BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea Canephora Pierre ex A. Froehner) - Muhammad Ridlo Nur Ar Rozzaq BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kopi Robusta (Coffea Canephora Pierre ex A. Froehner)

  Kopi Robusta merupakan salah satu anggota dari suku Rubiaceae yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Kopi berasal dari dataran tinggi Ethiopia pada abad ke 9, kemudian menyebar ke Mesir dan Yaman. Pada abad ke 15 kopi menyebar lebih luas yaitu ke Persia, Turki dan Afrika Utara. Pada abad ke 17 kopi mulai menyebar ke Benua Eropa (National Geographic, 2013).

  Jenis kopi yang pertama kali dibudidayakan di Indonesia khususnya di pulau Jawa pada tahun 1696 adalah kopi arabika (C. arabica). Namun, karena adanya serangan penyakit karat daun (Hemilia vastatik) yang terjadi pada tahun 1876, maka pemerintah pada waktu itu memasukkan kopi Liberika (C. liberica) ke Indonesia. Akan tetapi kopi jenis ini juga tidak tahan terhadap serangan penyakit karat daun sehingga pada tahun 1900 diperkenalkan kopi Robusta (C.

  ) yang tahan terhadap penyakit karat daun, tumbuh dan

  canephora

  pemeliharaannya mudah serta produksinya lebih tinggi, sehingga sekarang mencapai 90% luas areal kopi di Indonesia sebagai besar di tanami kopi robusta (Muljana, 1986; van Steenis et al., 2008).

2.1.1 Morfologi Kopi Robusta

  Kopi robusta merupakan tanaman perdu yang mempunyai batang yang kokoh dan kuat dengan tinggi mencapai 2 - 4 meter (van Steenis et al., 2008).

  Kopi memiliki sistem perakaran tunggang dengan kedalaman mencapai 3 meter.

  7 Akar lateral tumbuh dan berkembang di permukaan tanah dengan panjang dapat mencapai sekitar 2 meter dari pohon dan berkembang di kedalaman kurang dari 45 cm dari permukaan tanah (Siahaan, 2008; van Steenis et al., 2008).

  Tanaman kopi memiliki batang dimorfisme (Gambar 2.1.A), yaitu memiliki cabang yang pertumbuhannya mengarah ke atas (orthotrop) dan cabang yang pertumbuhannya mengarah ke samping (plagiotrop). Pada cabang plagiotrop, jarak antar ruas dapat mencapai 8

  • – 15 cm (van Steenis et al., 2008). Kopi memiliki daun yang lebar dan memanjang dengan panjang daun antara

  20

  • – 30 cm dan lebar daun antara 10 – 16 cm. Tulang daun tenggelam, sehingga permukaan daun jelas berlekuk-lekuk (Gambar 2.1.B). Daun kopi robusta mempunyai pangkal daun yang membulat. Tangkai daun mempunyai panjang ±1 cm dengan tulang samping berjumlah 10 – 12 pasang (van Steenis et al., 2008).

  A B C

  F D E

  Batang kopi diamorfisme (A), Daun kopi (B), Bunga kopi (C),

  Gambar 2.1

  Benang sari (D), Putik (E), dan Biji kopi (F) (Prastowo et al., 2010). Tanaman kopi pada umumnya mulai berbunga pada umur dua tahun dan hanya berbunga sekali pada musim kemarau (Najiyati & Danarti, 1990). Tanaman kopi memiliki bunga majemuk yang muncul di ketiak daun, yang terdiri dari 3 - 5 kuntum bunga. Pada pangkal setiap anak payung terdapat 2 daun penumpu yang cukup lembek, berbentuk segi tiga dengan panjangnya ± 5 mm. Bunga berwarna putih dan harum dengan panjang tabung mahkota dapat mencapai 15

  • – 18 mm. Daun mahkota berjumlah 5
  • – 7 dengan ukuran panjang antara 12 – 13 mm dan lebar
  • – 4 mm (Gambar 2.1.C). Benang sari tertancap pada tabung mahkota dengan panjang mencapai ± 5 mm (Gambar 2.1.D). Tangkai putik memanjang jauh di luar tabung mahkota dan bercabang dua (Gambar 2.1.E) (van Steenis et 2008).

  al.,

  Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan, buah kopi menjadi masak dalam waktu antara sembilan bulan sampai satu tahun. Buah kopi pada umumnya dapat dipanen pada bulan Maret sampai September (Siahaan, 2008). Kopi robusta memiliki buah bertipe batu (drupa) dan berbentuk bulat telur dengan diameter sekitar 15

  • – 18 mm (Gambar 2.1.F). Dalam satu buah biasanya terdapat 2 biji berbentuk pipih. Pada bagian ventral terdapat sebuah alur. Buah kopi sewaktu muda berwarna hijau dan jika masak akan berwarna merah (Siahaan, 2008; van Steenis et al., 2008).

