadap data yang terkumpul akan dijadikan pijakan analisis untuk mencari bentuk‐bentuk partisipasi yang merupakan manifestasi kerelawanan.

Permasalahan dan limitasi data kami alami akibat tiadanya kebijakan pemerintah mengenai peran perempuan dalam penanganan kebencanaan. Limitasi lain dapat berasal dari keengganan narasumber terutama birokrasi untuk diwawancarai karena kesibukan mereka. Namun hal ini kami siasati dengan cara cross‐check dan penggunaan sumber‐sumber data yang dipunyai oleh sejumlah lembaga lainnya.

2. Daerah Riset

Pelaksanaan penelitian akan dilakukan di Kabupaten Bantul dengan pertimbangan:

a. Kabupaten Bantul merupakan daerah yang menderita kerusakan terbesar akibat gempa yang menimpa DIY dan jateng.

b. LSM Lokal dan Internasional yang bekerja dalam humanitarian aid terkonsentrasi di kabupaten Bantul dibandingkan daerah lain. Selain itu ditemukan juga sejumlah LSM perempuan yang melakukan kerja pengorganisasian komunitas pasca bencana.

c. Banyak ditemukan fenomena kerelawanan perempuan dan siasat‐siasat perempuan dalam menghadapi proses rekonstruksi yang tidak adil gender.

3. Populasi dan sampel

Target yang akan diteliti guna tercapainya pengumpulan data yang diharapkan adalah:

a. Penyintas perempuan

b. LSM Perempuan yang mempunyai program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana

c. LSM internasional dan Sejumlah lembaga donor yang beroperasi di Jogja

d. Pejabat dan staf Pemerintah Daerah di Kabupaten Bantul. Penentuan besar sampel akan ditentukan atas dasar tercukupinya informasi dan data yang dibutuhkan.

VI. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN

Tulisan ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 dan bab 5 merupakan bagian pendahuluan dan kesimpulan. Bab 1, pendahuluan berisi mengenai latar belakang masalah, permasalahan kunci, tujuan, kerangka teori, serta metode pengumpulan data. Bab 2 secara khusus ditujukan untuk mengulas mengenai system sosial bantul sebelum bencana. Profil umum Bantul serta system pemerintahannya ditujukan untuk memberi konteks pemahaman pada pembaca. Bab 2 ditutup dengan pengerucutan pembahasan mengenai perempuan dalam system sosial bantul sebelum bencana. Sub bab ini menjelaskan mengenai kerja dan aktivitas perempuan Bantul dalam ruang dan pembagian kerja yang terdiferensiasi berdasar gender dan seksual.

Bab 3 difokuskan untuk membahas dimensi gender dalam bencana gempa di Bantul. Bagaimana pengalaman perempuan ketika gempa serta bagaimana pengalaman perempuan beradaptasi dalam system sosial yang tengah mengalami guncangan akibat gempa diulas lebih lanjut dalam bab ini. Bab ini lebih jauh dikerucutkan untuk melihat siasat partisipasi perempuan untuk menembus kebekuan system sosial. Bab ini ditutup dengan analisa mengenai kerelawanan perempuan dalam bencana gempa. Bab 4 secara khusus akan membahas mengenai ragam ruang dimana perempuan berproses sebagai relawan. Bagian selanjutnya akan mengulas mengenai factor pendrong kerelawanan perempuan. Bagian kunci penelitian ini berada pada sub bab terakhir yang mengulas mengenai modal sosial dalam bencana. Bab 5 merupakan penutup yang berisi kesimpulan‐kesimpulan dan refleksi dari penelitian ini.

BAB II

SISTEM SOSIAL BANTUL SEBELUM BENCANA

Dalam banyak kajian tentang perempuan, perbincangan tentang sistem sosial atau sebagian lebih sering menyebutnya sebagai konstruk sosial, adalah awal dari serangkaian kajian tentang kondisi dan persoalan perempuan. Dalam sistem atau konstruksi sosial yang berbeda, kondisi dan derajat kehidupan perempuan juga menampakkan potret yang berbeda. Tentang ini, konsep sistem sosial membantu untuk melihat bagaimana interaksi antar banyak pihak, pandangan dan juga nilai membentuk sebuah masyarakat. Loomis mengatakan bahwa sistem sosial ini terbentuk dari interaksi yang terpola diantara unsur‐unsur pembentuknya. Hal ini mengakibatkan interaksi diantara individu yang beragam, dimana relasi diantara satu sama lain secara bersama‐sama diorientasikan kepada pola yang terstruktur serta simbol dan

harapan yang disepakati. 20

Komunitas sebagai bagian dari sistem sosial, tidak cukup diartikan sebagian kesatuan wilayah geografis saja namun juga diartikan sebagai kelompok dengan kesamaan kepentingan atau fungsi yang melintasi batasan gegografis. Mc Neil memberi definisi terhadap organisasi komunitas sebagai proses dimana orang dari komunitas tertentu, sebagai individu ataupun sebagai representasi kelompok, bergabung bersama untuk menentukan kebutuhan bagi kesejahteraan bersama, menyusun rencana untuk meraihnya, dan memobilisasi sumber daya

yang diperlukan. 21 Lebih jauh, Murphy menyimpulkan bahwa organisasi komunitas memiliki dua pemaknaan, yaitu sebagai proses dan sebagai ruang. Sebagai proses, organisasi komunitas dibentuk oleh ketrampilan yang digunakan untuk mengkoordinasikan, mempromosikan, dan menginterpretasikan layanan sosial dalam beragam bentuk. Sementara itu, sebagai ruang, merupakan satu suprastruktur yang dibuat oleh pihak‐pihak yang memiliki tanggung‐jawab

