REVITALISASI KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERT INDONESIA

Revitalisasi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Kadhung Prayoga1
1

Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Email: kadhungprayoga@gmail.com

ABSTRAK
Dewasa ini, penyuluhan pertanian menghadapi problem yang serius karena sudah mulai tidak mendapat
tempat lagi di sektor pertanian. Berbagai masalah kelembagaan seperti: (1) Tidak ada kordinasi antar lembaga
terkait, (2) Kurangnya dukungan lembaga penyuluhan terhadap penyuluh, (3) Lembaga penyuluhan
menjalankan tugas yang bias kepentingan, dan (5) Kabupaten/kota masih banyak yang belum membentuk
kelembagaan penyuluhan dan rendahnya dana otonom dalam menjalankan fungsinya. Mendasarkan pada
permasalahan ini, maka dibutuhkan suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan sebagai upaya untuk
memfungsikan kembali lembaga penyuluhan sesuai dengan perannya. Karena alasan inilah, maka penulisan
paper ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya revitalisasi kelembagaan penyuluhan dilakukan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis
wacana. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan lewat metode studi pustaka. Dari
pembahasan diketahui bahwa revitalisasi penyuluhan hendaknya dilakukan baik dari segi internal kelembagaan
maupun dari eksternalnya. Hal-hal yang harus dilakukan adalah: (1) Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi,
(2) Meningkatkan kualitas sumber daya modal, fisik, dan manusianya, (3) Adanya pola kepemimpinan yang

luwes dan penghargaan terhadap staff, serta (4) Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan
lembaga itu sendiri lewat penyusunan peraturan dan perbaikan sub sistem. Semua ini dilakukan untuk
meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan agar mampu memenuhi peran dan fungsinya.
Keyword: lembaga, penyuluhan, revitalisasi, indonesia
ABSTRACT
Today, the agricultural extension face a serious problem, it began didn't have a place anymore in the
agricultural sector. Various institutional problems such as: (1) No coordination between the institutions, (2)
Lack of support from institutional extension to extension activity, (3) Organization counseling stints biased
interests, and (5) Many regencies/cities are not yet established an institutional extension and lack of funds.
Based on this problem, we need an institutional revitalization counseling as an attempt to restore both the
extension services in accordance with the role. For this reason, the writing of this paper aims at reviewing how
institutional revitalization counseling should be done. The approach used is a qualitative approach with
descriptive method and discourse analysis. The data used are secondary data collected through literature study
method. From the discussion it is known that the revitalization of counseling should be done in terms of both
internal and from external institutions. The things to do are: (1) Reconstitute value, function, technology, (2)
improve the quality of capital resources, physical and human, (3) The existence of a pattern of leadership that is
flexible and respect for staff, as well as (4) obtain support and completeness within the institution itself through
the drafting of regulations and improvement of sub-systems. All this is done to increase the capacity of
extension services to be able to fulfill its role and functions.
Keyword: intitution, extension, revitalization, Indonesia


PENDAHULUAN
Dewasa ini, penyuluhan pertanian telah
menghadapi problem yang serius karena sudah mulai
tidak mendapat tempat lagi di sektor pertanian.
Petani lambat laun hanya menjadikan penyuluhan
sebagai suatu hal yang instrumental dan bukan
menjadi kebutuhan. Rendahnya kepercayaan petani
kepada penyuluh juga memicu mandeknya kegiatan
penyuluhan
di
tengah-tengah
masyarakat.
Penyuluhan seakan mati suri setelah revolusi hijau
berakhir (Subejo, 2013). Lebih dari satu dekade

semenjak krisis 1998, penyuluhan tidak lagi menjadi
perhatian dalam kegiatan pembangunan pertanian di
Indonesia. Padahal jika menilik ke belakang, salah
satu faktor kunci suksesnya swasembada beras di

Indonesia terjadi karena massifnya kegiatan
penyuluhan.
Dalam studi yang dilakukan Sucihatinngsih
dan Waridin (2010) juga disebutkan ragam masalah
yang muncul di kelembagaan penyuluhan, yaitu: (1)
Fungsi penyuluhan di provinsi belum berjalan
optimal, (2) Mandat untuk melaksanakan penyuluhan

pertanian tidak jelas, (3) Bentuk tupoksi dan
eselonering kelembagaan penyuluhan beragam, (4)
Belum semua kabupaten memiliki BPP, (5) Jika ada
kabupaten yang sudah memiliki BPP, terkadang tidak
berjalan sesuai fungsinya, dan (6) Rendahnya sarana
prasarana untuk kegiatan penyuluhan.
Mendasarkan pada permasalahan dan
orientasi pembangunan pertanian, maka dibutuhkan
suatu revitalisasi kelembagaan penyuluhan untuk
menumbuhkan lagi kegiatan penyuluhan di
Indonesia. Revitalisasi bisa diartikan sebagai suatu
perubahan, pertumbuhan, dan pengembangan dari

struktur dan fungsi kelembagaan yang ada.
Revitalisasi menjadi upaya untuk menata kembali
dan memfungsikan lembaga penyuluhan sesuai
dengan perannya agar tercipta suatu kesatuan dalam
menentukan arah kebijakan penyuluhan. Tujuannya
sendiri
adalah
dalam
rangka
membangun
kelembagaan yang kokoh dan didalamnya terdapat
sumber daya manusia yang profesional untuk
mengelolanya. Semua ini ditujukan demi tercapainya
tujuan yang telah dicanangkan oleh lembaga
penyuluhan.
Kelembagaan penyuluhan dianggap penting
untuk direvitalisasi karena selama ini lembaga
penyuluhan yang sistemnya buruk justru akan
menghambat jalannya pembangunan. Soekartawi
(2002) pernah menyebutkan bahwa suatu lembaga

