PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PELAKU WHISTLEBLOWER PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

  

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PELAKU

WHISTLEBLOWER PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum UPN “VETERAN” J awa Timur

  

Oleh:

MOCH. REZA ADITYA

0771010080

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

  

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA

  

2012

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PELAKU WHISTLEBLOWER PADA TINDAK PIDANA KORUPSI”.

  Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Haryo Sulistiyantoro, SH., MM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”Jawa Timur dan sekaligus Dosen Pembimbing Utama yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan selama mengerjakan skripsi ini.

  2. Bapak Sutrisno, SH., Mhum., selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

  3. Bapak Drs. EC. Gendut Soekarno, M.S., selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

  4. Bapak Subani, SH.,M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum dan yang selalu memberikan bekal ilmu serta nasehatnya kepada peneliti selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” jawa Timur .

  5. Ibu Mas Anienda TF.,SH.,MH selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan selama mengerjakan skripsi ini.

  6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

  7. Segenap pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

  8. Kedua Orang Tua, Abd.Rahem Ayahku dan Siti Ruchanah Ibuku yang telah membiayai dan selalu memberi semangat dan curahan kasih sayang tanpa henti.

  9. Teman sekaligus kekasih tercinta Ruvi Meriana yang selalu memberikan semangat agar jangan pernah menyerah untuk menyelesaikan skripsi ini.

  10. Teman – teman seperjuangan yang telah menjadi saudaraku selama kuliah di sini.

  Peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa skripsi ini Insya Allah akan berguna bagi rekan-rekan di Progam Studi Ilmu Hukum, maka saran serta kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

  Surabaya, Juni 2012 Penulis UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

  Nama : Mochammad Reza Aditya NPM : 0771010080 Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 28 Desember 1989 Progam Studi : Pidana Judul Skripsi :

  PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PELAKU WHISTLEBLOWER PADA TINDAK PIDANA KORUPSI ABSTRAKSI Pertumbuhan kasus korupsi di Indonesia sangatlah cepat dibandingankan dengan pengungkapannya. Saat ini muncul fenomena baru dalam dunia hukum dimana munculnya sesesorang yang berani mengungkap fakta di balik terjadinya tindak pidana korupsi. Sang pengungkap fakta dapat di sebut dengan whistleblower. Whistleblower biasanya di tujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang di anggap illegal. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji literatur-literatur yang berkaitan, pendapat para ahli hukum terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk- bentuk perlindungan hukum yang akan didapatkan oleh whistleblower serta pertanggungjawaban whistleblower sebagai pelaku dalam artian menggungkap fakta namun ikut juga terlibat atau sebagai saksi yang hanya menyampaikan informasi yang diketahuinya. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bentuk-bentuk perlindungan yang didapat oleh whistleblower adalah mendapatkan jaminan tidak dapat dituntut secara hukum apabila tidak ikut terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkannya sesuai dengan

  pasal 10 UU LPSK Tahun 2006 serta jaminan akan keamanan pribadi. Pertanggungjawaban whistleblower sebagai pelaku adalah dapat dipidana jika sang pengungkap fakta memiliki unsur unsur pidana didalamnya namun tidak dapat dituntut jika hanya menjadi saksi saja karena perlindungan hukum tersebut telah dijamin oleh undang-undang.

  Kata Kunci : Whistleblower, Korupsi, Perlindungan hukum

  

DAFTAR ISI

HALAMAN J UDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJ UAN MENGIKUTI UJ IAN SKRIPSI .................. ii

HALAMAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI…………………………… iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................................. vii

ABSTRAKSI .................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

  1.5.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi ..................................

  1.5.7 Peran Whistleblower Di Indonesia ...................................... 23

  1.5.6 Peraturan Whistleblower Di Berbagai Negara .................... 21

  1.5.5 Sejarah dan keberadaan Whistleblower ............................... 20

  1.5.4 Pengertian Whistleblower .................................................. 18

  1.5.3 Jenis Jenis Korupsi.............................................................. 16

  14

  1.5.2 Faktor faktor Penyebab Korupsi .......................................

  13

  13

  1

  1.5 Kajian Pustaka ............................................................................

  11

  1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................

  11

  1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................

  10

  1.2 Rumusan Masalah ......................................................................

  1

  1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................

