Tugas Penemuan Hukum ISI id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kehidupan masyarakat terutama dalam kaitannya dengan tanah selalu
ditempatkan sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa dibidang
pertanahan berupa sengketa penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Boedi Harsono1 memberikan pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam arti fisik dan
arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
dihaki walaupun kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain karena disewakan
misalnya atau tanah tersebut dikuasai oleh pihak lain tersebut secara tanpa hak.
Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridiksnya berhak untuk
menuntut diserahkannya tanah tersebut secara fisik kepadanya baik dengan alasan melakukan
wanprestasi (cidera janji) atau dengan dasar perbuatan melawan hukum.
Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah tersebut secara fisik. Kreditur pemegang hak jaminan
atas tanah hanya mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan
sedangkan penguasaan fisik tetap ada pada debitur yang mempunyai tanah (Undang-undang
No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah).
Pengertian Penguasaan dan Menguasai biasa dipakai dalam pengertian Perdata

(privaatrechtelijk) maupun dalam pengertian Publik (publiekrechtelijk) seperti arti dikuasai
Negara didalam pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 dan Hak menguasai Negara didalam
pasal 1 dan pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Dasar-Dasar
Pokok Agraria (UUPA).
Hak Penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkrit (Hak) jika
telah dihubungkan dengan tanah tertentu (asas spesialitas) dan orang/badan hukum tertentu
sebagai subyek haknya dan diakui oleh masyarakat umum (asas publisitas).
Lili Rasyid2 untuk menjelaskan arti Hak menguasai terlebih dahulu membandingkan
antara Hak milik dengan Hak menguasai suatu benda. Yang pokok ialah bahwa hak milik
1 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Perkembangan Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria isi dan pelaksanaannya, jilid 1 Penerbit Jambatan, Jakarta 1994, hlm 19.
2 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung,
2002, hlm 127.

bersifat permanen, sedangkan hak menguasai jika tidak disertai hak pemilikan atas benda
tersebut bersifat sementara. Perbedaan lainnya ialah bahwa hak milik menunjuk kepada
ketentuan hukum dari suatu sistem hukum, sedangkan hak untuk menguasai suatu benda
menunjukkan adanya fakta bahwa terdapat hubungan diantara manusia dan benda. Hak milik
merupakan suatu konsep hukum dan hak menguasai merupakan konsep pra hukum. Para ahli
umumnya sependapat bahwa dalam konsep possession (hak menguasai) ini disyaratkan

adanya fakta penguasaan yang nyata terhadap suatu benda, dan adanya keinginan yang kuat
untuk menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan tadi bagi dirinya.
Wewenang yang diberikan Negara kepada orang atau badan hukum untuk
menggunakan tanah atas permukaan dan tubuh bumi, air serta ruang yang ada diatasnya
disebut hak-hak atas tanah yang nama dan jenis-jenisnya dijabarkan dalam UUPA pasal 16.
Dalam perkembangannya, terdapat penguasaan tanah yang tidak dikenal dalam hak-hak atas
tanah UUPA sehingga dalam praktiknya tidak heran menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Berbagai penguasaan tanah yang tidak dikenal dalam UUPA salah satunya adalah
mengenai tanah garapan. Disini Tim Penulis mengarahkan pembahasan penulisan Karya
Ilmiah difokuskan mengenai Tanah Garapan. Pembahasan karya Ilmiah ini ditujukan untuk
memenuhi nilai Tugas yang di berikan oleh Dosen bapak Dr. Hasyim Purba, S.H.,M.Hum
yang mengajar mata kuliah Penemuan Hukum di Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang, maka kami akan mengarahkan
pembahasan Tulisan Karya Ilmiah ini kepada beberapa pokok permasalahan, berikut adalah
rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini :
1. Apa yang menjadi pengertian dari Tanah Garapan?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai Tanah Garapan di
indonesia?

3. Bagaimana pemberian hak atas tanah diatas tanah garapan berdasarkan ketentuan
landreform?
4. Bagaimana penyelesaian sengketa Tanah Garapan?
C. Tujuan Penulisan
Tim penulis karya ilmiah ini ingin memenuhi nilai tugas mata kuliah Penemuan
Hukum sekaligus dapat menerangkan apa yang menjadi pengertian dari Tanah Garapan dan
sejauh mana Tanah Grapan ini menjadi pokok pembahasan dari hak atas tanah yang timbul
dari Tanah Garapan ini, tim penulis juga berharap karya ilmiah ini dapat menjawab rasa

penasaran dan juga diharapkan membantu memenuhi teori Agraria yang mengarahkan
pembahasan mengenai Tanah Garapan yang banyak menjadi Buah Bibir dari masyarakat di
Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sebutan Garapan pada Tanah
Perkataan “garap” dari garapan berasal dari bahasa jawa yang mengartikan “kerja”
dari kata kerjaan. Tanah garapan berartikan tanah yang dikerjakan. Orang menyebut “tanah

garapan” kalau maksudnya tanah itu tadinya tanah kosong dan kemudian dikuasai secara fisik

