TUGAS SENI BUDAYA SRI EKA
TUGAS SENI BUDAYA
JENIS MUSIK DAERAH YANG ADA DI INDONESIA
Nama Kelompok:
1.
2.
3.
4.
5.
Ni Made Ayu Dwipayani
Ni Putu Ayu Rissa Tirta Dewi
Ni Made Munica Ariantini
Ni Luh Putu Novi Yulianan Dewi
Ni Luh Nyoman Sri Eka Wedanti
(14.040)
(14.041)
(14.057)
(14.059)
(14.066)
SMK FARMASI SARASWATI 3 DENPASAR
JENIS MUSIK DAERAH YANG ADA DI INDONESIA
1. Musik Gambang Kromong
Gambang kromong merupakan seni kebuadayaan Betawi yang sampai saat ini
masih terus dilestarikan, kesenian ini sering dimainkan pada acara-acara resmi dan pesta
rakyat, Pada abad ke 17 banyak imigran china yang datang ke tanah betawi dan mereka
memperkenalkan kesenian tersebut ke masyarakat adalah seorang pemimpin komunitas
Tionghoa yang diangkat Belanda bernama Nie Hoe Kong yang memperkenalkan
kesenian tersebut kepada masyarakat lokal.
Gambang kromong awalnya dimainkan hanya dengan sebuah alat musik gesek
bernama Tehyan, Kongahyan dan Sukong, seiring berjalannya waktu dan ada
ketertarikan masyarakat lokal akan kesenian tersebut maka berkembanglah kesenian
tersebut dimasyarakat betawi. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah
alat musik tabuh atau perkusi, yaitu gambang dan kromong. gambang alat musik yang
berasal dari kayu yang di jejerkan sebanyak 18 buah, sedangkan Kromong alat musik
yang dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang
isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran.
Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai
lawannya. lagu-lagu yang bercorak Tionghoa masih sering dilantunkan dalam kesenian
ini, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa
Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu,
Lo Fuk Cen, dan sebagainya. Memang budaya Thiong hoa sangat melekat pada
masyarakat betawi namun tak banyak orang yang menyadari mungkin karena faktor
keterbatasan pengetahuan atau sebagainya
Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah
semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa
dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa sukong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan
dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia digunakan
menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan
dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.
Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra
gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrèk. Dengan
demikian terciptalah gambang kromong.
Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar
ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke
bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan
tersebut memang merupakan area budaya Betawi.
Musik Gambang Kromong dalam penggunaannya dipergunakan masyarakat
Betawi dalam perayaan pesta, mengiringi teater Lenong, dan penyemarakan upacara
Ritual. Orang Betawi peranakan Cina Benteng dalam perayaan acara pernikahan masih
mempergunakan musik Gambang Kromong sebagai sajian penyemarak upacara ritual.
Penyemarak disini adalah bertugas dalam memeriahkan acara pernikahan, seperti
pemilihan musik, menari dengan para penari, hingga membeli makanan kecil.
Penggunaan Gambang Kromong lainnya oleh orang Cina Benteng adalah upacara Seijit
(ulang tahun biara atau klenteng) yang dilakukan di biara, seperti tugasnya,Gambang
Kromong digunakan sebagai pemeriah acara. Selain untuk acara ritual, Gambang
Kromong juga dipergunakan dalam acara Sunatan, Kaul (nazar), mengiringi teater
Lenong, dan hiburan yang lain. Penggunaannya dalam Teater Lenong disesuaikan
dengan kondisi suasana teater, sehingga permainan Gambang Kromong bersifat
spontanitas. Keberadaannya kini, Gambang Kromong digunakan sebagai sajian
pariwisata Jakarta. Dengan begitu banyak lagi adaptasi yang dilakukan oleh Gambang
Kromong dalam keberlangsungan kesenian tersebut di ranah Pariwisata.
2. Musik Goong Renteng
Di sebuah kampung yang ada di daerah Kabupaten Cianjur bagian selatan,
tepatnya Kampung Rawa Salak, Desa Purabaya, Kecamatan Agrabinta, ada satu jenis
kesenian tradisional yang hampir punah. Kesenian itu bernama goong renteng. Nama
tersebut sangat erat kaitannya dengan alat musik yang digunakan, yaitu goong (gong).
