TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima
TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima
MUHAMMAD ERWIN NIM. 071214453011 PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014
RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Ilmu Politik Pada Program Magister Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Oleh : Muhammad Erwin 071214453011 PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014
HALAMAN PERSETUJUAN PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 7 JULI 2014 Oleh : Pembimbing Ketua Dr. Siti Aminah, MA NIP.19655022419890032002 Pembimbing Kedua Drs. Aribowo, MS NIP.195808011985021002 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si NIP.196507191990031002
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Telah Diuji Oleh Panitia Penguji Tesis Sidang Terbuka Tanggal 21 Juli 2014
PANITIA PENGUJI Tanda Tangan Ketua :
Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si ( ................................)
Anggota:
1. Dr. Kris Nugroho, M.Si ( ............................... )
2. Dr. Siti Aminah, MA ( ............................... )
3. Drs. Aribowo, MS ( ............................... )
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
Dengan ini saya, Muhammad Erwin, menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana (S1) ataupun Magister (S2) dari Universitas Airlangga ataupun Perguruan Tinggi lain.
Semua informasi yang terdapat di dalam karya ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan maupun tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber kutipan penulis secara benar, dituliskan dengan format kutipan dalam isi penulisan proposal tesis dan penulisan tesis. Semua isi dari karya ilmiah atau tesis ini sepenuhnya asli dan menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.
Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Airlangga.
Surabaya, 16 Juli 2014 (Muhammad Erwin)
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah yang amat mendalam kepada Illahi Robbi, tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya dan Rosulku pembuka umat yang menjadi pelita hidup. Segala kesulitan, kelelahan dan kebanggaan tugas akhir ini kuhaturkan untuk mereka yang begitu sangat memberi arti dalam perjalanan hidupku serta pihak- pihak disekitar saya yang turut memberikan sumbangsih dukungan baik materil maupun moral, pemikiran, akses informasi, saran/kritik, serta kerjasamanya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, antara lain :
Kepada Pembimbing I, Dr. Siti Aminah, MA. Penulis tuturkan penghargaan, penghormatan serta ucapan terima kasih sebesar-besarnya, oleh karena telah sabar membimbing, mengarahkan saya dalam penyelesaian tesis ini. Pada waktu sibuk pun Beliau sempatkan membalas SMS sejenak untuk sekedar memberikan informasi mengenai waktu tenggang untuk bisa konsultasi bimbingan. Dalam proses bimbingan pun masih cukup mudah memberikan arahan-arahan solusi perbaikan tesis ini untuk melengkapi data tesis ini.
Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih, juga penulis sampaikan kepada Pembimbing II, Drs. Aribowo, MS. Walaupun penuh dengan kesibukannya sebagai Dekan Fkultas Ilmu Budaya (FIB), Beliau masih bisa menyempatkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dengan baik demi penyelesaian Tesis ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik yang sekaligus merupakan ketua tim penguji Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si yang telah mendampingi saya selama menimba ilmu di kampus tercinta ini.
Tak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Dr. Kris Nugroho, MA. Selaku anggota tim penguji tesis. Beliau telah turut mewarnai tulisan ini dengan saran dan kritik yang bersifat konstruktif.
Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh struktur universitas Airlangga, terutama Staf Pengajar S2 Ilmu Politik. Kepada Rektor Universitas Airlangga Dr. H. Fasich, APT. Dekan Fakultas FISIP Universitas Airlangga Dr. I Basis Susilo, MA. Dan seluruh staff pengajar Magister (S2) Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Ramlan Surbakti, Drs, MA, Ph.D. prof. Kacung Marijan, Drs, MA, Ph.D. Drs. Priyatmoko MA, Dr. Dwi Windyastuti, MA, Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si, Dr. Kris Nugroho, MA, Drs. Haryadi MA, Drs. Wisnu Pramutanto, M.Si, Dr. Siti Aminah, MA, Drs. Sutrisno, MS, Drs. Aribowo, MS, serta seluruh staf administrasiilmu politik yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk mbak Hilda dan mas Tino orang yang paling sabar yang pernah saya temui, semoga kesabaran mas dalam melayani kami menjadi amal kelak di kemudian hari.
Kepada seluruh sahabat-sahabatku program Pasca Sarjana Ilmu Politik angkatan 2012 dan 2013 yang telah mewarnai perjalanan hidupku kurang lebih 2 tahun di kota termacet nomor empat dunia ini, mas Renald, mas Frets, mas Halim, mas Novi, Nailis, mbak Riva, Fajar Muharram, Fajar
Ismail, Risca, mas Boni, dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih buaanyak sobat, aku bangga bisa berteman & menjadi bagian dari kalian semua semoga cerita ini akan berlanjut dikemudian hari
Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih sangat tulus dengan penuh kerendahan hati kepada mama dan papa tersayang yang senantiasa memberikan doa, semangat, bimbingan, cinta dan kasih sayang yang tiada batas, adik Rengga, abang Agaf, serta tak lupa untuk calon istriku Dyah.