tanpa adanya dasar hak yang resmi.
Pada awalnya yang terjadi ialah dimana orang yang “menyerobot” tanah kosong,
biasanya tanah Negara. Menyerobot dalam arti si pelaku langsung saja mendirikan bangunan
di atas tanah itu, tanpa ada acara apapun, hal ini tentu saja juga tidak membayar sepeser pun.
Kemudian bisa terjadi si penyerobot itu kemudian “menjual tanah garapannya” itu kepada
orang lain. Dalam arti yang murni ia sebenarnya menjual “hak serobot”. Sebab ia tidak ada
hak apa pun atas fisik tahah tersebut.3
Batam merupakan kepulauan terluar yang terdekat dan berbatasan langsung dengan
laut international antara Indonesia-Singapura, dengan letak dan lokasih yang strategis
sekaligus menguntungkan pulau batam diberikan dengan hak pengelolaan kepada Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) dengan Keputusan Presiden no. 41
Tahun 1973.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut menimbulkan banyaknya
perantau dari Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang pergi ke Pulau Batam untuk merantau,
dengan banyaknya perantau tersebut hal ini menimbulkan perlunya penyediaan kebutuhan
papan bagi perantau yang mengaduh nasibnya di Pulau Batam, banyak dari sebagian perantau
yang mendirikan bangunan di atas tanah di pulau batam dengan cara menguasai secara fisik
saja (menyerobot tanah) tanpa tau kepemilikan hak atas tanah tersebut, dan bertahan hingga
sekarang ini.
Bukan hanya di Pulau Batam saja hampir diseluruh di wilayah diseluruh indonesia

hampir terjadi fenomena penyerobotan terhadap fisik atas tanah tanpa mengetahui siapa yang
memiliki hak atas tanah yang sah dan sesuai dengan yang diatur oleh peraturan perundangundangan negara indonesia.
Tanah garapan pun juga bisa terjadi secara demikian. Tanah yang telah dibebaskan
oleh suatu instansi pemerintah. Maksud semula ilah untuk membangun perumahan untuk
pegawai. Tetapi karena satu dan lain hal tidak jadi. Lalu pegawai-pegawai instansi tersebut
“menyerobot” saja dengan mendirikan bangunan diatasnya. Ada juga instansi yang kemudian
membagi-bagikan tanah itu kepada pegawainya. Tampaknya cari ini terlihat resmi, akan
tetapi sebaliknya instansi itu tidak seharusnya berbuat demikian. Namun dalam praktiknya
tanah seperti itu pun banyak diperjualbelikan.

3 Sejarah Pengertian Tanah Garapan di Indonesia, Efendi Perangin, Peraktik Jual Beli Tanah, cetakan
ketiga, Raja Grafindo Persada, 1994, Jakarta, hlm. 32

Notaris yang baik tidak akan bersedia membuat akta mengenai tanah garapan. Sebab
sebenarnya si penggarap tidak punya hak apa pun terhadap tanah tersebut, terkecuali “hak
serobot” yang telah disebut dengan sebutan “hak garap”. Kalau notaris membuat akta
penjualan “hak serobot”, berarti notaris itu mengakui adanya “hak serobot” itu. Hal mana
adalah tidak pada tempatnya.4
Karena itu “jual-beli”, juga dalam praktek disebut juga “pengoperan hak”
dibuktikan hanya dengan akta dibawah tangan. Pada umumnya Lurah dan ketua RT yang jadi

saksi. Mereka ini minta imbalan yang sering kali sampai 1% dari nilai harga penjualan.
Tentu saja dalam hal ini tidak ada aturan surat – surat apapun yang diperlukan dalam
transaksi itu. Seluruhnya tergantung kepada para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi
biasanya kepada pembeli diserahkan surat ipelda (kalau ada) dan akta pengoperan hak
sebelumnya.
B. Tanah Garapan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Apabila kita mengacuh, menelaah, dan membaca pada hukum pertanahan yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya tidak
mengatur mengenai keberadaan tanah garapan, karena tanah garapan bukanlah status hak atas
tanah.
Dalam peraturan perundang-undangan terdapat pula istilah hukum untuk tanah
garapan ini, yaitu pemakaian tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya dan penduduk tanah
tidak sah (onwettige occupattie), sedangkan jenis tanah garapan ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga (3) yaitu :
1. Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein);
2. Tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah;
3. Tanah garapan di atas tanah negara perorangan atau badan hukum swasta;5
4 Ibid, hlm. 33
5 Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara dibedakan menjadi : a. Tanah
negara, berasal dari bekas eigendom milik negara atau pemerintah, b. Tanah negara berasal dari bekas

eigendom partikelir yang terkena ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1985, c. Tanah negara, berasal dari
bekas hak barat yang tekena UUPA jo. Keppres No. 32 Tahun 1979. Kemudian tanah garapan di atas instansi
atau badan hukum milik pemerintah , yaitu untuk tanah instansi pemerintah subyeknya adalah departement,
lembaga nondepartemen dan pemerintah daerah sedangkan obyeknya adalah jalur hijau, taman, bantaran kali,
jalur pengamanan, tanah yang masih kosong dan hutan. Untuk tanah badan hukum/badan usaha milik negara
subyeknya adalah bank negara, BUMN/BUMD, perseroan, perum, perjan dan obyeknya adalah rel kreata api,
area/jalur pengaman dan tanah kosong. Selanjutnya untuk tanah garapan di atas tanah perseorangan atau
badan hukum swasta dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Garapan yang akhirnya secara massal dan
kemudian berwujud perkampungan penduduk, b. Garapan atas tanah perseorangan atau badan hukum swasta
dengan cara melawan hukum, walaupun sudah ada teguran dari pemiliknya, Op.cit, supriadi, footnote, B.F.
Sihombing, implikasi, ... hlm. 23

Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah garapan ini dapat dibedakan
menjadi tiga kurun waktu.
1. Pertama periode sebelum tahun 1945, antara lain :
a. Staatblad Tahun 1927 Nomor 177 tentang Onwettige Occupatie van
Landsdomein.
b. Staatblad Tahun 1912 Nomor 177 tentang Sewa Tanah kepada Onwettige
Occupatie.
c.