Alat musik yang bentuknya serupa dengan gong pada umumnya, tetapi ukurannya lebih
kecil ini berjumlah 6 buah dan direnteng (disusun secara horisontal ke samping). Oleh
karena itu, kesenian tersebut dinamakan goong renteng. Kapan dan darimana kesenian ini
berasal sulit diketahui secara pasti. Namun demikian, berdasarkan penuturan masyarakat
setempat, khususnya para orang tua, konon di masa lalu balatentara (pasukan) Mataram
--dalam perjalanannya dari Batavia (Jakarta) ke Kotagede (Yogyakarta)-- singgah di
daerah Cianjur. Bahkan, banyak diantaranya yang kemudian menetap di Kadupandak
(Cianjur-Selatan). Di daerah tersebut mereka mengembangkan kesenian yang kemudian
disebut sebagai “goong renteng”. Tumbuh dan berkembangnya goong renteng di
Kampung Rawa Salak adalah berkat salah seorang warganya yang bernama Akum. Untuk
mengembangkan kesenian tersebut di daerahnya, ia membeli seperangkat goong renteng
dari salah seorang warga Cukanggaleuh, Kecamatan Kadupandak. Ketika itu (kira-kira
tahun 1916) harganya 15 ringgit masih ditambah dengan seekor kerbau dan seekor kuda.
Seperangkat gamelan inilah yang digunakan untuk ber-goong renteng dari dahulu hingga
sekarang. Dengan perkataan lain, dari generasi pertama (1916) yang tokohnya adalah
Akum, generasi kedua (1938) yang tokohnya adalah Mali, sampai generasi ketiga (1970)
yang tokohnya adalah Uma. Mereka adalah masih satu darah (keturunan). Ini artinya
bahwa kesenian goong renteng diwariskan secara turun-temurun dari anak ke cucu
Peralatan
Seperangkat kesenian goong renteng terdiri atas: 1 buah kendang (gendang) besar,
2 buah kulanter (gendang kecil), 16 buah bonang (gong kecil), 2 buah gong besar,
dan 3 lembar kecrek. Gendang terbuat dari kayu dan kulit, bonang dan gong
terbuat dari perunggu, dan kecrek terbuat dari besi. Peralatan tersebut masingmasing mempunyai fungsi tersendiri.Gendang misalnya, ia berfungsi sebagai
pengatur tempo. Gong besar berfungsi sebagai penutup lagu dan sekaligus
pemuas rasa. Kemudian, kecrek berfungsi sebagai penambah sari irama; dan
bonang berfungsi sebagai melodi.
Pemain dan busana
Jumlah pemainnya ada 3 orang dengan rincian: 3 orang sebagai penabuh bonang,
1 orang sebagai penabuh gendang, 1 orang sebagai penabuh gong besar, dan 1
orang sebagai penabuh kecrek. Ke-6 pemain tersebut semuanya lelaki. Dalam
suatu penyajian atau pergelaran, mereka mengenakan pakaian khas Sunda yang
berupa pangsi dan iket.
Pementasan
Pementasan kesenian goon renteng ini bisa dilakukan pada ruang terbuka atau
tertutup. Hal itu bergantung pada pemintaan dan tempatnya memungkinkan.
Adapun bentuk sajiannya berupa karawitan gending. Pementasan diawali dengan
penyajian tabuhan jiro dan angkatan. Setelah itu, baru dilantunkan lagu-lagu
dalam bentuk instrumental. Banyak judul lagu yang dinstrumentalkan, antara lain:
bongkang, kangkangkot, jangjang odeng, keupat hayam, dan poek-poek ludeung.
Goong renteng pada mulanya hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadi, hanya
merupakan klangenan (hiburan) semata untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas
kesehariannya sebagai petani. Lama-lama kesenian ini menjadi pengiring dalam upacara
tutup tahun (akhir panen). Seperangkat alat musiknya pun menjadi berbau magis. Hal itu
tercermin dari adanya upacara suci yang disebut “dimuludken”. Tujuan upacara ini
disamping agar peralatan musik tetap bersih (terpelihara dengan baik), juga sebagai
upacara untuk mengenang para leluhur. Dengan tampilnya dalam setiap upacara tutup
tahun, maka kesenian ini dikenal banyak orang. Dan, karena banyak yang mengenalnya,
maka akhirnya ia tidak hanya dipentaskan pada upacara tutup tahun saja, tetapi pada
khajatan seseorang (khitanan dan perkawinan) dan hari-hari besar nasional, khususnya
hari kemerdekaanRepublik Indonesia (17-Agustusan).
