Makalah Peserta Didik revisi Makalah

Makalah Peserta Didik
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya penulis
dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Peserta Didik”. Sholawat serta salam
penulis sanjung agungkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan sampai terang benderang
sekarang ini. Makalah ini dibuat selain untuk melengkapi tugas hadits tarbawi,
juga memberi wawasan bagi pembaca dan penulis khususnya.
Makalah ini berusaha untuk menyajikan pengetahuan dan penjabaran
tentang Peserta Didik yang bermafaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sebuah kesempurnaan, maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi penulis
agar menjadi pelajaran yang berharga khususnya bagi penulis dan pembaca.

Bandar lampung,…Maret 2012
Penulis


DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................ iii
A. Latar belakang............................................................................ iii
B. Rumusan masalah............................................................. iv
C. Tujuan Masalah................................................................ iv
BAB II PEMBAHASAN.............................................................. 1
A. Pengertian Peserta Didik.................................................. 1
B. Aspek / Kebutuhan Peserta Didik.................................... 2
C. Dimensi-dimensi Peserta Didik......................................... 7
D. Tingkat Intelegensi Peserta Didik..................................... 13
E. Etika Peserta Didik........................................................... 18
BAB III PENUTUP...................................................................... 21
A. Kesimpulan ...................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Salah satu komponen dalam system pendidikan adalah adanya peserta
didik, peserta didik merupakan komponen yang sangat penting dalam system
pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak
ada yang dididiknya.
Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar, yang perlu
dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik
pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun dilingkkungan masyarakat
dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus memahami hak dan kewajibanya serta
melaksanakanya. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh peserta didik,
sedangkan kewajiaban adalah sesuatu yang wajib dilakkukan atau dilaksanakan
oleh peserta didik.
Namun itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena
seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang dimensidimensi yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu sendiri,
kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi tersebut, maka potensi
yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan, dan peserta

didikpun juga mengenali potensi yang dimilikinya.
Dalam makalah ini, kami mencoba menghidangkan persoalan-persoalan
diatas guna mncapai tujuan pendidikan yang diharapakan, khususnya dalam
pendidikan Islam.

B.
Rumusan Masalah
Adapun dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1.
C.

Pengertian peserta didik
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui pengertian peserta didik dan bagian-bagiannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Peserta Didik

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu
yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan
bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari
struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun fikiran.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu
peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan
untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta
didik berada pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang
tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa
peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan
bentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap
peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti
halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam
proses ini peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak
disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran
tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak

hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian
buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks
kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah
memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju
kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam
konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik
tersebut.

a.

Ciri-ciri peserta didik :

b.

1.

kelemahan dan ketak berdayaannya

2.


berkemauan keras untuk berkembang

3.

ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).[1]

Kriteria peserta didik :
Syamsul nizar mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :
1. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya
sendiri
2.

3.

peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan

peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik
disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.


4.

peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani
memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu

5.

peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[2]
Didalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah
objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan
sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan
sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan
tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang
dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan
mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
Sehingga agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang
berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang
pendidik harus mampu memahami peserta didik beserta segala karakteristiknya.
Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah :


1.

kebutuhannya

2.

dimensi-dimensinya

3.

intelegensinya

4.

kepribadiannya.[3]
Allah SWT berfirman :
salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

dipercaya” (Q.S. Al – Qashas 28:26).
B. Aspek / Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik

Pada sub bab sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk
mendapatkan keberhasilan dalam proses pendidikan maka seorang pendidik harus
mampu memahami karakteristik seorang peserta didik itu sendiri. Kemudian salah
satu dari nya adalah kebutuhan peserta didik.
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan
oleh peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik
tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya.
Menurut buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik
yang harus dipenuhi, yaitu :
a.

Kebutuhan Fisik
Fisik seorang didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :

1.


Peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih
mengalami masa kanak-kanak

2.

Peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah
mengalami masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal

3.

Peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami
masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[4]
Pada masa perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan
perubahan dan perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta
didik mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa
pubertas) yang secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik
itu sendiri.
Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik
harus selalu memberikan bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik
kepada arah kedewasaan yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik

yang dapat mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan
dalam perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.

b.

Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada
hakekatnya kata sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui
oleh seorang peserta didik dalam proses pendidikan.

Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan
lansung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan
masyarakat lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar.
Begitu juga supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang
tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar
peserta didik dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[5]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah
digunakan untuk memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada
hakekatnya adalah seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau
keberadaannya dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya
itu sendiri.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
c.

Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta
didik untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat
dibutuhkan oleh peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk
menumbuhkan sikap kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan
diri dalam lingkungan masyarakat.
Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik
ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang
benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah
lingkungan masyarakat.

d.

Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang peserta didik telah melewati masa anak dan memasuki
masa keremajaan, maka seorang peserta perlu mendapat sikap pendidik yang
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian
berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan karena ketika peserta telah menjadi
seorang remaja, dia akan memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan
dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk
dapat memilih langkah yang dipilihnya.

Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah
yang menyebabkan para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari
cara pandang mereka akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai
ambisi mereka tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan
utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta
menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik,
karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat
menghambat daya kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
e.

Kebutuhan Untuk Berprestasi
Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu
mendapatkan kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih
dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan
berprestasi. Ketika peserta didik telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut,
maka secara langsung peserta didik akan mampu mendapatkan rasa kepercayaan
diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan menuntutnun langkah peserta
didik untuk mendapatkan prestasi.

f.

Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena
kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan mental dan prestasi dari
seorang peserta didik. Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih
sayang dari orang tua akan sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik
untuk mendapatkan prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan
pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap
mental peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih
sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim
selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari
Allah. Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini
yang diharapkan para pakar pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi peserta
didik.

g.

Kebutuhan Untuk Curhat
Ktika seorang peserta didik menghadapi masa pubertas, meka seorang
peserta

didik

tersebut

tengah

mulai

mendapatkan

problema-probelama

keremajaan. Kebutuhan untuk curhat biasanya ditujukan untuk mengurangi beban

masalah yang dia hadapi. Pada hakekatnya ketika seorang yang tengah menglami
masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat.
Tindakan ini akan membuat seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia
rasakan dapat dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki
kesempatan untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan
membentuk sikap tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang
makin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta
didik untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
h.

Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun
terkadang ia tidak menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki
ide, keindahan, pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut.
Perasaan itulah yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya
ikatan filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari
bagaimana dia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup
sangat erat kaitannya dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing
manuasia untuk mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat
hidup. Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan
manusia, sehingga tatkala seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia
telah memiliki rasa iman. Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan
perkembangan usia peserta didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa
kanak-kanak, maka iman tersebut akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang
menciptakan saya, siapa yang dapat melindungi saya, siapa yang dapat
memberikan perlinfungan kepada saya. Namun iman ini dapat menurun
tergantung bagaiman ia beribadah.
Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
biologis dan psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka
penekanannya adalah pemenuhan kebutuhan anak didik terhadap agama karena
ajaran agama yang sudah dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik, akan
dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.[6]

Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia)
kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).
C.

Dimensi – Dimensi Peserta Didik
Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan
kepribadian di masa yang akan datang (kedewasaan).
Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam
Islam, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan
rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai
potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut
nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau
merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau
mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat
menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan
membawa fitrah.[7]
Didalam Sub Bab ini penulis hanya akan membahas 7 dimensi saja.
Adapun ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi
keberagamaannya, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi
sosial.

a.

Dimensi Fisik (Jasmani)
Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik.
Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan
makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih
sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang
dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink
bukanya akal.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya (QS. Attin :4).
Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik
dan biotik manusia dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang
sama, yaitu tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen

abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan
sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.
Ramayulis, dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang
menyatakan bahwa daya hidup yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan
yang sangat bergantung pada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar,
alat pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut,
dan sebagainya.[8]
b.