Staatblads Tahun 1925 Nomor 649 tentang ketentuan baru mengenai pembukaan
tanah oleh orang indonesia di Jawa dan Madura.

2. Kedua Periode Tahun 1945-1950, antara lain UUD 1945, dan Keputusan Penguasa
perang pusat tanggal 14 April 1958 Perpu Nomor 011 Tahun 1958 jo. Nomor 014
Tahun 1959 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau
Kuasanya.
3. Ketiga periode Tahun 1960 – sekarang, antara lain UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
Yang Berhak atau Kuasanya.
Apabila mengacuh kepada Keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2
Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota “SK kepala BPN”
yang menjadi definisi Tanah Garapan
“Sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan suatu hak yang dikerjakan
dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan
yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu”
C. Pemberian Hak Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Landreform
Salah satu sumber/landasan pemberian hak atas tanah kepada masyarakat adalah

dengan berlakunya ketentuan Landreform, yaitu melakukan redistribusi atas tanah kepada
masyarakat petani yang bertujuan untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para
petani, terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat
untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berlandaskan pancasila, serta perwujudan fungsi sosial yang terkandung dalam UUPA
Nomor 5 Tahun 1960.
Tujuan Secara umum Landreform secara luas adalah :

Meliputi lima program, yaitu: pelaksanaan pembaruan hukum agraria, penghapusan
hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah, diakhirinya kekuasaan tuan tanah dan
para feodal, perombakan pemilikan dan penguasaan tanah, serta perencanaan dan
penggunaan sumber daya alam sesuai kemampuannya. (Soni Harsono, 2003)
Program landreform secara lebih spesifik adalah larangan penguasaan tanah melebihi
batas maksimum, larangan tanah absentee, redistribusi tanah objek landreform,
pengaturan pengembalian dan penebusan tanah yang digadaikan, pengaturan tentang
bagi hasil, serta penetapan luas minimum dan pelarangan fragmentasi lahan pada
batas tertentu :
a. Obyek landreform
: Pertanahan atau tanah kelebihan dari batas maximal.
Tanah guntai, tanah kontenporer, tanah absentre.

b. Subyek landreform
: Pemilik pengarap, buruh tani teteap yang mengerjakan
tanahnya, pengarap hak milik.
Sebagai Landasan hukum berlakunya Pelaksanaan Landreform di Indonesia adalah :
1.
2.
3.

Landasan Ideal
: Pancasila.
Landasan Konstitusional : Pasal 33 UUD 1945
Landasan Operasional
:
a. Pasal 7, 10 dan 53 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA.
b. UU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
c. UU Nomor 2 Tahun 1960 jo. Inpres Nomor 13 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil.
d. Peraturan Presiden Nomor 224 Tahun 1961


Dalam rangka pelaksanaan Landreform tersebut, Pasal 2 ayat (1) dan pasal 14 PP
Nomor 224 Tahun 1961 Jo. UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang merupakan landasan
Landreform telah memberikan kewenangan kepada Kepala daerah untuk
melaksanakan redistribusi atas tanah tersebut, sebagaimana berbunyi.
“Menteri Agraria dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada panitia
Landreform daerah Tk.II…. dst”
sehingga Gubernur selaku kepala daerah dan Kepala Inspeksi/Kadit Agraria telah
mengeluarkan beberapa jenis Surat Keputusan sebagai pengaplikasian redistribusi
tanah tersebut, diantaranya disebut sebagai SK KINAG (Surat Keputusan Kepala
Inspeksi Agraria)/SK KINAG JABAR untuk wilayah propinsi Jawa Barat).
SK. KINAG (Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria)
Berdasarkan ketentuan Landreform (Ketentuan Landreform vide pasal 14 PP nomor
224 tahun 1961 dipertegas SK Menteri Pertanian dan Agraria
No.SKXIII/17/Ka/1962. Telah menunjuk Kepala Inspeksi Agraria (Kemudian Kadit
Agraria propinsi cq Gubernur KDH Tk I (sekarang menjadi Kanwil BPN) berhak
memberikan Hak Milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform.