Ini artinya, fungsi kesenian tradisional goong renteng yang pada mulanya hanya
sekedar sebagai hiburan dalam perkembangan tidak lagi hanya sebagai hiburan, tetapi
juga sebagai suatu ungkapan terima kasih, baik kepada Yang Maha Kuasa maupun para
pendahulunya. Lepas dari berbagai fungsi itu, sesungguhnya kesenian yang ditumbuhkembangkan oleh suatu masyarakat sekaligus berfungsi sebagai identitas masyarakat
yang bersangkutan. Ini bermakna bahwa kesenian tradisional goong renteng merupakan
salah satu unsur jatidiri masyarakat Kampung Rawa Salak, Desa Purabaya, Kecamatan
Agrabinta, Kabupaten Cianjur.
3. Musik Gong Luang
Gong Luang adalah seperangkat Gamelan yang berasal dari Bali. Gong Luang
terdiri dari “Gong” dan “Luang”. Konon, kata “Luang” berarti “kurang”, yaitu mengacu
pada asal usul perangkat Gong ini yang kurang lengkap, maka dinamakan Gamelan Gong
Luang.
Bentuk dan susunan Gamelan Gong Luang serupa dengan Gamelan Gong Kebyar, tetapi
Gamelan Gong Luang hanya terdiri dari tiga belas atau lima belas alat musik, sedangkan
Gong Kebyar memakai dua puluh lima sampai tiga puluh alat musik. Alat musik lain yang
biasanya terdapat dalam Gong Luang adalah: Gangsa, Jublag, Jegog, Saron, Trompong,
Kendang, Suling, dan Riyong. Jumlah alat musik ini berbeda tiap daerah.
Sedangkan susunan nada yang terdapat dalam gamelan Gong Luang berjumlah 7 ( nada )
atau disebut saih pitu yaitu : ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung.
Sedangkan pembagian larasnya secara proposional dibagi atas 3 ( tiga ) yaitu laras pelog,
laras selendro, dan laras keselendroan.
Gong Luang diperkirakan berasal dari Kerajaan Majapahit, lalu dibawa ke Bali oleh
sekelompok orang setelah kerajaan tersebut mengalami kejatuhan. Perkiraan ini dilandasi
karena ada kemiripan antara gamelan Jawa yang ada sekarang dengan gamelan Gong
Luwang yang ada di Bali saat ini. Bedanya hanya terletak pada jumlah alat musiknya.
Jumlah alat musik pada gamelan Gong Luang di Bali lebih sedikit dibandingkan jumlah
alat musik pada Gamelan Jawa sekarang.
Gong Luang biasanya berfungsi untuk mengiringi upacara adat, yang mencakup
lima kegiatan dalam “Panca Yadnya”. Kelima Yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya, Pitra
Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya dan Bhuta Yadnya. Untuk pelaksanaan kelima yadnya
inilah Gong Luang tersebut sangat berperan. Selain itu, Gong Luang juga dipakai untuk
mengiringi tari-tarian, misalnya Tari Topeng, Tari Baris Poleng, Tari Pendet, Tari Rejang
dan lain sebagainya.
Gamelan Gong Luang adalah barungan gamelan Bali yang berlaraskan pelog 7 nada
dipergunakan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya atau Memukur. Laras 7 nada yang
dipergunakan dalam Gamelan Gong Luang dapat dibagi menjadi 7 patet lagi yaitu :
· Patet Panji Cenik
· Patet Panji Gede
· Patet Wargasari
· Patet Mayura Cenik
· Patet Panji Miring
· Patet Kartika
Gamelan Gong Luang ini dapat didengar pada saat ada upacara Memukur yang pada
umumnya biasanya di lakukan di Puri atau Griya
4. Musik Krumpyung
Krumpyung adalah salah satu bentuk teater rakyat yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kesenian yang berupa drama tari topeng ini bersifat humor yang
menceritakan tentang kehidupan masyarakat sekitar. Nama Krumpyung diambil dari
suara iringannya yang terdiri dari angklung, terbang, keprak, kentongan dan kendang
yang apabila digerakkan secara bersamaan akan menimbulkan efek bunyi
“kemrumpyung”. Kesenian krumpyung lahir pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwana VII. Konon, di masa itu antarseniman saling bersaing untuk
menciptakan sebuah kesenian baru agar lebih digemari penonton. Dari persaingan itu
lahirlah suatu kesenian yang disebut sebagai “krumpyung”.