Dimensi Akal
Ramayulis dalam bukunya ia mengambil pendapat al – Ishfahami yang
membagi akal menjadi dua macam yaitu :
1. Aql Al-Mathhu’ : yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT
sebagai fitrah Illahi.
2. Aql al-masmu : yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang

dapat dikembangkan oleh manusia.[9] Akal ini tidak dapat dilepaskan dari
diri manusia, karena digunakan untuk menggerakkan akal mathhu untuk
tetap berada di jalan Allah.
Akal memiliki fungsi sebagai berikut :
1.
2.

Akal adalah penahan nafsu.

Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi.
sesuatu baik yang nampak jelas maupun yang tidak jelas.
3.

Akal adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan.

4.

Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.

5.

Adalah pandangan batin yang berpandangan tembus melebihi penglihatan

mata
6.

Akal adalah daya ingat mengambil dari masa lampau untuk masa yang akan
dihadapi.[10]
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan
bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya
ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti
ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi

ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang
kearah yang positif.
c.

Dimensi Keberagaman
Manusia sejak lahir

kedunia

telah

menerima

kodrat

sebagai

homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang percaya akan adanya tuhan
atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam diyakini bahwa pada saat janin
manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan ketika ditiupkan nyawa
kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin mengatakan bahwa aku akan
beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai
makhluk yang memiliki kepercayaan akan adanya tuhan sejak lahir. Dalam Ayat
Al-qur’an ditegaskan :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al – A’raf : 172)
Berkaitan dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki
tiga implikasi dasar pada diri manusia yang didasarkan dari adanya satu kesamaan
dari jutaan perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :
1.

impikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, dimana fitrah
dikembangkan seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi

2.

tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan berhasil jika
manusia menjalankan tugasnya sebagi abdullah dan kholifah

3.

muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan
metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.[11]

d.

Dimensi Akhlak
Kata akhlak dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat
diutamakan. Dalam islam akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama
sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
Akhlak menurut pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan
ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ

muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan
taqwa dan mempunyai tujuan langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.
Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, yaitu :
1.

bersifat menyeluruh atau universal

2.

menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi

3.

bersifat sederhana atau tidak berlebih-lebihan

4.

realistis, sesuai dengan akal dan kemampuan manusia

5.

kemudahan, manusia tidak diberi beban yang melebihi kemampuannya

6.

mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan, perbuatan, teori, dan

praktek
7.

tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip akhlak umum.[12]
Pendidikan akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan

tujuan untuk membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras,
bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu
disadari bahwasannya pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya
pengalaman pada diri peserta didik.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan
spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya
menjadi ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat
tersebut, maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri
sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat
kecerdasan yang paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.

Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang

sempurna
akan
2.

tentang ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut
makhluk.

Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk

kemajuan

hidup dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang

telah ada.
3.

Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua
keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan

pemikiran

akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam

sehingga membuat

manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan

sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat merasakan sifat
kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan
peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan,
serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
e.

Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Tidak jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani dalah adalah
dimensi yang sangat penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan
rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidu
bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan
sempurna debelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya.
Allah SWT berfirman :
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
(Al – hijr : 29).
Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan
al- nafs. Al-ruh adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, tuhan, dan
mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian,
berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia untuk
menjalankan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda dengan makhluk lainnya
dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan makhluk lain yang samasama memiliki al-nafs seperti halnya hewan dan tumbuhan.[13]
Menurut pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga
dengan sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat
yang setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat
yang serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan
untuk mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah.
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat
berkembang ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.

f.

Dimensi Seni (Keindahan)
Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri
manusia. Sehingga senia dalam diri manusia harus lah dikembangkan. seni dalam
diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan

utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan
menajalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual
yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
Dalam agama islam Allah telah menghadirkan dimensi seni ini didalam
Al-Qur’an. Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia
nan indah. Hal ini karena A-lqur’an adalah ekspresi dari Allah SWT untuk
memberikan kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga
kesastraan yang terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran
Illahi didalam mu’jizat yang bersifat universal ini.
Allah SWT berfirman :
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan (QS. An-nahl : 6)
Keindahan selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia.
Semakin tinggi iman yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat
merasakan keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
g.

