Perbandingan Mutasi Band 3 dan Fragilitas Eritrosit pada Thalassemia β Minor dan Non Thalassemia β Minor yang Diseleksi dari 1800 Mahasiswa USU Berdasarkan Nilai Mentzer Index

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Thalassemia
Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang
disebabkan karena kelainan gen globin. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah
Mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa (Abdoerrachman et al., 2007).
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006 sekitar 7%
penduduk dunia diduga carrier Thalassemia, dan sekitar 300.000-500.000 bayi
lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalassemia merupakan salah satu
kelainan genetik dengan proporsi 1,67% penduduk dunia sebagai penderita.
Prevalensi gen Thalassemia tertinggi di negara-negara tropis, namun dengan
tingginya angka migrasi, penyakit ini telah ditemukan di seluruh dunia.
Di Indonesia, Thalassemia merupakan penyakit terbanyak di antara
golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Sampai saat ini,
ditemukan kira-kira 200 jenis mutasi (cacat molekul) pada gen globin. Mutasi
pada gen globin α atau β mengakibatkan tidak terjadinya atau berkurangnya
sintesis rantai globin yang menyusun hemoglobin (Suryohudoyo et al., 2000).
Penyakit ini pertama kali diuraikan oleh Thomas Cooley dan Pearl Lee pada
tahun 1925, dengan ciri-ciri adanya anemia yang berat pada anak-anak yang

disertai splenomegali (pembesaran limpa), hepatomegali, kulit berwarna pucat dan
kuning serta deformabilitas tulang (perubahan bentuk tulang). Morfologi sel
eritrosit penderita Thalassemia berupa mikrositik hipokromia (Gambar 2.1).

8
Universitas Sumatera Utara

Keadaan klinis penyakit Thalassemia bervariasi, yaitu gejala anemia yang
berat sehingga membutuhkan transfusi secara teratur pada Thalassemia mayor
(bentuk homozigot) dan gejala anemia ringan atau tanpa anemia, tetapi morfologi
sel eritrositnya terlihat abnormal pada Thalassemia minor (bentuk heterozigot).
Selain itu, dikenal pula Thalassemia intermedia dan Thalassemia minima. Pada
Thalassemia intermedia gejala klinisnya tidak seberat Thalassemia mayor dan
sifat genetiknya diduga berbentuk heterozigot ganda. Sementara pada Thalassemia
minima, pasien tidak mengalami anemia dan morfologi sel eritrositnya normal
tetapi pasien menyandang gen Thalassemia.

Gambar 2.1. Morfologi eritrosit penderita Thalassemia
(Lichtman’s Atlas of Hematology)


Penderita Thalassemia ini tampak seperti orang normal, sehingga diagnosis perlu
ditegakkan melalui analisis DNA (diagnosis molekuler), diagnosis yang langsung
menunjukkan kelainan urutan DNA pada pasien (Suryohudoyo et al., 2000).
Walaupun secara teori terdapat empat jenis Thalassemia (α, β, γ dan δ)
sesuai dengan jenis rantai globin yang didapatkan pada manusia normal,
Thalassemia α dan β merupakan jenis yang secara klinis sangat penting dan paling

9
Universitas Sumatera Utara

sering ditemukan karena rantai globin α dan β adalah komponen utama
hemoglobin dewasa.
Pada Thalassemia α terjadi gangguan sintesis rantai globin α, yang
mengakibatkan produksi rantai globin α berkurang atau tidak ada. Sedangkan
gangguan sintesis rantai globin β, yang mengakibatkan produksi rantai globin β
berkurang atau tidak ada , disebut Thalassemia β (Suryohudoyo et al., 2000).
Pada Thalassemia α, rantai globin α yang sedikit disintesis, bergabung
dengan rantai globin β dan δ sehingga HbA (α2β2) dan HbA2 (α2δ2) yang terbentuk
juga sedikit. Sintesis rantai globin α yang terlalu sedikit ini mengakibatkan rantai
globin β dan γ berlebih sehingga terbentuk HbH (β4) dan Hb Bart (γ4)

(Suryohudoyo et al., 2000; Weatherall, 1997).
Pada Thalassemia β, sintesis rantai globin β berkurang, sehingga
pembentukan HbA (α2β2) juga berkurang. Namun pembentukan HbA2 (α2δ2) tidak
berkurang bahkan dapat meninggi kira-kira dua kali lipat dari biasa. Selain itu,
kadar HbF (α2γ2) juga meninggi.
Pada Thalassemia sering ditemukan adanya beberapa jenis hemoglobin
abnormal. Hemoglobin abnormal sebenarnya merupakan suatu variasi dari
hemoglobin normal dengan perbedaan satuan asam amino. Tidak semua
hemoglobin abnormal menimbulkan gejala klinis. Hemoglobin tersebut baru akan
menimbulkan

gejala

klinis

apabila

berkombinasi

dengan


Thalassemia.

Hemoglobin abnormal yang ditemukan berkombinasi dengan Thalassemia antara
lain : HbS, HbC, dan HbE. Thalassemia di Indonesia paling sering berkombinasi
dengan HbE.

10
Universitas Sumatera Utara

2.1.1. Membran sel eritrosit pada penderita Thalassemia
Telah diketahui bahwa cacat molekul (mutasi) pada gen globin α atau β
mengakibatkan tidak terjadinya atau berkurangnya sintesis rantai globin tersebut.
Hal ini mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan jumlah antara rantai globin α
dan rantai globin β. Jumlah rantai globin α dan β yang tidak seimbang pada
penderita Thalassemia mengakibatkan adanya rantai globin yang tidak
berpasangan.
Pada Thalassemia β terdapat rantai globin α yang berlebih, yang akan
mengalami disintegrasi menjadi bentuk monomer yang tidak stabil. Rantai globin
yang tidak stabil ini akan mengalami otooksidasi dan mengendap pada membran.