baik yang bersifat formal maupun non formal justru
bisa menjadi aspek yang menonjol dalam
menghambat laju pertumbuhan pembangunan
pertanian karena tidak optimal dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Untuk mewujudkan lembaga
penyuluhan yang seperti itu, tentu juga dibutuhkan
aparat pertanian yang tangguh, profesional, mandiri,
inovatif, kreatif, dan berwawasan global, sehingga
didapatkan agen penyuluhan yang berfungsi sebagai
fasilitator, motivator, dan regulator (Susmiyati et. al.,
2010).
Semua hal tersebut di atas dapat terjadi jika
sistem kelembagaan jelas dan pelaksanaannya di
dukung oleh tenaga penyuluh yang berkompeten.
Karena berbagai alasan inilah, maka penulisan paper
ini bertujuan untuk mereview bagaimana seharusnya
revitalisasi kelembagaan penyuluhan dilakukan dan
langkah seperti apa yang seharusnya diambil agar
kelembagaan penyuluhan bisa menghasilkan
kebijakan, program, dan tenaga penyuluh yang bisa

menjadi katalisator pembangunan pertanian di
Indonesia.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan
paper ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan,
metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan
analisis wacana. Penulisan paper ini berusaha untuk
menjelaskan revitalisasi kelembagaan penyuluhan di
Indonesia. Teknik pengumpulan datanya sendiri

menggunakan metode studi pustaka untuk
mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder
dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan
tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal,
buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital
yang ada di internet. Analisis menggunakan
interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai
literatur atau referensi yang relevan dengan objek
kajian dalam penulisan paper ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai perubahan yang di alami petani telah
mendesak kelembagaan penyuluhan untuk terus
berbenah. Tak hanya terbatas pada revitalisasi di
sektor sumber daya manusia yang harus mengikuti
globalisasi
informasi,
namun
kelembagaan
penyuluhan juga harus ikut menyesuaikan diri
dengan iklim baru yang kompetitif. Kelembagaan
penyuluhan menurut Van Den Ban dan Hawkins
(1998) harus mengubah struktur dan kebudayaannya
agar bisa beradaptasi dengan perubahan zaman yang
terjadi sangat massif. Dengan begitu, kelembagaan
penyuluhan akan bisa beradaptasi untuk menghadapi
perubahan jaman dan bisa memenuhi kebutuhan
petani sebagai seorang klien.
Sebelum berbicara tentang apa saja
perubahan yang harus dilakukan, maka kita juga

harus mengetahui berbagai masalah yang muncul di
ranah kelembagaan. Sehingga kita bisa mengetahui
apa saja yang perlu diselesaikan dalam waktu
singkat, hal ini agar kelembagaan penyuluhan bisa
berjalan dengan efektif dan efisien. Masalah yang
lazim ditemui dan perlu segera ditangani berdasarkan
dari penelitian Van Den Ban dan Hawkins (1998),
Sucihatiningsih dan Waridin (2010), Huda (2010),
Anantanyu (2011), Marius (2007), Bestina (2005),
Suhanda (2008), Indraningsih et. al. (2011), dan
Marliati (2008) adalah sebagai berikut:
1. Belum terbentuknya kelembagaan penyuluhan
yang integral dan masih terpisah-pisah dengan
lembaga lain. Masing-masing instansi masih
bersifat egosektoral dan kurang melakukan
koordinasi dengan lembaga terkait. Rendahnya
jejaring kerja sama ini menyebabkan semakin
banyaknya program penyuluhan yang tumpang
tindih dengan program lembaga lain, sehingga
manfaat penyuluhan menjadi tidak dirasakan oleh

petani. Tidak sinergitasnya pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten juga menyebabkan
pengalokasian dana untuk kegiatan penyuluhan
menjadi tidak jelas.
2. Penyuluh menuntut adanya dukungan dari lembaga
penyuluhan
terkait
dengan
peningkatan
pengetahuan dan keterampilan penyuluh. Lembaga
penyuluhan didorong untuk memberikan dukungan
dalam memberikan ijin belajar, memfasilitasi
proses pembelajaran, dan penyediaan informasi
yang diperlukan penyuluh agar kinerja penyuluh
bisa lebih optimal. Namun, disini penyuluh jarang
memberikan kesempatan kepada penyuluh untuk

mengikuti pelatihan karena alasan biaya
operasional yang tinggi.
3. Lembaga penyuluhan sebenarnya berada pada

kondisi yang dilematis karena adanya bias
kepentingan. Hal ini terjadi karena selama ini
manajemen yang dilakukan oleh lembaga
penyuluhan adalah manajemen yang sudah terpola
dari pusat. Akibatnya penyuluh harus mengikuti
manajemen yang sudah ditentukan dan terjebak
oleh perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
kegiatan penyuluhan yang seragam, terstruktur,
dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan pusat
yang belum berorientasi kepada petani. Disini,
kreativitas dan inovasi penyuluh menjadi dibatasi
karena mereka tidak boleh menyimpang dari
ketentuan yang ada. Terkadang instruksi yang
diberikan dari pusat tidak bisa ditolak oleh
penyuluh meskipun kondisi di lapang ternyata
tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Sehingga,
dalam melakukan tugasnya, penyuluh lebih
berorientasi pada kepentingan institusi dibanding
kepentingan petani.
4. Kabupaten/kota masih banyak yang belum

membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai
dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006. Sehingga
banyak lembaga penyuluhan yang tidak
mendapatkan biaya pengembangan dan dana
dekonsentrasi. Hal ini menghambat kinerja
penyuluh karena tidak ada dana untuk
pengembangan perangkat media informasi,
penyebaran informasi, pengembangan bali
penyuluhan, dan pendampingan kepada petani.
5. Lembaga penyuluhan memandang tidak penting
kegiatan-kegiatan
seperti
pengembangan
profesionalitas penyuluh, penyusunan materi
penyuluhan, kegiatan evaluasi dan pelaporan hasil
penyuluhan, serta pemilihan metode penyuluhan
sehingga kepercayaan petani terhadap penyuluh
menjadi semakin kecil. Tiga hal ini harus
mendapat perhatian khusus dari lembaga
penyuluhan jika ingin integritasnya kembali
dihargai oleh masyarakat.
6. Dari sektor internal lembaga penyuluhan masih
banyak mempekerjakan staff yang berumur di atas
51 tahun. Sedikit sekali staff yang berada di
lembaga penyuluhan berusia muda dan berada di
rentang usia produktif. Hal ini menyebabkan
kurangnya kreatifitas dalam menyusun program
dan rendahnya kesadaran terkait dengan
pengembangan skill dan profesionalisme. Selai itu,
banyak pula penyuluh yang dipekerjakan tidak
sesuai dengan daerah asalnya dan sering dirubah
wilayah kerjanya karena kepentingan politis.
7. Balai Informasi Penyuluhan (BIP) sebagai
basiskegiatan
penyuluh,
lebih
merupakan
kepanjangan tangan dari Kantor Informasi
Pertanian (KIP) di tingkat kabupaten. Akibatnya
adalah BIP tidak diberi dana otonom untuk
menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di wilayah
kerjanya.

8. Penyuluh yang memiliki pendidikan tinggi lebih
tertarik menempati jabatan struktural dan tidak lagi
mengembangkan
kompetensinya.
Sedangkan
penyuluh yang berpendidikan relatif rendah juga
cenderung
tidak
lagi
termotivasi
untuk
mengembangkan diri karena tidak ada dukungan
dari lembaga penyuluhan. Perluasan keahlian
sudah dirasa tidak penting, akibatnya tidak ada
kemajuan yang berarti dalam kegiatan penyuluhan.
9. Diklat penyuluhan belum mampu menyediakan
kurikulum
yang
dibutuhkan
penyuluh.
Penyelenggaran diklat hanya sebagai kegiatan rutin
tahunan dan dikemas dalam bentuk kewajiban
semata untuk memperoleh nilai kredit dalam
proses kenaikan jabatan. Belum adanya paradigma
dari lembaga penyuluhan bahwa diklat ini adalah
sesuatu yang dibutuhkan.
10. Lembaga penyuluhan memberikan porsi tugas
yang terlalu banyak, bahkan terkadang penyuluh
harus bekerja tidak sesuai dengan kewajibannya.
Beban keja diluar tugas pokok dan fungsi inilah
yang berakibat pada tidak adanya waktu bagi
penyuluh untuk mengembangkan kompetensinya.
Manajemen organisasi yang tidak fleksibel juga
menyebabkan penyuluh bekerja dalam kondisi
yang tidak bebas. Penyuluh lebih banyak bekerja
lewat arahan yang instruktif bukan dari ide dari
penyuluh itu sendiri.
11. Lembaga penyuluhan belum menyediakan sarana
prasarana dan perlengkapan kerja yang memadai
dalam menunjang kinerja staffnya, baik penyuluh
yang berada di kantor maupun yang bertugas di
lapang. Buruknya dukungan institusi inilah yang
menghambat tugas penyuluh.
12. Masalah lain yang dihadapi lembaga penyuluhan
adalah terkait dengan anggaran. Lembaga
penyuluhan tidak memiliki dana yang cukup untuk
melakukan fungsinya. Sistem dana anggaran yang
sebelumnya dikelola pusat kemudian diserahkan
kepada kebijakan daerah masing-masing, hal ini
menyebabkan sulitnya akses dana bagi lemabaga
penyuluahan. Pengelolaan dana oleh dinas juga
kerap menimbulkan masalah yaitu akan banyak
intervensi kepala dinas dalam pembuatan program
dan perumusan kebijakan.
13. Rekruitmen dan penempatan penyuluh yang
ditentukan oleh Badan Kepegawaian Daerah
(BKD) seringkali tidak tepat. Banyak penyuluh
yang ditempatkan sebagai tenaga struktural dan
dinas teknis. Hal ini sudah jelas sangat tidak sesuai
dengan kompetensi kerjanya.
14. Lembaga penyuluhan belum mengatur sistem
pemberian insentif dan disintensif bagi staff yang
berada di bawah naungannya. Selama ini semua
insentif hanya diatur pusat lewat penentuan angka
kredit. Tidak ada penghargaan khusus bagi tenaga
kerja penyuluhan dalam rangka meningkatkan
motivasi kerjanya.
Hingga kemudian muncul berbagai ide dan
gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor

