pengertian ijtihad dan pembahasannya Id

IJTIHAD DAN MUJTAHID
Materi diskusi
Mata Kuliah: USHUL FIQIH
Dosen pengampu:
Syaiful Bahri, M.HI

Oleh
Ghamal Sholeh H.

(932113714)

Dody Utomo

(932113114)

Musta’in Asyhari

(932115014)

Jurusan Tarbiyah
Prodi Pendidikan Agama Islam

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya sosial masyarakat akan menimbulkan
permasalahan baru yang semakin kompleks. Permasalan-permasalahan itu
perlu adanya pengkajian guna penetapan hukum yang sesuai dengan ajaran
yang disyariatkan agama.
Penetapan hukum itu tidaklah segampang membalik telapak tangan
melainkan membutuhkan pemikiran-pemikiran yang harus berdasar pada
hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas
persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh Al-Qur’an dan
Hadits. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting.
Bukan hanya tahu hukum al Qur’an dan hadist saja, seorang yang akan
berijtihad harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni dalam ijtihadnya.
B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?
2. Apa dasar hukum Ijtihad ?
3. Apa saja objek Ijtihad ?
4. Apa saja syarat-syarat dalam melakukan ijtihad ?
5. Apa saja metode-metode yang digunakan dalam Ijtihad ?
6. Apa saja macam-macam Ijtihad ?
7. Bagaimana hukum melakukan Ijtihad ?
8. Bagaimana tingkatan seorang mujtahid ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd,yang berarti al-thaqah
(daya,kemampuan,kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti almasyaqqah (kesulitan,kesukaran).Dari itu,ijtihad menurut pengertian
kebahasaannya “badzl al-wus’wa al-majhud” (pengerahan daya dan
kemampuan),atau pengerahan daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas
dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.1
Dengan kata lain,ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan
seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang

hukum sesuatu melalui dalil syara’.2
Sedangkan

ijtihad

menurut

istilah

ulama’

ushul

adalah

mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya
yang rinci diantara dalil syara’.3
B. Dasar Hukum Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar ijtihad adalah al-qur’an dan
hadits.Diantara ayat al-qur’an yang menjadi dasar sebagai ijtihad adalah

sebagai berikut:

        
Artinya:dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil haram.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh
dari masjidil haram,apabila akan shalat,dapat mencari dan menentukan
1

Nasrun Rusli.KONSEP IJTIHAD AL-SYAUKANI.(Cet I,Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu,1999)hlm 73-74
Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka Setia,2010)hlm 99
3
Abdul Wahhab Khallaf.Ilmu Ushul Fiqih.(Cet I,Jakarta:Pustaka Amani,2003)hlm 317
2

arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan
indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Adapun keterangan dari sunnah,yang menjadi dasar berijtihad
diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :
”apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia
menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu
pahala”
Dan hadis Mu’adz ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya
ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman:
Rasulullah

bertanya:’’dengan

apa

kamu

menghukumi?”Ia

menjawab,’’dengan apa yang ada dalam kitab allah.Bertanya
Rasulullah,’’jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab allah’’?Dia
menjawab aku memutuskan dengan apa yang diputuskan

Rasulullah’’.Rasulullah bertanya lagi,’’jika tidak mendapatkan
dalam ketetapan Rasulullah?’’ Berkata Mu’adz,’’aku berijtihad
dengan pendapatku.’’Rasulullah bersabda,’’aku bersyukur kepada
allah yang telah menyepakati utusan dari Rasulnya.
Dari dialog antara Mu’adz ibnu Jabal dengan Nabi Muhammad
SAW,dapat diambil kesimpulan bahwa selama masih ada nash-nash yang
mengatur sesuatu itu dalam al-qur’an,maka dapat menggunakan alqur’an,apabila tidak ada dalam al-qur’an menggunakan hadits nabi,dan
bilamana dari hadis Rasulullah SAW tidak terdapat aturannya atau apabila
tidak ada nash (dalil) tertulis,barulah diperlukan ijtihad.4
C. Objek Ijtihad

