AKSELERASI PEMB IAYAAN PERBA NKAN SYARIAH

AKSELERASI PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH TERHADAP
PERTANIAN SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN MELALUI LINKAGE
PROGRAM
Eko Kurniadi
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Sentul City Bogor
eko.k411@yahoo.com
+6287870667383
Aisha Putrina Sari
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
Sentul City Bogor
+6285214111860
putrina.aisha@gmail.com
Abstrak
Sektor pertanian Indonesia menjadi salah satu sektor penyumbang Produk Domestik
Bruto terbesar kedua setelah industri pengolahan pada tahun 2012 dan menyerap
tenaga kerja hingga 30 juta orang. Tetapi, saat ini perhatian terhadap sektor pertanian
masih dinilai kurang. Padahal, dengan perhatian yang optimal, dalam hal ini dari segi
pembiayaan, maka petani dapat meningkatkan produktifitasnya sehingga salah satu
tujuan pertanian yaitu pencapaian swasembada pangan dan swasembada
berkelanjutan dapat tercapai dengan cepat. Pendirian bank pertanian yang diharapkan

dapat mendukung pertanian Indonesia pun masih terganjal oleh pembahasan
Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Oleh karena itu,
perbankan syariah yang dekat dengan sektor riil diharapkan dapat membantu petani
dalam proses pembiayaan yang mereka perlukan. Optimalisasi linkage program
perbankan syariah diperlukan agar penetrasi ke dalam sektor pertanian dapat lebih
efisien dan efektif dibandingkan jika perbankan syariah terjun langsung ke dalam
sektor tersebut. Tidak hanya itu, dukungan kuat pemerintah baik berupa bantuan
teknis seperti subsidi maupun nonteknis juga mutlak diperlukan agar perbankan
syariah dapat menimalisasi risiko sehingga akselarasi pembiayaan melalui linkage
program dapat tercapai.
Kata kunci : Perbankan Syariah, Pertanian, Linkage program,
Abstract
Agriculture sector is Indonesian second largest GDP contributor in 2012 after
manufacturing industry and absorbs employment for nearly 30 million people.
However, this sector is still lack of concern from government. With optimum concern,
in this case is financing aspects, farmers can increase productivity level so the goal to
reach agricultural self-sufficiency and sustainability can be achieved faster. The
1

establishment of agricultural banks which expected to support Indonesia's agriculture

is still hampered by long discussion on Draft Law of Protection and Empowerment of
Farmers. Islamic banking which works closely with real sector is expected to help
farmers in their financing needs. The optimization of Islamic banking linkage
program is needed to be able to penetrate into agricultural sector more efficiently
and effectively compared to directly go the sector itself. Further, government strong
support in technical assistance such as subsidies and nontechnical support are also
crucial, thus Islamic banks can minimize risk and financing acceleration can be
achieved through the linkage program.
Keywords: Shariah Banking, Agriculture, Linkage Program, Risk, Government
1.

Pendahuluan
Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian, kestabilan
serta pembangunan Negara Indonesia yang masih tergolong sebagai Negara
berkembang. Hal tersebut wajar terjadi apalagi mengingat fakta bahwa Indonesia
memang merupakan sebuah Negara kepulauan yang agraris. Akibatnya, tidak
mengherankan jika salah satu penerimaan terbesar Indonesia adalah dari sektor
pertanian. Soekarwati (1996) melihat pentingnya sektor pertanian dan pedesaan, di
antaranya sebagai andalan mata pencaharian sebagian besar penduduk,
sumbangsihnya terhadap PDB, kontribusi terhadap ekspor (devisa), bahan baku

industri, serta dalam menyediakan bahan pangan dan gizi. Tidak hanya itu saja tetapi
beberapa kali sektor pertanian juga terbukti mampu menjadi penyangga
perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi.1
Pendapat Soekarwati tersebut diperkuat dengan data-data yang ada saat ini,
seperti yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, pada
tahun 2012 saja, meski menurun dibanding tahun sebelumnya, jumlah tenaga kerja
yang ada pada sektor pertanian sebanyak 38,88 juta orang2. Dari segi PDB, sektor
pertanian juga menyumbang cukup besar yaitu sekitar 14% dan merupakan
penyumbang terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan3. Sektor pertanian di
Indonesia memiliki beberapa bagian subsektor, seperti pertanian sub sektor
perikanan, sub sektor peternakan, sub sektor perkebungan, sub sektor kehutanan, dan
sub sektor tanaman pangan. Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor
pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional,
mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan,
penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa, serta menjadi penarik bagi
pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
1

Ashari dan Sepatana. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian. Jurnal

Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 23, No. 2, 132-147.
2
http://www.antaranews.com/berita/342162/bps-tenaga-kerja-sektor-pertanian-turun
,
diunduh pada tanggal 28 Mei 2013.
3
Berita resmi statistik, no 14/02/Th. XVI, 5 Februari 2013 hal. 5.
2

Peranan tanaman pangan telah terbukti secara empiris, baik dikala kondisi ekonomi
normal maupun saat menghadapi krisis.
Adanya potensi pertanian sub sektor tanaman pangan yang begitu besar
menjadikan Indonesia mencanangkan swasembada pangan pada tahun 2014 baik
berupa pencapaian swasembada maupun swasembada berkelanjutan. Sayangnya,
hingga tahun 2013, swasembada pangan yang telah terjadi masih berupa swasembada
beras, dimana komoditas pertanian lainnya seperti gandum dan jagung belum
tercapai. Padahal, dengan jumlah penduduk yang masih mayoritas mempunyai mata
pencaharian sebagai petani dan kondisi geografis yang mendukung, pencapaian
swasembada seharusnya tidaklah menjadi hal yang sulit. Apalagi jika kita melihat ke
masa lampau dimana swasembada pernah tercapai. Hal ini disebabkan karena