Pengendapan rantai globin ini tampak sebagai bahan inklusi atau badan Heinz,
dan dapat menghasilkan radikal oksigen dalam jumlah besar. Hemoglobin
merupakan salah satu sasaran untuk radikal oksigen selain komponen-komponen
membran sehingga kadar hemoglobin yang rendah pada penderita Thalassemia
mengakibatkan radikal oksigen semakin mudah mengoksidasi komponenkomponen membran (Shinar et al, 1987).
Otooksidasi pada membran sel eritrosit dapat mengakibatkan perubahan
struktur protein membran, antara lain terjadinya ikatan lintas silang antara protein
membran disertai berkurangnya gugus sulfhidril. Hasil elektroforesis protein
membran sel eritrosit Thalassemia menunjukkan adanya band (pita) protein
tambahan dengan BM sekitar 30.000 yang mungkin dihasilkan dari ikatan lintas
silang beberapa protein membran (Olivieri et al., 1994).
Ditemukan pula bahwa protein sitoskeleton saling berinteraksi, juga
berinteraksi dengan protein membran lain dan dengan dwilapis lipid. Misalnya

11
Universitas Sumatera Utara

protein spektrin berinteraksi dengan rantai globin α yang mengalami peroksidasi,
dengan protein 4.1 berinteraksi dengan protein spektrin dan aktin. Kelainan
struktural spektrin tidak mengakibatkan gangguan fungsi karena ikatan spektrin

dengan komponen lainnya tidak terpengaruh. Sedangkan interaksi protein 4.1
dengan protein lain mengakibatkan penurunan kemampuan protein 4.1 untuk
mengikat spektrin (Olivieri et al., 1994).
Telah dilaporkan ada pula ptotein lain yang mengalami perubahan, yaitu
protein Band 3. Protein Band 3 merupakan protein transmembran sel eritrosit
yang berfungsi sebagai penukar ion. Perubahan yang terjadi pada protein Band 3
akibat adanya otooksidasi membran, adalah berupa tidak bisa diamatinya protein
tersebut (tampak tipis) pada hasil elektroforesis protein dengan menggunakan
SDS PAGE 10% dan disertai dengan munculnya pita tambahan (penebalan pita)
yang berat molekulnya lebih kecil (± 80 kD). Disimpulkan protein tersebut telah
mengalami degradasi menjadi molekul yang lebih kecil (Voet, 1995; Hamasaki,
1999; Wang, 1994).
Perubahan struktur membran sel eritrosit Thalassemia akibat otooksidasi
juga terjadi pada lipid membran. Pada sel eritrosit Thalassemia terjadi peroksidasi
lipid. Sel eritrosit penderita Thalassemia lebih peka terhadap oksidasi daripada sel
eritrosit normal, ditemukan bahwa malondialdehid (MDA), suatu produk
pemecahan sekunder pada peroksidasi lipid, sangat meningkat pada pemberian
H2O2, sebagai beban oksidatif eksogen pada sel eritrosit Thalassemia
(Rachmilewitz, 1982).
Distribusi fosfolipid membran sel eritrosit Thalassemia juga mengalami

perubahan sehingga fosfatidilkolin (FK) banyak ditemukan pada lapis dalam

12
Universitas Sumatera Utara

membran dwilapis lipid, sedangkan fosfatidiletanolamin (FE) dan fosfatidilserin
(FS) terdapat pada lapis luar membran dwilapis. Perubahan asimetri fosfolipid
membran ini dapat berperan penting pada proses fagositosis sel eritrosit pada
sistem retikuloendotelial. Selain itu, persentase FE dan asam lemak tak jenuh
jamak berkurang. FE dan asam lemak tak jenuh jamak rentan terhadap peroksidasi
sehingga penurunan jumlah kedua jenis molekul tersebut menunjukkan tingginya
tingkat oksidasi (Shinar et al., 1990).
Perubahan struktur membran sel eritrosit yang terjadi akibat otooksidasi
membran menyebabkan membran sel eritrosit menjadi lebih rigid, sehingga
menurunkan kemampuan deformabilitas membran sel eritrosit. Selain rigid, sel
eritrosit Thalassemia menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan ini akan
ditanggapi sebagai suatu sinyal oleh sistem makrofag berupa isyarat untuk
merusak sel tersebut. Selain itu, penurunan deformabilitas membran sel eritrosit
juga dapat mengakibatkan pendeknya usia sel terutama pada saat melalui
pembuluh darah yang sangat kecil. Berkurangnya kemampuan deformabilitas

membran sel yang mengandung badan Heinz dapat mengakibatkan sel tersebut
tidak dapat melalui sinusoid limpa sehingga terperangkap di dalamnya dan
kemudian dihancurkan (Olivieri et al., 1994).
Rusaknya membran sel eritrosit yang disertai terjadinya hemolisis pada
penderita Thalassemia, dapat disebabkan oleh adanya antibodi anti-protein Band
3. Sisi sitoplasma protein Band 3 merupakan tempat pengikatan oksihemoglobin
dan badan Heinz. Ikatan badan Heinz dengan sisi sitoplasma protein Band 3 akan
mengakibatkan agregasi dan kopolimerisasi protein Band 3. Protein Band 3 yang
telah mengalami modifikasi ini akan dikenali oleh antibodi anti-protein Band 3.