4

Khairul Uman & Achyar Aminudin.USHUL FIQIH II.(Cet I,Bandung:CV Pustaka
Setia,1989)hlm 132-133

Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash
yang jelas dan pasti.Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syara’nya
itu telah ditunjukkan oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta
maknanya adalah pasti,maka tidak ada peluang untuk ijtihad.5

Menurut Al-Ghazal,objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil yang qathi.Dari pendapatnya itu,diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian,syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian :
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad,yaitu
hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok
islam,yang berdasarkan dalil-dalil yang qathi,seperti kewajiban
melaksanakan
melakukan

shalat,zakat,puasa,haji,atau
zina,mencui,dan

lain-lain.Semua

haramnya
itu

telah


ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum yang
didasarkan

pada

dalil-dalil

yang

bersifat

dzanni,baik

maksudnya,petunjuknya,serta hukum-hukum yang belum ada
nash-nya dan ijma’ para ulama’.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih dzanni,hadis ahad
misalnya,maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaraya
adalah


meneliti

bagaimana

sanadnya,derajat

para

perawinya,dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya,maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara
menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal,seperti
qiyas,istihsan,maslahah mursalah,dan lain-lain.6

5

Abdul Wahhab Khallaf.Ilmu Ushul Fiqih.(Cet I,Jakarta:Pustaka
Amani,2003)hlm 317
6
Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka

Setia,2010)hlm 107

D. Syarat-syarat Melakukan Ijtihad
Ulama’ ushul fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan syaratsyarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan
ijtihad).Secara umum,pendapat mereka tentang persyaratan seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat alqur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.Dalam
arti,membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi
SAW yang berhubungan dengan masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan
oleh ijma’ agar dalam menentukan hukum sesuatu tidak
bertentangan dengan ijma’.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat
mempergunakannya dalam proses istinbath hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam.Sebab,al-qur’an dan
hadits sebagai sumber hukum islam tersusun dalam gaya
bahasa Arab yang tinggi.
6. Mengetahui pengetahuan mendalam tentang nasikh-mansukh
dalam al-qur’an dan hadits agar dalam menggali hukum tidak

menggunakan ayat al-qur’an atau hadits yang telah dinaskh
(hapus).
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dan
sebab-sebab keluarnya hadits (asbabul al-wurud),agar dapat
menggali hukum secara tepat.
8. Mengetahui sejarah para perawi hadits,agar dapat menilai suatu
hadits,apakah dapat diterima atau ditolak.Sebab,penentuan
derajat atau penilaian suatu hadits bergantung sekali pada ihwal
suatu perawi,yang lazim disebut sanad hadits.

9. Menguasai kaidah-kaidah ushul fiqih sehingga mampu
mengolah

dan

menganalisis

dalil-dalil

hukum

untuk

menghasilkan sebuah hukum suatu permasalahan yang akan
digali hukumnya.7
10. Mengetahui maqashidu asy-syari’ah (tujuan syari’at) secara
umum,karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan
maqashidu asy-syari’at atau rahasia disyari’atkannya suatu
hukum.Sebaiknya,mengambil rujukan pada istihsan,maslahah
mursalah,urf,dan sebagainya yang menggunakan maqashidu
asy-syari’at sebagai standarnya.Maksud dari maqashidu asysyari’at antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan
menjauhkan dari kemudharatan.8

7

Suyatno.DASAR-DASAR ILMU FIQIH & USHUL FIQIH.(Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media,2011)hlm183-184
8
Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka
Setia,2010)hlm 106