Penulis ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Camat Lambu Bapak Mustafa H. AR, beserta jajarannya yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan selama proses penelitian.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa saya haturkan kepada Bapak Hasanudin, Bapak M. Syafrin, mas Wardan, Bapak Mulyadin dan tokoh-tokoh penggerak rakyat lambu lainnya serta seluruh masyarakat Lambu yang bersedia di repotkan selama proses pengumpulan data.
Tidak lupa juga untuk sahabatku Andre (tuan guru) beserta keluarga yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih telah menjadi teman, keluarga selama saya berada ditanah yang baru pertama kali kuinjakkan kaki.
Surabaya, 2015
Penulis
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, faktor apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan terhadap korporasi, implikasi gerakan, serta siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di tanah Lambu Kabupaten Bima. Dalam menganalisis perlawanan rakyat Lambu terhadap korporasi dikaji dan ditelusuri faktor penyebab, implikasi gerakan, serta faktor kepemimpinan aktor gerakan dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap korporasi. Faktor kepemimpinan dikaji untuk mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi terjadinya perlawanan rakyat Lambu. Untuk merekonstruksi peristiwa penolakan rakyat Lambu terhadap izin usaha pertambangan sebagai sebuah gerakan perlawanan politik dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Metode ini dipilih karena lebih mampu menemukan fakta dan mampu mengurai ralitas di lapangan dengan teori. Hasil penelitian menunjukkan perlawanan rakyat Lambu digerakkan oleh kondisi deprivasi relatif yang disebabkan oleh sikap arogansi kepala daerah yang kemudian berubah menjadi deprivasi kolektif sehingga mereduksi tindakan masyarakat Lambu untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan. Sedangkan, implikasi dari gerakan ini terjadinya berbagai peristiwa kekerasan massa serta membawa dampak terhadap tergeraknya kecamatan-kecamatan lain untuk turut menolak keberadaan perusahaan tambang di Kabupaten Bima
Kata kunci:
perlawanan politik, kekerasan massa
ABSTRACT This study aimed to describe the background, what factors cause resistance to the corporate community, the implications of the movement, as well as any actor who led the movement and through any institution driven masses in opposition refused to allow mining on Lambu Bima. In analyzing people's resistance against corporate Lambu ditelisuri assessed and the causes, implications of the movement, and the movement of the actor's leadership in mobilizing the community to take the fight against the corporation. Factors studied leadership to know and understand how big contribution in motivating the people's resistance Lambu. To reconstruct the events of rejection Lambu people against mining license as a political resistance movement carried out by the method of qualitative research with descriptive analysis. This method was chosen because it is able to find the facts and be able to parse the morality in the field with the theory. The results showed resistance Lambu people driven by relative deprivation conditions caused by the arrogance of the head area which later turned into a collective deprivation thus reducing Lambu to mobilize community action demands through violence expression. Meanwhile, the implications of this movement the occurrence of various events of mass violence and the impact on other subdistricts
tergeraknya to participate reject the existence of a mining company in Bima
Keywords :political resistance, mass violence
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Depan ......................................................................................... i Halaman Sampul Dalam ........................................................................................ ii Halaman Persyaratan Gelar .................................................................................... iii Halaman Persetujuan ............................................................................................. iv Halaman Penetapan Panitia Penguji ..................................................................... v Halaman Pernyataan Orisinalitas .......................................................................... vi Ucapan Terima Kasih ........................................................................................... vii Abstrak .................................................................................................................. x Abstract ................................................................................................................ xi Daftar Isi ............................................................................................................. xii Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv Daftar Gambar....................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 13 C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 13 D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 14 D.1 Manfaat Akademik ................................................................................... 14 D.2 Manfaat Praktis ......................................................................................... 14 BAB II KONSEPSI TEORITIS
2.1 Teori Deprivasi Relatif ........................................................................... 15
2.2 Teori Kekerasan Kolektif ........................................................................ 20
2.3 Kerangka Konseptual ............................................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................................ 31
3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 32
3.3 Penentuan Subjek Penelitian .................................................................. 32
3.4 Instrumen Penelitian .............................................................................. 34
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 35
3.5.1 Dept Interview ............................................................................... 35
3.5.2 Dokumentasi .................................................................................. 38
3.6 Teknik Analisa Data ............................................................................... 38