13
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya sel eritrosit tersebut difagositosis oleh makrofag limpa atau hati.
Pembentukan antigen pada permukaan sel eritrosit ini dipicu oleh denaturasi
hemoglobin, pembentukan hemikrom dan agregasi protein (Shinar et al., 1990).

2.1.2. Hemoglobin
Diketahui bahwa Thalassemia adalah suatu kelainan genetik pada gen
globin sehingga terjadi gangguan sintesis protein globin yang menyusun

hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul yang terdiri dari heme dan protein
globin, yang saling berikatan satu sama lain. Heme merupakan gugus prostetik
yang mengandung besi (Fe), dan memiliki kemampuan untuk mengikat oksigen
secara reversible. Globin adalah suatu protein yang berada di sekitar heme dan
berikatan dengannya untuk melindungi molekul heme (Olivieri et al., 1999).
Hemoglobin adalah molekul yang mengandung 4 rantai polipeptida, 2 rantai
globin α dan 2 rantai globin β. Perbedaan keempat rantai globin tersebut terletak
pada jumlah dan susunan asam aminonya. Rantai globin α terdiri dari 141 asam
amino sedangkan rantai globin β terdiri dari 146 asam amino. Keempat rantai
globin tersebut mengikat gugus heme yang mengandung atom Fe. Gugus heme
yang terikat keempat rantai globin akan membentuk molekul hemoglobin (Higgs
et al., 2001).
Rantai globin dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : kelompok α
dan kelompok β. Kelompok α terdiri dari rantai globin α dan ζ; dan kelompok β
terdiri dari rantai globin β, γ, δ dan ε. Selama perkembangan dari masa embrio
sampai dengan dewasa dikenal dua fase perubahan produksi rantai globin
kelompok α dan tiga fase kelompok β (Higgs et al., 2001).

14
Universitas Sumatera Utara


Semua rantai polipeptida tersebut disintesis di ribosom. Jenis rantai globin
kelompok α yang diproduksi pada masa embrio adalah rantai globin ζ dan α,
sedangkan selama masa fetus sampai dewasa hanya rantai globin α yang tetap
diproduksi. Jenis rantai globin kelompok β yang diproduksi pada masa embrio
adalah rantai globin ε dan γ, masa fetus : rantai globin γ, sedangkan pada masa
dewasa rantai globin β dan δ. Kombinasi dari 2 rantai globin kelompok α dan 2
rantai globin kelompok β menghasilkan molekul hemoglobin sempurna (Higgs et
al., 2001).
Berdasarkan komposisi pasangan 2 rantai globin kelompok α dan 2 rantai
globin kelompok β terdapat enam varian hemoglobin yang secara normal dibentuk
selama perkembangan manusia :
1. Hemoglobin embrio :
- Hb Gower I

: 2 rantai globin ζ dan 2 rantai globin ε (ζ2ε2)

- Hb Gower II : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin ε (α2ε2)
- Hb Portland


: 2 rantai globin ζ dan 2 rantai globin γ (ζ2γ2)

2. Hemoglobin fetus (HbF) :
Dihasilkan pada awal minggu ke-8 kehamilan sampai sekitar 48 minggu
setelah kelahiran. HbF mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen
dengan tujuan memperoleh/ menangkap oksigen dari darah ibu dan diberikan
ke fetus.
HbF

: 2 rantai globin α dan 2 rantai globin γ (α2γ2)

3. Hemoglobin dewasa :
Setelah lahir produksi hemoglobin dewasa dengan cepat meningkat dan
produksi HbF menurun drastis.

15
Universitas Sumatera Utara

- HbA (95%)

: 2 rantai globin α dan 2 rantai globin β (α2β2)

- HbA2 (23,5%)

: 2 rantai globin α dan 2 rantai globin δ (α2δ2)

- Sisa HbF (>2%) : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin γ (α2γ2)
Konsentrasi molekul globin α agak stabil pada kehidupan fetus dan dewasa.
Globin β tampak pada awal kehidupan fetus sangat rendah konsentrasinya dan
mulai meningkat dengan cepat setelah 30 minggu umur kehamilan dan mencapai
maksimum sekitar 30 minggu setelah lahir. Molekul globin γ mencapai
konsentrasi yang tinggi awal kehidupan fetus sekitar 6 minggu dan mulai menurun
sekitar 30 minggu umur kehamilan, mencapai konsentrasi yang rendah sekitar 48
minggu umur kehamilan. Globin δ tampak dengan konsentrasi rendah pada sekitar
30 minggu umur kehamilan dan selama kehidupan tetap terjaga dalam keadaan
konsentrasi rendah (Gambar 2.2) (Olivieri, 1999; Higgs et al., 2001).