2.1.2 Jenis Kopi

  Di dunia ditemukan sekitar 100 jenis tanaman kopi, tetapi hanya dua jenis kopi yang dikenal memiliki nilai ekonomi dan diperdagangkan secara komersial, yaitu kopi arabika dan kopi robusta (Etienne, 2002). Dua jenis yang lain dibudidayakan dalam skala yang jauh lebih kecil yaitu kopi liberica (C. liberica) dan kopi excelsa (C. dewevrei).

  Kopi arabika merupakan jenis yang paling banyak diproduksi, yaitu sekitar lebih dari 60% produksi kopi dunia. Daerah ideal tempat budidaya kopi arabika adalah pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Di bawah ketinggian itu, arabika tidak bisa tumbuh dengan baik (Etienne, 2006). Kopi arabika mudah terserang penyakit dan tidak tahan terhadap perubahan musim. Buah kopi arabika memiliki rasa lebih manis dengan rasa kopi yang kurang kuat.

Gambar 2.2. Kopi Arabika (Prastowo et al., 2010).

  Tidak seperti kopi arabika, kopi robusta (C. canephora Pierre ex A. Froehner) lebih tahan terhadap cuaca dan hama penyakit, serta mudah dalam pemeliharaannya dibandingkan kopi arabika. Kopi robusta hidup di bawah ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Hasil panen per pohon juga lebih banyak dibandingkan dengan kopi arabika namun untuk rasa masih tidak bisa menandingi arabika (Etienne, 2006). Kopi robusta memiliki kadar kafeina hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika (Widyotomo et al., 2011).

  Kopi robusta umumnya dibudidayakan di daerah Afrika dan Indonesia, sedangkan kopi arabika banyak dibudidayakan di Amerika Latin seperti Brazil.

Gambar 2.3. Kopi Robusta (Prastowo et al., 2010).

2.1.3 Manfaat Kopi

  Tanaman kopi memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir semua bagian dari tanaman bermanfaat bagi kehidupan manusia. Batang tanaman kopi yang sudah tua dapat yang diolah menjadi arang (Gambar 2.4.A) ataupun kayu bakar. Daun tanaman kopi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos (Tirta, 2006).

  A B C D

Gambar 2.4 Arang batang kopi (A), Minuman terbuat dari kopi (B), dan Masker

  menggunaka serbuk kopi (C) (Tirta, 2006; Prawirodigdo et al., 2005; Siahaan, 2008).

  Bagian kopi yang bernilai ekonomi paling tinggi adalah buahnya. Kulit buah kopi yang dikeringkan dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan untuk penggemukan domba (Gambar 2.4.B; Prawirodigdo et al., 2005), sedangkan biji kopi yang telah dikeringkan dapat dibuat bubuk untuk beberapa kepentingan

  (Gambar 2.4.C). Bubuk kopi biasanya digunakan untuk minumaan yang mampu menghilangkan rasa kantuk dan kelelahan. Dari segi medis bubuk kopi juga bermanfaat untuk merangsang pernapasan, membantu asimilasi dan pencernaan makanan, sebagai obat penolong diare serta pencegah muntah sesudah operasi (Siahaan, 2008). Bubuk kopi juga dapat digunakan sebagai bahan kosmetik karena dapat menghaluskan kulit (Gambar 2.4.D; Siahaan, 2008).

2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya

2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia

  Kopi merupakan salah satu komoditas perdagangan utama di dunia. Total produksi kopi di dunia mencapai lebih dari 8 juta ton per tahun dengan nilai penjualan lebih dari US$ 22,7 milyar pada tahun 2011 (ICO, 2013). Total produksi tersebut dihasilkan dari perkebunan kopi yang luasnya mencapai lebih dari 10 juta hektar lahan yang tersebar di lebih dari 80 negara di dunia (Santos et al ., 2006).