Pembagian tanah berdasarkan landreform ini juga memiliki syarat ;
A. Objek Landfreform yang akan didistribusikan (PP Nomor 224 Tahun 1961 dan
PP Nomor 41 Tahun 1964), yaitu :
1)

Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum ialah tanah-tanah yang
merupakan kelebihan maksimum sebagaimana dimaksud UU No.
56/Prp/1960. Dan tanah tanah yang jatuh pada Negara karena
pemiliknya melanggar ketentuan UU tersebut ;
2) Tanah-tanah yang diambil pemerintah karena pemiliknya bertempat
tinggal diluar daerah, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3 ayat 5 ;
3) Tanah tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada
Negara sebagai yang dimaksudkan dalam dictum keempat huruf A
UUPA;
Yang dimaksud dengan tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah
beralih kepada negara ialah domein swapraja dan tanah bekas swapraja yang
dengan berlakunya UUPA menjadi hapus dan tanahnya beralih kepada
negara, begitu pula tanah yang benar-benar dimiliki oleh Swapraja baik yang
diusahakan dengan cara persewaan, bagi hasil ataupun yang diperuntukkan
sebagai tanah jabatan dan sebagainya.
Tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara
tersebut diberi peruntukan sebagian untuk kepentingan pemerintah dan
sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak
swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkannya.
Tanah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh menteri Agraria. (Tanah-tanah lain yang dikuasai oleh
negara dan ditegaskan menjadi obyek landreform adalah.
a. Tanah-tanah bekas partikelir.
Tanah-tanah bekas partikelir yang akan dibagikan tersebut adalah tanahtanah bekas tanah partikelir yang merupakan tanah kongsi yang tidak
dikembalikan kepada bekas pemiliknya sebagai ganti rugi dan yang
berupa tanah pertanian.
b. Tanah-tanah bekas hak erfpacht yang telah berakhir jangka waktunya,
dihentikan atau dibatalkan.
c. Tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali penguasaannya oleh
instansi yang bersangkutan kepada negara, dan lain-lain.
B. Syarat – syarat utama yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan menerima
redistribusi Tanah untuk mendapatkan hak milik adalah.
1. Pasal 3 Ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961
Syarat-syarat penerima redistribusi :
a. Petani penggarap atau buruh tanah yang berkewarganegaraan Indonesia;
b. Bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang bersangkutan;

c. Kuat kerja dalam pertanian.
Status hukum tanah yang dibagi adalah Hak Milik, dengan diberikan syarat-syarat
sebagai berikut:
(Pasal 14 PP nomor 224 Tahun 1961)
Yaitu petani penggarap atau buruh tani tetap yang berkewarganegaraan Indonesia,
bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat
bekerja dalam pertanian. Tempat tinggal ini masih dapat dispensasi sesuai dengan
ketentuan tentang absentee yaitu tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat
tinggal yang berbatasan dengan letak tanahnya asal jarak antara tempat tinggal
penggarap dan tanah yang bersangkutan masih memungkinkan mengerjakan tanah itu
secara efisien (pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961).
(Pasal 8 PP Nomor 224 Tahun 1961)
Oleh karena luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah petani yang membutuhkan maka diadakan prioritas dalam
pembagiannya. Para penggarap tanah yang bersangkutan mendapat prioritas pertama
karena mereka mempunyai hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya
sehingga atas dasar prinsip ”tanah untuk tani yang menggarap” hubungan tersebut
tidak boleh dilepaskan, bahkan harus dijamin kelangsungannya (penjelasan pasal 8 PP
Nomor 224 Tahun 1961).
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan ;
Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan ;
Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan
Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberikan untuk peruntukan lain
berdasarkan pasal 4 ayat (2) dan (3).
g. Penggarap yang tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar ;
i. Petani atau buruh tanji lainnya

(Pasal 14 PP Nomor 224 Tahun 1961)
1. Sebelum dilaksanakan pemberian Hak milik secara definitive menurut ketentuan
prioriteit tersebut dalam pasal 8 ayat 1 maka para petani yang mengerjakan tanah
tanah disebut dalam pasal 1 huruf a, b ,c diberi izin untuk mengerjakan tanah
bersangkutan paling lama 2 tahun dengan kewajiban membayar sewa kepada
pemerintah sebesar 1/3 dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu.

2. Para petani yang mengerjakan tanah tersebut pada pasal 1 diberi hak milik atas
tanah yang dikerjakannya apabila memenuhi syarat syarat prioriteit sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 dan 9 serta memenuhi pula kewajiban membayar sewa
tersebut diatas.
Status hukum tanah yang dibagi adalah Hak Milik, dengan diberikan syarat-syarat
sebagai berikut (Pasal 14 PP nomor 224 Tahun 1961) :
a. Penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan;
b. Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda batas;
c. Haknya harus didaftarkan guna memperoleh sertipikat sebagai tanda bukti
hak;
d. Penerima redistribusi wajib mengerjakan/mengusahakan tanahnya secara aktif;
e. Setelah 2 tahun harus dicapai kenaikan hasil tanaman;
f. Penerima redistribusi wajib menjadi anggota koperasi tanah pertanian;
g. Dilarang mengalihkan hak kepada pihak lain selama uang pemasukan belum
dibayar;
h. Hak Milik dapat dicabut tanpa ganti rugi apabila lalai dalam memenuhi
kewajibannya
Pemberian hak milik tersebut pada ayat (2) pasal ini dilakukan dengan keputusan
menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya disertai dengan kewajiban,
sebagai berikut :
a. membayar harga tanah yang bersangkutan menurut ketentuan pasal 15.
b. Tanah itu harus dikerjakan/diusahakan oleh pemilik sendiri secara aktif.
c. Setelah 2 tahun sejak tanah tersebut diberikan dengan hak milik, setiap
tahunnya harus dicapai kenaikan hasil tanaman sebanyak yang ditetapkan oleh
dinas pertanian rakyat daerah.
d. Harus menjadi anggota koperasi termaksud dalam pasal 17
Selama harga tanah yang dimaksud dalam huruf A diatas belum dibayar lunas,
maka hak milik tersebut dilarang untuk dipindah tangankan kepada orang
lainkecuali izin menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk oleh kelalaian dalam
memenuhi kewajiban tersebut dalam pada ayat 1 atau ayat 3 pasal ini serta
pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 4 dapat dijadikan alasan untuk
mencabut izin mengerjakan tanah yang bersangkutan atau miliknya.