kelembagaan penyuluhan. Revitalisasi dipandang
sebagai hal yang penting dan harus dilakukan karena
dewasa ini kinerja penyuluh mulai dipertanyakan.
Petani juga tidak lagi menaruh banyak harapan
kepada penyuluh. Kepercayaan petani terhadap
penyuluh semakin melemah mengingat kurang
berfungsinya penyuluh. Menurut Anantanyu (2011),
Bestina (2005), Marliati et. al. (2008), Indraningsih
et. al. (2013), Indraningsih et. al. (2011), dan Marius
(2007), setidaknya ada beberapa hal yang harus
segera dilakukan agar revitalisasi lembaga
penyuluhan bisa berjalan, yaitu:
1. Adanya pemimpin yang mampu merumuskan
program dan arah kebijakan dari lembaga tersebut.
Seorang pemimpin disini harus bisa menciptakan
kerja sama antar anggota, menciptkan iklim kerja
yang kondusif, serta adanya pembagian tugas dan
peran dari masing-masing anggota dengan jelas.
2. Adanya spesifikasi nilai, tujuan, dan metode
operasional yang digunakan sebagai acuan dalam
bertindak oleh anggotanya. Suatu lembaga harus
memiliki tujuan yang jelas dan sesuai dengan
kebutuhan anggota.
3. Adanya program yang jelas dan terstruktur,
menunjuk
pada
tindakan
tertentu
yang
berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsifungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari
lembaga tersebut. Lembaga penyuluhan juga
diharapkan untuk membuat pedoman yang pasti
dalam penyusunan rencana kerja penyuluh yang
berorientasi pada kepentingan petani.
4. Tersedianya sumberdaya yang berkualitas, baik itu
sumber daya manusia, fisik, teknologi, dan modal.
Lembaga penyuluhan dituntut untuk bisa
memperoleh,
mengatur,
memlihara,
dan
mengerahkan sumber daya yang dimilikinya. Hal
ini bisa didukung dengan meningkatkan kegiatan
pelatihan untuk pengembangan diri penyuluh.
5. Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan
proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya
lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Selain
itu, lembaga penyuluhan juga harus bisa bekerja
sama dengan lembaga-lembaga lain yang terkait
agar program yang dibuat bisa multi sektor dan
berkelanjutan.
6. Lembaga penyuluhan harus membekali penyuluh
dengan pengetahuan dan kemampuan terkait
kegiatan off farm karena selama ini penyuluh
hanya mengetahui kegiatan on farmnya saja.
Bidang keahlian penyuluh harus ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan petani yang sifatnya
beragam. Dengan begitu akan muncul penghargaan
dan apresiasi dari masyarakat kepada penyuluh dan
akan muncul kembali kepercayaan masyarakat
karena menempatkan penyuluh sebagai figur yang
terbuka terhadap ide dan gagasan serta selalu
berinteraksi dengan petani.
7. Lembaga penyuluhan harus merubah paradigma
penyuluh untuk bisa menjadi seorang konsultan
dengan cara mengikutsertakan penyuluh dalam

menyusun program. Sehingga, penyuluh merasa
dituntut untuk menjadi seorang spesialis yang
harus mampu mengidentifikasi dan menganalisis
kebutuhan petani dan memberikan layanan yang
memuaskan bagi petani.
8. Lembaga penyuluhan dalam menyelenggarakan
kegiatan penyuluhan perlu memperhatikan materi
dan program penyuluhan, infrastruktur pendukung,
faktor intensif dan disintensif penyuluh, serta
keterlibatan masyarakat.
9. Dari aspek ketenagakerjaan, lembaga penyuluhan
harus melakukan koordinasi dan kerja sama antara
penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya, dan
penyuluh swasta dalam rangka untuk mencapai
tujuan bersama dan tidak ada tumpang tindih
kepentingan.
10. Revitalisasi lembaga penyuluhan harus bersifat
sistemik, diawali dengan perbaikan visi dan misi,
lalu menyiapkan sumber daya tenaga kerja yang
berkompetensi baik secara perorangan maupun
berkelompok. Tidak berhenti disitu, pranata,
infrastruktur, dan sistem penunjang penyuluhan
juga harus diformat ulang dan disesuaikan dengan
pembangunan yang hendak dicapai serta
perkembangan jaman yang harus diikuti. Selama
ini, perkembangan dukungan fasilitas dan
prasarana kerja dari lembaga penyuluhan untuk
penyuluh mengalami penurunan kualitas dan
kuantitas yang sangat signifikan.
11. Diperlukan pula penataan kembali kelembagaan
penyuluhan mulai dari pusat sampai tingkat desa
sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006. Lembaga
penyuluhan di tingkat pusat berbentuk badan yang
menangani penyuluhan. Di tingkat provinsi
berbentuk Badan Koordinator Penyuluhan
(Bakorluh), pada tingkat kabupaten berbentuk
Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh), dan di
tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
Lembaga penyuluhan pusat bertugas melaksanakan
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi
kinerja penyuluhan, sedangkan Bakorluh berfungsi
melakukan koordinasi dengan instansi lain yang
belum ada. Di tingkat kabupaten, Bapeluh
diharapkan bisa bekerja sama dengan dinas teknis
sesuai dengan program dengan mengikutsertakan
Balai Penyuluhan yang ada di Kecamatan. Balai
Penyuluhan juga bertugas nantinya untuk
mendampingi petani di lapang.
12. Operasionalisasi penyuluhan seharusnya dipegang
pusat, termasuk kebijakan penyuluhan karena di
era desentralisasi ini kepala daerah juga diberi
wewenang untuk melakukan kendali. Sehingga,
agar tidak terjadi kebingungan dan salah dalam
menafsirkan kebijakan maka seharusnya kendali
secara umum tetap berada di pusat.
13. Kebijakan Menteri Pertanian terkait dengan kinerja
penyuluh harus tegas termasuk teknis pelaksanaan
penyuluhan dengan sistem otonomi daerah.
Menteri Pertanian juga harus menjaga komitmen