BAB IV GAMBARAN UMUM A. Sejarah Kabupaten Bima .............................................................................. 40 B. Letak Geografis Kabupaten Bima ................................................................ 43 C. Kondisi Topografi ........................................................................................ 45 D. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat............................................................ 46
1. Kondisi Sosial .......................................................................................... 46
2. Kondisi Ekonomi ..................................................................................... 47
E. Potensi Kekayaan Alam ............................................................................... 49
F. Profil Singkat Kecamatan Lambu ................................................................ 51
BAB V PERLAWANAN MASSA TERHADAP KORPORASI
5.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Lambu ................................................. 54
5.2 Awal Lahirnya Perlawanan masyarakat ...................................................... 58
5.3 Pembentukan FRAT ..................................................................................... 65
5.4 Penggalangan Dana Gerakan ...................................................................... 66
5.5 Aktor-Aktor Dalam Gerakan ....................................................................... 67
BAB VI KEKERASAN: ANTARA ALAT PERJUANGAN DAN NALURI KOLEKTIF A. Pembakaran Kantor Camat Lambu ................................................................. 72 B. Kisah Pilu di Pelabuhan Sape ......................................................................... 76 C. Runtuhnya Arogansi Kepala Daerah ............................................................... 81 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................................... 86 B. Saran dan Rekomendasi .................................................................................. 88 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89 LAMPIRAN ........................................................................................................ 92
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Antar Agen dengan Struktur .................................... 22Tabel 2.2 Jejaring Kekerasan .......................................................................... 24Tabel 2.3 Aras dan Dimensi Kekerasan .......................................................... 26Tabel 3.1 Daftar Informan .............................................................................. 33Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan ................................................ 44Tabel 5.1 Rentetan Peristiwa Perlawanan Rakyat Lambu .............................. 62Tabel 6.1 Kronologis Kejadian Tragedi Pelabuhan Sape ............................... 79DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual .................................................................. 30Gambar 6.1 Kantor Camat Lambu Setelah Dibakar ....................................... 75Gamabr 6.2 Kantor Bupati Bima Setela Dibakar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dinamika sosial-politik masyarakat di negeri ini pasca berakhirnya rejim Orde Baru menunjukkan perkembangan yang sungguh menarik untuk diamati. Bagaimana tidak, pada masa rejim Orde Baru masih berkuasa, hampir tidak ada
dinamika didalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan politik Orde Baru yang tidak memberikan peluang dan ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasi. Masyarakat diatur dan dibatasi perilaku dan tindakannya oleh norma, nilai dan sistem hukum yang berlaku. Barulah di era reformasi masyarakat memiliki panggung politik sehingga dapat leluasa untuk mengungkapkan kepentingan dan aspirasi politiknya.
Bergesernya tatanan kehidupan kebangsaan dari yang sebelumnya cenderung otoritarian menuju tatanan demokratis dinilai membawa efek pada kemunculan berbagai dinamika sosial politik di negeri ini. Berbagai dinamika tersebut diekspresikan dengan cara dan bentuk yang bervariatif mulai dari cara- cara yang konstruktif hingga yang destruktif. Berbagai dinamika sosial tersebut antara lain berupa gerakan separatis, kerusuhan antar etnis, kerusuhan antar agama, kerusuhan antar suporter sepak bola, konflik antar pendukung dalam pilkada, fenomena kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan (baca: TNI, Kepolisian, Satpol PP) terhadap masyarakat, sampai pada gerakan-gerakan perlawanan yang ditujukan kepada pemerintah seperti gerakan protes buruh, gerakan masyarakat miskin kota yang menolak penggusuran, serta aksi-aksi protes para petani.
Berbagai dinamika sosial-politik yang muncul di negeri ini pun berhasil menarik perhatian banyak peneliti antara lain adalah Wahyudi (2005), dalam bukunya yang berjudul Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus
Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang,
yang mengkaji struktur dan struktur gerakan sosial petani (peasant) di Kalibakar, Malang Selatan. Buku ini menggambarkan perjuangan petani Kalibakar dalam mengambil kembali (reklaiming) tanah nenek moyang mereka yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan industri. Namun, pemerintah menganggap pengambilalihan tanah tersebut oleh petani, yakni merupakan suatu usaha penjarahan kekayaan negara. Perjuangan gerakan petani tersebut sesungguhnya berlangsung cukup panjang dan mengalami pasang surut, yakni dimulai dengan usaha prosedural land reform sejak pasca pendudukan zaman Jepang, berlanjut ke Agresi Belanda ke-II, masa Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, masa Reformasi, dan hingga saat ini pun belum selesai.
Selanjutnya, penelitian dari Victor Silaen dalam bukunya Gerakan Sosial Baru: Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir yang berlangsung dua dasawarsa. Dalam penelitian ini Silaen mengangkat persoalan perjuangan rakyat yang dirugikan akibat dampak negatif yang dihasilkan perusahaan Indorayon yang telah bertahun-tahun tidak terselesaikan sejak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi. Dalam gerakan masyarakat Batak Toba Samosir muatan isu yang diangkat relatif kompleks diantaranya isu pencemaran lingkungan sebagai efek dari operasional perusahaan Indorayon, masalah adat, kesejahteraan, keadilan dan sosial-ekonomi bagi komunitas Batak Toba Samosir.