  1.5.8 Peraturan yang Mengatur Tentang Whistleblower............... 25

  1.6.1 Jenis Penelitian ...............................................................

  2.1 Mendapatkan Jaminan Untuk Tidak Dapat DiTuntut Secara Hukum 35

  4.1 Kesimpulan ………………………………………………………….. 56

  

BAB IV PENUTUP................................................................................................. 56

  3.2 Pertanggungjawaban Whistleblower ……………………………. 52

  3.1 Kriteria seorang Whistleblower………………………………….... 48

  46 BAB III PERTANGGUNG J AWABAN WHISTLEBLOWER...…………… 48

  2.2 Perlindungan Atas Keamanan Pribadi ........................................

  33 BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER ………………………………………………….. 34

  29

  1.6.5 Sistematika Penulisan .....................................................

  33

  1.6.4 Metode Pengolahan Data ................................................

  33

  1.6.3 Metode Pengumpulan Bahan dan/atau Data ....................

  30

  1.6.2 Sumber Data ...................................................................

  4.2 Saran ………………………………………………………………… 57 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

  

LAMPIRAN I :WAWANCARA DENGAN PETUGAS POLRESTA

MOJOKERTO

LAMPIRAN II :UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG

KEMERDEKAAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI

  MUKA UMUM

LAMPIRAN III :PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK

  INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Berbicara tentang korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum.

  Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya undang-undang ini tidak mampu melaksanakan tugasnya sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam arti harfia, korupsi dapat berupa : (1) Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran, (2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya, (3) Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

  Kemajuan suau negara tidak terlepas dari keberhasilanya dalam menangani dan menyelesaikan suatu tindak pidana yang terjadi dalam negara tersebut, tidak terkecuali pada tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman bagi negara manapun karena telah merusak insfrastruktur dan perekonomian dunia secara menyeluruh baik pada negara berkembang maupun negara maju sekalipun. Dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi pada penjelasan umumnya menerangkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal ini disebabkan karena tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarkat sehingga diperlukan cara yang luar biasa pula dalam pemberantasanya. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas di masyarakat.

  Perkembangan terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun dari jumlah kerugian keuangan negara manapun dari segi kualitas tindak pidana yan dilakukan secara sistematis serta ruang lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Perkembangan korupsi sampai saat ini pun merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya. Itulah sebabnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi ini sangatlah serius dan kompleks karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, bahkan akan merusak nilai

  1 demokrasi dan moralitas suatu negara .

  Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama

  kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yangdianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massaatau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya

  Penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kehadiran saksi (termasuk pelapor) sangat diperlukan mengingat sulitnya bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang ditangani apabila tidak adanya kehadiran saksi (termasuk pelapor). Tidak banyak 1 orang yang bersedia mengambil resiko untuk menjadi whistleblower dan

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.1. mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena pengungkapan kasus tersebut. Begitu pula dengan saksi, jika tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat, dan dirasakannya sendiri.

  Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam penempatannya dalam Pasal 184 KUHAP. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peyelidikan dalam peradilan pidana. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat penyidikan, penuntutan sampai pada pemeriksaan di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa.

  Kedudukan whistleblower yang demikian penting ini nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagaian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Sudah saatnya whistleblower diberi perlindungan secara hukum, fisik, maupun psikis. Melihat pentingnya perlindungan whistleblower dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di Indonesia ada beberapa hal yang telah diatur mengenai hal tersebut yakni tertuang dalam peraturang perundang-undangan yang berlaku, pada Bab V pasal 41 mengenai peran serta masyarakat dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang meyatakan bahwa: 1)

  Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 2) serta mansyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk.

  a.

  Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya tindakan telah terjadi tindak pidana korupsi; b.

  Hak untuk memperoleh pelayanan dalam menccari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c.

  Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d.

  Hak untuk memperoleh jawaban aatas pertanyaan tentang laporanya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e. Hak untuk memperoleh pelindungan hukum dalam hal :

  1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c;

  2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam dalam mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi;

  4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku dan denhgan mentaati norma agama dan norma sosial lainya;

  5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

  2 .

2 IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

  Pasal 41 ayat (2) huruf e Undang-Undang No.31 Tahun 1999 menyatakan bahwa masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat perlindungan hukum dari pemerintah. Sejak 21 Agustus Tahun 2000 telah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000. Walaupun telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi saksi (termasuk pelapor) dan korban dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi hal melindungi sang pengungkap fakta (whistleblower) tersebut belum jelas dan kurang memadai dalam melindungi whistleblower tersebut di Indonesia. Karenanya perlu diatur secara komprehensif perlindungan terhadap pengungkap fakta (whistleblower) dalam satu undang-undang khusus.