20 Loomis, Charles (1992), “Social Systems : Essays on Their Persistance and Change”, The Van Nostrand Series in Sociology, New Jersey

21 McNeil, sebagaimana dikutip oleh Murphy, Campbell G. (1995), “Community Organization Practice”, The Riverside Press Cambridge, Boston 21 McNeil, sebagaimana dikutip oleh Murphy, Campbell G. (1995), “Community Organization Practice”, The Riverside Press Cambridge, Boston

menyediakan layanan bagi publik 22 .

I. PROFIL UMUM BANTUL

Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Posisinya terbilang cukup strategis karena berbatasan langsung dengan semua Kabupaten/Kota lain di Provinsi DIY. Di bagia utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman. Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo. Sedang bagian selatan berbatasan

langsung dengan samudera Indonesia. 23

Penduduk Kabupaten Bantul tersebar di 75 desa yang berada di 17 kecamatan. Kecamatan itu antara lain : Kecamatan Srandakan, Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, Pandak, Bantul, Jetis, Imogiri, Dlingo, Pleret, Piyungan, Banguntapan, Sewon, Kasihan, Pajangan dan Sedayu. Bantul, sebelum kejadian gempa di pertengahan tahun 2004 mempunyai penduduk 799.211 jiwa yang terdiri dari 391.296 laki‐laki dan 407.915 perempuan. Sedangkan pada tahun 2006 pertambahan penduduknya mencapai angka 820.555 jiwa. Sex ratio dari penduduk perempuan di banding laki‐laki adalah 96,53. Artinya, di antara 100 laki‐laki terdapat 96,53 perempuan.

Pendapatan per kapita sebelum bencana mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan beban tanggungan dibawah 50%. Meski pendapatan perkapita mengalami peningkatan namun jumlah penduduk miskin tidak mengalami penurunan. Pada tahun 2000 angka penduduk miskin sebesar 18% dari jumlah penduduk, sedangkan tahun 2001

mengalami kenaikan menjadi 26,02%. Sedangkan tahun 2002 agak turun menjadi 25,94%. 24

22 Murphy, op.c it. , p. 29

23 Bantul Dalam Angka 2004, BPS Bantul. 24 Pro fil Ke se ha ta n Ka b up a te n Ba ntul ta hun 2003, ha la ma n 20

Tingkat pendidikan penduduk sampai akhir tahun 2002 belum mengalami peningkatan yang berarti. Masih banyak penduduk yang buta huruf dan tidak tamat sekolah dasar. Akibatnya penyerapan dan pemahaman terhadap informasi cukup rendah. Tingkat pedidikan perempuan di atas 10 tahun pada kelompok yang tidak/belum pernah sekolah mengalami ketimpangan yang signifikan dibandingkan laki‐laki yakni 22, 82% sedangkan laki‐laki hanya 9,25%. Sedangkan untuk kelompok pendidikan lainnya seperti tamat SD, SMP, SMA, akademi/PT, angka perempuan lebih rendah dibandingkan laki‐laki. Padahal kalai dilihat dari struktur penduduk terlihat bahwa perempuan lebih banyak daripada laki‐laki. Hal ini menunjukkan masih belum optimalnya pemberdayaan perempuan, terutama di bidang pendidikan.

Untuk mengimbangi jumlah penduduk dalam pelayanan kesehatan, Kabupaten Bantul disangga oleh 6 rumah sakit, 1 diantaranya Rumah Sakit Umum Pemerintah, 5 lainnya merupakan Rumah Sakit Swasta. Fasilitas kesehatan lain terdiri dari Puskesmas dan Klinik kesehatan. Puskesmas berjumlah 26 buah, sedang sub puskesmas‐nya berjumlah 67 buah. Klinik bersalin swasta hanya berjumlah 1, dengan klinik KB/Balai pengobatan berjumlah 21. Untuk mengoperasionalkan pelayanan kesehatan, Kabupaten Bantul baru mempunyai 55 dokter dan 34 dokter gigi.