walaupun sangat strategis, sektor pertanian dan pedesaan sering dihadapkan pada
banyak permasalahan, seperti permasalahan teknologi, kemampuan, dan terutama
masalah permodalan. Sebagian besar pertanian yang ada masih menggunakan modal
sendiri untuk mengembangkan usahanya sehingga usaha pertanian tidak dapat
berkembang secara pesat. Padahal, sebagai unsur esensial dalam meningkatkan
produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, ketiadaan modal dapat membatasi
ruang gerak sektor ini (Hamid, 1986). Kebutuhan modal akan semakin meningkat
seiring dengan beragam pilihan jenis komoditas dan pola tanam, perkembangan
teknologi budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan hasil yang semakin
pesat. Pada era teknologi pertanian, pengerahan modal yang intensif baik untuk alatalat pertanian maupun sarana produksi tidak dapat dihindari. Masalah kembali
muncul, karena sebagian besar petani tidak sanggup mendanai usaha tani yang padat
modal dengan dana sendiri (Syukur et al., 2000).
Karakteristik usaha pertanian yang mengandung banyak risiko menyebabkan
minat lembaga pembiayaan untuk menandai usaha sektor ini cukup rendah. Tidak
hanya itu saja, menurut Mantan Menteri Pertanian Anton Apriantono, terbatasnya
agunan, terbatasnya lembaga penjamin kredit, terbatasnya lembaga asuransi
kegagalan panen dan jumlah tenaga pendamping di lapangan yang belum memadai 4
juga semakin mengurangi minat lembaga pembiayaan dalam melirik sektor ini. Jika
ada lembaga pembiayaan yang bersedia mengucurkan pembiayaan di sektor pertanian
biasanya telah mengantisipasi dengan beberapa hal untuk meminimalisir risiko, di

antaranya: (1) menetapkan bunga (interest) yang cukup tinggi, (2) sangat selektif,
yaitu membiayai usaha pada komoditas komersial bernilai tinggi (high value
commodity), serta (3) lebih memilih sebagai channeling bagi kredit program
pemerintah (Syukur et al., 2000).
Agar pembiayaan pada sektor pertanian sub sektor tanaman pangan dapat
ditingkatkan, salah satu opsi yang ditawarkan adalah dengan adanya pendirian Bank
Pertanian yaitu bank yang khusus mengelola pertanian di Indonesia. Tetapi
sayangnya, meski bank pertanian memang memiliki potensi yang besar bagi
peningkatan pertanian Indonesia, proses pembentukannya sendiri memerlukan waktu
4

Anton Apriantono, Mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia, disampaikan pada
Seminar Menuju Pendirian Bank Pertanian pada 11 Mei 2009 di IPB International Convention Center,
Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
3

yang relatif lama akibat proses yang panjang. Menurut Ashari dan Friyatno (2006)
untuk merealisasikan bank pertanian di Indonesia, perlu adanya dukungan kebijakan
pemerintah dalam hal ini parlemen dengan memasukannya ke dalam rumusan
undang-undang5. Tetapi, hingga kini Rancangan Undang-undang (RUU)

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang membahas mengenai bank pertanian
dan asuransi pertanian masih belum mendapatkan kata sepakat. Padahal, untuk
mencapai target swasembada umumnya dan peningkatan produktifitas petani secara
khusus, diperlukan dukungan yang kuat dari sektor pembiayaan.
Oleh karena itulah, perbankan syariah yang pada dasarnya pro terhadap sektor
produktif menjadi salah satu jawaban bagi pembiayaan sektor pertanian. Optimalisasi
pembiayaan mikro melalui linkage program menjadi solusi terbaik yang bisa
dilakukan saat ini ketika bank pertanian belum bisa terealisasikan. Pemilihan
optimalisasi pada linkage program dilakukan karena perbankan merupakan lembaga
usaha keuangan dengan segmen menengah ke atas sehingga untuk dapat masuk ke
ranah mikro secara cepat maka diperlukan jalur penghubung antara bank syariah dan
sektor yang ingin dibiayai. Tidak hanya itu, demi tercapainya ektifitas dan efisiensi
pembiayaan kepada sektor mikro, komposisi pembiayaan perbankan syariah yang
selama ini masih didominasi oleh akad murabahah juga sudah sepatutnya
dialokasikan kepada jenis akad kerjasama seperti musyarakah dan mudharabah untuk
lebih mudah dikelola oleh lembaga keuangan mikro atau modal ventura dalam
pelaksanaan linkage program.
Selain itu juga diperlukan pihak ketiga sebagai stimulus dalam proses
pemberian pembiayaan yang dalam hal ini merupakan peran aktif dari pemerintah.
Peran aktif pemerintah tidak hanya berupa bantuan aktif seperti pemberian subsidi

dalam kredit konvensional tetapi pemerintah juga dapat turut aktif dalam
memobilisasi petani agar perbankan syariah dapat meningkatkan pembiayaan serta
berperan dalam proses manajemen risiko yang dilakukan oleh perbankan syariah.
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peranan pemerintah dalam mendukung akselerasi pembiayaan
perbankan syariah terhadap sektor pertanian?
2. Bagaimana manajemen risiko yang sebaiknya dilakukan perbankan
syariah untuk mengakselerasi pembiayaan terhadap sektor pertanian?
3. Bagaimana skim pembiayaan Bank Syariah terhadap pertanian sub sektor
tanaman pangan yang optimal melalui linkage program?
Diharapkan dengan terealisasinya tujuan penelitian di atas dapat menjadi
sebuah proposal terhadap perbankan syariah dan pemerintah agar bisa mengakselerasi
pembiayaan terhadap pertanian sub sektor tanaman pangan. Dengan demikian, tujuan
swasembada pangan serta swasembada berkelanjutan pemerintah dapat tercapai dan
secara mikro, kesejahteraan petani dapat ditingkatkan dan perbankan syariah dapat
meningkatkan margin yang diperoleh.

5

Ashari dan Supena Friyatno. Perspektif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia. Forum

Penelitian Agro Ekonomi. Volume 24 No 2 Desember 2006, hal 115.
4

2.
2.1.