  Di Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas sub sektor pertanian yang mempunyai andil cukup penting sebagai penghasil devisa negara. Komoditas kopi merupakan penghasil devisa ketiga terbesar dalam bidang pertanian setelah kelapa sawit dan karet (Priyono & Danimihardja, 1991).

  Produksi kopi di Indonesia relatif meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, produksi kopi di Indonesia hanya sekitar 550 ribu ton per tahun (Gambar 2.5). Angka tersebut naik menjadi sekitar 700 ribu ton pada tahun 2006 dan relatif stabil sampai sekarang (AEKI, 2013). Dengan total produksi tersebut, Indonesia merupakan negara produsen kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam (FAO, 2013).

  500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000

  Brazil Vietnam Indonesia Colombia Ethiopia Negara Pr od u k si (Ton ) Gambar 2.5

  Produksi Kopi (FAO, 2013)

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia

  Meskipun Indonesia merupakan negara dengan total produksi terbesar ketiga di dunia (Gambar 2.5), namun total produksi tersebut lebih disebabkan oleh area perkebunan kopi yang sangat luas. Luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai lebih dari 1,3 juta ha dan merupakan negara terluas kedua di dunia setelah Brazil dengan luas areal perkebunan lebih dari 2,1 juta Ha (Gambar 2.6; FAO, 2013). luas lahan Perkebunan Kopi (FAO, 2013).

  Gambar 2.6

  Hal tersebut terjadi karena produktivitas perkebunan kopi Indonesia tergolong sangat rendah dan tidak mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir dibandingkan dengan negara lain (Gambar 1.1). Produktivitas perkebunan kopi di Indonesia kurang dari 500 kg per hektar per tahun. Angka tersebut hampir seperlima dari produktivitas perkebunan kopi di Sierra Leona yang mencapai hampir 2,5 ton per hektar lahan ataupun seperempat produktivitas kopi di Vietnam yang mencapai lebih dari 2,1 ton per hektar lahan (FAO, 2013).

  Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kopi di Indonesia, diantaranya sebagian besar umur tanaman pada perkebunan kopi di Indonesia sudah relatif tua yaitu lebih dari 10 tahun (Simanungkalit, 2001). Disamping itu kualitas pemeliharaan tanaman juga rendah khususnya pada tanaman setelah panen sehingga produktivitas tanaman pada panen berikutnya semakin menurun (Giska, 2012).

  Di antara faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas kopi tersebut, faktor kualitas bibit yang ditanam juga memegang peran penting dalam rendahnya produktivitas kopi di Indonesia. Bibit kopi yang digunakan petani di Indonesia mempunyai kualitas rendah (Priyono, 2010).

2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia

  Mayoritas petani kopi melakukan pembibitan secara generatif melalui biji (Gambar 2.7.A). Tahapan pembibitan dengan menggunakan biji adalah dengan menyiapkan biji masak yang dipanen dari pohon berkualitas kemudian ditanam pada media tanah atau kompos. Biji akan berkecambah setelah 30 - 40 hari dan siap ditanam ke lahan setelah berumur 8 bulan (Prastowo et al., 2010).

  Pembibitan dengan teknik ini memiliki keunggulan berupa produksi bibit dapat dilakukan secara masal dan mudah untuk dilakukan. Namun, teknik ini juga memiliki kelemahan berupa munculnya keragaman genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya. Hal ini karena tanaman kopi khususnya jenis robusta memiliki sifat penyerbukan silang (Santoso & Raharjo, 2011).

  A B C D

Gambar 2.7. Menanam secara generatif menggunakan biji (A), Menanam secara

  vegetatif dengan stek (B), Menanam secara vegetatif dengan okulasi (C), Menanam secara vegetatif dengan sambung pucuk (D) (Prastowo et al., 2010). Alternatif yang digunakan petani untuk mengatasi kelemahan perbanyakan bibit kopi secara generatif di atas adalah dengan menggunakan metode vegetatif yaitu melalui stek (Gambar 2.7.B), okulasi (Gambar 2.7.C) dan sambung pucuk (Gambar 2.7.D). Stek dilakukan dengan memilih batang dari indukan tanaman kopi yang berkualitas. Kemudian ditancapkan pada medium tanam yang sudah disiapkan. Hasil stek akan terlihat setelah berumur sekitar 20 hari dan siap dipindahkan ke lahan setelah berumur 7 bulan (Prastowo et al., 2010). Teknik ini akan menghasilkan bibit sesuai dengan induknya, namun karena jumlah batang yang bisa distek terbatas maka teknik ini tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah masal serta merusak tanaman induknya. Disamping itu, bibit yang dihasilkan juga akan memiliki akar serabut sehingga tidak tahan terhadap perubahan musim (Prastowo et al., 2010).