Gambar 2.2. Perkembangan hemoglobin manusia (Olivieri, 1999)
Pasangan dari satu rantai globin kelompok α dan kelompok β menghasilkan
hemoglobin dimer (2 rantai globin). Hemoglobin dimer tidak mengikat/ membawa

16
Universitas Sumatera Utara

oksigen secara efisien. Dua hemoglobin dimer bergabung membentuk hemoglobin
tetramer, merupakan hemoglobin yang fungsional (Higgs et al., 2001).
Gen-gen yang mengkode rantai globin kelompok α (globin α locus) berada
pada kromosom 16, dan yang mengkode kelompok β (globin β locus) berada pada
kromosom 11. Ekspresi dari gen-gen kelompok α dan β hampir seimbang oleh
mekanisme yang sampai saat ini belum diketahui. Keseimbangan ekspresi gen ini
dibutuhkan untuk fungsi sel eritrosit yang normal. Gangguan pada keseimbangan
ini menyebabkan suatu kelainan yang disebut Thalassemia (Olivieri, 1999; Higgs
et al., 2001).
Gen-gen globin di atas berekspresi secara spesifik sesuai dengan tingkat
perkembangan; gen-gen globin tersebut ‘dihidupkan’ dan ‘dimatikan’ untuk
menghasilkan bentuk hemoglobin yang sesuai pada tingkat perkembangan yang
berbeda (haemoglobin switching). Sehingga dengan terjadinya switching, pada
masa dewasa ditemukan HbA (Olivieri, 1999).
Gen globin ζ dari kelompok gen globin α diekspresikan hanya selama
beberapa minggu pertama dari perkembangan embrio (embriogenesis). Sesudah
itu, gen globin α mengambil alih/ menggantikan. Untuk kelompok gen globin β,
gen globin ε diekspresikan pada permulaannya selama masa embriogenesis, gen
globin γ diekspresikan selama perkembangan fetus. Sekitar waktu kelahiran,
produksi globin γ menurun dan sebaliknya sintesis globin β meningkat (Olivieri,
1999).

17
Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Thalassemia β
Thalassemia β diturunkan secara autosom resesif dan timbul karena adanya
cacat molekul (mutasi) pada gen globin β yang terletak pada kromosom 11. Gen
globin β terdiri dari tiga ekson yang dipisahkan oleh dua intron (Olivieri, 1999;
Gibbons et al., 2001) .
Gen Thalassemia β umum disebut βT. Karena tiap kromosom hanya
mengandung satu gen β, maka haplotipe yang mungkin adalah β/ dan βT/ dengan
genotip : β/β normal, β/βT thalassemia β heterozigot, βT/βT thalassemia β
homozigot. Oleh karena itu Thalassemia β dikategorikan ke dalam tiga golongan :
Thalassemia β minor (carrier), Thalassemia β intermedia, dan Thalassemia β
mayor (Higgs et al., 2001).
Penderita Thalassemia minor adalah individu yang secara klinis tidak sakit
(tampak seperti orang normal) disertai anemia ringan dengan kelainan gen
heterozigot dan disebut dengan trait atau carrier. Telah diyakini adanya seleksi
positif terhadap infeksi Plasmodium, karena individu dengan Thalassemia trait
memperoleh keuntungan protektif terhadap malaria. Hal ini ditunjukkan dengan
distribusi penderita Thalassemia yang sama dengan daerah yang umum terdapat
nyamuk malaria, tetapi penderita tidak terkena penyakit malaria (Olivieri, 1999).
Thalassemia intermedia menggambarkan kondisi anemia yang lebih berat
daripada Thalassemia minor tetapi tidak separah mayor. Penderita Thalassemia
intermedia diduga memiliki kelainan gen heterozigot ganda yang menyebabkan
penurunan produksi rantai β, tetapi tidak sampai tingkat yang membutuhkan terapi
transfusi terus menerus (Higgs et al., 2001).

18
Universitas Sumatera Utara

Thalassemia mayor merupakan bentuk klinis yang berat dimana penderita
mengalami anemia berat sejak awal masa kanak-kanak dan sangat tergantung
pada transfusi darah. Kelainan gen pada jenis ini biasanya homozigot atau
heterozigot ganda (Higgs et al., 2001).
Individu dengan 2 alel thalassemia β baik homozigot atau heterozigot ganda,
pada umumnya secara klinis sesuai dengan Thalassemia β mayor yang ditandai
dengan anemia berat dan ketergantungan pada transfusi darah. Jika rantai globin β
sama sekali tidak diproduksi sehingga HbA tidak ada, kondisinya disebut
Thalassemia β0, tetapi bila produksi rantai globin β masih ada (menurun) dan HbA
masih dapat terdeteksi, disebut Thalassemia β+. Sedangkan individu yang hanya
membawa 1 alel Thalassemia β (carrier atau trait) umumnya secara klinis tidak
dapat dibedakan dari individu normal. Individu tersebut umumnya mempunyai
eritrosit yang hipokrom mikrositik dan kadang-kadang mengalami anemia ringan
(Olivieri, 1999; Higgs et al., 2001).

2.1.4. Terapi
Terapi berupa transfusi darah pada penderita Thalassemia sampai sekarang
masih merupakan metode yang paling efektif untuk mengeliminasi komplikasi
anemia agar dapat memperpanjang usia harapan hidup. Namun disamping itu,
pemberian transfusi darah yang terus menerus menyebabkan timbulnya
penderitaan lain yang disebabkan oleh penumpukan zat besi di jaringan. Telah
dilaporkan bahwa kadar besi dalam serum menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara penderita Thalassemia β dengan normal. Menurut penelitian ini,

19
Universitas Sumatera Utara

sebagian besar besi dalam serum penderita Thalassemia berasal dari pemberian
darah transfusi (Abdoerrachman et al., 2007).