Metodologi
Metode Penulisan
Adapun Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah dengan
menggunakan metode studi literature atau kualitatif studi kasus. Studi kasus adalah
pengujian intensif, menggunakan berbagai sumber bukti baik kualitatif maupun
kuantitatif, atau keduanya terhadap suatu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang da
waktu.6 Dalam hal ini juga menggunakan studi komparasi hasil penelitian terdahulu
serta artikel-artikel di media masa yang terkait dengan pembahasan. Dari data-data
yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis yang sesuai dengan
kaidah penulisan sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada.
Untuk memperkuat penelitian, juga dimasukkan data-data penting yang
relevan dengan pembahasan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal
dari tinjauan literature maupun website resmi seperti website Bank Indonesia,
Departemen Pertanian, serta Badan Pusat Statistik. Data-data yang diperoleh dari

tinjauan literatur maupun website terkait disusun menjadi sebuah fakta-fakta yang
aktual untuk kemudian dilakukan pembahasan solusi. Melalui hal tersebut,
diharapkan tujuan mengenai analisis optimalisasi skim pembiayaan bank syariah
terhadap pertanian sub sektor tanaman panngan menuju Indonesia swasembada
pangan dapat tercapai.
2.2.

Kerangka Berpikir
Permasalahan Permodalan Pertanian

Pembiayaan Perbankan Syariah

Lembaga Keuangan Mikro

Petani

Akselerasi Pembiayaan
Pemerintah

Perbankan Syariah


Swasembada Pangan

Tingkat Margin Yang Tinggi

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir
Sumber : Olahan Penulis
6

Christine Daymon dan Immy Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Pablic
Relations and marketing Communications. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Hal. 162.
5

Kerangka pemikiran dari penelitian ini yaitu perumusan masalah pertanian
yang ada di Indonesia kemudian dilanjutkan potensi dari pertanian tersebut untuk
dibiayai oleh sektor perbankan. Dukungan dari lembaga keuangan mikro diperlukan
untuk membantu mengakselerasi pembiayaan pertanian. Adanya akselerasi ini tidak
hanya akan menguntungkan pihak petani dari segi permodalan tetapi juga akan
membantu pencapaian program swasembada pangan pemerintah serta meningkatkan
margin yang diterima oleh perbankan syariah.
3.
IV.1

Hasil dan Pembahasan
Potensi serta Permasalahan Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan
Tanaman pangan merupakan salah satu subsektor pertanian dan ekonomi
yang penting dan strategis, karena subsektor tanaman pangan merupakan salah
satu subsektor bagi pemenuhan pangan bagi rakyat Indonesia, yang juga menjadi
salah satu sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia.
Dibalik nilai (value) yang penting dan strategis tersebut, subsektor tanaman
pangan juga merupakan salah satu pusat kemiskinan di Indonesia. \ Fakta bahwa
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia
membuat permasalahan pangan menjadi isu yang sensitif karena Negara
berkewajiban menjaga ketahanan pangan bagi para rakyatnya. Tetapi, Indonesia
ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Hal tersebut bisa
dilihat dari keadaan Indonesia yang masih menggunakan kebijakan impor dengan
kuota sangat besar.
15363000
10504604

9398384

2007

7414293

7788215

2008

2009

2010

2011

Grafik 3.1 Perkembangan Kuota Impor Tanaman Pangan
Sumber : Departemen Pertanian 2012

Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa meski pada tahun 2008 impor pangan
di Indonesia mengalami penurunan tetapi pada tahun 2009 hingga 2011 terus terjadi
kenaikan yang signifikan. Bahkan, pada tahun 2011 impor bahan pangan yang
dilakukan Indonesia mencapai hingga lima belas juta ton, naik 50% jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah sepuluh juta ton. Salah satu
sebab mengapa Indonesia masih belum bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri
adalah karena produksi pangan yang ada memang masih belum mencukupi. Pertanian
6

subsektor tanaman pangan masih memiliki kendala-kendala dalam mengoptimalkan
hasil pertaniannya.
Padahal, tenggat waktu target swasembada pangan yang hendak diraih oleh
Indonesia sudah semakin dekat yaitu pada tahun 2014. Permasalahan yang dialami
oleh petani sub sektor tanaman pangan Indonesia berbeda-beda bergantung pada
situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Menurut Saptia (2009) pertanian subsektor
tanaman pangan masih memiliki banyak permasalahan terutama dari segi modal 7.
Padahal modal menjadi salah satu faktor utama petani untuk mengembangkan
usahanya. Dengan modal yang cukup, para petani dapat membiayai kebutuhuan
usahanya agar dapat menghasilkan produksi yang optimal. Para petani dapat membeli
kebuhuhannya seperti bibit dan pupuk serta kebutuhan dalam proses pemeliharaan
hingga masa panen. Tidak hanya itu saja,. penguasaan lahan yang sangat sempit dan
ketidakberdayaan dalam menentukan harga menjadi faktor penyebab kemiskinan bagi
pelaku usaha (petani) tanaman pangan. Sementara itu, disisi lain, pelaku usaha
(petani) tanaman pangan dituntut untuk berpartisipasi dalam membangun
kekuatan pangan nasional melalui peningkatan produktivitas maupun peningkatan
indeks pertanaman.
Permasalahan-permasalahan ini sebenarnya bisa teratasi dengan dukungan
kuat dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta perbankan syariah sebagai
pihak komersil. Potensi pembiayaan pertanian oleh perbankan syariah sangat besar
mengingat pertanian sendiri belum teroptimalkan karena kurangnya modal petani.
Namun, hingga saat ini, porsi sektor pembiayaan pertanian sub sektor tanaman
pangan masih kecil jika dibandingkan dengan porsi pembiayaan lainnya. Padahal,
margin yang dihasilkan dari sektor ini sangat bersaing jika dibandingkan dengan
sektor lain, seperti yang ada para grafik 3.2.

