BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Substansi Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia - AYU DOYO PRATIWI BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Substansi Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia John Locke menganggap bahwa negara merupakan perwujudan
kebersamaan, namun demikian negara selalu memberikan pembatasan terhadap kebebasan individu. Peranan negara harus memberikan perlindungan dan menjaga tata tertib masyarakat. Di sini negara berfungsi mencegah tindakan kesewenang-wenangan dari individu yang mengancam keselamatan individu lainya. Hal ini menyangkut tujuan bernegara yang berkaitan dengan masalah demokrasi dalam bernegara.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kebebasan individu tidak mungkin dapat sebebas mungkin, di mana setiap individu ingin bergabung dalam suatu masyarakat dengan individu lainnya yang telah siap bersatu atau mempunyai keinginan untuk bersatu, saling membantu dalam masalah hidup, kebebasan, dan hak milik. Untuk menghindari dan mencegah terjadinnya tindak kesewenang-wenangan itu maka diperlukan tiga sarana yakni:
1. Undang-undang yang pasti, tetap atau tidak berubah dan disetujui oleh masyarakat umum.
2. Adanya badan pengadikan yang lepas bebas dari kuasa negara dan diketahui masyarakat umum.
3. Adanya keadilan yang terlaksana di dalam masyarakat (Basuki Ismael, 1993: 67).
Paham demokrasi dalam bernegara oleh Locke adalah suatu demokrasi yang mengarah pada persetujuan undang-undang. Undang- undang harus dibuat dan disetujui secara bersama-sama. Persetujuan harus dengan suara bulat, jika hal ini tidak mungkin maka undang-undang harus tetap dibuat menurut ketentuan mayoritas dan diperlukan ketaatan pada ketentuan mayoritas. Dalam kekuasaan absolut biasanya kebijaksanaan negara atau sistem pemerintahan ditentukan oleh satu atau beberapa orang saja. Dalam sistem pemerintahan yang absolut, pemegang kuasa memerintah secara muntlak dan tidak dibatasi oleh badan konstitusional.
Konstitusi sebagai pembatas kekuasaan menimbulkan makna bahwa sebagian hak individu di dalam masyarakat melalui persetujuan bersama untuk bernegara maka tujuan yang hendak di capai adalah untuk mendapatkan perlindungan yang dikehendaki adanya suatu negara. Menurut Locke, perjanjian dan kehendak rakyat tersebut tertuang dalam konstitusi atau perundang-undangan dasar. Konstitusi ini mempunyai fungsi untuk melaksanakan tugas negara, serta menjamin dan menciptakan suasana yang aman dan sejahtera. Aturan yang termuat dalam konstitusi adalah penguasa diberi wewenang untuk mengatur negara dan berhak menentukan aturan tingkah laku dan tidak membiyarkan adanya suatu pelanggaran.
John Locke menyatakan bahwa negara berdasarkan konstitusi harus mersandarkan pada kekuasaan legislatif. Disamping itu, ada kekuasaan ekssekutif yang berfungsi melaksanakan undang-undang. Badan legislatif dan eksekutif mengurusi warga negara dan menjamin hak warganya agar merasa aman. Tugas untuk mengurusi hubungan dengan luar negri ada pada kekuasaan federatif.
Kekuasaan legislatif ada batasnya dan didasarkan pada hukum kodrat. Pertama, kekuasaan legislatif dalam menjalankan wewenangnya harus berdasrkan pada undang-undang yang pasti dan di umumkan kepada rakyat untuk dimengerti (promulgated established laws). Kedua, pengambilan hak milik rakyat oleh kekuasaan legislatif harus terjadi dengan persetujuan rakyat.
Ketiga, kekuasaan legislatif tidak boleh melemparkan tugas atau tanggungjawabnya kepada kekuasaan lain.
Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan undang-undang berdasarkan kuasa atau mandat dari kuasa legislatif.
