Staphylo coccus aureus resisten Metisilin

Staphylococcus aureus resisten Metisilin pada Pyoderma yang didapat di
masyarakat pada anak-anak di India Selatan
Umashankar Nagaraju, Belliappa Pemmanda Raju
Abstrak
Latar Belakang: Kemunculan infeksi Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap metisilin (MRSA) pada orang-orang yang sebelumnya sehat di
lingkungan masyarakat (tanpa paparan ke fasilitas kesehatan) telah tercatat barubaru ini. Penelitian yang berjumlah terbatas telah dilakukan di India pada suatu
populasi pediatri khusus pada MRSA dari pyoderma yang didapat di komunitas.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai beragam jenis pyoderma
primer yang ada pada anak-anak yang disebabkan oleh S.aureus dan untuk
menentukan insidensi MRSA pada pyoderma primer yang didapat di masyarakat
pada anak-anak.
Materi dan metode: Anak-anak yang berusia ≤ 16 tahun dengan pyoderma yang
disebabkan oleh S.aureus yang mendatangi acara berkemah yang dilakukan di
sekolah di sekitar Bengaluru dimasukkan kedalam penelitian. Mereka dinilai
untuk beragam infeksi kulit yang dikultur dan dianalisis untuk sensitivitas
antimikrobanya. Apusan dari nares anterior juga diambil dari masing-masing
pasien.
Hasil: Dari sejumlah 372 anak-anak dengan pyoderma yang disebabkan oleh S
aureus yang diteliti, sebanyak 232 adalah anak laki-laki dan 140 adalah anak
perempuan. Impetigo contangiosum (47%) merupakan bentuk pyoderma yang

paling sering ditemukan, diikuti dengan ektima (19.9%) dan folikulitis (18.5%).
Tempat yang paling sering telibat adalah wajah pada 48.4% pasien, diikuti dengan
tungkai pada 32.5% pasien. MRSA terisolasikan pada 6.5% pasien. Kolonisasi
S.aureus pada nasal teramati pada 59.7% pasien.
Kesimpulan: MRSA pada pyoderma yang didapat di komunitas pada anak-anak
adalah 6.5% dan kolonisasi S. aureus pada nasal adalah 59.7% dalam penelitian
kami. Juga teramati adanya resistensi yang tinggi terhadap antimikroba yang
umum digunakan pada S.aureus yang sensitif terhadap metisilin. Penggunaan

antimikroba secara bijaksana sangat penting untuk mengendalikan kemunculan
dan penyebaran resistensi antimikroba.
Kata kunci: Pyoderma yang didapat di komunitas, Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap metisilin, kolonisasi nasal.
Pendahuluan
Pyoderma pada anak-anak merupakan salah satu dari penyakit kulit yang
paling sering ditemukan. Pyoderma primer mencakup impetigo, folikulitis,
furunkel, karbunkel, eritema, eritrasma, dan sikosis barbae. Perubahan tren saat ini
tercatat dalam aspek etiologi pyoderma primer, dan masalah kemunculan strain
yang resisten terhadap obat merupakan satu masalah yang paling meningkat.
Organisme yang paling sering yang biasanya diisolasi pada pyoderma adalah

Staphylococcus aureus, yang dapat itu berupa S aureus yang sensitif terhadap
metisilin (MSSA) ataupun S aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA).1
Selama sekitar tiga dekade hingga akhir tahun 1980-an, MRSA masih tetap
sebagian besar ditemukan pada infeksi nosokomial. Namun, sejak tahun 1990-an,
strain baru Staphylooccus aureus yang resisten terhadap metisilin yang didapat di
komunitas (CA-MRSA) menyebabkan infeksi pada orang yang sebelumnya sehat
dengan prevalensi yang beragam. Oleh karena iu, infeksi MRSA saat ini
diklasifikasikan sebagai infeksi MRSA yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan dan infeksi MRSA yang berkaitan dengan komunitas (CA-MRSA).
Infeksi MRSA yang didapat di komunitas (CA-MRSA) semakin banyak
ditemukan sebagai masalah klinis di seluruh dunia, dengan infeksi kulit dan
jaringan lunak menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan.[2-4] Pengetahuan
mengenai prevalensi CA-MRSA dan profil antimikrobanya saat ini menjadi
penting dalam pemilihan penatalaksanaan empiris yang tepat untuk infeksi ini.
Beberapa penelitian yang berjumlah terbatas telah dilakukan di India terhadap
populasi pediatri yang eksklusif menderita pyoderma CA-MRSA.[5] Penelitian ini
dilakukan untuk menilai beberapa jenis pyoderma primer yang berbeda pada

anak-anak yang disebabkan oleh S.aureus dan untuk meneliti insidensi MRSA
pada pyoderma primer yang didapat dalam komunitas pada anak-anak.