Dimensi Sosial
Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah
golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam
dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik
untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar
manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada
perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan
yang dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial
yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain,
menolong sesama serta menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT. Nabi
SAW bersabda :
Demi allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman,
orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia
mengetahuinya.
D. Tingkat Intelegensi Peserta Didik
Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman,
kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus

Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri
dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan
dan kecerdasannya.
Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik
adalah kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang
baru berdasarkan tingkat kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau
kecerdasan dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat golongan,
yaitu :
1.

kecerdasan intelektual

2.

kecerdasan emosional

3.

kecerdasan spiritual

4.

Kecerdasan Qalbiyah.

1.

Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan
pengambangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ.
Ramayulis dalam bukunya menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan
yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk
berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.[14]
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan
proses berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam
aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan
atau memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis
(logika). Secara umum kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :

·

Tingkat Inteltua

·

Super normal

·

Normal dan sedikit dibawah normal

·

Sub Normal

-

Normal atau subnormal, IQ 90 – 110

-

Berdorline, IQ 70 – 90

-

Debil, IQ 50 – 70

-

Insibil, IQ 25 – 50

-

Idiot, IQ 20 – 25”

-

Genius, IQ diatas 140

-

Gifted, IQ 130 – 140
Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam
Isbani, mengatakan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. berkelainan sosial
2. berkelainan jasmani
3. berkelainan mental
1. anak nakal/ delinquen
2. anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat
1. anak timpang
2. anak berkelainan penglihatan
3. anak berkelainan pendengaran
4. anak berkelainan bicara
5. anak kerdil
1. tingkat kecerdasan rendah
2. tingkat kecerdasan tinggi.[15]

2. Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan
untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati,
menjaga akan beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan
berdo’a.[16]
Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling
berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri
digunakan untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan
emosional yang dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan
motivasi, mendorong kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga
dengan adanya kecerdasan dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu

memotivasi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif,
bahkan diharapakan dengan adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu
untuk menghilangkan rasa malas yang timbul pada dirinya.
Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan
kecerdasan emosional, sebagai berikut :
1. Konsistensi (istiqamah)
2. Kerendahan hati (tawadhu’)
3. Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
4. Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
5. Keseimbangan (tawazun)
6. Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[17]
Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginankeinginan, yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk
melakukan hal-hal yang posistif.
Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai
berikut :
1.

Respon yang cepat namun ceroboh

2.

Mendahulukan perasaan daripada fikiran

3.

Realitas simbolik yang seperti anak-anak

4.

Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang

5.

Realitas yang ditentukan oleh keadaan.[18]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional yang bekerja secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak
didampingi oleh pemikiran yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual)
dikhawatirkan malah akan mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal
yang negatif atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional
prespektif, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang
tinggi harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

1.

musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan

baik dan
2.
3.

membuang perbuatan buruk

muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari
muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah

dilakukan
4.

mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan
menghukum diri sendiri.[19]

3.

Kecerdasan Spiritual
Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup.
Kecerdasan spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni
berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu
yang bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat
memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan
atau memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan
spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya
menjadi ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat
tersebut, maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri
sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat
kecerdasan yang paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1.

Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang
sempurna tentang ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut
akan makhluk.

2.

Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan
hidup dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.

3.

Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua
keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran
akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat
manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh
yang mebuat hati bergetar ketika dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.

Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan
peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan,
serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
h.

Kecerdasan Qalbiyah
Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam
pengertian istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk
memahami kalbu dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna
sehingga dapat menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan
ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan
kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan
yang lebih tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai
kecerdasan agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki
kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual.
Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan
qalbiyah adalah:
1.

respon yang intuitif ilabiab

2.

lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan

3.

realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi

dengan
4.

realitas obyektif

didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan dan pensucian
diri.[20]

E.