Waktu itu adalah salah seorang seniman (seorang dalang wayang kulit) berasal dari
Desa Keyongan, Bantul yang bernama Ki Residana atau terkenal dengan nama Mbah
Sompil. Beliau termasuk orang yang kreatif. Dengan kekreatifannya itulah kemudian
menciptakan suatu pertunjukan topeng yang bersifat gecul (humor) yang kemudian
disebut krumpyung. Pada mulanya, krumpyung menggunakan topeng yang
menggambarkan karakter orang-orang pedesaan yang berwajah wajah lucu dengan para
pemainnya yang hanya laki-laki saja, baik untuk peran laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena yang menciptakan adalah seorang dalang, maka pendukungnya pada
mulanya para dalang. Di dalam kehidupan masyarakat, dalang dipandang sebagai orang
yang mempunyai kemampuan dalam bidang penyuluhan masyarakat. Sekarang para
pendukung krumpyung bukan mutlak para dalang, tetapi juga para seniman lain, sehingga
dalam perkembangan selanjutnya krumpyung menjadi pertunjukan hiburan yang
bentuknya mendekati ketoprak lesung yang menceriterakan kehidupan sehari-hari
masyarakat pedesaan seperti: pemilihan kepala desa, gotong-royong, dan kerja bakti.
Pertunjukan krumpyung diawali dengan introduksi, yaitu menampilkan seluruh
pemain ke arena pentas dengan iringan musik dan para penari. Dahulu para pemainnya
menggunakan topeng sebagai penutup wajah. Namun, saat ini penggunaan topeng sudah
tidak dilakukan lagi, sehingga karakter pemain bisa langsung tampak dalam
membawakan suatu peran.
Setelah introduksi selesai, maka pertunjukan selanjutnya adalah isi dari cerita yang
akan dipergelarkan. Dalam babak ini para pemain akan berdialog dan menari diiringi oleh
iringan musik. Saat berdialog tidak hanya dilakukan oleh pemeran lakon dan penari saja,
melainkan juga oleh penabuh instrumen, sehingga suasana pertunjukan lebih meriah
karena diselingi dengan humor-humor segar yang biasa dipakai oleh para dalang dalam
pertunjukan wayang kulit.
Tarian krumpyung biasanya menggunakan gerakan-gerakan sederhana dan spontan
namun berpola seperti gerak dalam ketoprak lesung. Gerak tarinya sederhana dan bersifat
ritmis. Gerkan-gerakan itu antara lain: tregelan, tepukan tangan, sirik, berjalan, dan kicat
(untuk penari perempuan).
Dahulu, pertunjukan musik krumpyung sering ditampilkan dalam acara-acara
seperti hajatan perkawinan, khitanan, atau berbagai perayaan adat lainnya. Selain itu,
musik ini juga digunakan untuk mengiringi tari Tayub. Di jaman pendudukan Jepang,
musik itu sempat menghilang. Baru pada tahun 1973 muncul lagi dengan dibuatnya alat
musik ini. Bahkan pada tahun itu juga, pergelaran musik krumpyung sempat dipentaskan
di hadapan para tamu peserta Konferensi UNESCO yang diselenggarakan di Surakarta,
19 Desember. Walaupun kini sudah semakin jarang, masih ada sebagian masyarakat
penggemarnya yang memanfaatkan musik krumpyung sebagai musik pengiring
pertunjukan kesenian tradisional Jawa, khususnya di pedesaan. Misalnya, mengiringi tari
encling, sandiwara tradisional ketoprak, atau gendhing-gendhing karawitan.
5. Musik Karang Dodou
Music karang dodou adalah Musik tradisional khas daerah Tanah Siang wilayah
Barito Utara, Kalimantan Tengah. Musik karang dodou merupakan jenis musik ritual
yang biasanya dipakai pada saat upacara adat tertentu, misalnya acara memandikan atau
member nama bayi (upacara “noka patti”), dan mengobati orang sakit keras. Upacara
tersebut diberi nama “nambang morua”. Dalam musik ini banyak dilantunkan lagu-lagu
berupa mantera-mantera yang berisi doa-doa kepada “Mohotara” (Tuhan Yang Maha
Esa). Dalam perkembangannya, musik-musik ini terus disempurnakan dan diperkaya.
Dengan daya kreasi para seniman Indonesia, musik-musik ini menemukan bentuk
modernnya.
Fungsi Musik Karang Dodou
Digunakan pada saat upacara tertentu , misal memandikan bayi/memberi nama
bayi (upacara noka pati).