D. Peneylesaian Sengketa Tanah Garapan
Implementasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah di bidang Pertanahan diuraikan
didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14
huruf k, sebagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, pasal 7

ayat 2 huruf r, sebagai urusan pemerintahan sebagaimana disebut dalam pasal 2 yaitu bahwa
urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional,
agama) dan urusan pemerintahan yang di bagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.
Urusan pertanahan dimaksud merupakan salah satu dari 31 bidang urusan
pemerintahan yang terdiri dari sub bidang dan setiap sub bidang terdiri dari sub-sub bidang
yaitu :
1. Izin lokasi;
2. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee;
6. Penetapan tanah ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
8. Izin membuka tanah;
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan dan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 2003 Tanggal 28-8-2003 tentang Norma
dan Standarisasi Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenagan Pemerintah di Bidang Pertanahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Penyelesaian sengketa tanah garapan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah di
bidang pertanahan yang kewenangan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagai pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
(LN 1999 No. 60. TLN No. 2043) dan dalam rangka menyiapkan konsepsi, kebijakan dan
sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu serta pelaksanaan Tap MPR No.
IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Adapun langkah-langkah BPN melakukan percepatan dalam :
1. Penyusunan RUU penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Pembangunan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan yang meliputi :
a. Pengamanan basis data tanah-tanah aset Negara/Pemerintah/Pemerintah
Daerah.

b. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial pelayanan pendaftaran tanah.
c. Pemetaan Kadasteral dalam rangka inventarisasi/registrasi P4T dengan Citra
Satelit.
3. Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah
melalui sistem geografi dalam rangka memenuhi ketentuan pangan nasional.
Selain usaha yang dilakukan BPN untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul di
bidang pertanahan, khususnya tanah garapan, ada beberapa pola yang sudah terbentuk
mengenai penyelesaian sengketa tanah garapan; yaitu:
1. Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 2003 Tanggal 28-08-2003 tentang Norma dan
Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penjelasan yang diuraikan
dalam Surat Kepala BPN tanggal 31 Mei 2003 No. 110-1316, bahwa sengketa tanah
garapan merupakan konflik kepentingan berkaitan dengan pengusahaan tanah oleh
pihak-pihak yang tidak berhak, diatas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
diatas tanah hak pihak lain sebagaimana dimaksud dalam UU No. 51 Prp Tahun 1960
dan Keppres No. 32 Tahun 1979.
Bupati/Walikota mempunyai peranan yang penting, oleh karena upaya meningkatkan
ketahanan pangan mempunyai hubungan erat dengan upaya penguatan hak-hak rakyat
atas tanah dengan penyelesaian sengketa tanah garapan. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota membantu upaya yang dilakukan oleh Bupati/Walikota tersebut,
dengan melakukan koordinasi dan operasional lapangan dengan penanganan sebagai
berikut:
a. Norma yang digunakan sebagai landasan operasional adalah:
1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA).
2) Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.
3) Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak Barat.
4) Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan.
b. Pelaksanaan terdiri dari 3 tahap yaitu:

1) Tahap Persiapan, dimulai pada waktu menerima laporan pengaduan
sengketa tanah garapan;
2) Tahap Pelaksanaan Penanganan Sengketa:
a) Melakukan penelitian terhadap subyek dan obyek sengketa,
(diharapkan dari penelitian ini diperoleh data (fisik, yuridis,
administratif) yang akurat).
b) Mencegah meluasnya dampak sengketa tanah garapan baik dari
segi

subyek

maupun

obyek

(berupa

tindakan-tindakan

misalnya: status quo).
c) Melakukan

koordinasi

dengan

instansi

terkait

untuk

menetapkan langkah-langkah penanganannya (apabila perlu
dibentuk suatu Tim Task Force).
d) Memfasilitasi musyawarah antara para pihak yang bersengketa
untuk mengadakan kesepakatan para pihak (Dituangkan dalam
Berita Acara hasil musyawarah).
e) Jika tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah, Pemerintah
atau pemegang hak dapat menempuh jalur hukum (berupa
bentuk keputusan/rekomendasi yang ditunjukkan kepada
Pengadilan).
3) Kegiatan pelaporan pelaksanaan Bupati/Walikota melaporkan hasil
penyelesaian sengketa tanah garapan kepada Pemerintah cq Kepala
BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan Wilayah BPN Propinsi
setempat

(berupa

laporan

tertulis

yang

ditandatangani

oleh

Bupati/Walikota)
Untuk melaksanakan penanganan sengketa tersebut diperlukan Sumber
Daya Manusia dengan kualifikasi yang menekuni bidang tugas dan
kompetisi yang diperlukan.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota;
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, perlu ditetapkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut
kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam suatu Peraturan Pemerintah
yaitu mengenai urusan pemerintahan dengan fungsi-fungsi yang menjadi hak dan

kewajiban setiap tingkat sasaran Pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam
rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Urusan ini terbagi dalam urusan wajib dan pilihan, salah satu urusan wajib yang
mengenai fungsi Pemerintah Daerah tersebut adalah: bidang pertanahan.
Bidang pertanahan ini terdiri dari sub-sub bidang antara lain penyelesaian sengketa
tanah garapan.
Dalam