Kekuasaan eksekutif meskipun terpisah dari kekuasaan legislatif, namum keduanya masih mempunyai hubungan erat. Pemisahan kekuasaan ini hanya menagndung makna dalam rangka mengadakan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan atau mandat dari kekuasaan legislatif kepasa eksekutif.
Kekuasaan federatif hanya mengurusi berbagai masalah yang berkaitan dengan luar negri. Kekuasaan ini mempunyai kuasa atas perang pengadilan, serta terhadap perundingan dengan orang atau negara lain (Basuki Ismael, 1993: 69).
B. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penyelenggara negara yang bersih tersebut. Asas umum penyelenggaraan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, meliputi:
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakam penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan , dan rahasia negara.
4. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
5. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlianyang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Asas-asas penyelenggara pemerintah menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014, selain menerapkan asas sebagaimana disebut diatas, juga menambahkan tiga asas lagi, yakni asas kepentingan umum, asas efektif, dan asas efisien. Demikian juga, menggunakan asas desentralisasi, asas pembantuan, dan asas dekonsentrasi (Siswanto Sunarno, 2005: 33).
C. Pembagian Urusan Pemerintahan
Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakikatnya dibagi dalam tiga kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat (pemerintah), urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi, urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, meliputi:
1. Politik luar negri,
2. Pertahanan,
3. Keamanan,
4. Yustisi,
5. Moneter dan fiskal nasional, 6. Agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah didaerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa. Disamping itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah diluar urusan pemerintahan seperti diatas, pemerintahan dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada hubernur selaku wakil pemerintah, atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi dalam kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memerhatikan keserasian hubungan antar- susunan pemerintahan, sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, anta pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib, artinya penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.
Adapun untuk urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, bak untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi burusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meninghathan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi dan dalam skala kabupaten/kota, meliputi;
1. Peerencanaan dan pengadilan pembangunan,
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang,
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum,
5. Penanganan bidang kesehatan,
6. Penyelenggaraan pendidikan,
7. Penanggulangan masalah sosial,
8. Pelayanan bidan ketenagajerjaan,
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah,
10. Pengadilan lingkungan hidup,
11. Pelayanan pertanahan,
12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil,
13. Pelayanan administrasi umum pemerintah,
14. Pelayanan administrasi penanaman modal,
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainya,
16. Urusan wajib lainya yang diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan.
Hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam bidang keuangan, meliputi pemberian sumber-sumber keuangan, pengalokasian dana perimbangan pinjaman dan/atau hibah. Adapun hubungan antar pemerintahan daerah dalam bidang keuangan, meliputi bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama, serta pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah, dan pinjaman dan/atau hibah antar pemerintah daerah.
Hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam bidang pelayanan umum, meliputi kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi daya, pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, serta penyerasian lingkungan, tata ruang dan rehabilitasi lahan.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya antar pemerintah daerah, meliputi pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah, kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, serta pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Daerah yang memiliki laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara (Siswanto Sunarno, 2005: 36).