II. SISTEM PEMERINTAHAN

Beragam institusi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan sekaligus mempengaruhi kehidupan perempuan. Dalam deretan institusi formal misalnya, perangkat negara mulai dari pemerintah di tingkat nasional, hingga jajaran aparatur hingga tingkat dusun dan juga RT/RW, menjadi bagian dari institusi yang berpengaruh bagi kehidupan masyarakat dan juga perempuan. Pengaruh ini nampak sangat nyata misalnya, karena pendekatan penyeragaman model institusi –yang semula adalah bagian dari alur administrasi dan birokrasi ‐ merambah hingga ke tataran sosial, politik dan juga budaya. Desa pada masa Orde

Baru misalnya, mengalami perubahan setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Tak hanya itu, karena perubahan ini seringkali juga diikuti dengan penggabungan beberapa kampung atau desa menjadi satu kesatuan wilayah administratif, bahkan terkadang tanpa melihat kesesuaian nilai dan pengikat yang sebelumnya sudah ada. Dengan keluarnya regulasi ini, semua bentuk kepemerintahan lokal yang ada haruslah berbentuk desa, sehingga nagari di Sumatera Barat, atau kampung di Kalimantan Barat dan

Lembang di Tana Toraja misalnya, diubah bentuknya menjadi desa. 25 Contohnya, di Kabupaten Bantul paska keluarnya UU tentang Pemerintahan Desa dilakukan penghilangan konsep Rukun Warga (RW) yang sebelumnya terdiri dari sejumlah Rukun Tetangga (RT). Beberapa RT kemudian dilebur dalam kesatuan Kring/Sub Dusun dengan batasan area dan kesatuan anggota yang berbeda. Proses adaptasi sebagai kesatuan sosial yang baru itu memunculkan sejumlah konflik manifes maupun laten diantara warga masyarakat dusun. Mengacu kepada konsepsi McNeil di atas, intervensi negara yang menghasilkan ketegangan di dalam desa menjadi tak terelakkan.

Sebagaimana Kabupaten/Kota yang lain, bantul memiliki sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang bupati. Drs. Idham Samawi berhasil menduduki puncak pemerintahan Bantul untuk masa dua periode. Dalam pandangan banyak pihak, beliau dipandang mempunyai kedekatan emosional dan politis dengan keraton Jogjakarta. Dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005, kemenangan Idham Samawi untuk kedua kalinya ditengarai karena kuatnya dukungan politik dari Sri Sultan HB X yang selain sebagai Gubernur DIY juga berposisi sebagai raja. Sehingga meskipun Idham Samawi harus berhadapan dengan salah satu keluarga kerajaan dalam persaingan menuju Bantul satu, Idham Samawi tetap berhasil mempertahankan tahta sebagai Incumbent.

Sebagai sosok pemimpin, Idham dikenal sebagai pemimpin yang mengembangkan gaya kultural. Dia tidak segan untuk pergi mengunjungi warganya yang meminta kehadirannya

25 Lebih lanjut baca R. Yando Zakaria (2004), “Merebut Negara : Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-Upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa”, KARSA-Lappera Pustaka

Utama, Desember Utama, Desember

”Dari sisi akomodasi terhadap aspirasi masyarakat banyak tebang pilih, tidak semua bisa diakomodasi kepentingannya dengan baik. Kalau mau ketemu dengan bupati kalau bukan tokoh LSM ya yang antri lama. Selain itu asal pertemuannya gegap gempita, disambut warga dengan luar biasa ya dia pasti datang.”

Pemerintahan Bantul terkenal dengan kebijakan populis sekaligus penuh nuansa popularitas. Kebijakan itu antara lain program beasiswa paska sarjana bagi guru dan program babonisasi. Program babonisasi ini meskipun dinyatakan sebagai catatan keberhasilan pemerintah Bantul, namun juga menunjukkan minimnya kontrol masyarakat atas pelaksanaan program. Program babonisasi dilaksanakan di seluruh SD di kabupaten Bantul, sejak pertama kali direalisasikan sambutan dari masyarakat sangat antusias. Partisipasi dari warga masyarakat yang begitu besar, dengan adanya 17 Kecamatan di kabupaten Bantul, 13 diantaranya setuju dengan adanya program babonisasi. Akan tetapi wujud dari program babonisasi masih bersifat semu, masyarakat tidak dilibatkan secara penuh terhadap proses implementasi program ini. Masyarakat tidak mempunyai kontrol terhadap program, salah satu contohnya masyarakat tidak bisa menghentikan atau mengundurkan pelaksanaan program

yang saat itu bersamaan dengan wabah penyakit flu burung 26 .

Kebijakan mengenai perempuan merupakan kebijakan yang selalu kontroversial. Yakni, kebijakan anggaran PKK yang mencapai 4 Milyar pada masa menjelang pemilihan kepala daerah secara langsung. Dari sisi anggaran sekilas tampak sebagai kebijakan yang berpihak pada perempuan, namun dari sisi implementasinya banyak pihak yang meragukan. Menurut

26 Dwi Setiawan, Rio (2005), “Implementasi Program Peningkatan gizi anak (Babonisasi) di Kecamatan Kasihan”, kabupaten bantul, Skripsi. Universitas Gadjah Mada. 2005. hlm. 85 26 Dwi Setiawan, Rio (2005), “Implementasi Program Peningkatan gizi anak (Babonisasi) di Kecamatan Kasihan”, kabupaten bantul, Skripsi. Universitas Gadjah Mada. 2005. hlm. 85