Yang unik dari temuan silaen adalah gerakan anti Indorayon tidak muncul dari kaum terpelajar melainkan digagas dan dimotori oleh para inang (ibu-ibu) yang berjumlah sepuluh orang, melalui aksi pencabutan tanaman ekaliptus yang ditanam oleh perusahaan itu ditanah adat mereka. Artinya kesadaran akan dampak negatif keberadaan perusahaan Indorayon malah pertama kali muncul dari kaum ibu-ibu (para inang).
Keunikan lain dari gerakan ini adalah terciptanya jejaring solidaritas se- Sumatera utara, bahkan nasional untuk mendukung perjuangan kesepuluh orang ibu ini, sehingga mereka tidak hanya terbebas dari penjara tetapi berhasil mendapatkan kembali tanah adat mereka. Selanjutnya adalah bahwa gerakan rakyat di kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir ini di dukung oleh tokoh- tokoh gereja di Sumatra Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan terbesar di Indonesia.
Selain itu, Soenyono, mengamati gerakan masyarakat miskin perkotaan yang mengambil setting masyarakat Stren Kali Kota Surabaya dalam ikhtiarnya menolak kebijakan penggusuran. Dalam gerakan sosial masyarakat Stren Kali Surabaya belum mencapai apa yang menjadi target dan tujuan gerakan yaitu keluarnya perda yang menetapkan bahwa tidak ada penggusuran bagi warga Stren Kali Surabaya, baru sebatas kebijakan penundaan penggusuran dalam waktu yang tidak diketahui. Dalam konteks yang lain Soenyono melihat kemunculan gerakan sosial-politik masyarakat, hal ini kemudian memicu eskalasi konflik baik
1
horisontal maupun vertikal tumbuh subur di negeri ini. tidak hanya terjadi di kota-kota besar dan pusat pemerintahan namun merambah hingga ke pelosok- pelosok daerah. Berbagai gerakan tersebut tersebar di berbagai daerah dengan ekskalasi konfik yang begitu luas, salah satu dari sekian kasus yang paling meradang adalah penolakan masyarakat Lambu Kabupaten Bima terhadap kebijakan pemerintah yang memberi ijin eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam mereka.
Peristiwa besar itu diawali dengan keputusan Bupati Bima yang
2
memberikan Izin eksplorasi kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) melalui SK. No. 188.45/367/004/2010 sebagai kuasa pertambangan dengan tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat dan lokasi pertambangan yang tidak jauh dari daerah pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Hal ini kemudian memicu gelombang protes dari warga setempat yang merasa dirugikan dengan keberadaan perusahaan pertambangan.
Penolakan masyarakat terhadap rencana eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang berlangsung di kecamatan Lambu Kabupaten Bima menjadi kasus yang menarik untuk diteliti, disamping faktor yang melatar belakangi lahirnya sikap kolektif masyarakat dalam menolak kehadiran perusahaan pertambangan, 1 gerakan yang dibumbui dengan aksi kekerasan massa terhadap instansi-instansi Masyarakat Stren Kali Surabaya Menolak Kebijakan Penggusuran (yang dilakukan pemerintah) Soenyono. 2005. Gerakan Sosial Masyarakat Miskin Perkotaan : Studi Kasus Gerakan Sosial . 2 Disertasi. Unair PT Sumber Mineral Nusantara adalah perusahaan tambang emas yang 95% sahamnya dimiliki
perusahaan asal Australia, Arc Exploration Ltd. Perusahaan itu diberi izin melakukan kegiatan eksplorasi selama lima tahun dengan luas area 24.980 hektare (ha), yang berada di wilayah Kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu, Kabupaten Bima, NTB. pemerintahan setempat, disisi lain juga memperlihatkan bagaimana negara dalam cengkeraman hegemoni korporasi.
Kabupaten Bima adalah salah satu daerah dengan intensitas konflik sosial yang tinggi. Berbagai peristiwa berdarah yang melibatkan massa besar sudah sering terjadi ditanah Bima tanah yang lebih dikenal dengan sebutan dana mbojo, beberapa diantaranya misalkan pada 14 Juni 2010 terjadi bentrokan antara massa aksi yang menolak hasil pilkada yang memenangkan pasangan Feri Zukarnain dan
H. Syafrudin dengan aparat kepolisian. Dalam peristiwa tersebut menghasilkan 11 korban luka-luka akibat terkena peluru tajam aparat kepolisian serta insiden pemboman kantor KPUD dan pembakaran kantor DPD Golkar oleh massa aksi. Selain itu ditemukannya pondok pesantren yang teridentifikasi sebagai pusat aktifitas teroris yang berlokasi di desa Sanolo, belum lagi bentrokan antar warga kampung hampir tidak terhitung jumlahnya, hal ini kemudian mengukuhkan Bima sebagai daerah dengan budaya kekerasan yang tinggi.
