Makalah Kuliah PKN Unsur budaya politi

UNSUR-UNSUR BUDAYA POLITIK
Makalah Pendidikan Kewarganegaraan
Amir Fadhilah, M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 1 :
 Bayu Baidlowi
 Fitri Kamalia Putri
 Muhammad Fauzan
Azima
 Mutia Siti Muftianur
 Nur Annisa
 Reva Wijayanti
 Revianto Pancasila Putra
Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora
2017

A. Pendahuluan
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu
negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi
dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia

tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah).
Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari
orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat,
anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik
praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini
sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika
seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara
dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan
dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku
politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya,
pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas.
Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan
kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak
masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan

pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi
kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian
sumber-sumber masyarakat.

B. Pembahasan

Pengertian Budaya Politik
Budaya politik diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yng memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.
Pengertian Budaya Politik menurut para ahli :
1. Samuel Beer, budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang
bagaiman pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan
oleh pemerintah.
2. Sidney Verba, budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekskpresif dan nilai-nilai yang menegaskansuatu situasi dimana tindakan politik
dilakukan.
3. Larry Diamond, budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan
evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negara mereka dan peran masing-masing
individu dalam sistem itu.

4. Mochtar massoed. Budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara
terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.
5. Miriam Budiardjo, Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan
politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup
pada umumnya.
6. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr, Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari
populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka
dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual
berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi,
sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A.
Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik
yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap
berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari
komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki

orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah
dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya.
Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan
sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponenkomponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan

pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang
memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Dengan memahami pengertian budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua mannfaat,
yakni:
a. Sikap warga Negara terhadap system politik akan mempengaruhi tuntutan, tanggapan
dukungan, serta orientasinya terhadap system politik itu.
b. Hubungan antara budaya politik dengan system politik atau factor – factor apa yang
menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti

Komponen – Komponen budaya Politik
Menurut Ranney, budaya politik memiliki dua komponen utama, yaitu orientasi kognitif
(cognitive orientations )dan orientasi afektif (affective orientation). Sementara
itu, Almond dan Verba dengan

lebih
komprehensif
mengacu
pada
apa
yang
dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe – tipe orientasi, bahwa budaya politik
mengandung tiga komponen objek politik berikut :
a. Orientasi kognitif: berupa pengetahuan tentang kepercayaan pada politik, peranan, dan
segala kewajiban serta input dan outputnya.
b. Orientasi afektif: berupa perasaan terhadap system politik, peranannya, para actor, dan
penampilannya.
c. Orientasi evaluatif: berupa keputusan dan pendapat tentang objek – objek politik yang
secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria informasi dan perasaan.
Dengan menggunakan ketiga komponen orientasi tersebut, tentu saja kita dapat mengukur
bagaimana sikap individu atau masyarakat terhadap sistem politik sebagai berikut.
Komponen Obyek Politik
Komponen Kognitif
Komponen Afektif
Komponen Evaluatif

Kita dapat menilai tingkat Akan berbicara tentang aspek Orientasi politik ditenpengetahuan seseorang pera-saan seorang warga negara
tukan oleh evaluasi
me-ngenai jalannya sistem terha-dap aspek-aspek sistem
moral yang memang
politik, tokoh-tokoh pemepolitik ter-tentu yang dapat
telah dipunyai seseorang
rintahan, kebijaksanaan
membuatnya menerima atau
yang mereka ambil, atau menolak sistem politik itu secara
menge-nai simbol-simbol
keseluruhan. Keluarga dan
yang di-miliki oleh sistem lingkungan hidup seseorang, pada
politiknya.
umumnya berpe-ngaruh terhadap
pembentukan perasaan individu
yang bersang-kutan terhadap
aspek-aspek sistem politik.
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
 Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
 Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)


 Budaya politik partisipatif (aktif)

Tipe-tipe Budaya politik
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama
yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari
sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap
”militan” atau sifat ”tolerasi”.
A. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik,
tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi
selalu sensitif dan membakar emosi.
B. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha
mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap
netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat
menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi

pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan.
Budaya Politik terbagi atas :
 Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan
kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang
diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau
menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan).
Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis
terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi
selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut
terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
 Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja
yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri,
dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah
untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih

sempurna.