  Berkaitan dengan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut agar para pengungkap fakta (Whistleblower) tidak merasa takut dan ragu lagi dalam mengungkap kasus korupsi yang diketahuinya dan menuliskannya dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

  Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun- temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi pelaku korupsi. Di tengah-tengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, akhir-akhir ini sering terdengar istilah

  WhistleBlower sebagai salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  istilah WhistleBlower dalam bahasa inggris diartikan sebagai ” Peniup Peluit” disebut sedemikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah ” Peniup Peluit” diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.

  Adapun pengertian WhistleBlower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (WhistleBlower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang pelindungan saksi dan korban tidak memberikan pengertian tentang ” pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No.13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar sendiri, di lihat

  3 sendiri, atau di alami sendiri.

  Secara umum pengertian whistleblower adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya,

  4

  malpraktik, mal-administrasi maupun korupsi Dalam berbagai negara kasus yang menjadi perhatian dalam konteks

  whistleblower terkait dengan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan

  yang tidak pantas, dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum; bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum; dan bahaya terhadap lingkungan. Oleh karena itu maka konteks whistleblower ini tidak hanya mencakup masalah criminal (pidana) tapi mencakup bidang yang lebih luas. Dalam prakteknya dibedakan antara whistleblower dengan para pelapor dan informan. Namun perbedaan utamanya adalah para whistleblower tidak akan memberikan kesaksiannya langsung di muka persidangan (peradilan), jadi jika ia memberikan kesaksiannya ke muka persidangan, maka statusnya kemudian menjadi ”saksi”.

  3 . pengertian saksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah sama dengan pengertian saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  4 . http:// perlindungansaksi.files.wordpress.com, pengertian saksi dan perlindungan bagi

  Para whistleblower ini sangat rentan akan intimidasi dan ancaman karena status hukumnya (di indonesia) tidak diakui. Dalam kasus pidana korupsi, mereka biasanya disebut sebagai para pelapor (dikatagorikan saja

  5 secara sederhana berdasarkan KUHAP) .

  Adapun pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi sesuatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan

  6 pelapor.

  Perlindungan bagi whistleblower apabila merujuk pada UU Nomor

  13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tudak dijelaskan secara implisit, namun secara eksplisit dapat dilihat dalam pasal

  10 Tahun 2006 yang berbunyi: ”seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidan jika ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan. Tetapi kesaksiannya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan”.

  Menurut pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa pasal 10 ayat 2 UU No.13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat

  whistleblower, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan

  terhadap seorang whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.

  5 . ibid

  6 . pn-purworejo.go.id, Anwar Usman, Dan AM. Mujahidin, whistleblower Dalam

  Lebih lanjut Eddy O.S. Hiriej memberikan penilaian bahwa pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) kerancauan.pertama, saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan hak excusatie terdakwa. Hal ini merupakan salah satu unsur objektifitas peradilan. Ketika whistleblower sebagai saksi dipengadilan maka keterangannya sah sebagai terdakwa yang diberikan tidak dibawah sumpah kedua, disitulah letak adanya ambigu, siapa yang akan disidangkan terlebih dahulu atau disidangkan secara bersamaan.

  Ketiga, ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 bersifat contra

  legem dengan ayat (1) dalam pasal dan Undang-Undang yang sama, pada

  hakikatnya menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana.

  1.2. Rumusan Masalah Perumusan masalah dimaksudkan untuk memberi arah penelitian serta untuk memudahkan pembahasan terhadap permasalahan yang penulis ambil sehingga tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang sebenarnya. Maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaiamana bentuk pelindungan Hukum bagi pelaku

  whistleblower 2.

  Apa bentuk pertanggung jawaban pelaku whistleblower dalam Hukum Positif di Indonesia

  1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah :

  1) Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pelaku pada kasus korupsi di Indonesia, jika dikaitkan

  whistleblower dengan pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2006.

  2) Bagaimana pengaturan hukum para pelaku whistleblower

  1.4. Manfaat Penelitian 1.

  Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan penulis di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pengaturan perlindungan tentang pelaku whistleblower. Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan masukan dan pemikiran serta menambah pengetahuan mengenai kasus yang diteliti.