Disisi lain, Kabupaten Bima merupakan daerah dengan sejumlah potensi kekayaan sumber daya alam yang begitu besar. Potensi tersebut teridentifikasi berupa berbagai bahan galian seperti emas, mangan, tembaga hingga pasir besi. Potensi itu menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bima. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bima, terdapat 14 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan sebagai penyesuaian dari Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Bima sebelumnya. Terdapat Sebanyak 14 (empat belas)
IUP yang dikeluarkan itu yakni izin untuk eksplorasi jenis tembaga diberikan kepada PT Mineral Nusantara Citra Persada dan PT Indomineral Citra Persada mengantongi 2 (dua) IUP Operasi Produksi, PT Indomining Karya Buana mengantongi tujuh IUP Operasi Produksi, dengan jenis bahan galian berupa mangan dan pasir besi, sedangkan untuk bahan galian emas, pemerintah kabupaten menguasakan IUP eksplorasi kepada PT Bima Putera Minerals dan PT Sumber Mineral Nusantara. Selain 14 IUP itu, pemerintah Kabupaten juga mengeluarkan IUP Eksplorasi Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources pada tanggal 28 April 2010, dengan Nomor 188.45/357/004/2010 pada wilayah Desa Lido dan Soki, Kecamatan Belo.
Kekayaan alam berlimpah ruah yang dimiliki suatu daerah sejatinya merupakan anugerah tuhan yang tidak ternilai harganya, namun tidak jarang pula menjadi bencana bagi daerah dan rakyat. Berkaca pada daerah-daerah yang lebih dulu melakukan eksplorasi kekayaan alam seperti Freeport di Papua, Blok Cepu di Kabupaten Blora, dan yang paling dekat adalah daerah tetangga Kabupaten Sumbawa Barat yang memiliki PT Newmont. Kenyataannya keberadaan perusahaan-perssahaan tambang tersebut tidak mampu mengangkat taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat, yang menonjol justru dampak negatif yang ditimbulkan baik secara ekologi maupun dampak secara sosial.
Dampak dari kegiatan pertambangan menurut Muhammad dalam Sulto (2011) dapat bersifat positif bagi daerah pengusaha pertambangan, sedangkan Noor dalam Sulto (2011) mengatakan bahwa kegiatan pertambangan bersifat negatif terhadap ekosistem daerah setempat. Munculnya dampak positif maupun negatif dari usaha pertambangan, terjadi pada tahap eksplorasi, eksploitasi hingga apa yang akan terjadi setelah penambangan selesai tidak akan bisa terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan oleh karenanya itu dalam proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan kelak, seperti yang telah dipesankan oleh Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama dalam pidato Tri Sakti 1963 yang menganjurkan agar kekayaan alam Negara ini tetap tersimpan di perut bumi, hingga Saat putra-putri bangsa indonesia sudah mampu untuk mengelolahnya sendiri.
Namun perlu juga di ingat persoalan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sering kali menghadirkan konflik. Konflik dibidang pertambangan biasanya melibatkan banyak aktor namun secara sederhana berwujud konflik antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan korporasi, pemerintah dengan korporasi dan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sedangkan konflik Lambu adalah konflik yang melibatkan masyarakat dengan korporasi dan pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Masyarakat menuntut agar surat keputusan pemerintah daerah tentang izin eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam disekitar mereka segera dicabut. Masyarakat menilai keberadaan perusahaan tambang dapat merusak alam.
Penolakan masyarakat Lambu terhadap keberadaan perusahaan tambang diwujudkan melalui aksi-aksi protes yang kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan dengan melibatkan massa besar, dan melahirkan gejolak sosial yang begitu besar di tanah Bima. Menurut Michael C. Hudson dan Charles Lewin Taylor Unjuk rasa atau demonstrasi - aksi protes merupakan ekspresi atau akatualisasi nilai dan kepentingan politik masyarakat yang dibenturkan secara langsung dengan nilai dan kepentingan politik negara.
Dalam negara demokrasi aksi protes, demonstrasi, pawai tentu saja menjadi hal yang sah saja terjadi. Di Indonesia pun diatur dalam UU No. 9/1998 tentang Keemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 2 ayat 1 dan 2, dan Pasal 9 ayat 1. Namun reaksi yang berlebihan tentu juga tidak dibenarkan dalam konstitusi misalkan tindakan yang mengarah pada kekerasan, seperti mengganggu ketertiban umum serta merusak fasilitas publik. Sebaliknya pemerintah juga tidak menggunakan cara-cara represif ketika menghadapi gejolak di akar rumput.
Perjuangan masyarakat lambu dilandasi oleh tuntutan agar pemerintah daerah mencabut SK. izin operasional PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang merugikan masyarakat setempat. Diawali dengan keengganan Camat Lambu untuk ikut mendukung perjuangan masyarakat yang menutut dicabutnya SK Bupati Nomor 188 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara. Masyarakat yang merasa geram dan merasa aksi protesnya selama ini tidak ditanggapi serius akhirnya meluapkan amarahnya dengan membakar kantor Camat Lambu.