E. Metode-metode Ijtihad
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad.Di antara
metode atau cara berijtihad yaitu:
1. Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.
2. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya di dalam al-qur’an dan hadits dengan hal lain
yang hukumnya disebut dalam al-qur’an dan hadits karena
persamaan ‘illat (penyebab atau alasan)nya.
3. Maslahah mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal
yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam al-qur’an maupun
hadits,berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat
atau kepentingan umum.
4. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial.Istihsan merupakan metode yang unik
dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan
analogi yang ketat dan bersifat lahiriyah demi kepentingan
masyarakat dan keadilan.
5. Istishab adalah penetapan hukum sesuatu hal menurut keadaan
yang

terjadi

mengubahnya,atau

sebelumnya,sampai
dengan

kata

ada
lain

dalil
istishab

yang
adalah

melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
6. ‘urf adalah metode Ijtihad yang dilakukan untuk mencari solusi
atas permasalahan yang berhubungan dengan adat istiadat.
Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa
dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita.9
9

Mohammad Daud Ali.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.(Cet
VIII,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000)hlm108-111

F. Macam-macam Ijtihad
Ijtihad dapat dibagi menjadi:
1. Ijtihad Al-Bayani,yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukumhukum syara’ dari nash.
2. Ijtihad Al-Qiyasi,yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang
tidak

terdapat

dalam

Al-Qur’an

dan

Hadits

dengan

menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad Al-Istislah,yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang
tidak terhadapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istislah.
Menurut Muhammad Taqiyu al-hakim,pembagian ijtihad di atas
masih belum sempurna.Menurutnya ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua
bagian saja:
1. Ijtihad al-aqli,yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal
tidak menggunakan dalil syara’.Mujtahid dibebaskan untuk
berfikir,dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
2. Ijtihad syari,yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’,termasuk
dalam pembagian ini adalah ijma’,qiyas,istihsan,istislah,’urf,
istishab,dan lain-lain.10

10

Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka
Setia,2010)hlm 104

G. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama’,bagi seseorang yang sudah memenuhi
persyaratan ijtihad,ada empat hukum yang bisa dikenakan pada orang
tersebut berkenaan dengan ijtihad,yaitu:
1. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihadnya,dan tidak boleh taqlid kepada orang
lain.Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum allah
terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk
hukum allah.
2. Juga dihukumi fardu ain jika ditanyakan tentang suatu
permasalahan yang belum ada hukumnya.Karena jika tidak
segera dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam
mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah,jika permasalahan yang diajukan
kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya,atau ada
orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syaratsyarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunnah apabila berijtihad terhadap suatu peristiwa
atau permasalahan yang belum terjadi,baik ditanya ataupun
tidak.
5. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan
yang sudah ditetapkan secara qathi,sehingga hasil ijtihadnya itu
bertentangan dengan dalil syara’.11

11

Ibid,hlm 107-108

H. Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid,adapun tingkatan
mujtahid menurut para ulama’ dibagi menjadi lima tingkatan,diantaranya:
 Pertama,al-Mujtahid

al-Mustaqill,yaitu

mujtahid

yang

membangun fiqih atas dasar metode dan kaidah yang
ditetapkannya sendiri.Atau dengan kata lain,mujtahid tersebut
memiliki ushul fiqih dan fiqih sendiri,yang berbeda dari ushul
fiqih dan fikih mujtahid yang lain.
 Kedua,al-Mujtahid
seseorang

yang

al-Mutlaq
telah

ghair

memenuhi

al-Mustaqill,yaitu
syarat-syarat

untuk

berijtihad,tetapi tidak memiliki metode tersendiri dalam
melakukan ijtihad,ia melakukan ijtihad sesuai dengan metode
yang telah digariskan oleh salah seorang imam dari imamimam madzab.Contoh mujtahid peringkat ini,antara lain Abu
Yusuf pengikut