  Cara vegatatif lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan perbanyakan melalui stek adalah melalui okulasi. Okulasi dilakukan dengan cara menyiapkan batang bawah berupa bibit yang berasal dari perbanyakan biji dan mata tunas yang berasal dari pohon induk unggul. Mata tunas ditempelkan pada batang bawah, setelah ditutup atau diselubungi plastik dilajutkan dengan pemeliharaan selama sekitar 20 hari. Bibit akan siap ditanam di lahan setelah 15 bulan (Prastowo et al., 2010). Teknik ini memiliki keunggulan berupa bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang dan memiliki sifat sama dengan tanaman induknya. Namun, jumlah mata tunas yang terbatas, serta memiliki keberhasilan yang rendah maka teknik ini tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah masal. Disamping itu teknik ini juga merusak tanaman induknya (Santoso & Raharjo, 2011).

  Cara lain yang dilakukan petani untuk menghasilkan bibit lebih cepat dibandingkan okulasi adalah melalui sambung pucuk. Seperti halnya okulasi, pucuk tanaman kopi yang memiliki beberapa helai daun (Gambar 2.7.D) ditempelkan pada batang bawah suatu bibit. Keberhasilan teknik ini akan diketahui setelah bibit berumur antara 15 sampai 20 hari dan bibit siap tanam ke lahan setelah berumur sekitar 6

  • – 8 bulan setelah batang utama (primer) bercabang dua sampai tiga cabang (Prastowo et al., 2010). Teknik ini mampu menghasilkan bibit lebih cepat dibandingkan dengan okulasi, namun karena keterbatasan jumlah pucuk maka teknik ini juga tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah masal.

  Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan pembibitan kopi secara konvensional di atas adalah dengan memanfaatkan teknik kultur jaringan tumbuhan. Kultur jaringan atau kultur in vitro adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan berregenerasi menjadi tanaman sempurna (Nugrahani et al., 2011).

  Teknik kultur jaringan mempunyai kelebihan dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak serta identik dengan induknya. Teknik ini juga tidak merusak tanaman induk (Priyono, 2010). Secara umum, kultur jaringan tanaman terdiri atas 3 macam, yaitu kultur organ dengan eksplan (embrio, akar, meristem, pucuk, anther), kultur sel atau suspensi dengan ekplan (sel tunggal, protoplas), organogenesis dan embryogenesis (Zulkarnain, 2009).

  Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai dikembangkan untuk menyediakan bibit kopi secara in vitro adalah embryogenesis somatik (Oktavia et

  

al ., 2003). Embryogenesis somatik adalah sebuah proses pembentukan embryo

  dari satu sel somatik tanpa melalui peristiwa pembentukan sel gamet (Trijatmiko, 1996; von Arnod et al., 2002). Teknik ini banyak diaplikasikan antara lain pada tanaman pepaya (Suntoyo et al., 2002), jarak pagar (Zulkarnain & Lizwati, 2011), dan pule pandak (Sugito, 2006).

2.4 Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kopi

  Embryogenesis somatik juga sudah banyak dikembangkan untuk memperbanyak tanaman kopi. Tahapan-tahapan dalam embryogenesis somatik meliputi induksi kalus (Gambar 2.8.A), induksi embryo globular (Gambar

  

2.8.B&C) , embryo berbentuk jantung (Gambar 2.8.D), torpedo (Gambar

  ), perkecambahan (Gambar 2.8.F), tanaman sempurna (Gambar 2.8.G),

  2.8.E dan aklimatisasi pada tanah (Gambar 2.8.H; Figueroa et al., 2002).

  Teknik embryogenesis somatik memberikan banyak keuntungan seperti tanaman induk tidak rusak, hasil klon sama dengan induknya, jumlah bibit yang banyak dan seragam. Namun, teknik ini juga mempunyai permasalahaan yaitu tingkat keberhasilan rendah dengan tingkat keberhasilan berkisar antara 0 - 67 % (Arimarsetyowati, 2011; Priyono et al., 2010).