2.2. Mentzer Index
Mentzer Index ditemukan pertama kali pada tahun 1973 oleh Mentzer.
Mentzer Index dinyatakan dapat digunakan untuk membedakan Anemia
Defisiensi Besi dengan Thalassemia. Apabila hasil pemeriksaan darah tepi
memperlihatkan adanya anemia mikrositik, Mentzer Index dapat digunakan untuk
membedakan antara kedua kelainan di atas. Pada pelaksanaannya, meskipun
Mentzer Index bukanlah indikator utama, namun sering digunakan untuk skrining
penderita Thalassemia. Mentzer Index diperoleh dari hasil pemeriksaan darah
lengkap, yaitu, nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) dibagi dengan nilai Red
Blood Cell Count (RBC). Nilai Mentzer Index di bawah 13 dinyatakan sebagai
tersangka penderita Thalassemia dan nilai Mentzer Index di atas 13 dinyatakan
sebagai tersangka penderita Anemia Defisiensi Besi.
Patofisiologi dari Mentzer Index tersebut adalah sebagai berikut : pada
Anemia Defisiensi Besi, sumsum tulang tidak dapat memproduksi banyak sel
eritrosit dan eritrosit yang terbentukpun ukurannya kecil (mikrositik), dengan
demikian nilai RBC dan MCV keduanya akan rendah, sehingga nilai Mentzer
Index akan lebih dari 13. Sebaliknya, pada Thalassemia, yang gangguan utamanya
pada sintesis globin, sumsum tulang tetap membentuk sel eritrosit dalam jumlah
normal, tetapi nilai MCV nya rendah, bahkan sering sekali ditemukan pada
Thalassemia, nilai RBC nya sangat tinggi dengan nilai MCV yang sangat rendah,
sehingga Mentzer Indexnya akan lebih rendah dari 13.

20
Universitas Sumatera Utara

2.3. Protein Membran Sel Eritrosit
Membran biologis tersusun dari suatu dwilapis lipid, protein dan sejumlah
kecil karbohidrat (Gambar 2.3). Pada umumnya membran sel berfungsi untuk :
mengangkut molekul masuk dan keluar sel, transduksi sinyal, mempertahankan
bentuk sel, dan interaksi sel dengan sel.

Gambar 2.3. Skema membran eritrosit (Young et al., 2006)

Secara umum, protein membran dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu
protein ekstrinsik dan protein intrinsik.

2.3.1. Protein ekstrinsik
Protein ekstrinsik atau perifer merupakan protein penyangga membran atau
sitoskeleton, terletak di sisi sitosol membran sel eritrosit. Protein ekstrinsik dapat
dipisahkan dari membran, misalnya dengan menggunakan larutan garam
berkekuatan ionik tinggi, dengan bahan kelator logam atau dengan perubahan pH.

21
Universitas Sumatera Utara

Protein ekstrinsik berkaitan dengan membran melalui ikatan hidrogen dan ikatan
ionik (Voet, 1995).
Protein ekstrinsik terdiri atas spektrin, ankirin, aktin, protein band 4.1 dan
protein kecil lainnya. Protein-protein ini memainkan peran penting untuk
mempertahankan bentuk bikonkaf sel eritrosit serta fleksibilitas membran (Voet,
1995).
Protein membran sel eritrosit diberi nomor sesuai dengan nomor urutan pitapita polipeptida, hasil pemisahan protein membran dengan elektroforesis gel
poliakrilamid-SDS. Protein band 1 dan band 2 merupakan suatu protein ekstrinsik
membran sel eritrosit yang terletak pada sitosol, yang disebut spektrin. Spektrin
merupakan protein mayor dari komponen membran skeleton sel eritrosit. Spektrin
terdiri atas dua heterodimer yaitu spektrin α (band 1), dengan berat molekul
240.000, dan spektrin β (band 2), dengan berat molekul 220.000. Spektrin α
memiliki tempat pengikatan untuk spektrin β, sedangkan spektrin β memiliki
tempat pengikatan untuk ankirin. Spektrin berjumlah kira-kira 25-30% dari
seluruh protein membran (Voet, 1995).
Ankirin (band 2.1) merupakan protein ekstrinsik dengan BM 215.000 yang
menghubungkan ikatan spektrin β dengan Band 3. Pada elektroforesis, ankirin
tampak sebagai band 2.1, 2.2, 2.3 (Voet, 1995).
Protein 4.1 merupakan suatu protein ekstrinsik dengan BM 80.000. Protein
ini berjumlah sekitar 6% dari seluruh protein membran.
Protein 4.2 merupakan protein ekstrinsik membran yang berada pada sitosol
dekat dengan sisi sitosol protein Band 3. Protein ini belum banyak dipelajari,
namun mungkin berinteraksi dengan protein Band 3 (Voet, 1995).

22
Universitas Sumatera Utara

Protein 4.9 merupakan protein ekstrinsik, dengan BM 48.000. Protein ini
merupakan suatu fosfoprotein dan mungkin berfungsi sebagai protein pengikat
aktin (Voet, 1995).
Aktin tampak sebagai band 5 dan merupakan protein sitoskeleton yang
sebagai suatu monomer memiliki BM 42.000. Aktin membentuk suatu
protofilamen aktin F yang terdiri atas 10-13 monomer (Voet, 1995).

2.3.2. Protein intrinsik
Protein intrinsik atau protein integral merupakan protein yang letaknya
tertanam di dalam lapisan lipid membran. Umumnya protein intrinsik memiliki 3
domain yang spesifik, yaitu domain ekstraseluler, domain intramembran dan
domain sitoplasma.
Domain ekstraseluler umumnya merupakan domain tempat terikatnya
reseptor dan terglikosilasi. Domain intramembran bersifat sangat hidrofobik
sehingga dapat terikat erat pada membran dan hanya dapat dipisahkan dari
membran dengan menggunakan suatu bahan yang dapat merusak membran seperti
larutan organik dan detergen. Domain sitoplasma bersifat hidrofilik yang dapat
berhubungan dengan protein-protein perifer. Dengan demikian protein intrinsik
merupakan protein amfipatik.
Protein intrinsik yang utama pada membran sel eritrosit adalah glikoforin
dan protein penukar ion (protein Band 3). Glikoforin merupakan protein
transmembran sel eritrosit, terdapat pada stroma sel eritrosit dan terdiri atas 60%
karbohidrat dan 40% protein. Bagian kepala glikoforin bersifat hidrofil, kaya akan
karbohidrat, mengandung antigen golongan darah dan berfungsi sebagai reseptor

23
Universitas Sumatera Utara

terhadap beberapa virus dan racun. Bagian ujung karboksil membentang ke dalam
sitosol dan terikat pada protein 4.1 dan spektrin (Voet, 1995).