Abu Hanifah,ibnu al-Qashim pengikut

Malik,al-Muzani dari kalangan pengikut al-Ayafi’i.
 Ketiga,al-Mujtahid

al-Muqayyad

atau

al-Mujtahid

al-

Takhrij,yaitu seseorang yang telah memiliki syarat-syarat
berijtihad,mampu

menggali

hukum

dari

sumber-

sumbernya,tetapi tidak mau keluar dari dalil-dalil dan
pandangan imamnya.Kendati demikian,dalam masalah-masalah
yang tidak dibicarakan oleh imamnya,ia tampil untuk mengistinbathkan hukumnya.Dengan demikian,peringkat ini biasa
disebut Mujtahid fi al-Madzab (mujtahid dalam suatu
madzab).Di antar mujtahid pada peringkat ini yaitu:Hasan ibn
Ziyad,al-Sarakhsi dari madzab Hanafi;ibn Abi Zaid dari
madzab Maliki;Abu Ishaq al-Syirazi dari madzab Syafi’i.

 Keempat,Mujtahid al-Tarjih,yaitu ahli fiqih yang berupaya
mempertahankan madzab imamnya,mengetahui seluk-beluk
pandangan imamnya,dan mampu men-tarjihkan pendapat yang
kuat dari imam dan pendapat-pendapat yang terdapat dalam
madzabnya.Contoh: al-Quduri dan al-Marginani dari madzab
Hanafi.
 Kelima,Mujtahid al-Fatwa,yaitu ahli fiqih yang berupaya
menjaga

madzabnya,mengembangkannya,dan

mengetahui

seluk-beluknya,serta mampu memberikan fatwa dalam garis
yang telah ditentukan oleh imam madzabnya.12

12

Nasrun Rusli.KONSEP IJTIHAD AL-SYAUKANI.(Cet I,Jakarta:PT Logos Wacana
Ilmu,1999)hlm 113-114

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan.Bahwa ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum.Dasar yang dijadikan ijtihad bersumber dari al-qur’an
dan hadis sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Objek yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum yang didasarkan
pada dalil-dalil yang bersifat dzanni,baik maksudnya,petunjuknya,serta hukumhukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama’.
Di dalam melakukan ijtihad tidak sembarang orang bisa melakukannya,
seorang mujtahid yang ingin melakukan ijtihad diharuskan memenuhi syaratsyarat yang sudah ditentukan.Terdapat beberapa beberapa metode dalam
melakukan ijtihad diantaranya ijma,qiyas,maslahah mursalah,istihsan,istishab,dan
lain-lain.
Ijtihad dapat dibagi menjadi,Ijtihad Al-Bayani,Ijtihad Al-Qiyasi,Ijtihad AlIstislah.Menurut Muhammad Taqiyu al-hakim,pembagian ijtihad di atas masih
belum sempurna.Menurutnya ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja
yaitu Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syari.
Menurut para ulama’,bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan
ijtihad,ada empat hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan
dengan ijtihad,yaitu fardu ain,fardu kifayah,sunnah dan haram.
Mujtahid menurut para ulama’ dibagi menjadi lima tingkatan,diantaranya
al-Mujtahid al-Mustaqill,al-Mujtahid al-Mutlaq ghair al-Mustaqill, al-Mujtahid alMuqayyad atau al-Mujtahid al-Takhrij,Mujtahid al-Tarjih,Mujtahid al-Fatwa.

DAFTAR PUSTAKA
Ali,Mohammad Daud.2000.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia.Cet VIII,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf,Abdul Wahhab.2003.Ilmu Ushul Fiqih.Cet I,Jakarta:Pustaka Amani.
Rusli,Nasrun.1999.KONSEP IJTIHAD AL-SYAUKANI.Cet I,Jakarta:PT Logos
Wacana Ilmu.
Suyatno.2011.DASAR-DASAR ILMU FIQIH & USHUL FIQIH.Jogjakarta:ArRuzz Media.
Syafe’i,Rachmat.2010.ILMU USHUL FIQIH.Cet IV,Bandung: CV Pustaka Setia.
Uman,Khairul & Achyar Aminudin.1989.USHUL FIQIH II.Cet I,Bandung:CV
Pustaka Setia.