Mengobati orang sakit keras (nambang moura)
Melantunkan lagu yg mengucapkan mentera-mentera, yang berisi dua-dua kepada
mohotara
JENIS MUSIK DAERAH YANG ADA DI INDONESIA
Nama Kelompok:
1.
2.
3.
4.
5.
Ni Made Ayu Dwipayani
Ni Putu Ayu Rissa Tirta Dewi
Ni Made Munica Ariantini
Ni Luh Putu Novi Yulianan Dewi
Ni Luh Nyoman Sri Eka Wedanti
(14.040)
(14.041)
(14.057)
(14.059)
(14.066)
SMK FARMASI SARASWATI 3 DENPASAR
JENIS MUSIK DAERAH YANG ADA DI INDONESIA
1. Musik Gambang Kromong
Gambang kromong merupakan seni kebuadayaan Betawi yang sampai saat ini
masih terus dilestarikan, kesenian ini sering dimainkan pada acara-acara resmi dan pesta
rakyat, Pada abad ke 17 banyak imigran china yang datang ke tanah betawi dan mereka
memperkenalkan kesenian tersebut ke masyarakat adalah seorang pemimpin komunitas
Tionghoa yang diangkat Belanda bernama Nie Hoe Kong yang memperkenalkan
kesenian tersebut kepada masyarakat lokal.
Gambang kromong awalnya dimainkan hanya dengan sebuah alat musik gesek
bernama Tehyan, Kongahyan dan Sukong, seiring berjalannya waktu dan ada
ketertarikan masyarakat lokal akan kesenian tersebut maka berkembanglah kesenian
tersebut dimasyarakat betawi. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah
alat musik tabuh atau perkusi, yaitu gambang dan kromong. gambang alat musik yang
berasal dari kayu yang di jejerkan sebanyak 18 buah, sedangkan Kromong alat musik
yang dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah.
Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang
isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran.
Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai
lawannya. lagu-lagu yang bercorak Tionghoa masih sering dilantunkan dalam kesenian
ini, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa
Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu,
Lo Fuk Cen, dan sebagainya. Memang budaya Thiong hoa sangat melekat pada
masyarakat betawi namun tak banyak orang yang menyadari mungkin karena faktor
keterbatasan pengetahuan atau sebagainya
Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa peranakan sudah
semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa
dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa sukong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan
dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia digunakan
menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan
dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.
Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra
gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrèk. Dengan
demikian terciptalah gambang kromong.
Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar
ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke
bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan
tersebut memang merupakan area budaya Betawi.
Musik Gambang Kromong dalam penggunaannya dipergunakan masyarakat
Betawi dalam perayaan pesta, mengiringi teater Lenong, dan penyemarakan upacara
Ritual. Orang Betawi peranakan Cina Benteng dalam perayaan acara pernikahan masih
mempergunakan musik Gambang Kromong sebagai sajian penyemarak upacara ritual.
Penyemarak disini adalah bertugas dalam memeriahkan acara pernikahan, seperti
pemilihan musik, menari dengan para penari, hingga membeli makanan kecil.
Penggunaan Gambang Kromong lainnya oleh orang Cina Benteng adalah upacara Seijit
(ulang tahun biara atau klenteng) yang dilakukan di biara, seperti tugasnya,Gambang
Kromong digunakan sebagai pemeriah acara. Selain untuk acara ritual, Gambang
Kromong juga dipergunakan dalam acara Sunatan, Kaul (nazar), mengiringi teater
Lenong, dan hiburan yang lain. Penggunaannya dalam Teater Lenong disesuaikan
dengan kondisi suasana teater, sehingga permainan Gambang Kromong bersifat
spontanitas. Keberadaannya kini, Gambang Kromong digunakan sebagai sajian
pariwisata Jakarta. Dengan begitu banyak lagi adaptasi yang dilakukan oleh Gambang
Kromong dalam keberlangsungan kesenian tersebut di ranah Pariwisata.
2. Musik Goong Renteng
Di sebuah kampung yang ada di daerah Kabupaten Cianjur bagian selatan,
tepatnya Kampung Rawa Salak, Desa Purabaya, Kecamatan Agrabinta, ada satu jenis
kesenian tradisional yang hampir punah. Kesenian itu bernama goong renteng. Nama
tersebut sangat erat kaitannya dengan alat musik yang digunakan, yaitu goong (gong).