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan

tersebut,

Pemerintah

dapat

menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi atau
menugaskan sebagian wewenang tersebut berdasarkan asas tugas pembantuan
(madebewind).
a. Pemerintah dakam hal ini Menteri/Kepala LPND
1) Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan
urusan tersebut. Memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah, melibatkan pemangku jabatan dan
berkoordinasi dengan Mendagri.
2) Pembenaran, pengendalian dan memonitoring terhadap pelaksanaan
penanganan sengketa tanah garapan.
Sub bidang pertanahan tentang urusan penyelesaian sengketa tanah
garapan membebani kewajiban bagi Pemerintah untuk menetapkan
kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria
penyelesaian.
b. Pemerintah Daerah Propinsi menyelenggarakan penyelesaian sengketa tanah
garapan lintas Kabupaten/Kota, dan untuk Propinsi DKI Jakarta yang terdiri
dari:
1) Penerimaan dari pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah
garapan.
2) Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
3) Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
4) Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah
penanganannya.
5) Fasilitasi

musyawarah

antar

pihak

mendapatkan kesepakatan para pihak.

yang

bersengketa

untuk

c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyelenggarakan penyelesaian sengketa
tanah garapan berupa:
1) Penerimaan dari pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah
garapan.
2) Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
3) Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
4) Koordinasi dengan Kantor Pertanahan untuk menetapkan langkahlangkah penanganannya.
5) Fasilitasi

musyawarah

antar

pihak

yang

bersengketa

untuk

mendapatkan kesepakatan para pihak.
3. Tahap Penanganan dan Penyelesaian Sengketa:
a. Identifikasi jenis masalah/sengketa.
Proses identifikasi ini sangat penting dan menentukan oleh karena itu hasil
identifikasi ini kita akan mengenali masalahnya, sekaligus mengetahui apakah
pengaduan/sengketa ini merupakan kompetensi kita atau bukan.
Pada waktu mengenali substansi apa yang digunakan dalam materi pengaduan,
maka suatu jenis pengaduan dapat di identifikasi apabila yang dijadikan dasar
pengaduan tersebut ditemukan alat-alat bukti yang menunjukkan alas hak
kepemilikan misalnya; surat pembelian tanah, hibah dan sebagainya, maka
kita dapat mengidentifikasi bahwa masalah ini bukan sengketa garapan
melainkan sebagai sengketa kepemilikan.
Bentuk pengaduan lain misalnya dengan sengketa garapan akan tetapi tidak
menyangkut wilayah/ruang lingkup tanah Negara sebagaimana diuraikan
dalam Keppres No. 34 Tahun 2003, maka tipologi masalah dari sengketa
tersebut tidak termasuk sengketa garapan yang harus ditangani oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi sesuai PP No. 38 Tahun 2007.
Pengaduan jenis ini seyogianya diselesaikan dengan cara koordinasi dengan
instansi yang kompetensinya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dengan
pola penanganan secara koordinasi.
Apabila

penanganan

ini

tetap

dilangsungkan

dikhawatirkan

akan

menimbulkan permasalahan, terutama menyangkut bobot keputusan yang
diharapkan untuk mengambil keputusan akan tidak efektif bahkan sia-sia serta
menyulitkan

untuk

menghadapi

gugatan

mengambil cara penyelesaian di Pengadilan.

apabila

yang

bersangkutan

Jadi hasil dari identifikasi ini memerlukan sikap hukum apabila diterima untuk
ditangani sesuai kompetensi atau ditolak penanganannya.
b. Pengumpulan data yuridis, fisik dan administratif.
Data yang dihimpun dan dikumpulkan adalah dari data yuridis, data fisik, dan
data administratif.
1) Data

yuridis

misalnya

yang

menyangkut

bukti-bukti

yang

menunjukkan adanya hubungan hukum antara pengadu dengan obyek
tanah garapan apakah termasuk penggarapan dengan atau tanpa
hubungan hukum dengan pemiliknya atau bukti-bukti lain yang
mendukung adanya hubungan tersebut secara sah, misalnya pernah ada
perjanjian jual beli dengan ahli waris pemilik dan sebagainya.
2) Data fisik yang menyangkut letak dan batas penguasaan penggarapan
tersebut seiring ditemukan dalam kasus penggarapan tanah dengan
perjanjian, ternyata letak tanah dulu batu-batu sudah bergeser dan
berubah luasnya dari perjanjian yang ditetapkan. Sering juga terjadi
pengalihan garapan tanah tersebut tanpa sepengetahuan pemiliknya.
3) Data Administratif : Setiap perbuatan penggarapan tanah sudah tentu
akan tercatat kapan terjadi dan dengan dasar apa penggarapan tersebut
terjadi. Sesuai ketentuan peraturan setiap perjanjian penggarapan tanah
harus dibuat secara tertulis dan diketahui, serta dicatat di kantor Desa,
bahkan untuk penggarap yang tanpa perjanjian akan tercatat dalam
buku agenda lain misalnya register kepemilikan atau pinjaman
pajaknya. Hal yang terakhir ini penting untuk mengetahui sejarah
mengenai kepemilikan pemilik tanah atas tanah yang bersangkutan.
c. Pengolahan data yuridis, administratif, fisik.
Data-data yang dikumpulkan penting untuk diolah, oleh karena didalam
kegiatan ini cukup menentukan lengkap atau kurangnya data yang relevan
untuk dikumpulkan.
Data yang lengkap akan mempengaruhi akurat atau tidaknya suatu analisis
masalah. Kekeliruan dalam mengumpulkan data yang benar misalnya surat
yang diolah ternyata berbeda dengan lokasi/letak makan akan melahirkan
analsis yang salah pula.