2. Bagi Penulis

  Sebagai Wawasan dan menambah pengetahuan tentang peraturan- peraturan yang berlaku dalam penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Bagi Fakultas

  Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang akan menulis skripsi pada bidang yang sama dan sebagai sumbangan untuk melengkapi pembendaharaan dan referensi bagi perpustakaan fakultas.

1.5 KAJ IAN PUSTAKA

  1.5.1. Pengertian tindak pidana korupsi Istilah Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptio yang berarti penyuapan. Dalam ensiklopedi Indonesia, Korupsi diartikan sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

  7 pemalsuan serta ketidakberesan lainnya .

  Sedangkan secara harfiah, korupsi memiliki arti yang sangat luas, antara lain sebagai berikut: a. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

  b. Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui

  8 kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

  Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik tentang kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertententangan dengan ketentuan hukum

  9 yang berlaku .

7 Ridwan Zachrie Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009,

  8 h.5.

  Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, PT. Kompas Media Nusantara,

  1.5.2 . Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

  Menurut Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni : Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).

  10 Analisa yang lebih detil

  lagi tentang penyebab korupsi dilihat dari faktor internal diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain: a. Sifat tamak manusia.

  Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

  b.

  Moral yang kurang kuat.

  Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

  c. Penghasilan yang kurang mencukupi.

  Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

  d. Kebutuhan hidup yang mendesak.

  Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

  e. Lemahnya pendidikan agama dan etika.

  Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang

  

11

diterapkan dalam kehidupan .

  Faktor Eksternal atau Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya. Dr.Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni: a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat, b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi, c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi,

  12 d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi .

  11

1.5.3 Jenis-Jenis Korupsi

  Jenis-jenis tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor

  31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah: 1.

  Melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

  2. Dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukannya.

  3. Memberi hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau kedudukannya.

  4. Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat.

  5. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat.

  6. Memberi sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

  7. Memberi janji.

  8. Sengaja membiarkan perbuatan curang.

  9. Sengaja menggelapkan uang atau surat berharga. Sedangkan korupsi pasif, antara lain : 1.

  Menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat.

  2. Menerima penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang.

  3. Menerima pemberian hadiah atau janji.

  4. Adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu.

  5. Menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan

  13 jabatannya .

13 Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 29-30.

  Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.

  Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  1. Kerugian Keuangan Negara.

  2. Suap Menyuap

  3. Pemerasan

  4. Penggelapan dalam Jabatan

  5. Perbuatan curang

  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

  14 7. Gratifikasi .

  1.5.4. Penger tian Whistleblower Istilah Whistleblower dalam bahasa inggris dapat diartikan sebagai

  ”peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana wasit dalam sebuah pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai penggungkapan fakta terjadinya pelanggaran.. Dalam tulisan ini, istilah ”peniup peluit” diartikan sebagai orang yang menggungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal,bahaya, malpraktik atau tindak

  15 14 pidana korupsi.

H. Marsono, Perangkat Yuridis Dalam Pemberantasan Tindak.Pidana Korupsi, http://dprd- sukoharjokab.go.id/news_detail.php?id=38, diunduh pada Hari Rabu, 13 Agustus 2011, 23.10.

  15 . pn-purworejo.go.id, Anwar Usman, Dan AM. Mujahidin, whistleblower Dalam Perdebatan

  Seorang whistleblower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.

  Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.

  Pada umumnya, whistleblower akan melaporkan kejahatan di lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang

  whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal

  ketika proses penyelidikan laporannya mandeg. Ia dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas yang lebih tinggi, semisal langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau kepada otoritas publik di luar organisasi yang berwenang serta media massa.

  Langkah ini dilakukan supaya ada tindakan internal organisasi atau tindakan hukum terhadap para pelaku yang terlibat. Hanya saja terdapat kecenderungan yang tak dapat ditutupi pula bahwa jika terjadi sebuah kejahatan dalam organisasi, maka otoritas tersebut bertindak kontraproduktif. Alih-alih membongkar, terkadang malah sebaliknya, menutup rapat-rapat kasus.

  Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafi a itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

  Seringkali masyarakat menganggap bahwa saksi dan whistleblower adalah sama. Padahal ini serupa tetapi tidak sama. Pasal 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebut saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan atau dialami sendiri.

  Sementara dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut.