masing-masing dinas yang berada di bawah
kendalinya untuk bisa dikoordinasikan.
14. Terkait dana anggaran kelembagaan, seharusnya
pihak pusat masih memberikan dana operasional
dan tidak sepenuhnya memberatkan kepada
daerah. Karena tidak semua daerah memperhatikan
kegiatan
penyuluhan.
Ada
daerah
yang
memandang tidak penting kegiatan penyuluhan
karena tidak secara langsung memberikan
sumbangan dalam peningkatan pendapatan asli
daerah sehingga dana yang dikucurkan juga
rendah.
Lebih lanjut Van Den Ban dan Hawkins
(1998) menjelaskan beberapa prasyarat agar lembaga
penyuluhan bisa memiliki struktur organisasi yang
bak agar bisa menjalankan fungsinya, yaitu sebagai
berikut:
1. Komunikasi yang baik
Organisasi penyuluhan membantu petani
melalui proses komunikasi yang efektif dan efisien.
Lewat proses komunikasi itulah oraganisasi
penyuluhan akan memberikan panduan kepada petani
terkait dengan pengambilan keputusan dalam
berusaha tani. Dengan demikian, penyuluh harus
memahami proses pembentukan pendapat dan
pengambilan
keputusan,
terutama
mampu
mengidentifikasi masalah yang di hadapi petani.
Berbagai informasi dari bawah ini akan didapatkan
oleh
penyuluh
lapang
untuk
kemudian
disebarluaskan kepada para pengambil keputusan
organisasi, seperti manajer senior dan penyuluh
pertanian spesialis.
2. Informasi
Dibutuhkan seorang spesialis dari berbagai
disiplin ilmu sebagai sumber informasi. Tantangan
ke depan berbagai informasi dibutuhkan oleh petani,
tidak hanya menyangkut budi daya namun sudah
merambah sampai kepada penggunaan komputer dan
teknologi informasi di sektor pertanian. Penyuluh
tentu tidak bisa mengakomodir semua informasi
tersebut sehingga di butuhkan seseorang yang ahli di
bidangnya untuk membantu kinerja penyuluh. Agen
penyuluhan dituntut dengan cepat, tepat, dan akurat
untuk
dapat
menerima
informasi
dan
menyebarluaskannya. Agen penyuluhan memiliki
peran lain untuk dapat menerjemahkan informasi dari
hasil penelitian akademisi dan penentu kebijakan ke
dalam bahasa-bahasa yang mudah di pahami oleh
petani.
3. Penyesuaian dengan lingkungan yang berubah
Lingkungan terus-menerus kan berubah dan
dalam perkembangannya lembaga penyuluhan harus
mampu untuk menyesuaikan diri, bahkan diharapkan
bisa mempengaruhi perubahan tersebut. Manajemen
sebagai pengambil kebijakan haruslah responsif
dalam melihat perubahan yang terjadi, namun
tanggung jawab itu sebenarnya bisa didelegasikan
kepada anggota staffnya. Informasi yang sifatnya
penting harus dikomunikasikan kepada staff yang

memerlukan guna pengambilan keputusan yang
hendak dilakukan.
4. Motivasi staff
Untuk
mencapai
tujuan,
lembaga
penyuluhan harus bisa memotivasi staff untuk
bekerja dengan baik. Agen penyuluhan yang bertugas
di berbagai tempat dengan berbagai macam tujuan
hendaklah di awasi dan diberi motivasi. Pemberian
motivasi ini bertujuan untuk meyakinkan staff agar
bisa menjalankan tugas dengan baik dan percaya
terhadap yang dilakukan adalah untuk meyakinkan
petani, bukan bekerja karena gaji semata. Agen
penyuluhan harus memiliki kesadaran bahwa tugas
yang mereka lakukan sangat penting bagi petani dan
realistis bagi dirinya. Organisasi penyuluhan
diharapkan bisa membicarakan berbagai isu yang ada
secara terbuka bersama staffnya untuk semua tingkat.
Hal ini tidak lepas karena adanya alasan bahwa agen
penyuluhan mempunyai pendapat sendiri mengenai
arah pengembangan pertanian di wilayah kerjanya
dan dengan kuat termotivasi untuk membantu
perkembangan ini jika program penyuluhan searah
dengan pendapatnya.
5. Fleksibilitas
Organisasi
penyuluhan
harus
mengembangkan budaya belajar sehingga seluruh
anggota staff akan memberikan sumbangan bagi
proses untuk menemukan cara agar organisasinya
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
sedang berubah, berkenaan pula dengan munculnya
berbagai peluang yang baru. Organisasi penyuluhan
harus memiliki beragam cara untuk mencapai tujuan
dan berpacu dengan pengembangan baru di bidang
pertanian.
Strategi kunci lainnya untuk menciptakan
kelembagaan penyuluhan yang lebih baik adalah
lewat kepemimpinan. Kepemimpinan dalam lembaga
penyuluhan harus bisa mengakomodir semua
kebutuhan dan tujuan staffnya. Agen penyuluhan
harus memiliki kebebasan untuk memutuskan apa
yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya.
Dengan begitu, diharapkan staff akan memberikan
sumbangsih sebanyak mungkin demi tercapainya
tujuan organisasi.
Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1998),
dibutuhkan gaya kepemimpinan partisipatif dalam
kelembagaan penyuluhan agar semua kepentingan
bisa ternaungi. Mereka berdua juga menjelaskan
bahwa setidaknya ada 6 faktor yang harus
diperhatikan terkait gaya kepemimpinan seseorang
dalam suatu lembaga penyuluhan, yaitu: (1)
Manajemen dapat menentukan kepada setiap agen
penyuluhan apa yang harus dilakukan sesuai dengan
tempat dimana mereka bertugas dan memberi
kebebasan untuk menentukan langkah jika ternyata
terjadi banyak perubahan dari segi sosial, ekonomi,
dan budaya, (2) Harus dipilih seseorang yang
profesional dan terspesialisasi untuk menduduki
jabatan-jabatan penting dalam lembaga pnyuluhan,
(3)
Lembaga
penyuluhan
menuntut
gaya