Konflik Lambu telah mengorbankan sejumlah fasilitas publik serta memakan korban jiwa. Dari data yang dihimpun di lapangan terdapat beberapa instansi pemeritahan yang dibakar massa pada konflik Lambu antara lain; Kantor Camat Lambu, Kantor Dinas Kehutanan Kecamatan Lambu, Kantor Urusan Agama (KUA) Lambu, Kantor Polsek Lambu, Kantor Pertanian Kecamatan Lambu, dan 4 (empat) kantor kepala desa yaitu desa Lanta, desa Sumi, desa Soro, dan desa Melayu, dan yang terakhir adalah Kantor Bupati Bima yang merupakan pusat aktifitas pemerintahan Kabupaten Bima.
Selain itu, sebelum kejadian pembakaran Kantor Bupati Bima oleh massa aksi, terdapat aksi kekerasan massa lainnya yang bahkan menyita perhatian nasional yaitu peristiwa di pelabuhan sape pada 24 Desember 2011, massa menduduki pelabuhan sape yang kemudian menyebabkan jalur transportasi Bima
- Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur menjadi lumpuh total. Puncak dari peristiwa ini terjadi bentrokan antar massa aksi dengan aparat kepolisian pada tanggal 24 Desember 2011 yang berujung pada jatuhnya 2 (dua) korban jiwa dan ratusan orang luka-luka.
Jika merujuk pada pemikiran Gandhi tentang ahmsa (nir-kekerasan) atau perlawanan tanpa kekerasan tentu apa yang dilakukan masyarakat Lambu tidak dibenarkan. Namun jika mengacu pada teori gerakan sosial baru, penggunaan kekerasan dalam gerakan perlawanan dianggap sah-sah saja. Asumsinya adalah apakah kita harus menyerah begitu saja terhadap perampok dan pencuri yang masuk ke rumah menjarah dan merampas harta benda atau kehormatan kita serta tidak segan untuk menciderai kita, dalam hal ini apakah salah ketika kita menggunakan kekerasan untuk melawan mereka.
Pemaknaan kekerasan dari sudut pandang teori gerakan sosial baru terbagi menjadi dua sifat antara lain, kekerasan itu bersifat ofensif apabila secara aktif dipakai untuk menyerang orang lain atau sumber daya yang dijadikan tujuan kekerasan. Kekerasan bersifat defensif apabila hanya dipakai untuk membela diri.
Kalau itu ditarik pada gerakan yang terjadi di tanah Lambu maka peggunaan kekerasan dalam gerakan penolakan terhadap ijin usaha pertambangan yang berlokasi disekitar pemukiman mereka dapat dikatakan sebagai bentuk usaha masyarakat mempertahankan hak-haknyaa atas ligkungan disekitar area pemukiman mereka.
Disisi lain, undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan lebih bagi Daerah dalam urusan pengelolaan pertambangan di daerah, termasuk dalam hal perijinan usaha pertambangan.
Kewenangan tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) dimana pada pasal 37 disebutkan bahwa IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan oleh bupati/walikota jika wilayah tambang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Selanjutnya, IUP diberikan oleh gubernur jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. Selanjutnya, IUP diberikan oleh Menteri
3 3 ESDM jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah provinsi.
Lihat Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba (Mineral dan Barubara)
Maka secara tidak langsung otonomi daerah telah memberi kuasa yang amat besar kepada pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan. Selain itu, undang-undang Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 menempatkan kepala daerah sebagai aktor tunggal dalam penerbitan dan pencabutan izin tambang.
Otoritas besar yang dimiliki daerah melalui kepala daerah seharusnya menjadikan pemerintah daerah bijak dalam mengelola potensi yang dimiliki daerah serta memberikan hak untuk menolak atau menerima segala bentuk investasi yang masuk.
Kembali pada kasus Lambu negara dapat diasumsikan tidak hadir sebagai institusi yang menjamin dan memproteksi hak-hak masyarakat sipil, melainkan sebagai kekuatan besar dan kejam yang menindas dan memangsa hak-hak dan merampas keadilan masyarakat sipil atau dalam istilah lain yang diungkap Marx negara tidak lain sebagai alat bagi kaum kapitalis. Otoritas besar yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan kepala daerah sebagai penguasa yang seringkali mematahkan kekuatan oposisi rakyat dengan mengatas namakan negara.
Situasi hubungan yang hegemonis dan alienatif inilah kemudian memicu perlawanan masyarakat Lambu menolak diterbitkannya Ijin Usaha Pertambangan kepada PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) karena tidak mempertimbangkan lokasi pertambangan yang berada di sekitar area pemukiman dan lahan pertanian warga. Menurut Thomas Aquinas, tugas negara bukan hanya untuk mempertahankan keselarasan sosial atau mengusahakan perdamaian dan keadilan, namun juga harus mampu membangun dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat.