  A B C D F H G E

Gambar 2.8 Kalus (A), Globular dari kalus (B) dan Globular dari eksplan daun

  (C), Embryo berbentuk jantung (D), Embryo berbentuk Torpedo (E), Perkecambahan (F), Tanaman sempurna siap diaklimatisasi (G), Aklimatisasi pada tanah (H) (Figueroa et al., 2002).

  Banyak upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan embryogenesis somatik kopi. Upaya tersebut diantaranya adalah dengan menggunakan berberapa macam jenis eksplan (Oktavia et al., 2003), penambahan air kelapa ke dalam medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991) maupun type dan jenis medium dilaporkan oleh Zamarripa et al., (1991).

  Penelitian embryogenesis somatik kopi diawali penelitian Staritsky (1970) menggunakan eksplan tunas orthotrop C. canephora Pierre ex A. Froehner Tunas dipelihara di medium Linsmaier dan Skoog (LS, 1965) dan berhasil menginduksi embrio somatik setelah beberapa bulan. Namun, teknik tersebut tidak dapat menginduksi embryo somatik pada tunas orthotrop C. arabica dan C. Liberika.

  Eksplan integumen biji juga telah dicobakan untuk menginduksi embryo somatik pada kopi, namun waktu yang dibutuhkan untuk munculnya embryo sangat lama, yaitu lebih dari 15 bulan yang dilaporkan oleh Sreenath et al., (1993). Ekplan epikotil, hipokotil dan akar yang berasal dari kecambah berumur 6 bulan juga berhasil digunakan untuk menginduksi embryo somatik. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase keberhasilannya masih rendah (sekitar 50 %; Oktavia et al., 2003) serta belum diketahui keunggulan bibit karena eksplan yang digunakan berasal dari biji.

  Eksplan daun mulai digunakan untuk induksi embryo somatik oleh Sondahl dan Sharp (1977). Daun dipelihara di medium dasar Murashig dan Skoog (MS, 1962) dan berhasil terinduksi kalus setelah kultur dipelihara selama 2 bulan. Pada penelitian tersebut yaitu induksi embryo dari daun hanya dapat menghasilkan 5 planlet.

  Pada kopi robusta, Dublin (1981) juga berhasil menginduksi embryo somatik dari eksplan daun yang ditanam dalam media MS. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Neuenschwander & Thomas (1992) dengan eksplan daun pada kopi arabika. Namun, waktu yang dibutuhkan untuk mengindiksi embryo masih lama yaitu 6 bulan.

  Riyadi dan Tirtoboma (2004) juga berhasil menginduksi embrio somatik kopi secara langsung dengan menggunakan eksplan daun. Daun dipelihara pada media Murashige-Skoog (MS) dan berhasil terinduksi embryo dengan waktu 2 minggu. Namun, tingkat keberhasilannya hanya mencapai 70 % . Arimarsetyowati (2011) juga menggunakan eksplan daun C. arabica yang ditanam pada medium MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embryo somatik berhasil terinduksi dari eksplan daun, namun persentase keberhasilannya rendah yaitu hanya 7 % dan waktu yang lama sekitar lebih dari 3 bulan.

  Berbagai upaya lain juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryogenesis somatik, diantaranya adalah dengan penambahan air kelapa ke dalam medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991). Hasil penelitian menunjukan persentase terbentuknya embryo cukup tinggi yaitu sekitar 80 % , embryo juga berhasil dikecambahkan, namun tingkat keberhasilan pada tahap aklimatisasi masih cukup rendah, yaitu hanya 18 %.

  Upaya lain juga dilakukan dengan menggunakan seperempat dan setengah konsentrasi garam makro dan mikro Murashige & Skoog (MS) yang dilengkapi dengan vitamin B5 (Arimarsetiowati, 2011; Neuenschwander & Thomas, 1991; Oktavia et al., 2003; Priyono et al., 2010; Hatanaka et al., 1991). Hasil dari semua penelitian tersebut menunjukkan bahwa embryo somatik telah berhasil diinduksi, namun tingkat keberhasilannya masih rendah dan bervariasi yaitu antara 0 – 50 %.