Pertanian
Pedagangan
Jasa dunia usaha
Lain-lain

Grafik 3.2 Margin Perbankan Syariah
Sumber : Statistrik Perbankan Syariah 2012

7

Yeni Saptia. 2009. Efektivitas Model Kredit dan Skim Pembiayaan Syariah dalam
Mengembangkan Sub-Sektor Tanaman Pangan, hal 67
7

Dari data pengamatan tahun 2006 hingga 2011, jika sektor pertanian
dibandingkan dengan tiga sektor lain yang mendapatkan porsi pembiayaan tiga
terbesar, bisa dikatakan margin yang diperoleh oleh perbankan syariah dari sektor
pertanian mempunyai rataan yang sama dengan sektor perdagangan, jasa dunia usaha,
dan sektor lain-lain, yaitu di atas 10%. Lebih lanjut lagi, dari grafik tersebut, margin
perbankan syariah yang diperoleh dari pertanian lebih besar daripada margin yang
diperoleh oleh sektor lain-lain, padahal sektor lain-lain merupakan sektor dengan
pembiayaan terbanyak dari perbankan syariah. Besarnya margin yang diperoleh
perbankan syariah meski baru menaruh sedikit perhatian kepada sektor pertanian
tentu menarik untuk ditindaklanjuti. Selain dapat memperbesar margin perbankan
syariah, adanya perhatian lebih terhadap sektor pertanian juga akan berimbas positif
baik secara khusus kepada petani maupun secara luas yaitu kepada pencapaian
swasembada pangan seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Tetapi, di sisi
lain, perbankan syariah yang menerapkan prinsip kehati-hatian juga menjadi salah
satu penghambat terhadap pertanian sub sektor tanaman pangan dalam mendapatkan
pembiayaan. Hal ini disebabkan karena perbankan takut akan risiko pembiayaan,
yang faktor utamanya menurut Akrelof (1970) karena kurangnya kepercayaan 8.
Karena itulah diperlukan peranan pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan
antara sektor perbankan dan sektor pertanian sub sektor tanaman pangan.
IV.2

Skim Pembiayaan Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan dengan
Linkage Program
Masalah permodalan, baik keterbatasan kepemilikan modal maupun kesulitan
dalam mengakses sumber pembiayaan, sampai saat ini masih merupakan kendala bagi
Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terutama petani dalam menjalankan dan
mengembangkan usahanya. Untuk mengatasi kendala di bidang pembiayaan tersebut,
maka perlu dilakukan upaya peningkatkan dan perluasan akses kepada sumbersumber pembiayaan, dengan mensinerjikan lembaga keuangan bank termasuk bank
umum peserta Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan koperasi, melalui Linkage
Program antara Bank Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro baik itu berupa
Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (KJKS/
UJKS-Koperasi), BMT, maupun Modal Ventura, yang saling mendukung,
memperkuat serta menguntungkan dengan prinsip syariah. Linkage Program adalah
program kerjasama antara bank umum termasuk bank umum peserta KUR dengan
koperasi dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil
(UMK). Dalam praktiknya, linkage prgram dapat diimplementasikan dengan tiga
model, yaitu: model linkage program executing, linkage program channeling, dan
linkage program join financing.

8

G. Arkelof. 1970. The Market of Lemons. Quarterly Journal of Economics, Vol 84 No 3 Aug
1970, hal 500
8

Bank Syariah
Funding

Lending

Service

Dana Pihak Pertama, Pihak Kedua, Pihak Ketiga.
Lembaga Keuangan Mikro

Murabahah
Mudharabah
Musyarakah

Petani

Ijarah

Gambar 3.1 Skim Pembiayaan melalui Linkage Program
Sumber: Olahan Penulis

IV.2.1 Skim Pembiayaan Linkage Program dengan Model Executing
Executing adalah pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada
Koperasi dalam rangka pembiayaan untuk disalurkan kepada anggota Koperasi. 9
Risiko pembiayaan kepada anggota koperasi, apabila kegagalan pembiayaan
karena kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung
oleh KJKS/UJKS-Koperasi. Distribusi pendapatan, sesuai dengan nisbah yang
disepakati antara BUS/UUS dan KJKS/ UJKS-Koperasi. Penentuan besarnya nisbah
bagi hasil/margin bagi anggota koperasi, merupakan kesepakatan bersama dengan
mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai.
Jaminan, sesuai Undang-undang Perbankan dan ketentuan perbankan yang berlaku;
Jaminan anggota Koperasi, sesuai yang dipersyaratkan KJKS/ UJKS-Koperasi. Akad
Pembiayaan kepada anggota koperasi, dilakukan oleh KJKS/ UJKS-Koperasi. Jangka
waktu proses persetujuan pembiayaan dalam rangka Linkage Program, maksimal 1
(satu) bulan setelah data dan persyaratan dipenuhi secara lengkap.
IV.2.2 Skim Pembiayaan Linkage Program dengan Model Channeling
Channeling adalah pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada ang
gota Koperasi melalui Koperasi yang bertindak sebagai agen dan tidak mempunyai ke
wenangan memutus pembiayaan kecuali mendapat surat kuasa dari Bank Syariah.10
9

Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang Pedoman Umum Linkage Program antara Bank Umum dengan
Koperasi.
10
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang Pedoman Umum Linkage Program antara Bank Umum dengan
Koperasi.
9