Etika Peserta Didik
Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses
pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis,
menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :

1.

Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari
akhlak yang rendah dan watak yang tercela.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepadaku (Ad-dzariat : 56)
2.

Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi.
Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
sekarang
(Adh Dhuha : 4)

3.

Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi
untuk kepentingan pendidikannya.

4.

Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran

5.

Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk
duniawi.

6.

Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju
pelajaran yang sukar.

7.

Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya,
sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.

8.

Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.

9.

Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang
dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.[21]
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam
menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus
dimilkinya, yaitu :
1.

Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut
ilmu.

2.

Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat
keutamaan.

3.

Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai
tempat.

4.

Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.

5.

Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.[22]

Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat
akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.

Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa
sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan
dengan hati yang bersih.

2.

Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi
jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.

3.

Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan
sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.

4.

Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan
beberapa cara yang baik.[23]

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang peserta didik dalam pendidikan islam dalam
bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Peserta didik adalah individu yang mengalami perkembangan dan
perubahan, sehingga ia harus mendapatkan bimbingan dan arahan untuk
membentuk sikap moral dan kepribadian.
2. Kebutuhan peserta didik yang berupa kebutuhan fisik, sosial, mendapatkan
status, mandiri, berprestasi, ingin disayangi dan dicintai, curhat, dan
mendapatkan filsafat hidup harus dipenuhi oleh pendidik untuk menunjang
perkembangan dan pembentukan sikap moral peserta didik sebagai insan
kamil.
3. Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi
akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara
baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak
mulia dan dapat disebut sebagai insan kamil.

4. Peserta didik akan melampaui kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual ketika ia telah mencapai tingkatan ilmu yang melibihi tingkatan
kecerdasan qalbiyah, yaitu kecerdasan agama.
5. Etika peserta didik dalam proses pendidikan islam sangatlah berperan
penting dalam proses perkembangan dan pencapaian peserta didik sebagai
insan kamil.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu dkk. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.
Supriono,Widodo. Filsafat Manusia dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta,
1996.
Vandha. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.

[1] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT
Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal 40
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77
[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42
[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[7] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat
Pendidikan Islam, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 1996, Hal. 171
[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[10] Ibid., Hal. 86
[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[12] Ibid., hal 89 – 90
[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16
[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97
[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46
[16] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke
9
Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45
[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun
Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199
[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta,
2004, Hal. 98
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119

[23] Ibid, Hal 120

SALANJUTNYA

makalah hadits tarbawi: hadits tentang peserta didik

MAKALAH HADITS TARBAWI: PESERTA DIDIK dan PERAN SERTA
DALAM PENDIDIKAN
I.

PENDAHULUAN
Peserta didik adalah orang yang memilii potensi dasar, yang
perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik melalui fsik maupun
psikis, baik itu pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di
lingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada. Potensi dasar itu
sering disebut sebagai ftrah.. dalam menentukan potensi ftrah
tersebut orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam
pendidikan.
Secara kodrati anak memerlukan pendidikan atau bimbingan
karena dipahami sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus
dimiliki seorang anak. Manusia akan menemukan status sebagai
manusia apabila telah mendapatkan pendidikan. Untuk itu pendidikan
bagi anak menjadi factor penting dalam memanusiakan manusia.
Melalui pendidikan itulah manusia dapat menemukan pengetahuan,
kecakapan, dan keahlian dalam kehidupannya.
Sebagai makhluk yang imitasi (meniru) pendidikan menjadi hal
yang harus diberikan pada anak. Tanpa dididik anak tidak akan mampu
mengembangkan ftrah kebaikan yang dibawa sejak lahir tersebut.
Untuk itu pendidikan terhadap anak harus dioptimalkan sehingga
segala potensinya dapat berkembang dan bermanfaat dalam
hidupnya diwaktu akan dating. Dengan pendidikan anak akan mampu
membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, dan lain
sebagainya sehingga hidupnya dapat berkualitas dan dapat berhasil
sesuai apa yang diharapkan.
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hadits terkait
dengan peserta didik meliputi hadits tentang ftrah anak, kemuliaan
martabat peserta didik, keutamaan peserta didik, dan lain-lain

II.