  Selain itu, terdapat juga peneliti yang menggunakan medium cair yaitu Zamarripa et al. (1991) ataupun medium semi padat (Gatica et al., 2008).

  Penggunaan medium tersebut mampu menginduksi embryo somatik dengan tingkat keberhasilan cukup tinggi, yaitu sekitar 70 %. Namun, dengan medium tersebut waktu yang dibutuhkan untuk induksi embryo lebih dari 3 bulan.

  Berbagai upaya yang telah dilaporkan di atas menunjukkan bahwa embryo somatik telah berhasil diinduksi pada tanaman kopi, namun dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi serta waktu yang dibutuhkan relatif lama. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya keberhasilan embryogenesis somatik kopi dan waktu induksi embryo yang lama adalah belum digunakannya zat pengatur tumbuh (ZPT) yang tepat baik jenis maupun konsentrasinya.

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

  Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang pada konsentrasi sangat rendah (mendekati 1 µ M) mampu menimbulkan suatu respon fisiologis terhadap tumbuhan. Senyawa organik yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri dan memiliki fungsi mengatur pertumbuhan dan perkembangan (hormon) juga digolongkan sebagai salah satu ZPT. Hal yang sama juga berlaku bagi senyawa organik sintetik yang memiliki fungsi seperti hormon tumbuhan juga dikategorikan sebagai ZPT. Terdapat lima macam ZPT, yaitu giberelin, etilen, asam abisat, auksin dan sitokinin, sedangkan ZPT yang umum digunakan dalam kultur jaringan tiga macam yaitu giberelin auksin dan sitokinin (Salisbury & Ross, 1995).

  Zat pengatur tumbuhan golongan giberelin adalah senyawa isoprenoid yang disintesis dari asetat asetil koenzim A melalui jalur asam mevalonat. ZPT golongan giberelin memiliki 19 atau 20 atom karbon yang bergabung dalam satu sistem cincin 4 atau 5. Semua giberelin bersifat asam dan dinamakan GA (asam giberelat). Sampai saat ini diketahui lebih dari 90 jenis golongan asam giberelat, namun beberapa jenis asam giberelat yang banyak digunakan adalah GA , GA ,

  1

  3 GA 4 , GA 7 , GA 9 , dan GA 32 . ZPT ini berfungsi untuk meningkatkan

  perkecambahan biji dan menginduksi perpanjangan ruas (Salisbury & Ross, 1995).

  Zat pengatur tumbuhan etilen adalah zat pengatur tumbuhan yang mempunyai struktur sederhana dan berbentuk gas. Etilen diturunkan dari karbon 3 dan 4 pada asam amino metionin. Etilen pada kultur jaringan berfungsi untuk meningkatkan pembentukan pucuk (Salisbury & Ross, 1995).

  Zat pengatur tumbuhan asam abisat adalah seskuiterpenoid yang berkarbon 15 yang disintesis sebagian di kloroplas dan plastid lain melalui lintasan asam mevanolat. ZPT ini berfungsi untuk membantu proses pembentukan embryo secara normal dan pembentukan simpanan protein pada biji serta menghambat perkecambahan pada banyak jenis biji (Salisbury & Ross, 1995).

  Zat pengatur tumbuhan golongan auksin banyak digunakan dalam kultur jaringan untuk perpanjangan sel, pembentukan akar adventif, dan menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas ketiak. ZPT golongan auksin antara lain

  IAA (indole acetic acid), NAA (naphtalene acetic acid), IBA (indole butiric acid), 2.4-D (2.4-dichlorophenoxyacetic acid), dicamba (3,6-dicloro-o-anisic acid), dan picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid) (Salisbury & Ross, 1995).

  Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin digunakan untuk merangsang terbentuknya tunas, berpengaruh dalam metabolisme sel, dan merangsang sel dorman serta aktivitas utamanya adalah mendorong pembelahan sel. Pada kultur jaringan sitokinin berperan dalam mendorong pembelahan sel atau jaringan yang digunakan sebagai eksplan dan merangsang perkembangan tunas. ZPT golongan sitokinin antara lain BA (benzil adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl aminopurin), dan zeatin (Salisbury & Ross, 1995).

  Pada teknik embryogenesis somatik kopi, ada dua golongan ZPT yang sering digunakan yaitu auksin dan sitokinin (Priyono, 2010). Senyawa auksin yang banyak digunakan antara lain 2,4-D sedangkan sitokinin adalah kinetin.