Risiko pembiayaan kepada anggota koperasi, apabila kegagalan pembiayaan
karena kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko ditanggung
oleh BUS/UUS; Distribusi pendapatan : a) BUS/UUS memperoleh pendapatan dari n
isbah bagi hasil/ margin yang disepakati dengan UMK; dan b) KJKS/ UJKS-Koperasi
mendapatkan fee yang besarnya disepakati antara BUS/ UUS dengan KJKS/ UJKSKoperasi.
Penentuan besarnya nisbah bagi hasil/margin bagi anggota Koperasi, merupa
kan kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/ bida
ng usaha UMK yang dibiayai. Jaminan anggota Koperasi, sesuai Undang-undang Per
bankan dan ketentuan perbankan yang berlaku. Akad pembiayaan kepada anggota
Koperasi, dilakukan oleh KJKS/ UJKS-Koperasi untuk dan atas nama BUS/ UUS. Ja
ngka waktu proses persetujuan kredit dalam rangka Linkage Program, maksimal 1 (sa
tu) bulan setelah data dan persyaratan lengkap dipenuhi.
IV.2.3 Skim Pembiayaan Linkage Program dengan Model Joint Financing
Joint Financing adalah pembiayaan bersama terhadap anggota Koperasi yang
dilakukan oleh Bank Syariah dan Koperasi.11
Risiko pembiayaan kepada anggota Koperasi, apabila kegagalan pembiayaan
karena kegagalan bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko
ditanggung bersama antara BUS/ UUS dan KJKS/ UJKS-Koperasi sesuai dengan
porsinya. Distribusi pendapatan : a) BUS/UUS memperoleh pendapatan dari nisbah
bagi hasil/margin yang disepakati dengan UMK; dan b) Pembagian pendapatan antara
BUS/UUS dengan KJKS/UJKS-Koperasi sesuai dengan porsi yang disepakati.
Penentuan besarnya nisbah bagi hasil/ margin bagi anggota Koperasi,
merupakan kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan harga pasar untuk
sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai; Jaminan anggota Koperasi, sesuai Undangundang Perbankan dan ketentuan perbankan yang berlaku; Akad kredit kepada
anggota Koperasi, dilakukan oleh KJKS/ UJKS-Koperasi untuk dan atas nama BUS/
UUS; Jangka waktu proses persetujuan kredit dalam rangka Linkage Program,
maksimal 1 (satu) bulan setelah data dan persyaratan lengkap dipenuhi.
IV.3

Skim untuk intensifikasi pertanian
Skim pembiayaan yang dapat dioptimalkan pertama kali oleh perbankan
syariah adalah skim pembiayaan yang berhubungan dengan intensifikasi pertanian.
Dalam hal ini, perbankan syariah membantu para petani untuk mengoptimalkan lahan
pertanian yang telah ada melalui skim pembiayaan yang ada. Skim pembiayaan
perbankan syariah pada kaitannya dengan intensifikasi pertanian dibagi menjadi dua,
yaitu skim pembiayaan yang berhubungan dengan kebutuhan petani akan modal kerja
seperti alat-alat berat, serta skim pembiayaan yang berhubungan dengan kebutuhan
petani dalam proses pemeliharaan yaitu berkaitan dengan benih, pupuk, dan
sebagainya. Menurut Nurmanaf (2007) skim pembiayaan lembaga forma saat ini
11

Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang Pedoman Umum Linkage Program antara Bank Umum dengan
Koperasi.
10

masih kaku untuk petani12 sehingga penawaran skim pembiayaan yang berbeda perlu
dilakukan agar kebutuhan tiap petani yang berbeda-beda bisa terakomodasi dengan
baik.
a.
Murabahah, Musyarakah mutanaqishah dan Ijarah
Murabahah,kepemilikan
langsung berpindah

Perbankan
Syariah

Modal Kerja

Musyarakah
Mutanaqishoh,
kepemilikan berkurang
Ijarah, kepemilikan tidak
berpindah

Gambar 3.2 Skim Murabahah, Musyarakah Mutanaqishoh, dan Ijarah
Sumber: Olahan Penulis

Sebagai Skim pembiayaan modal kerja, skim Murabahah, Musyarakah
mutanaqishah, dan Ijarah dapat digunakan petani dalam memenuhi kebutuhan alat
kerja mereka. Skim-skim tersebut berbeda pada letak kepemilikannya. Bank syariah,
dengan skim murabahah, dapat melakukan jual beli alat-alat pertanian kepada para
petani. Bank syariah dan petani sama-sama menyepakati margin yang diterima oleh
bank syariah serta rentang waktu pembayaran atas pembelian alat pertanian tersebut.
Ketika akad murabahah telah dilakukan, maka otomatis kepemilikan barang tersebut
berpindah sepenuhnya kepada petani meski pelunasan pembayaran masih akan
dilakukan di masa mendatang. Skim kedua adalah skim musyarakah mutanaqishah.
Sesuai dengan fatwa Majeli Ulama Indonesia (MUI) nomor 73 musyarakah
mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan asset (barang)
atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya. Akad musyarakah mutanaqisah terdiri dari akad
musyarakah/ syirkah dan bai’ (jual-beli). Dalam akad musyarakah mutanaqisah,
pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara
bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya dengan jual beli sesuai
kesepakatan. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) beralih kepada syarik lainnya (nasabah)13. Pada skim
ijarah, kepemilikan benda alat-alat pertanian masih menjadi milik perbankan syariah
di mana petani hanya bertindak sebagai penyewa.
Musyarakah, Mudharabah, dan Murabahah
Dalam operasional pertanian, perbankan syariah dapat mengunakan akad
musyarakah, mudharabah, dan murabahah dalam pembiayaan kepada petani.

b.

12

A Rozany Nurmanaf. 2007. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat Dengan
Petani. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No 2 Juni 2007, hal 99
13
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah
Mutanaqishah.
11

Pemeliharaan disini baik dari awal penyediaan benih maupun disaat
pemeliharaannya. Skim musyarakah dan mudharabah digunakan dalam pembiayaan
yang mengacu pada prinsip bagi hasil, di mana musyarakah berarti diantara pihak
petani maupun bank syariah sama-sama menyertakan modal dengan porsi dan mergin
yang disepakati, serta risiko ditanggung bersama. Sedangkan klim pembiayaan
mudharabah menempatkan bank syariah sebagai shahibul maal, atau penyedia dana
100% untuk usaha, dari pembelian benih sampai dengan perawatan, sedangkan petani
sebagai pengelola (mudharib) atas benih dan pemeliharaan hingga panen yang
kemudian dilakukan bagi hasil atas usaha sesuai dengan kesepakatan. Adapun risiko
kerugian ditanggung bank bila tidak terjadi kelalaian dari pihak petani.
Selain dua akad kerjasama di atas, dalam pemeliharaan bank syariah juga
dapat menggunakan skim murabahah dari awal pembelian benih, kemudian pupuk,
maupun pemeliharaannya. Skim murabahah menempatkan bank syariah sebagai
pihak penjual kepada petani sebagai pembeli dengan margin keuntungan yang
disepakati dan harga dasar yang sama-sama diketahui. Skim pembiayaan jual beli
memang aman dikarenakan bank tidak menanggung risiko kerugian kecuali terjadi
hal-hal yang tidak diprediksi, namun keuntungan yang diperoleh relatif lebih kecil
bila dibandingkan dengan skim pembiayaan kerjasama.
IV.4