2.4. Protein Band 3
Protein Band 3 merupakan protein intrinsik atau protein integral utama
membran sel eritrosit. Protein ini mempunyai berat ± 95.000 D dan merupakan
suatu glikoprotein (mengikat karbohidrat ± 7%). Persentase Band 3 dari berat total
protein yang ada di membran adalah 25 – 30 %. Protein ini dinamakan Band 3,
karena dengan menggunakan elektroforesis SDS gel poliakrilamid terhadap
membran sel eritrosit manusia, protein ini tampak sebagai pita yang ketiga (Voet,
1995).
Dengan menggunakan teknik imunokimia atau teknik biologi molekuler,
dapat ditemukan adanya protein Band 3 di dalam sel epitel ginjal, paru-paru dan
usus, juga di hati, otak dan jantung, serta di sel-sel precursor eritrosit dan di sel B
dan T. Protein Band 3 eritrosit dan non eritrosit ini merupakan produk dari 3 gen
yang berbeda, yaitu gen AE1 (anion exchanger1), AE2, dan AE3, masing-masing
gen mentranskripsi bentuk-bentuk mRNA yang berbeda pula dan berlokasi pada
kromosom yang terpisah (kromosom 17, 7 dan 2). Domain hidrofobik dari produk
ketiga gen AE ini mempunyai kemampuan menjalankan pertukaran anion melalui
membran plasma (Voet, 1995).
Ketiga gen tersebut mengekspresikan tiga protein yang berbeda : gen AE1
mengekspresikan protein AE1 yang ditemukan di sel eritrosit dan ginjal; gen AE2
mengekspresikan protein AE2 yang ditemukan di berbagai jaringan; gen AE3

24
Universitas Sumatera Utara

mengekspresikan protein AE3 yang ditemukan di otak, retina dan hati (Voet,
1995).
Protein Band 3 membran sel eritrosit merupakan produk dari gen AE1, yang
berlokasi pada kromosom 17q21 dengan panjang 17 ribu pasang basa (pb) yang
terdiri dari 20 ekson dan 19 intron. Belum ada laporan tentang transkripsi gen
AE1 manusia dalam sel eritrosit, tetapi telah diketahui pada bagian promotor
transkripsi ini tidak ada kotak TATA atau kotak CCAAT dan mengandung
sekuens-sekuens konsensus untuk tempat pengikatan beberapa faktor transkripsi
(Hamasaki, 1999; Wang, 1994).
Protein Band 3 membran sel eritrosit mengandung ± 911 asam amino dan
menembus membran lipid dua lapis pada 14 tempat serta memiliki beberapa
bagian yang menonjol ke luar sel membentuk struktur simpai (loop) (Gambar 2.4).
Protein Band 3 terbagi dalam dua domain dengan fungsi yang berbeda, yaitu
domain N-terminal (sekitar 40 kD) dan domain C-terminal (sekitar 55kD).
Domain N-terminal protein Band 3 disebut juga domain sitoplasma,
merupakan domain yang polar/ terlarut dalam air, terletak intraseluler (mengarah
ke dalam sitoplasma). Domain ini dapat dipisahkan dari membran sel dengan
proteolisis. Domain N-terminal mengikat komponen-komponen sitoskeleton
membran sel eritrosit (termasuk protein 4.1, 4.2 dan ankirin) sehingga terlibat
dalam fungsi rangka membran, enzim-enzim glikolitik (aldolase dan gliseraldehid
3-phosfat dehidrogenase) dan hemoglobin.

25
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4.
2. Model protein Band 3 eritrosit (Human AE1)

Sel eritrosit tidak mengalami kerusakan ketika melalui kapiler yang lebih
kecil dari diameternya karena sel eritrosit memiliki kemampuan untuk melentur
yang disebut deformabilitas. Bentuk normal dan kemampuan deformabilitas sel
eritrosit ini dipertahankan oleh struktur protein rangka membran seperti aktin,
spektrin, protein 4.1, protein 4.2 dan ankirin. Protein Band 3 terlibat dalam
menunjang fungsi protein rangka membran ini dengan adanya ikatan antara
protein Band 3 dengan ankirin. Protein 4.1 yang menstabilkan hubungan sspektrinaktin, mengikat protein Band 3 dengan afinitas yang rendah (agak longgar).
Protein 4.2 dan ankirin
nkirin juga mengikat domain sitoplasma dari protein Band 3 ini
pada tempat yang terpisah (Milka et al., 1999).