D. Pemerintah Daerah
Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945, telah melahirkan berbagai produk undang- undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan terakhir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Secara substansial undang-undang tersebut mengatur tentang bentuk susunan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara normatif undang- undang tersebut telah mampu mengikuti perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai zamannya. Secara empiris undang-undang tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yakni Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan undang-undang sebelumnya memberikan implitasi terhadap kedudukan dan peran formal kekuasaan eksekutif lebih dominan dari kekuasaan legislatif daerah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan undang-undang sebelumnya, kedudukan kepala daerah sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif, memiliki kewenangan yang lebih besar daripada kekuasaan DPRD sebagai pelaksana kekuasaan legislatif. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kepala daerah tidak dapat diberhentikan langsung oleh DPRD. Kepala daerah tidak tanggung jawab sepenuhnya kepada DPRD, dan dalam pelaksanaan tugasnya hanya memberikan keterangan pertanggung jawaban (Sarundayang, 1997: 46).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, lahir dalam kancah rentaknya reformasi di Indonesia. Kelahiran Undang- Undang tersebut untuk menjawab kebutuhan tuntutan reformasi yang memberikan implikasi dan simplikasi terhadap kedudukan DPRD berbalik menjadi lebih kuat dibanding dengan kekuasaan eksekutif, dengan beberapa kewenangan yang dimiliki, antara lain kewenangan memilih kepala daerah dan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah, serta beberapa hak lainnya misalnya hak meminta keterangan, hak penyelidikan, hak menyatakan pendapat, dan hak menentukan anggaran DPRD. Dengan keadaan tersebut dapatlah dikatakan bahwa telah terjadi perubahan radikal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paling substansial adalah dalam penggunaan kewenangan yang dimiliki para penyelenggara kekuasaan oleh pemerintah termasuk pemerintah daerah, lebih khusus lagi hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif daerah sebagai unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, dalam kondisi hubungan yang tidak memiliki pola hubungan kewenangan yang menganut kesetaraan atau kemitraan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang.
1. Tugas Dan Kewajiban Pemerintah Daerah
Penyelenggara pemerintah daerah presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden, dan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut kepala daerah, untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, yang masing-masing untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk kota disebut wakil walikota.
Tugas dan wewenang kepala daerah adalah:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, b. Mengajukan rancangan Pemda,
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD,
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBN kepada DPRD untuk dibahas dan di tetapkan bersama,
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah,
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas wakil kepala daerah: 1) Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah,
2) Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup,
3) Membantu dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi, 4) Memantau dan mengevaluasi penyelenggara pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota,
5) Memberika saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah, 6) Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah, 7) Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Wakil kota daerah dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab kepada kepala daerah, dan dapat menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala daerah mempunyai kewajiban sebagai berikut: a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI, b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat,
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat,
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi,
e. Menaati dan menegaskan seluruh peraturan perundang-undangan,
f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah,
h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik, i. Melaksanakan dan memertanggung jawabkan keuangan daerah, j. Menjalani hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah, k. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat paripura DPRD.
Gubernur karena jabatannya juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi, dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah, gubernur mempunyai tugas dan wewenang yakni: a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, kabupaten/kota, b. Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota, c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan diprovinsi dan kabupaten/kota.
2. Hak Dan Kewajiban Daerah
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, mempunyai hak sebagai berikut: a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya,
b. Memilih pimpinan daerah,
c. Mengelola aparatur daerah,
d. Mengelola kekayaan daerah,
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah,
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah, g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah,
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang- undangan, Adapun kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, adalah:
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, b. Meningkatka kualitas kehidupan masyarakat,
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi,
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan,
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan,
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak,
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial, i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, j. Menegmbangkan sumber daya produktif di daerah, k. Melestariakn lingkungan hidup, l. Mengelola administrasi kependudukan, m. Melestarikan nilai sosial budaya, n. Membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya, o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut, diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan (Siswanto Sunarno, 2005: 54).
3. Mekanisme Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Implementasi kebijakan terhadap suatu produk perundang-undangan tertentu, seakan-akan merupakan sesuatu yang dianggap sangat sederhana.
Padahal, pada tingkat implementasi inilah suatu produk hukum dapat diaktualisasikan untuk tercapainya tujuan yang ingin dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Suatu kebijakan adalah tindakan yang diambil dengan penuh kearifan, serta diperlukan sikap konsisten dan komotmen terhadap tujuan awal.
Implementasi suatu kebijakan sesungguhnya tidak hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin melalui saluran-saluaran birokrasi belaka, melainkan lebih dari itu dalam mengimplementasikan kebijakan yang menyangkut kompleksitas, keputusan siapa, mendapat apa dari suatu kebijakan. Pemenuhan sumber daya dimaksud dapat berupa sarana, prosedur, dan lainnya yang mendukung implementasi secara efektif. Bahkan menurut Grindle (1980), bahwa untuk keseluruhan proses penerapan kebijakan baru dapat dimulai apabila tujuan dan sasaran yang bersifat umum telah diperinci. Program aksi telah dirancang dan sejumlah sumber daya telah dialokasikan (Marilee S. Grindle, 1980: 82).