Skim untuk ekstensifikasi pertanian
Selain intesifikasi pertanian yang dioptimalkan, agar mencapai swasembada
pangan tentu juga diperlukan adanya penambahan lahan pertanian. Adanya
penambahan lahan pertanian selain bisa meningkatkan hasil produksi juga akan
menambah serapan tenaga kerja di sektor ini. Penambahan lahan-lahan pertanian bisa
didapat melalui optimalisasi tanah terlantar. Menurut penelitian yang dilakukan
Mulyani (2010), lahan yang sesuai untuk pertanian dan sampai saat ini belum
dimanfaatkan (terlantar) seluas 30,67 juta ha dan 8,28 juta ha di antaranya sesuai
untuk sawah14.
Departemen
Pertanian
Muzara’ah
BPN

Perbankan
Syariah

Petani
Musaqoh

Gambar 3.3 Skim Ekstensifikasi Pertanian
Sumber: Olahan Penulis

Lahan-lahan tersebut bisa diberikan pemerintah melalui Badan Pertanian
Nasional (BPN) kepada perbankan syariah yang nantinya akan dilanjutkan untuk
diberikan kepada para petani Indonesia yang memiliki lahan sedikit, mengingat
menurut data BPS, sekitar 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan
14

Anny Mulyani dkk. 2012. Potensi dan Ketersedian Sumber Daya Lahan untuk Mendukung
Ketahanan Pangan. Jurnal Litbang Pertanian 2012
12

dan 70% di antaranya hidup dari pertanian di mana setengah dari jumlah itu adalah
petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, dan sebagian besar
bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan15.
Adanya lahan pertanian yang dimiliki tentu akan menambah semangat para
petani untuk meningkatkan hasil produksi. Pemberian lahan pertanian yang tidak
langsung diserahkan kepada petani disebabkan karena petani masih membutuhkan
biaya operasional yang tidak sedikit untuk menghidupkan lahan tersebut. Selain itu,
adanya perbankan syariah akan memastikan lahan-lahan tersebut diberikan kepada
petani yang benar-benar dapat memproduktifkan sehingga akan memberi keuntungan
kepada bank syariah. Agar petani dapat mengoptimalkan tanah tersebut dengan baik,
juga masih diperlukan dukungan dari Departemen Pertanian (Deptan) kepada kedua
belah pihak yaitu perbankan syariah dan petani. Menurut Rahim (2007) perbankan
belum bisa mengklasifikasikan calon nasabah pembiayaan yang berpotensi dan yang
tidak16 sehingga peran deptan menjadi mutlak diperlukan mengingat perbankan
syariah belum memiliki sumber daya manusia yang paham akan pertanian. Selaiin itu,
dukungan deptan juga diperlukan para petani agar mereka dapat berproduksi secara
optimal dengan bantuan penyuluhan pertanian yang dilakukan.
Dua skim yang dapat digunakan yaitu Muzara’ah dan Musaqoh. Muzara’ah,
menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah yaitu kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian
tertentu (persentase) dari hasil panen17. Musaqoh adalah bentuk kerjasama dimana
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan, seperti yang
diriwayatkan Ibnu Umar18 bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan
tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan
mempergunakan peralatan dan dana mereka di mana penggarap berhak beberapa
bagian tertentu dari hasil panen.
IV.5

Skim Penjualan Berbasis Resi Gudang
Dalam skim penjualan perbankan syariah dapat menggunakan akad
murabahah dan salam sebagai sarana pembiayaan yang diintegrasikan dengan sistem
resi gudang. Mekanisme sistem resi gudang dimulai dari saat panen tiba, di mana
pada waktu tersebut petani menunai hasil panen dalam skala yang cukup besar. Hasil
panen para petani yang bisa saja tergabung dalam kelompok tani (poktan)
dimasukkan ke dalam gudang penyimpanan yang terdapat di masing-masing wilayah.
Selanjutnya pengelola gudang yang telah memperoleh persetujuan dari Badan

15

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/Petani-Menipisdi-Negeri-Agraris, diunduh pada tanggal 29 Mei 2013.
16
Abdul Rahim. 2007. Islamic Microfinance: A Missing Component in Islamic Bankin. Kyoto
Bulletin of Islamic Area Studies 2007, hal 39
17
M Syafii Antonio. 2002. Bank Syariah:Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani Press &
Tazkia Cendekia. Hal. 99.
18
M Syafii Antonio. 2002. Bank Syariah:Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani Press &
Tazkia Cendekia. Hal. 100.
13

Pengawas akan menerbitkan resi gudang untuk selanjutnya diberikan kepada petani
selaku pemilik barang (hasil panen).
Resi gudang yang telah diterbitkan dapat dialihkan ke pihak lain dan dapat
juga dijadikan sebagai jaminan dalam mengajukan pembiayaan baik oleh petani itu
sendiri atau pihak penerima. Informasi mengenai stok komoditi dari pengelola
gudang akan diteruskan ke Pasar Komoditas Nasional (Paskomnas)yang akan
memasarkan komoditi tersebut ke pembeli-pembeli grosir.19 Jadi dalam mekanisme
resi gudang, baik bank syariah maupun koperasi dan lembaga keuangan lainnya juga
dapat menjual hasil panen di gudang dengan bukti kepemilikan melalui resi gudang
yang diterima dari petani bila petani tersebut melakukan pembiayaan. Dalam
pembelian jual beli murabahah maupun jual beli salam, bank syariah ataupun
lembaga keuangan mikro melakukan pembelian kepada petani dengan bukti resi
gudang, sehingga barang yang di gudang menjadi hak milik bank syariah atau
lembaga keuangan mikro yang selanjutnya dapt menjual kepada pembeli. Bila jual
beli murabahah, maka barang (hasil panen) telah ada, sedangkan dalam jual beli
salam, terjadi pemesanan dari bank syariah atau lembaga keuangan kepada petani.
Bank Syariah