  1.5.5 Sejar ah Dan Keber adaan Whistleblower Di Ber bagai Negar a Menurut sejarahnya Whistleblower sangat erat dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di

  Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.

  Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh Mafioso (sebutan terhadap anggota mafia) bergerak di perdagangan heroin dan berkembang di berbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai negara seperti Mafia di Rusia, Cartel di Kolombia, Triad di China, dan Yakuza di Jepang.

  Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga orang-orang mereka bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu

  16 eksekutif, legislatif maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.

  Tidak jarang suatu sindikat bisa terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka melakukan tindakan sendiri sebagai ”peniup pluit” (Whistleblower) untuk menggungkap kejahatan yang mereka lakukan kepada publik atau aparat penegak hukum. Sebagai imbalannya maka Whistleblower tersebut akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

  16

  1.5.6 Peratur an Whistleblower Di Ber bagai Negar a Dalam seluruh dunia ada beberapa negara yang telah mempunyai undang-undang maupun peraturan yang mengatur tentang whistleblower.

  Hal ini dimaksudkan untuk melindungi seseorang yang siap untuk membongkar suatu tindak pidana sehingga tidak meresa takut jika terjadi intimidasi atau adanya ancaman dari pihak yang merasa dirugikan

  Adapun peraturan yang menyangkut whistleblower di berbagai negara di antaranya adalah:

  1. Amerika Serikat, Whistleblower diatur dalam Whistleblower act 1989,

  Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan,

  penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan diskriminasi.

  2. Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected

  Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi

  perlindungan dari Accupational Detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan

  3. Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of

  Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang

  memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.

  4. Australia, Whistleblower diatur dalam pasal 20 dan 21 Protected

  Dsdosures Act 1994. Whistleblower indentitasnya dirahasiakan, tidak

  ada pertanggungjawaban secara pidana maupun perdata, perlindungan dari pencemaran nama baik, perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.

  5. Inggris, Whistleblower diatur dalam pasal 1 dan pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh di pecah dan dilindungi

  17

  dari victimisasi serta perlakuan yang merugikan

  1.5.7 Peran Whistleblower Di Indonesia Perkembangan modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita akhir-akhir ini menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih.

  Kenyataan ini juga mendorong upaya penggungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari cara-cara konvensional. Adapun, salah satu cara untuk menggungkap terorganisrnya praktik korupsi tersebut maka diperlukan peran whistleblower yang dapat mendorong penggungkapan modus tindak pidana korupsi menjadi relatif lebih mudah untuk dibongkar.

  Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan suatu gosip bagi pengungkapan korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan Whistleblower itu benar- benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang

  whistleblower harus hati-hati menerimanya, tidak sembarangan apa yang

  18

  dilaporkan itu langsung diterima dan harus di uji dahulu

  Whistleblower berperan untuk memudahkan penggungkapan

  tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam disebuat institusi dimana di tenggarai atau dicurigai taleh terjadi praktek korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana dia bekerja. Seorang Whistleblower ini bisa merupakan orang yang

  18 sama sekali tidak terlibat dalam perbuatan korupsi yang terjadi di praktik tindak pidana tersebut.

  Dalam Konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji ulang serta bagaimana mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Sebab secara yuridis normative, berdasar Undang-undang Nomor.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat 2 menjelaskan bahwa keberadaan Whistleblower tidak mempunyai tempat untuk mendapatkan suatu perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat di bebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

  Hak istimewa yang diberikan kepada Whistleblower sebagai pengungkap fakta akan diklasifikasikan. Hal itu penting untuk mengantisipasi bila ada pihak memanfaatkan hal itu untuk melarikan diri.

  Jika seseorang telah menjadi terdakwa kemudian bertindak seolah-olah menjadi pengungkap fakta (whistleblower) untuk menyelamatkan diri bisa-bisa banyak orang yang menirunya maka akan di atur klasifikasi tersebut dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang

  

19

perlindungan saksi dan korban.

  1.5.8 Per atur an yang Mengatur Tentang Whistleblower

  A. Pasal 10 Ayat 1 dan 2 Undang-undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

  Ayat 1 menjelaskan saksi, korban, dan pelopor tidak dapat di tuntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau, di berikannya. Ayat 2 menjelaskan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

  20 dijatuhkan.

  B. PP Republik Indonesia nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

  Pasal 2 (1) Setiap orang, Organisasi masyarakat, atau lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.