Kembali pada gerakan perlawanan rakyat Lambu, posisi yang teralienasi inilah yang telah mendorong solidaritas dan soliditas antar-warga masyarakat yang sama-sama merasakan terancamnya kepentingan ekonomi mereka karena hadirnya perusahaan pertambangan. Disamping itu, menurut James Scott komunitas petani memang menganut pola hidup gotong-royong, tolong menolong dan melihat persoalan secara kolektif. Sikap tersebut muncul karena dilandasi oleh struktur kehidupan yang terjepit sehingga harus menyelamatkan diri.
Demikian, hadirnya industri besar berjenis perusahaan tambang di sekitar pemukiman penduduk kecamatan Lambu yang jauh dari keramaian kota, oleh pemerintah diasumsikan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, ternyata tidak berbanding lurus dengan sambutan masarakat setempat. Bahkan bagi masyarakat menganggapnya sebagai bentuk arogansi pemerintah dalam hal ini kepala daerah karena tidak mempertimbangkan area pemukiman dan lahan pertanian warga setempat. Sejak awal digulirnya isu hadirnya perusahaan pertambangan telah menuai reaksi protes dan penolakan dari masyarakat, yang seiring dengan waktu bahkan berkembang menjadi gerakan perlawanan demi dicabutnya kebijakan tentang ijin pertambangan di daerah mereka untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, berdasarkan uraian panjang diatas tesis ini diarahkan untuk mendeskripsikan berbagai fenomena kekerasan dalam gerakan perlawanan rakyat Lambu serta mengkaji peran masing-masing aktor dalam gerakan. Guna mengkaji dan membahas lebih dalam tentang perlawanan masyarakat dalam menolak ijin pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, maka peneliti mengambil judul:
Resistensi Politik Masyarakat Terhadap Korporasi: Kekerasan Massa dalam
Aksi Penolakan Ijin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran permasalahan yang disampaikan didepan, penelitian ini mencoba untuk mencari jawaban atas permasalahan berikut :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan terhadap korporasi?
2. Bagaimana implikasi perlawanan masyarakat Lambu terhadap korporasi dan pemerintah Kabupaten Bima?
3. Siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di tanah Lambu Kabupaten Bima?
C. Tujuan Penelitan
Penelitian ini bertujuan untuk mengurai realitas sosial guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih absah, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai konteks yang melatarbelakangi perlawanan masyarakat dan implikasi dari gerakan perlawanan masyarakat Lambu Kabupaten Bima terhadap hegemoni korporasi. Diharapkan dengan memahami fenomena perlawanan massa terhadap korporasi yang terjadi di Lambu Kabupaten Bima dapat menjelaskan fenomena yang sama yang terjadi di pelbagai daerah di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis Secara akademis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti kepada entitas akademisi sebagai wahana untuk menambah wacana dan memperkaya khasanah tentang perlawanan massa terhadap hegemoni korporasi yang berlangsung di Lambu Kabupaten Bima.
b. Manfaat Praktis Sedangkan secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penulis serta praktisi yang menaruh perhatian yang sama pada persoalan dinamika sosial-politik di aras lokal khususnya terkait dengan gerakan sosial dan kekerasan kolektif, serta bagaimana permasalahan yang terjadi dapat dikaji, dianalisis oleh praktisi, akademis dan dapat mencari solusi melalui pendekatan ilmu pengetahuan/ ilmiah, dalam konteks gerakan perlawanan masyarakat demi menjamin kehidupan sosial-politik lokal yang lebih sehat.
BAB II KONSEPSI TEORITIS Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain: Teori deprivasi relatif dan teori kekerasan kolektif. Peneliti berpendapat kedua
teori tersebut dapat menjelaskan kompleksitas dari fenomena kekerasan massa dalam aksi penolakan terhadap perusahaan pertambangan oleh masyarakat Lambu. Disamping itu, disadari juga bahwa untuk memahami realitas konflik kekerasan yang terjadi tidak dapat diterangkan dengan teori tunggal, akan tetapi dari banyak dimensi, teori dan bahkan perspektif.
2.1 Teori Deprivasi Relatif
Salah satu peristiwa yang menonjol sejak era reformasi digulirkan adalah munculnya beragam aksi protes dari masyarakat sipil, baik itu petani, buruh, maupun mahasiswa dengan latar belakang persoalan yang berbeda-beda. Sedangkan bentuk-bentuk protes baik yang destruktif maupun konstruktif akibat dari perlakuan tidak adil sering disebut dengan deprivasi relatif (Crosby, 1982; Croby & Gonzales-Intal, 1984), namun tidak semua deprivasi relatif berakhir dengan protes.
Secara konseptual deprivasi relatif diungkapkan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli antara lain; Pertama, David Aberle menyatakan bahwa deprivasi relatif kesenjangan antara legitimate expectation dengan kenyataan. Definisi ini menimbulkan perdebatan, terutama dalam memahami legitimate expectation.