Mudharabah

Musyarakah

Murabahah

Lembaga Keuangan Mikro

Murabahah

Salam
Petani

Pengelola Gudang

Gudang

Resi Gudang

Pembeli

Panen

Gambar 3.4 Skim Penjualan Berbasis Resi Gudang
Sumber: Olahan Penulis

19

http://www.paskomnas.com/id/mekanisme-resi-gudang-dan-akses-pasar.php, diunduh pada
tanggal 31 Mei 2013.
14

IV.6

Integrasi Pemerintah, Petani, dan Perbankan Syariah
Dalam rangka mencukupi kebutuhan bahan pangan utama dalam negeri dan
mengurangi ketergantungan impor pangan maka pemerintah telah mencanangkan
program pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Swasembada
berkelanjutan ditargetkan untuk komoditas padi dan jagung, dengan sasaran
peningkatan produksi dapat dipertahankan minimal sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri.20 Untuk memuwudkan hal tersebut, perbankan syariah
memiliki potensi yang besar untuk turut andil dan berperan aktif sebagai penyalur
pembiayaan, mengingat produk-produk yang ada di perbankan syariah relevan dan
cocok dengan sektor pertanian.
Sebagai pihak penyalur dana dari pemerintah, perbankan syariah akan dibantu
oleh Dinas Pertanian dalam penyuluhan dan pembimbingan terhadap petani. Dalam
penyaluran dana perbankan syariah dapat langsung menyalurkan dana tersebut atau
juga tidak langsung melalui lembaga keuangan mikro syariah atau koperasi syariah
yang selanjutnya dapat menyalurkan ke petani baik perorangan maupun kelompok.
Selain itu, pemerintah juga dapat menggunakan dana APBN/APBD kepada dinas
pertanian untuk penyuluhan dan pengembangan pertanian terhadap petani.
Dana Program Pemerintah (APBN/ APBD)
Petani
Perbankan Syariah

Lembaga Keuangan Mikro/
Modal Ventura

Kelompok Tani

Agribisnis
Dinas Pertanian
Gambar 3.5 Integrasi Pemerintah, Petani, dan Perbankan Syariah
Sumber : Olahan Penulis

Pemerintah menyalurkan dana APBN/ APBD ke perbankan syariah dengan
akad mudharabah, kemudian dalam pembiayaan, perbankan syariah membagi dua
segmentasi nasabah, untuk nasabah kecil, perbankan syariah dapat menggunakan
sistem linkage melalui lembaga keuangan mikro atau koperasi yang nantinya
ditujukan terhadap petani kecil perorangan maupun kelompok. Sedangkan untuk
segmen menengah ke atas, perbankan syariah dapat secara langsung melakukan
pembiayaan. Akad yang dapat digunakan diantaranya murabahah, salam, ijarah,
mudharabah, serta musyarakah.
Di lain sisi, pemerintah juga dapat memberi tugas kepada Dinas Pertanian
untuk melakukan penyuluhan, pendampingan, serta bimbingan kepada para petani.
20

Pedoman Teknis Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Direktorat Pembiayaan
Pertanian, hal. 7.
15

Untuk program ini, pemerintah dapat menggunakan dana APBN/ APBD sebagai ujrah
kepada Dinas Pertanian.
IV.7 Integrasi Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, dan Lembaga
Keuangan Mikro
Dalam melakukan pembiayaan melalui linkage program, bank syariah
dipastikan menghadapi berbagai risiko yang mungkin terjadi, tidak hanya bank
syariah, demikian juga lembaga keuangan mikro yang terkait. Sehingga untuk
meminimalisir risiko-risko yang mungkin terjadi diperlukan lembaga asuransi syariah
sebagai objek pengalihan risiko kerugian dalam pembiayaan. Adapun skim integrasi
bank syariah, lembaga keuangan syariah, dan asuransi syariah dalam sistem linkage
adalah sebagai berikut:
Bank Syariah

Lembaga Keuangan Mikro/ Modal
Ventura

Asuransi Syariah

Petani
Gambar 3.6
Integrasi Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, dan Lembaga Keuangan Mikro
Sumber : Olahan Penulis

Koperasi mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk disalurkan
kepada anggota. Penyaluran pembiayaan kepada anggota mensyaratkan bahwa
anggota harus memiliki asuransi. Ada dua keuntungan dalam persyaratan tersebut,
pertama penyaluran pembiayaan oleh koperasi kepada anggota akan menimbulkan
kepercayaan karena anggota sudah diproteksi oleh koperasi, kedua adalah bahwa
koperasi turut serta dalam mengkampanyekan sadar asuransi sebagai bagian dari
upaya untuk memindahkan risiko (bisnis) kepada pihak lain (asuransi).
Dalam kondisi ini ada tiga kemungkinan, 1) anggota telah memilki
asuransi; 2) anggota belum memiliki asuransi dan memperoleh pembiayaan
sekaligus asuransi; 3) anggota belum memiliki asuransi dan segera membuka
asuransi. Pada skim tersebut ada persyaratan yang diminta oleh bank syariah bahwa
untuk memperoleh kredit yang akan disalurkan oleh koperasi kepada
anggotanya, koperasi itu sendiri (koperasi sebagai suatu lembaga/badan)
disyaratkan memilki polis asuransi. Dengan demikian koperasi diharuskan untuk
memilki asuransi.21
21

Deputi Pembiayaan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia. 2009. Optimalisasi Manfaat Asuransi Dalam Peningkatan Akses Pembiayaan Bagi
UMKM-K. Hal. 48-49.
16