d. Analisis Masalah.
Kegiatan menganalisa masalah adalah suatu hal yang paling penting dari
seluruh proses kegiatan. Analisa yang benar akan menentukan bobot suatu
pengambilan keputusan yang berkualitas, sebaliknya analisa yang salah hanya
akan menimbulkan keputusan yang menyesatkan, bahkan akan menimbulkan
sengketa atau masalah baru.
Adapun pengetahuan dan kejujuran aparat atau SDM yang menangani kasus
ini sangat menentukan. Pengetahuan yang utama yang harus dikuasai adalah
teknis peraturan perundang-undangan disamping pengetahuan lain seperti
sosial, ekonomi, budaya baik diperoleh dari pendidikan dan pelatihannya
berdasarkan pengalaman yang dipunyak aparat/petugas.
Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kasus
akan menimbulkan pengambilan keputusan yang menyesatkan, memberikan
ketidakadilan, mengundang persoalan/sengketa baru yang akan menyulitkan
dikemudian hari.
e. Rekomendasi.
Hasil analisis akan melahirkan usulan penyelesaian dengan beberapa opsi atau
dapat juga langsung menghasilkan suatu keputusan.
Rekomendasi dapat berupa usulan pendalaman masalah sengketa dengan
materi tertentu, misalnya : membentuk tim, melakukan lagi pengumpulan data
agar lebih akurat, mengusulkan para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan dengan upaya lain termasuk upaya hukum pengadilan atau
menyarankan untuk menempuh jalan musyawarah.
Rekomendasi yang baik adalah suatu usulan penyelesaian yang menjamin
bahwa cara penyelesaian yang disarankan akan menghasilkan penyelesaian
yang tuntas.
f. Upaya musyawarah.
Mengupayakan musyawarah adalah suatu cara penyelesaian yang cukup baik
oleh karena lebih menjamin tuntasnya penyelesaian sengketa. Prinsip win-win
solution akan melahirkan kesepakatan yang dirasakan adil oleh kedua pihak.
Musyawarah dapat dilakukan bersama-sama satu meja atau dapat diserahkan
kepada yang bersangkutan untuk memilih dan memutuskan sendiri bentuk
dan tempat musyawarah tersebut dilakukan. Hal yang sekarang sedang

digunakan adalah dengan lembaga mediasi sebagai bagian dari penyelesaian
sengketa alternatif (ADR).
g. Keputusan.
Keputusan diharapkan sebagai ahir suatu proses penyelesaian. Keputusan yang
baik dan benar adalah suatu hasil dari pertimbangan yang komprehensif dan
dilakukan dengan tata cara sesuai ketentuan peraturan yang berlaku, dengan
tidak mengabaikan segi-segi keadilan dan bukti serta fakta hukum yang ada.
Tidak setiap keputusan memuaskan para pihak yang bersengketa. Oleh karena
itu agar keputusan ini dapat dipertahankan dengan baik diforum hukum
diperlukan suatu catatan risalah yang menjadi pendukung yang berisi
argumentasi hasil analisis pada waktu proses pengambilan keputusan.
4. Mediasi
Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan/litigasi kita mengenal pula
penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar pengadilan yang disebut arbitrase dan
alternatif pengadilan sengketa atau Alternative Disprial Resolution (ADR)
sebagaimana di atur dalam UU No. 30 Tahun 1999.
Alternatif penyelesaian sengketa salah satunya adalah dengan melakukan mediasi,
yang prinsipnya adalah win-win solution agar memuaskan semua pihak.
BPN RI dalam Tugas Pokok dan Fungsi sesuai Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006
dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2007, memiliki
kewenangan dan tugas mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Adapun tata
cara pelaksanaan mediasi didasarkan dalam UU No. 30 Tahun 1999.
5. Berperkara di Pengadilan.
Forum pengadilan merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang dipilih oleh
para pihak untuk mencapai tujuannya.
Pengadilan yang digunakan untuk berperkara adalah Pengadilan Umum, Pengadilan
Tata Usaha Negara dan Pengadilan Agama. Para pihak dapat diantara mereka sendiri
atau pihak Instansi yang menerbitkan penetapan Tata Usaha Negara.
Ada instansi yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk beracara di Pengadilan
(seperti BPN RI) tetapi ada yang tidak bertugas, memiliki tugas demikian.
Untuk beracara di Pengadilan diperlukan suatu pengetahuan dan keterampilan khusus
dalam melaksanakan hukum acara di pengadilan, termasuk administrasi hukum
acaranya. Beberapa Instanasi yang tidak memiliki tenaga demikian dapat