Materi dan Metode
Tiga ratus tujuh puluh dua anak yang berusia ≤ 16 tahun dengan pyoderma
primer yang disebabkan oleh S. Aureus yang mendatangi kegiatan berkemah yang
dilakukan di sekolah-sekolah disekitar Bengaluru, India Selatan, dimasukkan
kedalam penelitian ini. Kriteria inklusinya adalah kultur bakteri yang positif,
riwayat tidak diobati selama 1 bulan terakhir, dan tidak dirawat inap selama tahun
sebelumnya. Pasien dinilai untuk keragaman infeksi kulit yang dikultur dan
dianalisis untuk sensitivitas antimikrobanya. Setelah pemeriksaan klinis, pus
diambil setelah membersihkan luka dengan salin normal dengan menggunakan
apusan kapas steril. Apusan dari nares anterior juga diambil dari masing-masing
pasien.
Sampel klinis diproses dalam waktu 1 jam setelah pengambilan. Pewarnaan
gram dilakukan pada semua sampel untuk menentukan organisme yang
kemungkinan ditemukan. Sampel diinokulasikan pada agar darah dan agar
MacConkey. Pelat yang diinokulasikan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 – 48
jam dan isolat bakteri diidentifikasi dengan menggunakan prosedur standar. [6] S.
Aureus diidentifikasi berdasarkan morfologi kologi, pewarnaan Gram, uji
katalase, uji koagulase slide dan tube, dan uji fermentasi oksidasi Hugh Leifson
modifikasi.[7]
Uji sensitivitas antimikroba dilakukan pada semua isolat S aureus dengan

menggunakan metode difusi diskus Kirby-Bauer.8 S aureus ATCC 25923
digunakan sebagai kontrol. Semua isolat S aureus juga diujikan untuk resistensi
metisilin dengan saringan agar oxacillin. 9 Konsentrasi inhibisi minimum (MIC)
oxacillin ditentukan dengan menggunakan agar dilusi.10 S aureus ATCC 29213
digunakan sebagai kontrol.
Hasil

Sejumlah 372 pasien dengan pyoderma primer yang disebabkan oleh S
aureus dimasukkan dalam penelitian ini. Kelompok usia berbeda-beda dari 5
hingga 16 tahun. Rasio laki-laki: perempuan adalah 1.6: 1 (n = 232 laki-laki, n =
140 perempuan). Durasi lesi rata-rata adalah 6.2 hari.
Impetigo kontangiosum merupakan bentuk pyoderma yang paling sering
diemukan, diikuti dengan ektima dan folikulitis [Tabel 1]. Tempat yang paling
sering terlibat adalah wajah pada 180 pasien (48.4%), diikuti dengan tungkai pada
121 pasien (32.5%). S aureus terisolasikan sebagai organisme tunggal pada 346
pasien, sementara infeksi polibakteri teramati pada 26 kasus [Tabel ].
Berdasarkan antibiogram isolat dari pyoderma [Tabel 3], resistensi yang
paling tinggi terlihat adalah untuk penisilin diikuti dengan eritromisin dan
kotrimoxazole. Semua isolat sensitif terhadap vankomisin. S aureus dengan
resistensi multi-obat (MDR; resisten terhadap tiga atau lebih obat yang diujikan) 5