  2.5.1 2,4-Dichloropenoxy acetic acid (2,4-D)

  2,4-Dichloropenoxyacetic acid merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embryogenesis somatik (Wattimena, 1992). 2,4-D memiliki rumus molekul C

  8 H

  6 C

  12 O 3 (Gambar 2.9) dengan berat molekul 221,04

  • 1

  g mol dan merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai sifat stabil, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Salisbury & Ross, 1995).

  2,4-D bermanfaat untuk perkembangan sel, menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air dan melenturkan atau melunakkan dinding sel yang diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang disertai dengan kenaikan volume sel (Salisbury & Ross, 1995).

Gambar 2.9 Rumus Bangun 2,4-D

  Penggunaan 2,4-D untuk menginduksi embryo somatik suatu tanaman telah banyak dilaporkan seperti pada tanaman pepaya (Suntoyo et al., 2002); jarak pagar (Zulkarnaen & Lizawati, 2011); pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.)

  ) (Sugito, 2006); tanaman jabon (Anthocephalus cadamba Miq. ex

  Benth. ex Kurz ) (Kartikasari et al.,2013). Roxb.

  Penggunaan 2,4-D untuk menginduksi embryo somatik kopi juga sudah banyak dilaporkan misalnya hasil penelitian Hatanaka et al., (1991) yang menunjukkan peran penting ZPT tersebut dalam menginduksi embryo somatik kopi dengan persentase keberhasilan 25 %. Penambahan 2,4-D ke dalam medium tanam sebanyak 1 µ M dan 5 µM yang dikombinasikan dengan 2-ip juga pernah dilaporkan pada induksi embrio somatik tanaman kopi arabika (C. arabica) dengan persentase keberhasilan mencapai 77,2 % (Oktavia et al., 2003). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Riyadi & Tirtoboma (2004).

  2,4-D merupakan auksin yang dapat berpengaruh pada pemanjangan sel-sel tanaman. Mekanisme kerja 2,4-D dalam pemanjangan sel tumbuhan adalah dengan cara mempengaruhi pengendoran atau pelenturan dinding sel. 2,4-D memacu protein yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion

  H ke dinding sel. Ion H ini mengaktifkan enzim sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah pemanjangan ini, sel tersebut terus menerus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Salisbury & Ross, 1995).

2.5.2 Kinetin

  Kinetin (6-furfurylamino purine) merupakan golongan sitokinin sintesis yang biasa digunakan dalam menginduksi embriogenesis somatik (Salisbury & Ross, 1995). Kinetin memiliki rumus molekul C H N O (Gambar 2.10) dengan

  10

  9

  5

  • 1

  berat molekul 215,2 g mol , yang befungsi untuk meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Kartikasari et al., 2013).

  Rumus bangun kinetin

  Gambar 2.10

  Penggunaan kinetin untuk menginduksi embryo somatik suatu tanaman telah banyak dilaporkan seperti pada tanaman seperti asparagus (Winarsih & Priyono. 2000) dan tanaman jabon (Anthocephalus cadamba Miq. ex Roxb.; Kartikasari et al., 2013).

  Penggunaan kinetin untuk menginduksi embryo somatik kopi juga sudah

  • 7

  banyak dilaporkan salah satunya adalah kinetin dengan konsentrasi 10 M sampai

  • 6

  7,5 x 10 M digunakan untuk menginduksi embryo somatik daun kopi dengan persentase yang bervariasi antara 0

  • – 25 % (Hatanaka et al., 1991). Hal yang sama juga dilakukan oleh Riyadi & Tirtoboma, (2004) menggunakan kinetin pada
  • 6

  konsentrasi 10 mg/l untuk induksi embryo kopi dan mengasilkan hasil yang bervariasi.

  Kinetin merupakan sitokinin yang dapat menstimulasi pembelahan sel tanaman. Mekanisme kerja kinetin pada pembelahan sel tanaman adalah dengan memberi isyarat kepada sel target untuk membelah. Kinetin memberikan isyarat kepada sel target dengan menstimulasi sintesis DNA pada sel tanaman, sehingga sel tersebut membelah. Oleh karena itu, kinetin umumnya diperlukan pada proses mitosis (Salisbury & Ross, 1995).