BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita - Nur Widiyawati BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balita Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak
prasekolah (3-5 tahun) (Sutomo dan Anggraeni, 2010). Sedangkan menurut Muaris (2009), anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun. Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.
Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah.
Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif.
12 Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).
Berdasarkan Beberapa pendapat di atas, disimpulkan Balita merupakan anak- anak yang berusia 1-5 tahun. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita 1. Pengertian
Menurut Nelson (2003), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Menurut Depkes RI (2004) ISPA adalah penyakit infeksi akut yaitu suatu keadaan kuman penyakit berhasil menyerang tubuh manusia, kemudian berkembang-biak dalam tubuh dan menyebabkan penyakit yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
Menurut Meadow dan Newel (2005), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit yang menyerang pada balita maupun dewasa yang terjadi di saluran napas dan kebanyakan merupakan infeksi virus.
Penderita akan mengalami demam, batuk, dan pilek berulang serta anoreksia. Di bagian tonsilitis dan otitis media akan memperlihatkan adanya inflamasi pada tonsil atau telinga tengah dengan jelas. Infeksi akut pada khususnya balita akan mengakibatkan berhentinya pernapasan sementara atau apnea.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, ISPA pada balita merupakan infeksi saluran pernapasan yang terjadi pada anak usia 1-5 tahun dan berlangsung sampai 14 hari, yang meliputi hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
2. Tanda dan Gejala ISPA
Pada umumnya, suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Menurut Rasmaliah (2004), tanda-tanda bahaya dapat dilihat dari tanda-tanda klinis dan tanda laboratoris.
Tanda-tanda klinis ISPA meliputi: 1) Pada sistem respiratorik adalah takipnea, apnea (nafas tak teratur), retraksi dinding torak, nafas cuping hidung, sianosis, suara nafas lemah atau hilang, wheezing. 2) Pada sistem cardial adalah takikardia, bradikardia, hipertensi, hipotensi, dan cardiac arrest.
3) Pada sistem cerebral adalah gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bending, kejang dan koma.
4) Pada hal yang umum adalah letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris meliputi: 1) Hipoksemia 2) Hiperkapnea 3) Asidosis (metabolik dan atau respiratorik)
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk.
Sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulang adalah kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing , demam dan dingin.
Menurut Nelson (2003), Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor
(suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.
3. Etiologi ISPA
Menurut Direktorat Jenderal PPM dan PL Depkes RI (2005), menyebutkan bahwa etiologi infeksi saluran pernafasan akut terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia. Bakteri penyebab antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebakterium. Virus penyebab antara lain golongan miksovirus, adnevirus, koronovirus, pikornavirus. Disamping itu, factor-faktor berikut adalah factor beresiko untuk berjangkitnya atau memhubungani timbulnya ISPA, yaitu gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin
A, tingkat social ekonomi rendah, tingkat pendidikan, dan tingkat pelayanan kesehatan rendah.
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) adalah ISPA. Infeksi Saluran Pernafasan Atas dapat meliputi bagian atas saja dan bahkan bagian bawah seperti laringitis, tracheobronchitis, bronkhitis dan pneumonia (Keman, 2005).
Menurut Keputusan Menenteri Kesehatan (2002), bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptococcus, stafilococcus, pneumococcus,
haemophylus, bordetela, dan corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mixovirus, adenovirus, coronavirus, pikornavirus, mixoplasma , dan herpesvirus.
4. Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes (2008), Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi semua penyakit ISPA yang umumnya disertai batuk sebagai berikut: 1) ISPA berat: ditandai sesak nafas yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest drawing) pada waktu inspirasi (secara klinis ISPA berat merupakan pneumonia berat). 2) ISPA sedang: ditandai oleh adanya nafas cepat:
a. Umur 2 bulan
- – 1 tahun : 50 kali per menit atau lebih
b. Umur 1 tahun
- – 5 tahun : 40 kali per menit atau lebih 3) ISPA ringan: ditandai oleh batuk, pilek, yang bisa disertai demam, tetapi tanpa tarikan dinding dada kedalam dan nafas cepat. (Secara klinis ISPA ringan merupakan bukan pnemonia) rinofaringitis, faringitis, dan tonsillitis tergolong bukan pneumonia.
Klasifikasi ISPA juga dibedakan untuk golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur 2 bulan
- – 5 tahun. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu: 1) Pneumonia berat, Pneumonia berat dapat terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain. Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau nafas cepat (60 kali per menit atau lebih). Tarikan
2) Bukan pneumonia, terjadi jika tidak ada tarikan dinding dada atau frekuensi pernafasan kurang dari 60 kali per menit dengan kata lain hanya batuk, pilek biasa. Tanda-tanda bahaya pada umur 2 bulan ini adalah kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, gizi buruk, dan demam/dingin.