kepemimpinan yang demokratis, dimana agen
penyuluhan bersama dengan masyarakat dipacu
untuk bersikap kritis dan bisa menemukan jalan
keluar dari masalah yang sedang dihadapi, (4)
Pemimpin
mempunyai
kewenangan
untuk
memberikan reward dan punishment bagi agen
penyuluhan. Mengingat selama ini, agen penyuluhan
dengan statusnya sebagai seorang pegawai negeri
sipil sulit dipecat jika kinerjanya rendah dan sulit
mendapatkan promosi meskipun kinerjanya bagus,
(5) Pemimpin harus memiliki pertimbangan dari
berbagai aspek agar keputusan yang diambil tidak
tergesa-gesa dan mampu menyelesaikan masalah
dengan cepat namun akurat, dan (6) Pemimpin harus
mengalokasikan tenaga staffnya untuk memnuhi
kepentingan umum terlebih dahulu.
Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Kusnandar (2013), bahwa
kepemimpinan sesorang sangat mempengaruhi
lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan menjadi
satu dari lima dimensi penting dalam pengembangan
kapasitas
kelembagaan
penyuluhan.
Selain
kepemimpinan, yang harus mendapatkan perhatian
adalah
perencanaan
program,
manajemen
pelaksanaan, alokasi sumber daya, dan hubungan
dengan pihak luar.
Revitalisasi tidak hanya berhenti dari segi
kepemimpinan atasan yang ada dalam kelembagaan
penyuluhan,
namun
juga
sampai
kepada
pengembangan staff yang ada. Staff dalam lembaga
penyuluhan harus memiliki mutu yang baik agar bisa
berkontribusi
dalam
pembangunan
lembaga
penyuluhan. Staff diharapkan agar bisa bersikap
kritis dan tidak begitu saja menerima arahan atasan.
Agen penyuluhan sebagai seorang staff juga harus
bertindak secara partisipatif dan memahami kondisi
petani serta lembaga yang menaunginya.
Penyuluh yang telah melaksanakan tugasnya
dengan baik perlu mendapatkan imbalan sebagai
suatu penghargaan atas dedikasi dan kerja kerasnya.
Penghargaan disini bisa berupa promosi kenaikan
jabatan ataupun dalam bentuk yang lain. Secara tidak
langsung diharapkan sistem seperti ini bisa menjadi
pemicu agar penyuluh lain bisa termotivasi untuk
mengikuti jejak temannya yang telah sukses.
Sehingga, terjadi suatu kompetisi yang sehat antar
agen penyuluhan. Motivasi penyuluh bisa
ditumbuhkan dengan sistem seperti ini, pimpinan
dari lembaga penyuluhan harus memberikan
kesempatan sebesar-besarnya bagi penyuluh untuk
berkreasi dan maju. Dengan begitu, penyuluh akan
lebih semangat dalam bekerja dan memecahkan
masalah petani.
Dengan sistem reward seperti ini, penyuluh
diharapkan juga bisa mengevaluasi kinerjanya
dengan jalan melihat hasil kerja penyuluh lain.
Pembandingan ini dilakukan untuk melihat apakah
kinerjanya sudah bagus atau perlu ditingkatkan.
Penyuluh juga bisa belajar dari penyuluh lain terkait
program yang berhasil dilaksanakan. Jika sudah