Implementasi memang mudah dipahami secara abstrak dan seolah- olah dapat dilaksanakan, padahal dalam praktik pelaksanaanya senantiasa menuntut adanya ketersediaan sumber daya (sumber-sumber kebijakan) sebagai kondisi yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan mencangkup usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan kebijakan. Tahapan implementasi tidak akan bermula sebelum tujuan dan sasaran telah ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan kebijakan. Tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang telah ditetapkan dan sumber daya disediakan (Mac Andrews, 1993: 83).
Dari uraian diatas dapat ditarik batas bahwa untuk kelancaran implementasi suatu kebijakan, selain dibutuhkan sumber daya, juga diperlukan rincian yang lebih operasional dari tujuan dan sasaran yang bersifat umum. Bahkan implementasi diperlukan faktor komunikasi sumber, kecenderungan atau tingkah laku, serta struktur birokrasi. Adanya kekurang berhasilan dalam implementasi kebijakan yang sering di jumpai, antara lain dapat disebabkan adannya keterbatasan sumber daya, struktur yang kurang memadai dan kurang efektif, serta kotmitmen yang rendah di kalangan pelaksana (Syukur Abdullah, 1985: 83).
Dalam hal pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan pula oleh Udodji (Solichin,1990) bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada perbuatan kebijakan itu sendiri. Suatu kebijakan hanya merupakan rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan (Solichin Abdul Wahab, 1990: 38).
Implementasi kebijakan terutama di negara berkembang, selama ini baru mampu dalam tahap pengesahan kebijakan dan belum sepenuhnya mampu untuk menjamin bahwa kebijakan yang telah ditetapkan tersebut dapat dilaksanakan dan akan menimbulkan dampak atau perubahan yang diharapkan. Keadaan tersebut oleh Adrew Dunsire (1978) disebut
implementation gap , yaitu untuk menjelaskan suatu keadaan dimana dalam
proses kebijakan akan selalu terbuka kemungkinan akan terjadinya perubahan antara apa yang diharapkan dengan apa yang menjadi kenyataan. Keadaan yang sering dilukiskan adalah gap antara das sollen dan das sein.
Besar kecilnya gap tersebut antara lain banyak ditentukan oleh
implementation capacity , menurut istilah Walter William dalam Solichin
(1990). Dari gejala tersebut konsekuensi yang dapat muncul adalah akan banyak diantara kebijakan yang ada ditatap saja, berupa pernyataan simbolis dari pimpinan politik atau yang tertera dalam peraturan perundang-undangan, ataupun terdapat kebijakan yang dapat dilaksanakan, akan tetapi tidaklah sesuai dengan yang diharapkan karena terdapat inkonsistensi antar-stakeholders. Keadaan ini sejak awal telah diistilahkan oleh Gunnar Myrdal dalam Ardani dan Aswara (1986), dengan adanya
software , yakni negara-negara dengan suatu kebijakan yang ideal, tetapi
tidak dapat mengimplementasikan.Untuk mengeliminasi keadaan tersebut Grindle (1980) telah mengajurkan agar dalam pelaksanaan, hendaknya diperhatiakan isi dan konteks kebijakan (content of policy and context of policy).
Kondisi terbatasnya sumber daya menimbulkan berbagai permasalahan dalam sistem implementasi terhadap suatu kebijakan. Untuk membahas masalah ini terhadap teori dari sarjana lain tentang pembangunan lembaga (Solichin Abdul Wahab, 1990: 40).