Alat musik yang bentuknya serupa dengan gong pada umumnya, tetapi ukurannya lebih
kecil ini berjumlah 6 buah dan direnteng (disusun secara horisontal ke samping). Oleh
karena itu, kesenian tersebut dinamakan goong renteng. Kapan dan darimana kesenian ini
berasal sulit diketahui secara pasti. Namun demikian, berdasarkan penuturan masyarakat
setempat, khususnya para orang tua, konon di masa lalu balatentara (pasukan) Mataram
--dalam perjalanannya dari Batavia (Jakarta) ke Kotagede (Yogyakarta)-- singgah di
daerah Cianjur. Bahkan, banyak diantaranya yang kemudian menetap di Kadupandak
(Cianjur-Selatan). Di daerah tersebut mereka mengembangkan kesenian yang kemudian
disebut sebagai “goong renteng”. Tumbuh dan berkembangnya goong renteng di
Kampung Rawa Salak adalah berkat salah seorang warganya yang bernama Akum. Untuk
mengembangkan kesenian tersebut di daerahnya, ia membeli seperangkat goong renteng
dari salah seorang warga Cukanggaleuh, Kecamatan Kadupandak. Ketika itu (kira-kira
tahun 1916) harganya 15 ringgit masih ditambah dengan seekor kerbau dan seekor kuda.
Seperangkat gamelan inilah yang digunakan untuk ber-goong renteng dari dahulu hingga
sekarang. Dengan perkataan lain, dari generasi pertama (1916) yang tokohnya adalah
Akum, generasi kedua (1938) yang tokohnya adalah Mali, sampai generasi ketiga (1970)
yang tokohnya adalah Uma. Mereka adalah masih satu darah (keturunan). Ini artinya
bahwa kesenian goong renteng diwariskan secara turun-temurun dari anak ke cucu
Peralatan
Seperangkat kesenian goong renteng terdiri atas: 1 buah kendang (gendang) besar,
2 buah kulanter (gendang kecil), 16 buah bonang (gong kecil), 2 buah gong besar,
dan 3 lembar kecrek. Gendang terbuat dari kayu dan kulit, bonang dan gong
terbuat dari perunggu, dan kecrek terbuat dari besi. Peralatan tersebut masingmasing mempunyai fungsi tersendiri.Gendang misalnya, ia berfungsi sebagai
pengatur tempo. Gong besar berfungsi sebagai penutup lagu dan sekaligus
pemuas rasa. Kemudian, kecrek berfungsi sebagai penambah sari irama; dan
bonang berfungsi sebagai melodi.
Pemain dan busana
Jumlah pemainnya ada 3 orang dengan rincian: 3 orang sebagai penabuh bonang,
1 orang sebagai penabuh gendang, 1 orang sebagai penabuh gong besar, dan 1
orang sebagai penabuh kecrek. Ke-6 pemain tersebut semuanya lelaki. Dalam
suatu penyajian atau pergelaran, mereka mengenakan pakaian khas Sunda yang
berupa pangsi dan iket.
Pementasan
Pementasan kesenian goon renteng ini bisa dilakukan pada ruang terbuka atau
tertutup. Hal itu bergantung pada pemintaan dan tempatnya memungkinkan.
Adapun bentuk sajiannya berupa karawitan gending. Pementasan diawali dengan
penyajian tabuhan jiro dan angkatan. Setelah itu, baru dilantunkan lagu-lagu
dalam bentuk instrumental. Banyak judul lagu yang dinstrumentalkan, antara lain:
bongkang, kangkangkot, jangjang odeng, keupat hayam, dan poek-poek ludeung.
Goong renteng pada mulanya hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadi, hanya
merupakan klangenan (hiburan) semata untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas
kesehariannya sebagai petani. Lama-lama kesenian ini menjadi pengiring dalam upacara
tutup tahun (akhir panen). Seperangkat alat musiknya pun menjadi berbau magis. Hal itu
tercermin dari adanya upacara suci yang disebut “dimuludken”. Tujuan upacara ini
disamping agar peralatan musik tetap bersih (terpelihara dengan baik), juga sebagai
upacara untuk mengenang para leluhur. Dengan tampilnya dalam setiap upacara tutup
tahun, maka kesenian ini dikenal banyak orang. Dan, karena banyak yang mengenalnya,
maka akhirnya ia tidak hanya dipentaskan pada upacara tutup tahun saja, tetapi pada
khajatan seseorang (khitanan dan perkawinan) dan hari-hari besar nasional, khususnya
hari kemerdekaanRepublik Indonesia (17-Agustusan).