Pengertiannya bisa reference group, common man, namun ada juga yang mengartikan sebagai harapan yang biasanya dalam arti past expectation. Lebih detil lagi Davis memebedakan reference group, yang diartikan sebagai in-group, dengan out-group. Dijelaskan lebih lanjut bahwa deprivasi relatif terjadi bila pembandingnya adalah anggota in-group. Sementara itu bila pembandingnya out-
group
maka yang terjadi adalah social inferiority. Baik deprivasi relatif maupun keminderan sosial terjadi bila kondisinya lebih jelek dari pembandingnya. Bila kondisinya lebih baik dan pembandingnya in-group maka yang terjadi adalah gratifikasi (kepuasan), sedangkan bila pembandingnya out-group maka yang
4 muncul adalah sosial superiority.
Kedua, Runciman memformulasikan munculnya deprivasi relatif bila seseorang (1) tidak mempunyai X, (2) dia tahu orang lain mempunyai X, (3) dia menginginkan X, (4) dia merasa layak/mampu memiliki X. Menurut Runciman deprivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu egoistical and fraternal deprivation.
Deprivasi egoistikal terjadi bila seseorang merasa kondisinya lebih buruk dibanding orang lain dalam kelompoknya. Sementara deprivasi fraternal terjadi bila seseorang menilai kondisi kelompoknya lebih jelek dibanding dengan kelompok lainnya. Ada kemungkinan seseorang merasakan keduanya sehingga dia mengalami doubly deprived.
Ketiga, Ted Robert Gurr mendefinisikan deprivasi relatif sebagai the discrepancy between ought an is (adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dangan apa yang senyatanya). Secara operasional, konsep ini digunakan untuk menggambarkan persepsi seseorang terhadap ketimpangan antara nilai-nilai yang 4 diharapkan (value expectation) dengan nilai-nilai kapabilitas (value capabilities) Faturrochman. 1999. Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik.
Jurnal Psikologi UGM. Hal. 6 yang diperlukan untuk meraih harapan tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud berupa benda material atau kondisi kehidupan dimana seseorang merasa mempunyai hak untuk memilih atau menikmatinya. Secara matematis ia memformulasikan deprivasi relatif sebagai berikut :
Ve – Vc RD =
Ve Ket: RD : relative deprivation Ve : value expectations Vc : value capabilities
Lebih lanjut, menurut Gurr terdapat tiga bentuk deprivasi. Pertama,
decremental deprivation
terjadi bila nilai-nilai harapan kelompok tidak berubah tetapi kemampuan kelompok menurun. Kedua, aspirational deprivation (deprivasi aspirasi) yang akan muncul bila kemampuan kelompok tidak berubah tetapi harapan kelompok meningkat. Ketiga, progresive deprivation (deprivasi progresif) dapat terjadi bila kedua unsurnya berubah, yaitu terjadi penurunan kemampuan sementara harapannya justru meningkat. Kategori deprivasi relatif yang ketiga, progressive deprivation seringkali menjadi rasionalitas atau sumber trjadinya protes sosial atau gerakan sosial. Dari penjelasan ini terlihat bahwa model yang dikemukakan Gurr tampak lebih dinamis dibanding dengan lainnya.
Protes sosial, gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial menurut Ted Robert Gurr pada umumnya dipicu oleh kemarahan banyak anggota masyarakat, khususnya ketika kondisi lingkungan praktis dan budaya mereka menciptakan terjadinya kesenjangan yang lebar antara harapan-harapan dan kemampuan mereka untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut. Dengan kata lain ia menegaskan, gerakan sosial pada umumnya terjadi sebagai akibat terjadinya deprivasi relatif, yakni ketika dihadapan masyarakat terbentang jurang panjang yang memisahkan antara harapan masyarakat dengan kemampuan mereka mendapatkan sarana-sarana yang diperlukan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan.
Lebih jauh dari pada itu, Zeihin dalam konsepnya yang disebut ―deprivasi kumulatif‖, menyatakan bahwa kekecewaan seseorang cenderung memiliki sumbernya dalam ketidakpuasan ekonomi, terutama ketika ketidakpuasan dan ketidaknyamanan yang dipikulnya sebagai akibat kemiskinan ekonomi yang
5
sudah lama dialaminya menjadi semakin memburuk. Dengan kata lain, Zeihin ingin menyatakan bahwa ketidak puasan dan ketidaknyamanan yang terakumulasi akan lebih mudah mengarahkan dan memotivasi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial.
Dalam konteks terjadinya gerakan perlawanan masyarakat ataupun gerakan sosial DiRenzo menyatakan argumen yang hampir tidak berbeda bahwa penyebab terjadinya perlawanan sosial bersumber pada adanya perasaan kekecewaan (sense of discontent) yang luas, kemunikasi kekecewaan
6 (communicatition of discontent),
ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial
(social attribution of discontent)
, kemungkinan adanya resolusi kekecewaan
(probability of resolution of discontent)