mengetahui kekurangannya dibandingkan dengan
penyuluh lain maka penyuluh tersebut juga harus
aktif uuntuk meningkatkan kemampuannya lewat
jalan menikuti berbagai pelatihan yang ada.
Disini lembaga penyuluhan berkewajiban
untuk mengadakan suatu pelatihan dan menyediakan
sumber-sumber informasi terbaru guna memudahkan
penyuluh dalam memperbaharui informasi yang
dibutuhkan. Penyuluh tentu memerlukan informasi
yang up to date agar bisa memberikan infromasi
terbaru kepada petani. Dengan begitu diharapkan
keterampilan petani juga akan meningkat. Tidak
hanya informasi, namun penyuluh juga harus bisa
mendemonstrasikan informasi tersebut kepada petani
untuk mendapatkan kepercayaan petani. Tak hanya
informasi dari buku dan internet, namun penyuluh
juga ahrus senantiasa membekali dirinya dengan
latihan secara langsung di lapang untuk melihat hasil
implementasi nyata dari informasi yang didapatkan
secara text book.
Dalam bukunya, Subejo (2013) dan Hariadi
(2009) mengungkapkan bahwa tantangan masa depan
penyuluh adalah harus bisa menguasai tema-tema
penyuluhan yang sifatnya generalis mulai dari
pemasaran, pengolahan, permodalan, dan sebagainya.
Penyuluh tidak hanya mengetahui masalah produksi
karena perkembangan pertanian telah jauh
mengalami pergeseran dalam memaknai kompetisi
global. Perubahan orientasi pembangunan akan
menyebabkan perubahan materi penyuluhan yang
harus dikuasai penyuluh. Penyuluh dituntut tidak
hanya menjadi agen transfer teknologi, tapi juga
menjadi fasilitator dan penasihat bagi petani. Disini
lembaga penyuluhan perlu untuk melakukan kerja
sama dengan lembaga lain dalam hal mengelola
beragam informasi terkait pertanian untuk
mendukung aplikasi inovasi pertanian.
Van Den Ban dan Hawkins (1998) juga
menjelaskan bahwa sebenarnya kelembagaan
penyuluhan perlu mempekerjakan penyuluh yang
sifatnya generalis dan spesialis. Penyuluh generalis
diharapkan bisa memecahkan masalah petani yang
sifatnya umun, sedangkan spesialis lebih untuk
memahami masalah spesifik yang dihadapi petani.
Spesialis diharapkan bisa memegang sub sektor
tertentu dan fokus pada kajian tersebut. Kelembagaan
penyuluhan yang baik hendaknya mengkolaborasikan
penyuluh generalis dan spesialis. Spesialis bisa
mendukung generalis jika terjadi kesulitan dalam
memecahkan masalah, sedangkan generalis bisa
memberikan rekomendasi praktis dari penelitianpenelitian yang dilakukan oleh spesialis.
Tak hanya penyuluh yang spesialis dalam
satu bidang namun tantangan ke depan
mengharuskan kelembagaan penyuluhan untuk
mempiliki seseorang yang spesialis dalam
mempersiapkan bahan informasi. Disini diperlukan
kerja sama antara penyuluh spesialis dengan spesialis
informasi. Penyuluh spesialis bisa menyediakan
bahan-bahan informasi yang dibutuhkan, sedangkan

spesialis informasi akan menyajikan bahan-bahan
informasi tersebut mudah dipahami dan menarik
kepada petani.
Sementara itu, Esman (1986) dalam
Anantanyu (2011) memandang revitalisasi suatu
lembaga, dalam konteksnya adalah dengan: (1)
Menyusun kembali nilai, fungsi, teknologi, (2)
Melindungi hubungan normatif dan mencoba
membuat pola-pola tindakan yang baru, serta (3)
Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam
lingkungan lembaga itu sendiri. Semua ini dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyuluhan
agar mampu memenuhi kebutuhan anggotanya dan
kebutuhan petani pada khususnya.
Lebih lanjut, Andriani et. al. (2015) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa penyuluhan
sebagai suatu sistem agar dapat berjalan dengan
efektif maka subsitemnya perlu dikembangkan dan
diperbaiki, peraturan yang diperlukan harus segera
dibuat, dan perlu adanya penyamaan persepsi
diantara para pihak pada masing-masing subsitem
agar terjadi hubungan fungsional antar subsistem
tersebut.
Jadi, inti dari revitalisasi pada kelembagaan
penyuluhan adalah memupuk kesadaran kembali dan
membangun komitmen tentang arti penting sekto
pertanian, khususnya adalah penyuluhan. Revitalisasi
harus dilakukan secara proporsional dan kontekstual
sambil memberdayakan sumber daya yang terlibat
beserta meningkatkan kinerja dan kerja sama dengan
sektor lain (Iqbal, 2008). Hal ini dianggap penting
karena dalam studi Anantanyu (2011), ia melihat
kelembagaan penyuluhan sebagai suatu syarat
kecukupan yang harus dipenuhi agar pembangunan
pertanian bisa berjalan sesuai dengan yang
dikehendaki.
PENUTUP
Revitalisasi lembaga penyuluhan berarti
pembaharuan dan perubahan di berbagai segi dalam
hal ini ditujukan untuk menjadikan lembaga efektif
bisa bekerja sesuai dengan peran dan fungsinya.
Berbagai masalah yang perlu dibenahi adalah terkait
dengan: (1) Lembaga penyuluh belum terintegrasi
dengan lembaga lain karena adanya sifat egosektoral,
(2) Kurangnya dukungan dari lembaga penyuluhan
terkait pengembangan kompetensi penyuluh, (3)
Lembaga penyuluhan menjalankan tugas yang bias
kepentingan karena manajemen yang terpola dari
pusat, (4) Kabupaten/kota masih banyak yang belum
membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai dengan
amanat UU No. 16 Tahun 2006, (5) Rendahnya
kreatifitas dalam menyusun program karena lembaga
penyuluhan banyak mempekerjakan staff yang tidak
berada di umur produktif, (6) Lembaga penyuluhan
tidak
memiliki
dana
otonom
untuk
menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di wilayah
kerjanya, (7) Staff penyuluh lebih tertarik mengisi
jabatan struktural, (8) Diklat penyuluhan belum
mampu menyediakan kurikulum yang dibutuhkan