Berdasarkan Orientasi Politiknya
Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka
setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbedabeda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond
mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
1. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial ditandai dengan rendahnya minat, wawasan, serta partisipasi masyarakat
terhadap segala hal yang berkaitan dengan politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Contoh
budaya politik parokial dapat ditemukan pada masyarakat pedalaman yang masih menganut
sistem adat dan kepercayaan tradisional yang dipimpin oleh ketua adat dan para tetua.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun
kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena
itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial,
hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini
bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika,
Asia, dan Amerika Latin.

Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni
partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik,
yaitu :
1. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
2. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
3. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Mochtar Mas’ud dan Colin McAndrews mengklasifikasikan karakteristik budaya parokial
sebagai berikut:







Ruang lingkup yang kecil,
Anggota masyarakat sama sekali tidak menaruh minat pada hal-hal yang berkaitan
dengan politik dan pemrintahan,
Tidak adanya peranan politik yang bersifat eksklusif,

Anggota masyarakat tidak memiliki pengetahuan tentang adanya kewenangan pusat yang
dikendalikan oleh pemerintah,
Masyarakat tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap sistem politik,
Sistem politik bersifat afektif.

2. Budaya Politik Kaula (subyek political culture)
Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah
relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu
masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap
pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai
penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah
rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang
memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah.
Budaya politik kaula memiliki karakteristik sebagai berikut:
Masyarakat sadar akan adanya otoritas dari pemerintah,
Masyarakat cenderung patut terhadap aturan apapun yang dibuat pemerintah dan enggan
memberikan kritik atau masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan serta
pembuatan kebijakan,
Sikap masyarakat yang cenderung pasif dalam berbagai kegiatan politik.
Tingkat ekonomi dan sosial masyarakat tergolong maju, namun partisipasi dalam
kegiatan politik masih rendah.
3. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang
sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan
juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki
pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki
pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah
dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang
berlangsung.
Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas,
meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau
menolak.
Menurut Bronson dan kawan-kawan dalam bukunya Belajar Civic Education dari
Amerika,beberapa karakter publik dan privat sebagai perwujudan budaya partisipan sebagai
berikut:
A. Menjadi anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi :
a. Kesadaran pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena
keterpaksaan atau pengawasan dariluar;
b. Bertanggung jawab atas tindakan yang di perbuat;
c. Memenuhi kewajiban moral dan hukum sebagai anggota masyarakat demokrtis.

B. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan dibidang ekonomi dan
politik. Tanggung jawab ini antara lain meliputi:
1. Memelihara atau menjaga diri;
2. Memberi nafkah dan merawat keluarga;
3. Mengasuh dan mendidik anak.
4. Menentukan pilihan (voting);
5. Membayar pajak.
6. Menjadi juri di pengadilan;
7. Melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
C. Mengembangkan fungsi demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi:
1. Sadar informasi dan kepekaan terhadap unsur-unsur publik;
2. Melakukan penalahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional;
3. Memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik agar
sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi;
4. Mengambil langkah-langkah yang di perlukan bila ada kekurangannya.
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga
model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
Demokratik Industrial
Sistem Otoriter
Demokratis Pra Industrial
Dalam sistem ini cukup
Di sini jumlah industrial dan
Dalam sistem ini hanya
banyak aktivis politik untuk
modernis sebagian kecil,
terdapat sedikit sekali partimenjamin adanya kompetisi meskipun terdapat organisasi sipan dan sedikit pula keterpartai-partai poli-tik dan
politik dan partisipan politik
libatannya dalam pemekehadiran pemberian suara seperti mahasiswa, kaum inrintahan
yang besar.
telektual dengan tindakan
persuasif menentang sis-tem
yang ada, tetapi seba-gian besar
jumlah rakyat hanya menjadi
subyek yang pasif.

Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong
aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar
peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas
menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak
diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat
menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif
rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan pola
kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya
mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciriciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut

merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam
masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik
di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau
militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut
dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri
pada kebijaksanaan para elite politik.
SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di
negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator
dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik
pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian
individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap
tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik.
Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini
tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin
bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi,
apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang
menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap
bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan
tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak
mungkin yang dihasilkan stagnasi
Pengertian Menurut Para ahli
David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization” : Sosialisasi politik adalah pola-pola
mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu
untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang
terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih
harus terus dipelajari.
Gabriel A. Almond : Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik
dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu

generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada
generasi berikutnya.
Alfian : Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan
itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal
tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan
Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus
selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung
dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik
secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok
kerja, media massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan
beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.
1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/
pola-pola aksi.
2. memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam
batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi,
motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
3. sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode
ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
4. bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik
secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan
disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap
pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut
pengalaman tersebut.

Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David
Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada
usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak
mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di
sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.

1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat
swasta dan pejabat pemerintah.
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres
(parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat
dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak
yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1. Tradisi : terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi
pada umumnya
2. Prestasi :ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
3. Pribadi :kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga
keamanan dan ketentraman.
5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan
mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik,
antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam
keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilainilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya
saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang
mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik
yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini
berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara
periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image”
memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan
senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan. Menurut
Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat
Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan
sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri
karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter
(percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan
agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka masingmasing.
4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan.
Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis
telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan
yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha
untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga melalui proses-proses
sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada
masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka
untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara
jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun,
si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
3. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan
perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga
terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya
dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan
lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat
serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama
dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non
totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter
sifat perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional
(cross-national) mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masingmasing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,

mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara
umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh
satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu
sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak
aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat,
kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan
hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang
melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang
manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si
individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik
dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan
bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi
anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik
cenderung berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan
terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota
muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama”
sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam pengertian
yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun
batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan
seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut
pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat
yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang
dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap
mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik
dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan
tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan
claim terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.
Berikut adalah bagan terbentuknya sikap politik (political attitude) melalui proses sosialisasi
politik.

Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan
dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada
sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah,
kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai politik
dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian
perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa
melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes) dan bisa pula tidak
nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
Sosialisasi Politik Laten
Berlangsung dalam bentuk transmisi
Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau
informasi, nilai-nilai atau perasaan
perasaan terhadap peran, input dan output mengenai
terhadap peran, input dan output
sistem sosial yang lain seperti keluarga yang
sistem politik.
mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan output
sistem politik yang analog (adanya persamaan).

Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya,
informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis
baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media
masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh
struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah
tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap
(attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda
dari kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus
informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber
informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan
pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat
mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif homogen dan otonom
sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat
melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera
mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.

Budaya politik yang berkembang di Indonesia
Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya harus di telaah dan di
buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :
 Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang
dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas,
kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
 Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik
partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak
dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi
dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan
primordial.
 Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya
berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap
keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
 kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan
sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap
asal bapak senang.
 Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan
pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Budaya Politik di Indonesia
1. Adanya Sistem Hierarki yang Ketat
Sistem hierarki umumnya banyak ditemukan pada kelompok masyarakat atau suku yang
menganut sistem patriarki seperti masyarakat Jawa. Hierarki pada masyarakat ini ditandai
dengan adanya stratifikasi sosial yakni penguasa dan rakyat kebanyakan.
Kedua lapisan stratifikasi sosial tersebut dipisahkan oleh tatanan hierarki yang ketat, seperti pola
perilaku dan cara berbicara.
Para penguasa atau golongan kelas atas dapat menggunakan bahasa yang kasar pada masyarakat
golongan kedua. Sebaliknya, masyarakat golongan kedua dituntut untuk dapat mengendalikan
tingkah laku dan cara bicara mereka saat berhadapan dengan golongan atas.
2. Kecenderungan Patronase
Kecenderungan patonase memiliki arti hubungan politik yang bersifat individual; contohnya
dapat ditemukan pada hubungan antara patron dan klien. Patron merupakan istilah bagi golongan
yang memiliki sumber daya berupa kekuasaan, jabatan, dan materi, sedangkan klien memiliki
sumber daya yang berupa tenaga, loyalitas, dan dukungan. Patron memiliki sumber daya lebih
besar sebab dapat menguasai klien dan menciptakan ketergantungan pada diri klien atas sumber
daya berupa kuasa yang dimiliki patron.
3. Kecenderungan Neo-Patrimonisalistik
Budaya politik di Indonesia juga menunjukkan adanya kecenderungan ke arah neopatrimonisalistik yang merujuk pada bentuk eksistensi budaya dan tradisi bangsa di tengah