Golongan umur 2 bulan
- –5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu: 1) Pneumonia berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam waktu anak menarik nafas, dengan catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis, tidak meronta.
2) Pneumonia, bila hanya disertai sesak nafas cepat dengan batasan:
a. Untuk usia 2 bulan – kurang dari 12 bulan sampai 50 kali per menit.
b. Untuk usia 1 tahun – 5 tahun sampai 40 kali per menit. 3) Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa).
Berdasarkan derajat penyakitnya ISPA dapat diklasifikasikan menjadi: 1) ISPA ringan apabila gejala yang timbul hanya berupa batuk, pilek dan sesak; 2) ISPA sedang apabila ada gejala sesak nafas, terdapat suara nafas ketika bernafas seperti mengorok dan juga suhu tubuh meningkat lebih dari 39°C; dan
3) ISPA berat apabila terdapat penurunan kesadaran, nadi dapat dijumpai cepat atau bahkan tidak teraba, terdapat sianosis, penderita terlihat gelisah, dan juga penurunan nafsu makan.
Sedangkan klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomiknya adalah: 1) Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas, infeksi ini menyerang bagian hidung sampai dengan epiglotis. Contoh dari Infeksi saluran pernafasan atas adalah rhinofaringitis acute, faringitis acute, tonsilitis acute, dan sinusitis acute .
2) Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Bawah, infeksi yang menyerang pada bawah epiglotis sampai alveoli paru. Contoh Infeksi saluran pernafasan bawah adalah pneumonia dan bronkhitis akut.
5. Faktor Resiko
Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009), antara lain:
1) Faktor Demografi
Faktor demografi terdiri dari 3 aspek, yaitu:
a. Jenis Kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki laki yang banyak terserang penyakit ISPA karena sebagian besar laki-laki merupakan perokok dan sering berkendaraan, sehingga sering terpapar polusi udara.
b. Usia
Anak balita dan Usia > 54 tahun, prevalensi ISPA dan pneumonia meningkat. Hal ini disebabkan karena pada usia Balita daya imunitas tubuh belum terbentuk sempurna, sedangkan pada usia > 54 tahun daya imunitas menurun sesuai dengan penurunan fungsi organ tubuh (Depkes, 2008).
c. Pendidikan Orang Tua
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berhubungan dalam kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA. Oleh karena itu, tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang penting untuk menunjang pengetahuan tentang ISPA pada anak, sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan preventif kejadian ISPA.
Pendidikan orang tua menggambarkan tingkat pendidikan formal yang telah dialami oleh orang tua. BKKBN (2011), menyebutkan tingkat pendidikan formal berdasarkan jenjang pendidikan terbagi menjadi pend idikan dasar (≤12 tahun), dan pendidikan tinggi (>12 tahun). Pendidikan Dasar terdiri dari Pendidikan Dasar terdiri dari pendidikan Sekolah Dasar (SD), Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan pendidikan tinggi adalah pendidikan setelah masa pendidikan dasar 12 tahun.
Orang tua pada penelitian ini adalah Ibu, karena sebagian besar ibu memiliki intensitas interaksi dengan Balita yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah.
2) Faktor Biologis
Faktor biologis terjadinya ISPA terdiri dari 4 aspek yaitu: a.
Status Gizi Balita
Status Gizi merupakan faktor penting untuk mencegah terjadinya
ISPA. Status gizi yang baik sejalan dengan status imunitas yang optimal, sehingga dapat mencegah virus (bakteri) yang akan masuk ke dalam tubuh. Gizi yang seimbang pada umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi, tetapi sebaliknya kekurangan gizi akan berakibat terhadap penurunan daya tahan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit (Notoatmodjo, 2007).
World Health Organization National Centre for Health Statistics
(WHONCHS) menyatakan bahwa antropometri adalah suatu alat yang digunakan untuk membangun penggunaan data tentang berat badan, panjang badan dan usia anak balita, dengan menetapkan 3 kunci yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z- score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2006. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indicator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan indikator BB/U : (Depkes, 2008) 1) Kategori Gizi Buruk Z-score < -3,0 2) Kategori Gizi Kurang Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0 3) Kategori Gizi Baik Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0 4) Kategori Gizi Lebih Z-score >2,0
Status gizi Balita dalam penelitan ini ditentukan dengan cara melihat grafik status gizi anak. Berdasarkan buku Kartu Menuju Sehat (KMS), jika grafik BB/U berada tepat atau di atas garis hijau maka status gizi Balita maka ststus gizi Balita baik, sedangkan jika grafik BB/U berada dibawah garis hijau, maka status gizi Balita kurang.