teramati pada 52 pasien (13.98%). MRSA terisolasi pada 24 pasien (6.5%) yang
menderita pyoderma. Semua isolat MRSA memiliki MIC untuk oxacillin sebesar
≥ 4 µg/ml. Uji sensitivitas antimikroba adalah uji dengan kualitas terkontrol
dengan menggunakan S aureus ATCC 25923 dan ATCC 29213. Kolonisasi nasal
dengan S aureus teramati pada 222 pasien (59.7%). Berdasarkan antibiogram
isolat dari nares anterior [Tabel 4], semua isolat sensitif terhadap vankomisin dan
resistensi yang paling besar terlihat untuk penisilin diikuti dengan eritromisin dan
cotrimoxazole. MRSA ditemukan pada 17 isolat (7.7%) dari nares anterior. S
aureus yang diisolasikan dari pus dan nares anterior memiliki antibiogram yang
serupa pada 89 pasien (40.1%).
Tabel 1. Jenis pyoderma
Tabel 2. Pola isolat dari pyoderma
Tabel 3. Resistensi antibiotika Staphylococcus aureus dari pyoderma
Tabel 4. Resistensi antibiotika Staphylococcus aureus yang diisolasikan dari
nares anterior
Pembahasan

Metisilin, penisilin semi sintesis stabil β-laktamase pertama, diperkenalkan
pada tahun 1960.11 MRSA terdeteksi segera setelah metisilin masuk dalam
penggunaan klinis pada tahun 1961.12 Mucin tampak merupakan permukaan yang

paling penting yang terkolonisasi dalam suatu proses yang melibatkan interaksi
antara protein stapilokokal dan karbohidrat mucin.13 Kasus-kasus infeksi yang
didapat di komunitas yang disebabkan oleh MRSA dilaporkan pada awal tahun
1980-an.14 Epidemiologi MRSA telah berubah sejak kemunculannya lebih dari 30
tahun yang lalu. Berkebalikan dengan infeksi yang didapat secara nosokomial
(MRSA), infeksi CA-MRSA (a) seringkali terjadi pada individu yang
imunokompeten tanpa faktor risiko yang tekrait dengan MRSA, (b) cenderung
sensitif terhadap sebagian besar antibiotika β laktam, (c) dapat bersifat virulen dan
fatal dan, (d) memiliki elemen genetika kromosom cassette stapilokokal tipe IV
(SCCmec) (yang membawa mec A, gen resistensi metisilin) yang berbeda dari
elemen SCCmec tipe I, II, dan III, yang berkaitan dengan infeksi MRSA yang
didapat di rumah sakit.2,3,15 Selain itu, CA-MRSA memiliki gen pvl, suatu gen
virulen yang mengkode toksin yang membunuh leukosit, yaitu leukocidin PantonValentine.16 Angka kejadian MRSA beargam pada populasi berbeda yang diteliti,
yang berkisar dari 1% hingga 74%.15,17 Sebuah penelitian dari India
mengungkapkan angka kejadian CA-MRSA sebesar 11.8% dari kelompok
penelitian yang berasal dari populasi umum.
Sebuah penelitian terbaru dari India Utara melaporkan bahwa angka
kejadian MRSA pada pyoderma yang didapat dalam komunitas pada anak-anak
adalah 6.9%.5 Dalam penelitian ini, angka kejadian MRSA pada pyoderma yang
didapat di komunitas pada anak-anak adalah 6.5% yang sebanding dengan data

yang dipublikasikan. Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa MRSA telah
menjadi patogen komunitas yang signifikan di daerah Bengaluru, India Selatan,
dan sekitarnya. Insidensi MRSA dapat berubah bergantung pada penggunaan
antimikroba. Perubahan epidemiologi MRSA dalam komunitas cenderung
disebabkan oleh perpindahan strain nosokomial kedalam komunitas atau
munculnya strain yang resisten terhadap obat akibat pemindahan gen dari bakteri
yang resisten ke bakteri yang sensitif.19

Kami mengamati tingginya angka resistensi terhadap antimikroba yang
sering digunakan, seperti penisilin, eritromisin, dan cotrimoxazole bahkan pada
isolat MSSA. Temuan yang sama akan tingginya resistensi terhadap antimikroba
yang sering digunakan pada isolat MSSA telah dilaporkan dari India Utara oleh
Sardana dkk.5 S aureus MDR teramati pada 13.98% pasien, yang serupa dengan
penelitian lainnya yang melaporkan angka kejadian ini sebesar 16.9%.5 Resistensi
antimikroba merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari tekanan
pemilihan