E. Otonomi Daerah
Penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Pengertian otonomi daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah diatur pada Pasal 1 huruf c yang menegaskan sebagai berikut: "Otonomi daerah adalah hak, kewenangan, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian otonomi daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur pada Pasal 1 angka 6 yang menegaskan sebagai berikut: "Otonomi Daerah adalah hak. wewenang. dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 1 angka 12 UU No. 23 Tahun 2014 selanjutnya menegaskan tentang pengertian daerah otonom sebagai berikut: Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan anspirasi masyarakat dalam sistem Negara Republik Kesatuan Indonesia.
Pengertian otonomi daerah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia didenifisikan sebagai berikut: Pengertian "otonom" secara bahasa adalah
"berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri."
Terkait dengan pemahaman tentang otonomi daerah. Soepomo sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, mengemukakan tentang teori integralistik sebagai berikut: Dalam teori integralistik atau teori totaliter, tidaklah berarti bahwa negara tidak akan memperhatikan adanya golongan- golongan sebagai golongan ataupun tidak mempedulikan manusia sebagai perseorangan. Dalam negara integralistik atau negara persatuan, negara atau pemerintah tidak akan menarik segala kepentingan masyarakat ke dirinya untuk dipelihara sendiri, akan tetapi menurut alasan-alasan yang "doelmatig" akan membagi-bagi kewajiban negara dalam badan-badan pemerintah di pusat dan di daerah. atau akan menyerahkan sesuatu hal untuk dipelihara oleh suatu golongan atau suatu perorangan, segala sesuatu menurut waktu, tempat, dan soalnya (A. Hamid S. Attamimi, 1990: 61).
HAW. Widjaja mengemukakan pendapatnya tentang pengertian otonomi daerah sebagai berikut: Otonomi daerah juga disebut sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menumt prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan pemndang-undangan. (HAW. Widjaja, 2003: 76).
Pengertian dari daerah otonom itu sendiri menurut J. Riwu Kaho adalah: Daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan wewenang tertentu (J. Riwu Kaho, 2002: 7).
Berdasarkan rumusan tersebut, dalam daerah otonom terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
1. Unsur (elemen) batas wilayah Sebagai kekuasaan masyarakat hukum, batas suatu wilayah adalah sangat menentukan untuk kepastian hukum. bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum, misalnya dalam penetapan kewajiban tertentu sebagai warga masyarakat serta pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap fungsi pelayanan umum pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan secara luas kepada masyarakat setempat. Di sisi lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatasan antar daerah. Dengan perkataan lain, dapat dinyatakan bahwa suatu daerah hams mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antar daerah yang satu dengan daerah lainnya.
2. Unsur (elemen) pemerintahan Eksistensi pemerintahan di daerah. didasarkan atas legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, untuk menjalankan urusan pemerintah yang benvenang mengatur berdasarkan kreativitasnya sendiri. Elemen pemerintahan daerah adalah meliputi pemerintah daerah dan lembaga DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
3. Unsur masyarakat Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinschaft maupun gesselschaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan. dan adat istiadat yang turut mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi budaya masyarakat antara lain gotong royong, permusyawaratan, cara menyatakan pendapat dan pikiran yang menunjang pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan memulai pelayanan pemerintahan (Siswanto Sunarno, 2008: 6-7).
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, pergeseran paradigma tersebut dikemukakan oleh H.A W. Widjaya sebagai berikut:
Pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma sentralisis ke desentralisasi nyata yang ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata kepada daerah. Pemberian ini dimaksudkan khususnya untuk lebih memandirikan daerah serta pemberdayaan masyarakat (empowering). Konstelasi reformasi tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan pemerintah di berbagai bidang, termasuk mengatur masalah- masalah desentralisasi dan otonomi daerah. Puncaknya adalah dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (H.A.W. Widjaya, 2007: 27).
F. Kewenangan Pemerintahan Daerah
Bagir Manan mengatakan bahwa kewenangan berasal dari kata dasar "wewenang" yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat (Bagir Manan, 2001: 1). Abu Saud Busroh di pihak lain memberikan pengertian bahwa: "Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak. Dalah hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en
plichten ). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (selfbesturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian, yakni horizontal dan vertikal. Horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya, dan wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keselumhan (Abu Daud Busroh, 1985: 125).