Ini artinya, fungsi kesenian tradisional goong renteng yang pada mulanya hanya
sekedar sebagai hiburan dalam perkembangan tidak lagi hanya sebagai hiburan, tetapi
juga sebagai suatu ungkapan terima kasih, baik kepada Yang Maha Kuasa maupun para
pendahulunya. Lepas dari berbagai fungsi itu, sesungguhnya kesenian yang ditumbuhkembangkan oleh suatu masyarakat sekaligus berfungsi sebagai identitas masyarakat
yang bersangkutan. Ini bermakna bahwa kesenian tradisional goong renteng merupakan
salah satu unsur jatidiri masyarakat Kampung Rawa Salak, Desa Purabaya, Kecamatan
Agrabinta, Kabupaten Cianjur.
3. Musik Gong Luang
Gong Luang adalah seperangkat Gamelan yang berasal dari Bali. Gong Luang
terdiri dari “Gong” dan “Luang”. Konon, kata “Luang” berarti “kurang”, yaitu mengacu
pada asal usul perangkat Gong ini yang kurang lengkap, maka dinamakan Gamelan Gong
Luang.
Bentuk dan susunan Gamelan Gong Luang serupa dengan Gamelan Gong Kebyar, tetapi
Gamelan Gong Luang hanya terdiri dari tiga belas atau lima belas alat musik, sedangkan
Gong Kebyar memakai dua puluh lima sampai tiga puluh alat musik. Alat musik lain yang
biasanya terdapat dalam Gong Luang adalah: Gangsa, Jublag, Jegog, Saron, Trompong,
Kendang, Suling, dan Riyong. Jumlah alat musik ini berbeda tiap daerah.
Sedangkan susunan nada yang terdapat dalam gamelan Gong Luang berjumlah 7 ( nada )
atau disebut saih pitu yaitu : ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung.
Sedangkan pembagian larasnya secara proposional dibagi atas 3 ( tiga ) yaitu laras pelog,
laras selendro, dan laras keselendroan.
Gong Luang diperkirakan berasal dari Kerajaan Majapahit, lalu dibawa ke Bali oleh
sekelompok orang setelah kerajaan tersebut mengalami kejatuhan. Perkiraan ini dilandasi
karena ada kemiripan antara gamelan Jawa yang ada sekarang dengan gamelan Gong
Luwang yang ada di Bali saat ini. Bedanya hanya terletak pada jumlah alat musiknya.
Jumlah alat musik pada gamelan Gong Luang di Bali lebih sedikit dibandingkan jumlah
alat musik pada Gamelan Jawa sekarang.
Gong Luang biasanya berfungsi untuk mengiringi upacara adat, yang mencakup
lima kegiatan dalam “Panca Yadnya”. Kelima Yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya, Pitra
Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya dan Bhuta Yadnya. Untuk pelaksanaan kelima yadnya
inilah Gong Luang tersebut sangat berperan. Selain itu, Gong Luang juga dipakai untuk
mengiringi tari-tarian, misalnya Tari Topeng, Tari Baris Poleng, Tari Pendet, Tari Rejang
dan lain sebagainya.
Gamelan Gong Luang adalah barungan gamelan Bali yang berlaraskan pelog 7 nada
dipergunakan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya atau Memukur. Laras 7 nada yang
dipergunakan dalam Gamelan Gong Luang dapat dibagi menjadi 7 patet lagi yaitu :
· Patet Panji Cenik
· Patet Panji Gede
· Patet Wargasari
· Patet Mayura Cenik
· Patet Panji Miring
· Patet Kartika
Gamelan Gong Luang ini dapat didengar pada saat ada upacara Memukur yang pada
umumnya biasanya di lakukan di Puri atau Griya
4. Musik Krumpyung
Krumpyung adalah salah satu bentuk teater rakyat yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kesenian yang berupa drama tari topeng ini bersifat humor yang
menceritakan tentang kehidupan masyarakat sekitar. Nama Krumpyung diambil dari
suara iringannya yang terdiri dari angklung, terbang, keprak, kentongan dan kendang
yang apabila digerakkan secara bersamaan akan menimbulkan efek bunyi
“kemrumpyung”. Kesenian krumpyung lahir pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwana VII. Konon, di masa itu antarseniman saling bersaing untuk
menciptakan sebuah kesenian baru agar lebih digemari penonton. Dari persaingan itu
lahirlah suatu kesenian yang disebut sebagai “krumpyung”.