26
Universitas Sumatera Utara

Domain C-terminal protein Band 3 disebut juga domain membran,
merupakan domain yang tertanam atau berada di dalam lipid bilayer membran,
bersifat hidrofobik, dan mempunyai fungsi memperantarai/ sebagai media
pertukaran anion inorganik melalui membran, terutama bikarbonat dan klorida
(Hamasaki, 1999; Wang, 1994).
Diketahui protein Band 3 merupakan protein integral membran sel eritrosit
yang berfungsi sebagai protein penukar anion, yaitu pada transport ion HCO3- dan
Cl- melalui membran sel eritrosit sesuai dengan gradient konsentrasi. Sel eritrosit
melakukan fungsi transport CO2 melalui peran protein Band 3 sebagai penukar
anion tersebut (Hamasaki, 1999; Wang, 1994).
Dalam darah, CO2 mengalami hidrasi menjadi asam karbonat (H2CO3)
dengan bantuan enzim anhidrase karbonat. Pada pH netral, H2CO3 mudah
berdisosiasi menjadi HCO3- dan H+. Dengan demikian, CO2 diangkut dalam darah
dalam bentuk HCO3- (Voet, 1995; Hamasaki, 1999; Wang, 1994).
Di jaringan, CO2 masuk ke dalam sel eritrosit dan membentuk H2CO3.
Sebagian H2CO3 keluar sel eritrosit dan masuk ke plasma, sedangkan sebagian
lagi membentuk HCO3-. Ion HCO3- yang terbentuk masuk ke dalam plasma
sementara ion Cl- masuk ke dalam sel eritrosit. Pertukaran antara HCO3-, yang
keluar dari sel eritrosit, dengan Cl-, yang masuk ke dalam sel eritrosit terjadi
melalui protein Band 3. Pada paru-paru, pertukaran anion melalui protein Band 3
tersebut terjadi dengan arah yang berkebalikan dengan pertukaran anion dalam
jaringan (Murray, 1997).
Pertukaran anion yang diperantarai oleh protein Band 3 juga berperan pada
regulasi asam-basa seperti yang terjadi pada sekresi asam dan reabsorbsi

27
Universitas Sumatera Utara

bikarbonat pada tubulus colectivus ginjal. Protein Band 3 juga dapat berfungsi
sebagai penanda sel eritrosit yang sudah tua. Agregat protein Band 3 yang
terbentuk pada sel eritrosit yang sudah tua akan dikenal oleh sistem imunitas
untuk segera menghancurkan sel tersebut (Murray, 1997).

2.5. Ovalositosis
Southeast

Asian

Ovalocytosis

(SAO)

atau

ovalositosis

merupakan

polimorfisme genetik Band 3 yang ditandai oleh sel eritrosit berbentuk oval.
Ovalositosis menurun secara autosomal dominan. Terdapat dua cacat molekul
DNA yang ditemukan pada ovalositosis yaitu delesi 27 pasang basa (pb) pada
ekson 11 gen AE1 yang menyebabkan hilangnya 9 asam amino pada protein Band
3 (band 3) dan substitusi pada basa nomor 56 dari adenin menjadi guanin.
Menurut penelitian Jarolim et al., 1991, produk PCR menggunakan sepasang
primer oligonekleotida P1 (5’-GGGCCCAGATGACCCTCTGC-3’; basa 1098 –
1117) dan P2 (5’-GCCGAAGGTGATGGCGGGTG-3’; basa 1272 – 1253)
diperoleh DNA berukuran 175 pb dan 148 pb (Gambar 2.5). Adanya produk PCR
berukuran 148 pb memperlihatkan adanya delesi 27 pasang basa (9 asam amino)
pada ovalositosis. Hilangnya 9 asam amino protein Band 3 pada ovalositosis
tersebut tidak menyebabkan gangguan pertukaran anion tetapi menyebabkan
gangguan keseimbangan struktur dan gerak protein sitoskeleton sel eritrosit
karena mobilitas protein Band 3 menurun dan kekuatan ikatan antara protein Band
3 dengan protein sitoskeleton meningkat, sehingga membran menjadi kaku
(Mohandas et al., 1992).

28
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. PCR gen protein Band 3 pada pasien ovalocytosis

Ciri morfologi ovalositosis selain bentuk oval adalah daerah pucat tak
beraturan (irregular pale region) dan adanya stomatosis.
Perubahan pada membran dan bentuk sel eritrosit ini diduga merupakan
salah satu mekanisme perlindungan terhadap malaria. Mekanisme resistensi SAO
terhadap malaria serta berbagai faktor yang berhubungan dengan resistensi
tersebut masih

diperdebatkan. Penelitian

mengenai frekuensi

terjadinya

ovalositosis sering dilakukan pada daerah endemis malaria. Pada penelitian yang
dilakukan pada tahun 1999 oleh Tumpal Yansen Sihombing di Desa Tanjung
Tirta, Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, dengan
metode PCR, diperoleh bahwa dari 280 orang penduduk terdapat 24 orang yang
merupakan individu dengan ovalositosis (8,6%) dan individu dengan ovalositosis
tersebut menunjukkan insiden malaria yang lebih rendah dibandingkan dengan
individu yang non ovalositosis.
Ovalositosis dapat dideteksi dengan cara pemeriksaan mikroskopik dan cara
molekuler. Menurut penelitian Yuwono (2002), pemeriksaan molekuler dengan

29
Universitas Sumatera Utara

metode PCR dalam mendeteksi ovalositosis tampak lebih handal dibandingkan
pemeriksaan mikroskopis. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan molekuler
dengan metode PCR terhadap sampel ovalositosis dapat mencapai 100%,
sementara sensitifitas dan spesifisitas berdasarkan gambaran morfologi sel
eritrosit berbentuk oval, berdasarkan morfologi irregular pale region dan
berdasarkan morfologi stomatosis untuk sampel ovalositosis tidak mencapai
100%.