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan akan mempengaruhi hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu. adanya satuan pemerintahan yang berlapis- lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi. Masalah hubungan kewenangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah seperti Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi (daerah berotonomi), sebenarnya adalah pembicaraan mengenai isi rumah tangga daerah yang dalam perspektif hukum pemerintahan daerah lazim disebut urusan rumah tangga daerah, Bagir Manan menyatakan: "Hubungan kewenangan antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Penggunaan terminologi "rumah tangga daerah" mempakan suatu hal yang sangat penting, hal ini untuk menunjukan adanya kemandirian dan keleluasaan daerah mengatur dan mengurus sendiri kepentingan daerahnya (Bagir Manan, 2001: 37)."
Terdapat tiga kepentingan dalam urusan rumah tangga daerah. yaitu kepentingan masyarakat, individu dan kepentingan pemerintahan. Bagir Manan dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: "Sebagai suatu fungsi pemerintahan, "urusan rumah tangga daerah" tidak hanya mengenai kepentingan masyarakat, melainkan juga kepentingan individu dan kepentingan pemerintahan itu sendiri, seperti susunan organisasi, pembagian tugas di antara lingkungan jabatan atau jabatan pemerintahan dan lain sebagainya (Bagir Manan, 2001: 1)."
Ketiga kepentingan tersebut akan memunculkan persoalan apabila tidak dapat dipadukan diantara ketiganya dalam implementasinya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Fauzan sebagai berikut: Urusan rumah tangga meliputi kepentingan individu, penguasaan, dan masyarakat. Persoalan yang muncul adalah memadukan antara ketiga kepentingan tersebut, dalam implementasinya atau dalam pemenuhannya agar tidak terdapat kesanjungan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Artinya antara kepentingan individu, masyarakat, dan kepentingan penguasaan atau pemerintah harus senantiasa selaras, seimbang, dan saling melengkapi (Muhammad Fauzan. 2006: 86).
Cara menentukan urusan rumah tangga daerah otonom merupakan persoalan hubungan kewenangan, oleh karena itu, juga terkait dengan bentuk otonomi yang dianut. Cara menentukan suatu umsan pemerintahan apakah merupakan umsan pemerintah pusat atau daerah, akan menunjukan suatu bentuk otonomi yang dijalankan oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal ini dikenal adanya dua bentuk otonomi, yaitu otonomi luas dan otonomi terbatas.
Bagir Manan memberikan penjelasan sebagai berikut: Suatu otonomi dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas bila:
1. Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
2. Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus mmah tangga daerahya.
3. Sistem hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Sedangkan otonomi luas bertolak dari prinsip semua urusan pemerintahan pada dasamya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat (Bagir Manan, 2001: 37).
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur dalam-Bab IV Pasal 9 sampai dengan Pasal 26. Pemerintahan daerah menyelenggarakan semua urusan kecuali yang terjadi urusan pemerintahan pusat, hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 9 ayat (2) sebagai berikut: Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenagan Pemerintahan Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan dalam pasal 9 sebagai berikut:
1. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintah absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
2. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintahan Pusat.
3. Urusan pemerintahan konkuren sebaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintahan Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
5. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Berdasarkan distribusi kewenangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah tersebut diatas, Muhammad Fuazan memberi kesimpulan bahwa: UU No 23 Tahun 2014 dalam melakukan pendistribusian kewenangan antara Pemerintahan Pusat dengan Daerah, membedakan urusan yang bersifat
concurent artinya urusan pemerintahan yang penangananya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat
concurent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintahan Pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi dan juga ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.
Dalam rangka menciptakan distribusi kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat concurent secara proposional antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah dipergunakan beberapa kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antara tingkatan satuan pemerintahan (Muhammad Fauzan, 2006: 88).