Waktu itu adalah salah seorang seniman (seorang dalang wayang kulit) berasal dari
Desa Keyongan, Bantul yang bernama Ki Residana atau terkenal dengan nama Mbah
Sompil. Beliau termasuk orang yang kreatif. Dengan kekreatifannya itulah kemudian
menciptakan suatu pertunjukan topeng yang bersifat gecul (humor) yang kemudian
disebut krumpyung. Pada mulanya, krumpyung menggunakan topeng yang
menggambarkan karakter orang-orang pedesaan yang berwajah wajah lucu dengan para
pemainnya yang hanya laki-laki saja, baik untuk peran laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena yang menciptakan adalah seorang dalang, maka pendukungnya pada
mulanya para dalang. Di dalam kehidupan masyarakat, dalang dipandang sebagai orang
yang mempunyai kemampuan dalam bidang penyuluhan masyarakat. Sekarang para
pendukung krumpyung bukan mutlak para dalang, tetapi juga para seniman lain, sehingga
dalam perkembangan selanjutnya krumpyung menjadi pertunjukan hiburan yang
bentuknya mendekati ketoprak lesung yang menceriterakan kehidupan sehari-hari
masyarakat pedesaan seperti: pemilihan kepala desa, gotong-royong, dan kerja bakti.
Pertunjukan krumpyung diawali dengan introduksi, yaitu menampilkan seluruh
pemain ke arena pentas dengan iringan musik dan para penari. Dahulu para pemainnya
menggunakan topeng sebagai penutup wajah. Namun, saat ini penggunaan topeng sudah
tidak dilakukan lagi, sehingga karakter pemain bisa langsung tampak dalam
membawakan suatu peran.
Setelah introduksi selesai, maka pertunjukan selanjutnya adalah isi dari cerita yang
akan dipergelarkan. Dalam babak ini para pemain akan berdialog dan menari diiringi oleh
iringan musik. Saat berdialog tidak hanya dilakukan oleh pemeran lakon dan penari saja,
melainkan juga oleh penabuh instrumen, sehingga suasana pertunjukan lebih meriah
karena diselingi dengan humor-humor segar yang biasa dipakai oleh para dalang dalam
pertunjukan wayang kulit.
Tarian krumpyung biasanya menggunakan gerakan-gerakan sederhana dan spontan
namun berpola seperti gerak dalam ketoprak lesung. Gerak tarinya sederhana dan bersifat
ritmis. Gerkan-gerakan itu antara lain: tregelan, tepukan tangan, sirik, berjalan, dan kicat
(untuk penari perempuan).
Dahulu, pertunjukan musik krumpyung sering ditampilkan dalam acara-acara
seperti hajatan perkawinan, khitanan, atau berbagai perayaan adat lainnya. Selain itu,
musik ini juga digunakan untuk mengiringi tari Tayub. Di jaman pendudukan Jepang,
musik itu sempat menghilang. Baru pada tahun 1973 muncul lagi dengan dibuatnya alat
musik ini. Bahkan pada tahun itu juga, pergelaran musik krumpyung sempat dipentaskan
di hadapan para tamu peserta Konferensi UNESCO yang diselenggarakan di Surakarta,
19 Desember. Walaupun kini sudah semakin jarang, masih ada sebagian masyarakat
penggemarnya yang memanfaatkan musik krumpyung sebagai musik pengiring
pertunjukan kesenian tradisional Jawa, khususnya di pedesaan. Misalnya, mengiringi tari
encling, sandiwara tradisional ketoprak, atau gendhing-gendhing karawitan.
5. Musik Karang Dodou
Music karang dodou adalah Musik tradisional khas daerah Tanah Siang wilayah
Barito Utara, Kalimantan Tengah. Musik karang dodou merupakan jenis musik ritual
yang biasanya dipakai pada saat upacara adat tertentu, misalnya acara memandikan atau
member nama bayi (upacara “noka patti”), dan mengobati orang sakit keras. Upacara
tersebut diberi nama “nambang morua”. Dalam musik ini banyak dilantunkan lagu-lagu
berupa mantera-mantera yang berisi doa-doa kepada “Mohotara” (Tuhan Yang Maha
Esa). Dalam perkembangannya, musik-musik ini terus disempurnakan dan diperkaya.
Dengan daya kreasi para seniman Indonesia, musik-musik ini menemukan bentuk
modernnya.
Fungsi Musik Karang Dodou
Digunakan pada saat upacara tertentu , misal memandikan bayi/memberi nama
bayi (upacara noka pati).
Mengobati orang sakit keras (nambang moura)
Melantunkan lagu yg mengucapkan mentera-mentera, yang berisi dua-dua kepada
mohotara