kemunculan ideologi modern seperti demokrasi beserta segala atributnya, salah satunya adalah
birokrasi.
Ciri-ciri birokrasi modern tersebut di antaranya adalah:
 Adanya aturan-aturan yang mengatur sistem kerja sebuah organisasi serta perilaku para
anggota masyarakatnya,
 Adanya posisi atau jabatan yang memiliki tanggung jawab dan sanksi tegas,
 Adanya strukutur hierarkis yang membagi kekuasaan dan wewenang dari posisi paling
atas hingga paling bawah,
 Adanya anggota masyarakat yang dipekerjakan berdasarkan kualifikasi tertentu untuk
mengelola organisasi dan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan.

Faktor Penyebab Berkembangnya Budaya Politik Di Indonesia
1. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik
masyarakat
2. Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat
maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
3. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi system politik
yang lebih baik.
4. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil,independen,dan Bebas)
5. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai control sosial,bebas,dan
mandiri)

Dampak Perkembangan Budaya Politik
Perkembangan budaya politik yang dialami oleh masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia sejak
tahun 1945 sampai sekarang dijumpai berbagai dampak positif maupun negatif.
Dampak Positif Akibat Perkembangan Budaya Politik
a) Bagi Negara-Pemerintah
 Semakin transparan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan,
 Tidak sewenang-wenang terhadap rakyat
 Aspiratif terhadap kepentingan rakyat,
 Penataan kembali suprastruktur politik secara profesional,
 Memperoleh berbagai input dari pihak infrastruktur politik.
b) Bagi Masyarakat
 Merasa

puas

dalam

menyampaikan

pemerintah,
 Adanya jaminan hukum dalam berpolitik

input

kepada

pihak

 Tumbuh kesadaran untuk membudayakan politik yang benar,
 Menambah wawasan di bidang politik-demokrasi,
 Meningkatnya semangat dalam mengekspresikan budaya politik.
Dampak Negatif/Resiko Akibat Perkembangan Budaya Politik
a) Bagi Negara-Pemerintah
 menggoyahkan pendirian dalam membuat kebijakan,
 Pelaksanaan kebijakan politik menjadi telambat/terhambat,
 Sulitnya menampung aspirasi rakyat yang sangat kompleks,
 Beratnya mengatasi masalah keamanan yang selalu rawan,
 Sulitnya anggaran untuk memenuhi seluruh tuntutan rakyat.
a) Bagi Masyarakat
 Ketidakpuasan atas sikap pemerintah yang pasif,
 Banyaknya pengorbanan dalam upaya pembaharuan budaya
politik,
 Mereka yang awam semakin sulit menyesuaikan diri,
 Dapat mengabaikan dirinya jika terlalu fanatik politik,
 Dapat menimbulkan kekacauan jika berpolitik secara emosional

PENUTUP
Berdasarkan uraian makalah diatas, maka dapat kita tarik beberapa kesimpulan. Diantaranya adalah
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Selain
itu beberapa ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian budaya politik.
Kita juga dapat mengetahui tipe tipe dari budaya Politik. Baik .Dilihat berdasarkan Sikap Yang
Ditunjukkan ataupun Dilihat Berdasarkan Orientasi Politiknya. Selain itu kita juga dapat mengetahui
pengertian dari sosialisasi politik. Sosialisasi Politik adalah salah satu dari fungsi-fungsi input sistem
politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis,
otoriter, diktator dan sebagainya. Dan juga ada beberapa pendapat para ahli mengenai sosialisasi
politik ini.
Melalui makalah ini kita juga dapat menyimpulkan bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam
budaya politik, selain itu kita juga dapat mengetahui faktor penyebab berkembangnya budaya politik
di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9986587/Makalah_Budaya_Politik
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik
https://www.academia.edu/6194402/MAKALAH_BUDAYA_POLITIK



http://restukadilangudemak.blogspot.co.id/2013/04/makalah-budayapolitik.html#