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 digolongkan menjadi dua, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan, ketentuan ini ditegaskan pada Pasal 12 dan Pasal 13 sebagai berikut: 1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud pada Pasal 9 ayat
(3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
2) Urusan pemerintahan wajib sebaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
3) Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
G. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan upaya penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam melaksanakan kewajibannya mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan utama ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2014 dan UU No.
33 Tahun 2004 adalah untuk melengkapi Undang-undang terdahulu yang tidak hanya berorientasi pada pelimpahan wewenag dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah yang sering disebut desentralisasi, tetapi yang teramat penting adalah keinginan untuk lebih meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, tujuan desentralisasi keuangan adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daeah (PAD), hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Josep Riwu Kaho sebagai berikut:
"Dalam pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah harus diikuti oleh pelimpahan kewenangan yang dalam penyelenggaraannya harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang memadai yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengaturan menggurus rumah tangganya adalah self supporting dalam bidang keuangan (Josep Riwu Kaho, 2002: 124)." Menurut Pasal 285 No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. sumber-sumber pendapatan daerah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:
a. Pendapatan asli Daerah meliputi: 1) Pajak daerah 2) Retribusi daerah 3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan 4) Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
b. Pendapatan transfer, dan c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Pendapatan tranfer sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi: a. Tranfer pemerintahan pusat terdiri atas:
1) Dana perimbangan 2) Dana otonomi khusus 3) Dana keistimewaan, dan 4) Dana desa.
b. Tranfer antar Daerah terdiri atas: 1) Pendapatan bagi hasil, dan 2) Bantuan keuangan H.
Retribusi 1. Pengertian Retribusi
Salah satu komponen penunjang dalam peningkatan PAD yaitu Retribusi Daerah. Hal ini sesuai dengan pendapat Josep Riwu Kaho, bahwa:
" Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah Retribusi Daerah. Dengan demikian dalam era otonomi daerah. disamping pajak daerah yang dapat memberikan kontribusi terhadap keuangan daerah, retribusi daerah juga mempunyai peranan yang sangat besar terhadap terbentuknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Josep Riwu Kaho, 2002: 153)."
Dasar hukum pelaksanaan retribusi daerah saat ini adalah Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Retribusi. sebagaimana halnya pajak daerah. merupakan salah satu unsur PAD yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah sejak diperlakukannya otonomi daerah di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Marihot P. Siahaan yang mengatakan sebagai berikut:
"Dengan adanya otonomi, daerah dipicu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah bahkan dimasukkan menjadi pendapatan asli daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah (Marihot P. Siahaan, 2005: 1)."
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menerima balas jasa dari negara. Rochmat Soemitro dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: Pengertian retribusi secara umum adalah pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Dengan kata lain. Retribusi secara umum adalah pembayaran-pembayaran kepada negara atau merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk (Rochmat Soemitro, 1974: 17)."
Sedangkan pengertian retribusi daerah dan ciri-cirinya inenurut Josep Riwu Kaho adalah sebagai berikut: "Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoieh jasa pekerjaan. usaha atau milik Daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian ciri-ciri retribusi adalah sebagai berikut: a. Retribusi dipungut oleh negara
b. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis
c. Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk
d. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan/mengenyam jasa-jasa yang disiapkan negara (Josep Riwu Kaho, 2002: 153).
Berdasarkan pengertian mengenai retribusi daerah sebagaimana dijelaskan diatas, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya retribusi daerah mempunyai imbalan atau jasa, imbalah atau jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung yang dapat ditunjuk oleh wajib retribusi atau hanya yang membayar retribusi sajalah yang menikmati balas jasa dari negara dalam hal ini daerah tertentu. Pengertian jasa menurut Josep Riwu Kaho adalah: Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati orang pribadi atau badan (Josep Riwu Kaho, 2002: 6).
Pasal 1 angka 69 UU No. 28 Tahun 2009 selanjutnya memberikan ketentuan mengenai wajib retribusi sebagai berikut: Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.