penyuluh dan hanya sebagai penggugur kewajiban
angka kredit, (9) Lembaga penyuluhan memberikan
porsi tugas diluar tugas pokok dan fungsi penyuluh,
(10) Kurangnya sarana prasarana dan perlengkapan
kerja yang memadai dalam menunjang kinerja staff,
dan (11) Lembaga penyuluhan belum mengatur
sistem pemberian insentif dan disintensif bagi staff
yang berada di bawah naungannya.
Hingga kemudian muncul berbagai ide dan
gagasan untuk melakukan revitalisasi di sektor
kelembagaan penyuluhan. Beberapa hal yang harus
segera dilakukan agar revitalisasi lembaga
penyuluhan bisa berjalan, yaitu: (1) Adanya
pemimpin yang mampu merumuskan program dan
arah kebijakan, (2) Adanya spesifikasi nilai, tujuan,
dan metode operasional yang digunakan sebagai
acuan dalam bertindak oleh anggotanya, (3) Adanya
program yang jelas dan terstruktur, (4) Tersedianya
sumberdaya yang berkualitas, baik itu sumber daya
manusia, fisik, teknologi, dan modal, (5) Koordinasi
antara lembaga penyuluhan dengan dinas terkait, (6)
Lebih banyak melakukan kegiatan pelatihan, (7)
Mengkutsertakan semua staff dalam menyusun
program kerja, (8) Pembaharuan materi dan program
penyuluhan, infrastruktur pendukung, faktor intensif
dan disintensif penyuluh, (9) Melakukan koordinasi
dan kerja sama antara penyuluh pemerintah,
penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta, (10)
Perbaikan visi dan misi dan menyiapkan sumber
daya tenaga kerja yang berkompetensi, (11) Penataan
kembali kelembagaan penyuluhan mulai dari pusat
sampai tingkat desa sesuai dengan UU No. 16 Tahun
2006, (12) Operasionalisasi penyuluhan seharusnya
dipegang pusat, (12) Terkait dana anggaran
kelembagaan, seharusnya pihak pusat masih
memberikan dana operasional dan tidak sepenuhnya
memberatkan kepada daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam
Meningkatkan
Kapasitas
Kelembagaan
Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa
Tengah). Disertasi pada Institut Pertanian
Bogor.
Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran
dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya.
Jurnal SEPA. Volume 7 Nomor 2. p.102 – 109.
Andriani,
Yulia,
Kausar,
Cepriadi.
2015.
Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi
Riau. Indonesian Journal of Agricultural
Economics (IJAE). Volume 6 Nomor 2. p.147157.
Bestina, Supriyatno, Slamet Hartono, dan Amiruddin
Syam. 2005. Kinerja Penyuluh Pertanian dalam
Pengembangan Agribisnis Nenas di Kecamatan
Tambang,
Kabupaten
Kampar.
Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Volume 8, Nomor 2. p.218-231.

Hariadi, Sunarru Samsi. 2009. Penyuluhan Dialogis
untuk Menjadikan Petani dan Penyuluh
Mandiri. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas
Gadjah Mada. p.1-27.
Huda, Nurul dan Ludivica Endang Setijorini. 2010.
Kompetensi Penyuluh dalam Mengakses
Informasi Pertanian (Kasus Alumni UT di
Wilayah Serang). Jurnal Matematika, Sains,
dan Teknologi. Volume 10 Nomor 1. p.65-77.
Indraningsih, K.S., T. Pranadji, G.S. Budhi, Sunarsih,
E.L. Hastuti, K. Suradisastra, R.N. Suhaeti.
2011. Revitalisasi Sistem Penyuluhan untuk
Mendukung Daya Saing Industri Pertanian
Perdesaan. Pusat Sosial Ekomoni dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Indraningsih, Kurnia Suci, Tri Pranadji, dan
Sunarsih. 2013. Revitalisasi Sistem Penyuluhan
Pertanian dalam Perspektif Membangun
Industrialisasi Pertanian Perdesaan. Jurnal
Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 31
Nomor 2. p.89-110.
Iqbal, Muhammad. 2008. Konstelasi Institusi
Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam Program PIDRA. Jurnal Ekonomi
Pembangunan. Volume 9 Nomor 1. p.28-45.
Kusnandar et. al. 2013. Rancang Bangun Model
Kelembagaan Agribisnis Padi Organik dalam
Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Volume 14 Nomor 1.
p.92-101.
Marius, Jelamu Ardu, Sumardjo, Margono Slamet,
dan Pang S.Asngari. 2007. Pengaruh Faktor
Internal dan Eksternal Penyuluh terhadap
Kompetensi Penyuluh di Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor.
Volume 3 Nomor 2. p.78-89.
Marliati, Sumardjo, Pang S. Asngari, Prabowo
Tjitropranoto dan Asep Saefuddin. 2008.
Faktor-Faktor Penentu Peningkatan Kinerja
Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan
Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau). Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian
Bogor. Volume 4 Nomor 2. p.92-99.
Soekartawi. 2002. Prinsip Ekonomi Pertanian: Teori
dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Subejo. 2013. Bunga Rampai Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. UI Press. Jakarta.
p.169-172.
Sucihatingsih, DWP dan Waridin. 2010. Model
Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyuluh
Pertanian dalam Meningkatkan Kinerja
Usahatani Melalui Transaction Cost (Studi
Empiris di Provinsi Jawa Tengah). Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Volume 11 Nomor 1.
p.13-29.
Suhanda, Nani Sufiani, Amri Jahi, Basita Ginting
Sugihen dan Djoko Susanto. 2008. Kinerja
Penyuluh Pertanian di Jawa Barat. Jurnal

Penyuluhan Institut Pertanian Bogor. Volume 4
Nomor 2. p.100-108.
Susmiyati, Ait Maryani, dan Dedy Kusnadi. 2010.
Kinerja Penyuluhan Pertanian PNS dalam
Melaksanakan Tupoksi di Kabupaten Bogor
(Kasus di BP3K Cibungbulang). Jurnal
Penyuluhan Pertanian. Volume 5 Nomor 1.
p.87-103.
Van Den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1998.
Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. p.277-292.