Diagnosis

ovalositosis

berdasarkan

gambaran

morfologi

sangat

dipengaruhi oleh kriteria yang digunakan. Hingga saat ini belum ada kesepakatan
bahwa yang disebut ovalositosis adalah jika pada gambaran morfologis ditemukan
eritrosit oval antara 1-25%, 50-90%, atau di atas 90%. Sementara ini yang
terbanyak dianut adalah kriteria 50% atau lebih.
Identifikasi ovalositosis secara mikroskopis yang pernah dilakukan pada
beberapa populasi di Indonesia, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Frekuensi ovalositosis pada penduduk Indonesia
Populasi

Jumlah sampel

Jawa
Sasak
Bima
Flores
Savu
Rote
Timor
Alor
Makasar
Bugis
Ternate
Makia
Galelar
Total

393
185
196
75
36
59
131
26
195
202
197
29
144
1868

Jumlah
Ovalositosis
1
6
8
6
4
14
12
2
11
8
9
3
3

Frekuensi
Ovalositosis
0,2
3,2
4,1
8,0
11,1
23,7
9,2
7,7
5,6
4,0
4,6
10,3
14,6

30
Universitas Sumatera Utara

2.6. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah suatu teknik untuk memperbanyak/ menggandakan DNA hasil
isolasi secara in vitro. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA in vivo.
Teknik ini melibatkan beberapa tahapan berulang dan pada setiap tahap terjadi
duplikasi fragmen DNA secara eksponensial dengan waktu yang relatif singkat
dalam suatu thermocycler.
PCR pertama kali dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, dan
karena penemuan tersebut ia mendapat nobel pada tahun 1993.
Komponen utama pada PCR adalah :

1. DNA template
DNA template yang digunakan dapat berupa genomic DNA, genomic
libraries. Untuk optimasi PCR biasanya digunakan DNA template dalam jumlah
subanogram.

2. PCR Buffer
Merupakan komponen yang sangat bervariasi dalam PCR. Beberapa
komponen dasar dari PCR buffer ini adalah Tris-HCl, dan KCl dalam pH basa.
Saat ini PCR buffer telah banyak diproduksi secara komersial oleh beberapa
produsen bahan biologi molekuler.

3. dNTPs (Deoxy-oligonucleoside Tri Phospates)
Merupakan campuran dari 4 macam nucleoside (dATP, dCTP, dGTP,
dTTP) yang merupakan bahan dasar reaksi polimerisasi. Konsentrasi zat ini sangat
penting diperhatikan dalam reaksi (konsentrasi optimum 10-15 μM) agar

31
Universitas Sumatera Utara

inkorporasinya tetap terjamin. Untuk memperoleh konsentrasi dNTP yang optimal
tergantung pada : konsentrasi MgCl2, konsentrasi primer, panjang produk
amplifikasi dan jumlah PCR cycle.

4. MgCl2
Konsentrasi ion Mg di dalam reaksi sangat tergantung pada konsentrasi
dNTP. Konsentrasi ion Mg yang terlalu kecil akan mengakibatkan gagalnya reaksi
polimerisasi, tetapi bila berlebihan dapat mengakibatkan berbagai hasil yang nonspesifik. Konsentrasi MgCl2 yang optimum adalah 0,5 – 5,0 mM.

5. Primer
Primer yang digunakan dalam PCR merupakan suatu oligonukleotida yang
disintesis dan dipurifikasi secara khusus. Primer yang ideal mempunyai panjang
15-30 urutan basa dari bagian tertentu dari kedua rantai DNA yang diamplifikasi.
Dalam PCR digunakan 2 macam primer, yaitu :
 Forward primer, disusun berdasarkan urutan basa dari urutan DNA rantai
pertama
 Reverse primer, disusun berdasarkan urutan basa rantai kedua
Konsentrasi primer yang umum digunakan antara 0,1 – 1 μM. Konsentrasi
dari kedua primer yang digunakan harus dalam jumlah yang seimbang dan jauh
lebih besar dari konsentrasi DNA yang diamplifikasi.

6. Enzim DNA Polymerase
Ketika awal percobaan PCR, digunakan Klenow enzyme dari E.coli, namun
hasil PCR yang diperoleh tidak spesifik. Dengan diisolasinya DNA Polymerase

32
Universitas Sumatera Utara

yang tahan panas dari Thermus aquaticus (Taq), maka memungkinkan proses
annealing dan extension dilakukan pada berbagai kondisi suhu sehingga hasil
amplifikasi non-spesifik dapat dikurangi. Kelebihan lain enzim ini dari Klenow
fragment adalah tahan terhadap panas sehingga memungkinkannya tetap aktif
dalam berbagai fluktuasi suhu.

Pada teknik PCR berlangsung 3 proses reaksi yang berulang pada suhu yang
berbeda, yaitu :
a. Denaturasi : berlangsung pada suhu di atas 92

o

C dan ditandai oleh

memisahnya rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal
b. Annealing

: umumnya berlangsung pada suhu antara 37-65 oC, dan ditandai
dengan menyatunya kembali kedua rantai tunggal DNA
tersebut. Karena terdapat primer dalam jumlah yang jauh lebih
besar dari DNA yang akan diamplifikasi, maka primer tersebut
akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melekat
pada DNA rantai tunggal pasangannya dibanding dengan
pasangan rantai tunggal DNA semula.

c. Extension

: berlangsung pada suhu antara 68 – 75 oC dan ditandai oleh
sintesis DNA melalui perpanjangan dari primer tersebut
mengikuti urutan nukleotida DNA rantai tunggal pasangannya.

Produk PCR umumnya berukuran