menggunakan Pengacara Negara yang ada pada tupoksi Kejaksaan Agung R.I. bidang
perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).
Di BPN sejak Tahun 1981 berdasarkan SE. Mendagri cq Dirjen Agraria tanggal
14/10/1981 No. Btu. 10/271/10/81 Tentang Mewakili Pemerintah Republik Indonesia
pada sidang di Pengadilan, dengan latar belakang bahwa banyak perkara di
Pengadilan yang ditangani tidak sebagaimana mestinya antara lain dihadiri oleh
petugas yang kewenangannya beracara, memerintahkan untuk dihadiri sendiri oleh
Direktorat/Kepala Kantor Agraria Kabupaten/Kodya dan dilarang diwakilkan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dijabarkan dan dijelaskan pada Bab II mengenai pembahasan tim penulis karya
ilmiah ini menyimpulkan bahwa benar adanya pengakuan terhadap pengertian tanah garapan
di indonesia, dan tim telah sepakat menyimpulkan bahwa :
1. Yang menjadi pengertian dari Tanah garapan ialah “hak samar” yang timbul dari
“fenomena sosial” yang terjadi dan hidup dimasyarakat indonesia, oleh karena
dorongan rasa lapar dan ingin memenuhi rasa tersebut dengan mengusahakan

sebidang fisik tanah yang kosong tanpa mengentahui siapa yang memiliki hak yang
dilindungi oleh peraturan hukum yang berlaku. Dikuasai secara fisik tanah dan
dikerjakan selama bertahun-tahun secara berkesinambungan dan mendapakan
pengakuan sosial bahwa benar tanah yang dikerjakan “garapan” telah diduduki dan
dikelolah dengan baik oleh seseorang yang menguasai fisik tanah garapan tersebut.
2. Dengan maraknya terjadi “fenomena sosial” mengenai pengusahaan fisik sebidang
tanah di indonesia ini, akan tetapi sampai saat ini pengaturan mengenai substansisubstansi tanah garapan masih belum jelas, dimana hanyalah sebuah definisi tanah
garapan saja yang dijabarkan. Di samping itu, hukum pertanahan dalam UUPA juga
tidak mengenal adanya tanah garapan, padahal hak atas tanah dapat terjadi karena
penetapan Pemerintah atau menurut ketentuan Undang-Undang.
3. Berdasarkan Landreform yang dilakukan pemerintah demi memberikan hukum pada
kekosongan hukum pertanahan saat kepergian pemerintahan Hindia-belanda dari
Indonesia membuat penguasaan tanah di indonesia secara yuridis terjadi kekosongan
sehingga dengan terbentuknya pemerintah indonesia terjadilah “fenomena sosial”
tentang penguasaan tanah secara fisik yang berujung kepada penguasaan tanah secara
“yuridis” yang diatur langsung oleh pemerintah indonesia pada masa awal
pemerintahan itu.
4. Meskipun pengaturan tanah garapan belum secara substansial, akan tetapi “fenomena
sosial” tersebut dalam penyelesaian sengketanya sudah ada pola-pola yang terbentuk
sesuai peraturan-peraturan yang berlaku. Adapun Peraturan Presiden No. 10 Tahun
2006 tentang Badan Pertanahan Nasional telah menempatkan penanganan sengketa
dalam suatu kedeputian Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan, yang mempunyai tugas pokok “Merumuskan kebijakan teknis di bidang
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan”. Untuk melengkapi
pelaksanaan fungsi tersebut telah dikeluarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan.
B. Saran
Dengan penjabaran yang cukup panjang diatas dan kesimpulan yang didapatkan tim
penulis ingin sekali agar kajian mendalam mengenai tanah garapan yang diperoleh
dengan cara yang tidak layak dalam bahasa hukum ini perlu di kaji dan dibuatkan aturan
yang sah yang mengatur dengan jelas mengenai tanah garapan ini, untuk menghindari
permasalahan-permasalahan hukum yang dapat mempersulit kelancaran dan berjalannya

kegiatan usaha dan ekonomi yang berjalan diatas permukaan bumi, oleh karena adanya
tuntutan dan gugatan yang menyatakan hak yang sah akan kepemilikan hak atas tanah
yang diperoleh diatas Tanah garapan.

Daftar Pustaka
1. A. P. Parlindungan, BEBERAPA PELAKSANAAN DARI U.U.P.A, Penerbit CV.
Mandar Maju, Cetakan Pertama, Tahun 1992.
2. Boedi Harsono, HUKUM AGRARIA INDONESIA HIMPUNAN PERATURAN –
PERATURAN HUKUM TANAH, Penerbit Djambatan, Cetakan Kelima, 1984.
3. --------------------, HUKUM AGRARIA INDONESIA, SEJARAH PERKEMBANGAN
PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG
POKOK
AGRARIA
ISI
DAN
PELAKSANAANNYA, jilid 1 Penerbit Jambatan, Jakarta 1994

4. Effendi Perangin, PRAKTEK JUAL BELI TANAH, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Cetakan ketiga, 1994.
5. Rasjidi Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung, 2002
6. Rusmadi Murad, MEYIKAP TABIR MASALAH PERTANAHAN (Rangkaian Tulisan
dan Materi Ceramah), Penerbit Mandar Maju, Cetakan Pertama, 2007.
7. Supriadi, HUKUM AGRARIA, Penerbit Sinar Grafika, Cetakan Kelima, 2012.