b. Berat Badan Lahir
Riwayat Berat Badan Lahir merupakan keadaan berat badan ketika lahir, yang diukur sesaat setelah dilahirkan. Berdasarkan Suyami dan Sunyoto (2004), Riwayat Berat Badan Lahir merupakan faktor yang memhubungani system kekebalan tubuh. Pada balita dengan riwayat BBLR yaitu berat badan kurang dari 2500 gram pada saat lahir, menyebabkan system kekebalan tubuh belum sempurna, sehingga daya tahan tubuhnya rendah. Hal ini menyebabkan anak rentan dan mudah terserang penyakit infeksi. Sesuai dengan penelitian Sugihartono dan Nurjazuli (2012), bahwa bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal.
c. Pemberian Air Susu Ibu
Berbagai penelitian telah mengkaji manfaat pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi, menurunkan morbiditas melalui imunitas alami bayi, mengoptimalkan partumbuhan bayi, membantu perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak kehamilan bagi ibu (Fikawati et al, 2010).
d. Status Imunisasi
Imunisasi adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dilemahkan atau dihilangkan virulensinya. Vaksin imunisasi merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Status imunisasi balita menggambarkan
Riwayat pemberian vaksin imunisasi pada balita sesuai dengan usia Balita dan waktu pemberian.
Berdasarkan Depkes (2008), jadwal imunisasi ditabulasikan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Dasar LengkapVaksinasi Jadwal pemberian-usia Booster /ulangan Imunisasi untuk melawan
BCG Waktu lahir -- Tuberkulosis
Hepatitis B Waktulahir-dosis I 1bulan-dosis 2 6bulan-dosis 3
1 tahun-- pada bayi yang lahir dari ibu dengan hep B.
Hepatitis B DPT dan Polio
3 bulan-dosis1 4 bulan-dosis2 5 bulan-dosis3 18bulan-Booster1
6tahun-Booster 2 12tahun-Booster3 Dipteria, pertusis, tetanus, dan polio
Campak 9 bulan -- Campak Sumber: Depkes (2008)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Depkes, 2008). Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum anak berusia di atas dua tahun kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Anak balita dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.
3) Faktor Rumah
Syarat-syarat rumah yang sehat (Suhandayani, 2007): a.
Bahan Bangunan
a) Lantai: Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang penting disini adalah tdak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan.
Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda- benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit gangguan pernapasan.
b) Dinding: Tembok adalah baik, namun disamping mahal tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan lebih baik dinding atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat menambah penerangan alamiah.
c) Atap genteng: Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genteng cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng ataupun asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di samping mahal juga menimbulkan suhu panas didalam rumah.
d) Lain-lain: Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama. Tapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus yang baik. Untuk menghindari ini cara memotongnya barus menurut ruas-ruas bambu tersebut, maka lubang pada ujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso tersebut ditutup dengan kayu.
b. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O
2
(oksigen) didalam rumah yang berarti kadar CO
2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).
c. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata.
4) Faktor Polusi
Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2 aspek yaitu (Keman, 2005): a.
Keberadaan Asap Dapur
Pencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di negara-negara berkembang. Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia, memasak dengan bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan batubara sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut. Pambakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan pencemaran udara di dalam rumah adalah asap dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor resiko dengan kejadian pneumonia pada balita. Penelitian Keman (2005) menunjukan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan adalah kayu memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan minyak/gas.
b. Keberadaan Perokok
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang tidak hanya dihisap oleh perokok, tapi juga dihisap oleh orang-orang yang ada di sekitarnya termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar akan mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat meningkatan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap
sidestream . Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap
mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau
asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina
pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni, 2002).
Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan kronis, lumpuhnya serat di jaringan paru
bronchitis elastin
mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2003).
C. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian Modifikasi Dharmage (2009),(Notoatmodjo, 2007), Suhandayani (2006), dan Keman (2005)
FAKTOR DEMOGRAFI : Jenis kelamin Usia Pendidikan Ibu FAKTOR BIOLOGIS : Status gizi Berat Badan lahir Pemberian ASI Status Imunisasi FAKTOR KEADAAN RUMAH :
Bahan bangunan (lantai, dinding, atap/genteng, tiang, kaso, reng) Ventilasi Cahaya FAKTOR POLUSI : Keberadaan asap dapur Keberadaan perokok Invasi Kuman (Bakteri, dan Virus)
Infeksi Saluran Pernafasan
Akut
D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Pendidikan Orang Tua
Kejadian ISPA Status Gizi Balita pada balita Riwayat Berat Badan Lahir Status Imunisasi Keberadaan asap dapur
Keberadaan Perokok
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian E. HipotesisHipotesis suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dalam perencanaan penelitian.
Hipotesis di dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2005). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1.
“Ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
2.
“Ada hubungan status gizi Balita dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
3.
“Ada hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
4.
“Ada hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
5.
“Ada hubungan keberadaan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
6.
“Ada hubungan keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon”.
7. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon adalah keberadaan perokok.