paparan

antimikroba.20


Penggunaan

secara

sembarangan

dan

ketersediaan antibotika yang berbeda secara bebas dapat menjadi alasan akan
tingginya resistensi pada isolat MSSA ini. Infeksi oleh bakteri yang resisten obat
ini didukung oleh penyalahgunaan obat, penyakit yang mendasari, dan rawat inap
sebelumnya serta penatalaksanaan dengan antimikroba.
Pembawa S aureus merupakan faktor risiko yang penting dalam infeksi, dan
strain yang mengkolonisasi seringkali serupa dengan yang terisolasi pada jaringan
yang teinfeksi.21 Prevalensi kolonisasi nasal S aureus pada anak-anak sehat yang
berusia 5 -15 tahun di area perkotaan, pedesaan, semi-perkotaan dan
perkampungan di India Selatan dilaporkan sebesar 52.3%, dan resistensi isolat
nasal ini terhadap antibiotika yang sering digunakan berjumlah rendah. 22 Pada
penelitian ini, kolonisasi S aureus pada nasal teramati pada 59.7% pasien, dan

antibiogram yang serupa dari isolat pus dan nares anterior teramati pada 40.1%
pasien. Sebuah penelitian dari India terhadap pyoderma yang didapat di
komunitas dari kelompok populasi yang umum melaporkan kolonisasi nasal pada
54.4% pasien dan antibiogram yang sama pada 49% pasien.18
Penatalaksanaan terhadap karier atau pembawanya dapat membantu
mencegah infeksi endogen. Deteksi yang tepat pada waktunya memperbolehkan
terapi mupirocin nasal untuk membasmi pembawaan pada nasal sehingga dapat
mengendalikan penyebaran MRSA, terutama pada unit dengan ketergantungan
yang tinggi.1 Kebijakan penggunaan antimikroba yang tepat yang didasarkan pada
pengetahuan akan pola rsesistensi organisme yang seringkali diisolasikan
merupakan hal yang diwajibkan untuk mencegah pengobatan yang tidak
dibutuhkan dan kemunculan organisme yang resisten terhadap obat lebih lanjut.

Penelitian berbasis komunitas yang lebih representatif dibutuhkan untuk: (a)
menilai prevalensi sebenarnya CA-MRSA pada beragam bagian negara, (b)
mengidentifikasi faktor risiko yang spesifik untuk mendapatkan CA-MRSA, dan
(c) langkah-langkah target untuk mencegah transmisi atau penularan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa angka kejadian MRSA pada pyoderma
yang didapat di masyarakat pada anak-anak di India Selatan adalah 6.5% dan

kolonisasi S aureus din nasal teramati pada 59.7% pasien. Kami juga mengamati
tingginya resistenti terhadap antimikroba yang seringkali digunakan pada isolat
MSSA. Penggunaan antimikroba secara bijaksana sangat penting untuk
mengendalikan kemunculan dan penyebaran resistensi antimikroba.

Dokumen yang terkait

UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO

8 83 25

PERBEDAAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL HERBA MENIRAN HIJAU (Phyllanthus niruri Linn) DENGAN MENIRAN MERAH (Phyllanthus urinaria Linn) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA INVITRO

5 80 22

FORMULASI SEDIAAN KRIM MINYAK DAUN CENGKEH (Syzygium aromaticum) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

14 125 24

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI ETANOL DAUN Coleus scutellarioides TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN METODE BIOAUTOGRAFI

5 92 21

ERBANDINGAN DAYA HAMBAT REBUSAN DAN PERASAN BUNGA ROSELLA MERAH (Hibiscus sabdariffa Linn.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli

4 34 20

Uji efektivitas ekstrak lengkuas merah (Alpina purpurata K.Schum) dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli dengan metode disc diffusion.

4 24 70

Efek Hambat Berbagai Macam Obat Kumur Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

1 25 7

Uji Aktivitas Antibiofilm in Vitro Minyak Atsiri Herba Kemangi Terhadap Bakteri Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus

1 23 110

Pengaruh Iradiasi Gamma pada Aktivitas Antibakteri Kombinasi Ekstrak Etanol Temu Putih (Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe.) dan Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) terhadap Bacillus subtilis ATCC 6633 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923

1 34 73

Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun 2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro

0 7 5