Permasalahan Pertanian Sub
Sektor Tanaman Pangan

Modal

Lahan

Penjualan

Bank Syariah

Bank Syariah

Bank Syariah

Koperasi Syariah/
Modal Ventura

Koperasi Syariah/
Modal Ventura

Koperasi Syariah/
Modal Ventura

Murabahah

Salam

Muzara’ah

Musaqah

Petani

Koperasi/
Koperasi
Syariah/
Modal
Modal
Ventura
Ventura

Gudang

Pembeli
Penyedia Modal

Penyedia Lahan

Petani

Pengelola

Pemerintah

Subsidi

Pengelola Lahan

Mudharabah

Musyarakah

MMQ

Murabahah

Pemerintah
Pemerintah

Resi Gudang

Benih dan Pemeliharaan

Alat

Petani/ Kelompok
Tani

Gambar 3.7 Simplifikasi Masalah
Sumber: Olahan Penulis

17

4.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sektor pertanian sub sektor tanaman pangan di Indonesia meski memiliki
potensi yang besar tetapi masih memiliki permasalahan-permasalahan
sehingga tidak dapat melakukan produksi secara optimal. Perlu adanya
dukungan perbankan syariah untuk membantu mengatasi masalah
permodalan yang dimiliki petani melalui akselerasi linkage program.
Tidak hanya itu saja, dukungan pemerintah juga diperlukan agar akselerasi
ini dapat berjalan dengan baik.
2. Linkage program sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu pola executing,
modeling dan joint financing. Ketiga pola ini dapat diakselerasi oleh
perbankan syariah dimana baik pihak Perbankan komersial serta
BPR/BPRS akan sama-sama mendapatkan keuntungan. Pihak perbankan
komersial mendapatkan kemudahan akses terhadap KUKM sedangkan
BPR/S mendapatkan keuntungan berupa ketersediaan dana.
3. Permasalahan petani dapat dibagi menjadi dua, yaitu permasalahan yang
berhubungan dengan ekstensifikasi serta intesifikasi di mana melalui
akad-akadi syariah, kebutuhan petani dapat diakomodasi dengan baik.
4. Sinergi antara perbankan syariah yang lebih dekat pada sektor riil dan
lembaga keuangan mikro melalui linkage program bisa menjadi alternatif
optimalisasi pembiayaan terhadap sektor pertanian dari tidak adanya bank
pertanian.

5.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini tidak akan berjalan tanpa dukungan dari banyak pihak. Oleh
karena itu, dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah Ta’ala dan Muhammad s.a.w. Rasul Tercinta;
2. Kedua orang tua penlis atas do’a yang tiada henti;
3. Bapak Dr. M. Syafi’i Antonio selaku ketua STEI Tazkia;
4. Bapak Dr Yulidzar Djamaluddin Sanrego selaku pembimbing serta Bapak
Nashr Akbar dan Bapak Nurizal;
5. Teman-teman di kampus STEI Tazkia

18

6.

Daftar Pustaka

Anton Apriantono, Mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia, disampaikan pada
Seminar Menuju Pendirian Bank Pertanian pada 11 Mei 2009 di IPB
International Convention Center, Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
Antonio, M. Syafii. 2002. Bank Syariah:Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani
Press & Tazkia Cendekia.
Arthesa, Ade & Edia Handiman. 2006. Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Jakarta : Indeks.
Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia.
Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Vol. 7, No. 1.
Ashari dan Supena Friyatno. 2006. Perspektif Pendirian Bank Pertanian di Indonesia.
Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 24 No 2.
Ashari dan Sepatana. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian.
Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 23, No. 2.
Berita Resmi Statistik No. 14/02/Th. XVI, 5 Februari 2013.
Christine Daymon dan Immy Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif
dalam Pablic Relations and marketing Communications. Yogyakarta: Bentang
Pustaka.
Darmawi, Herman. 2006. Pasar Finansial dan Lembaga-lembaga Finansial. Jakarta :
PT Bumi Aksara.
Deputi Pembiayaan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia. 2009. Optimalisasi Manfaat Asuransi Dalam Peningkatan
Akses Pembiayaan Bagi UMKM-K. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah.
Hamid, E. S. 1986. Kredit Pedesaan di Indonesia. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Muhammad Taimoor Hassan. 2012. Role of Islamic Banking in Agriculture
Development in Bahawalpur, Pakistan. International Journal of Learning &
Development. Vol. 2, No. 3.
Mustopa Marli Batubara. 2007. Peran Lembaga Permodalan Dalam Pembiayaan
Sektor Agribisnis di Tingkat Pertanian Rakyat di Sumatera Selatan. Jurnal
Fordema, Vol. 7, No. 1.
Pedoman Teknis Krdit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Direktorat
Pembiayaan Pertanian.
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia, No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 tentang Pedoman Umum Linkage
program Antara Bank Umum Dengan Koperasi.
Septia, Yeni. 2009. Efektivitas Model Kredit dan Skim Pembiayaan Syariah dalam
Mengembangkan Sub Sektor Tanaman dalam Thoha dan Septia. Efektivitas
Model Pembiayaan Syariah Dalam Mengembangkan Sektor Pertanian, 67102. Jakarta: Lipi Press.Soekarwati. Panduan Membuat Usulan Proyek
Pertanian dan Pedesaan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 1996.
Statistik Perbankan Indonesia Vol. 11 No. 1 Desember 2012. Bank Indonesia.
Statistik Perbankan Syariah Desember 2012. Bank Indonesia.

19

Sukur, M. H. Haryowani, Sunarsih, Y. Marisa, M. Fauzi Sutopo. 2000. Peningkatan
Peranan Kredit dalam Menunjang agribisnis di Pedesaan. Bogor: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumaryanto dan A. R. Nurmanaf. 2007. Simpul- Simpul Strategis Pengembangan
Asuransi PertanianUntuk Usaha Tani Padi di Indonesia. Jurnal Forum
Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 25, No. 2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.
http://www.antaranews.com/
http://www.depkeu.go.id/
http://www.muamalatbank.com/
http://www.paskomnas.com/
http://www.suaramerdeka.com/
http://tanamanpangan.deptan.go.id/

20