RUMUSAN MASALAH

A. Apa pengertian peserta didik ?
B. Bagaimana hadits tentang peserta didik ?

III.

PEMBAHASAN

A. Pengertian peserta didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Sedangkan secara terminology peserta didik adalah
anak atau individu yang mengalami perubahan, pertumbuhan dan
perkembangan, sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan
dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian struktural proses
pendidikan. Bengan kata lain peserta didik adalah seorang individu
yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik
dari segi fsik, mental maupun psikis.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan
tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan,
bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat
dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita
selalu mendapatkan bantuan dari orang tuanya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mewah
(raw material) yang harus diolah dan dibentuk sehingga menjadi suatu
produk pendidikan. Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat
dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau
kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga,
pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam
konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang
pendidik adalah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada
peserta didik menuju kesempurnaan atau sesuai dengan
kedewasaannya.
kriteria peseta didik :
Syamsul nizar mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu:

a.

Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa

b.

peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki
dunianya sendiri

c.

peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan

d.

peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu
baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia
berada.

e.

peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur
jasmani memiliki daya fsik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati
nurani dan nafsu

f.

peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau ftrah yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. 1[1]
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang
berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan
yang secara langsung berperan sebagai subyek atau individu yang
perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan
individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang
peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan
membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan
tersebut. Sehingga agar seorang pendidik harus mampu memahami
peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang
harus dipahami adalah:

1.

kebutuhannya

2.

dimensi-dimensinya

3.

intelegensinya

4.

kepribadiannya.2[2]

B. Hadits tentang peserta didik
Karakteristik peserta didik

1

[1]

Vandha. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. (Jakarta. 2008) hlm. 72

[2]
2
Widodo Supriyono, filsafat Manusia dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 1996) hlm. 105

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan ftrah yaitu suci,
sebagian ulama mengatakan bahwa ftrah tersebut adalah potensi
beragama. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

َ ‫صلَى‬
َ ‫َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َرضِ َي‬
‫اُ َع َل ْي ِه َو َسلَم ُك ُل َم ْولُو ٍد يُو َل ُد‬
َ ُ‫اُ َع ْن ُه َقا َل َقا َل ال َن ِبي‬
،‫َع َلى ْالف ِْط َر ِة َفأ َ َب َواهُ ُي َهوِ دَا ِن ِه أَ ْو ُي َنص َِرا ِن ِه أَ ْو ُي َمجِ َسا ِن ِه َك َم َث ِل ْال َب ِه ْي َم ِة ُت ْن َت ُج ْال َب ِه ْي َم َة‬
‫َه ْل َت َرى فِ ْي َها َج ْد َعا َء رواه البخارى ومسلم وأبوداود والترمذى والنسائى ومالك‬
‫وغيره‬
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa nabi SAW
bersabda:”Setiap anak dilahirkan menurut ftrah (potensi beragama
islam), Selanjutnya, kedua orang tuanyalah yang membelokannya
menjadi yahudi, Nasrani, atau Majusi bagaikan binatang melahirkan
binatang, apakah kamu melihat kekurangan padanya?” (HR. Imam
bukhari dan Imam Muslim, Abu Dawud, tirmidzi, Nasa’I, Malik)
Dari hadits di atas ada dua hal yang dapat di pahami
yaitu, pertama: setiap manusia yang lahir memiliki potensi, menjadi
orang jahat dan potensi yang lainnya. Kedua: potensi tersebut dapat
dipengaruhi oleh lingkungan terutama orang tua karena merekalah
yang pertama yang sangat berperan dalam menjadikan anaknya
menjadi yahudi, nasrani, dan majusi.
Konsep hadits tersebt sesuai dengan teori konvergensi
pada perkembangannya dipengaruhi oleh keturunan dan lingkungan.
Yaitu setiap anak yang lahir akan dipengaruhi oleh factor
keturunannya, contoh anak yang terlahir dari keluraga yang baik-baik
tentunya dia akan menjadi anak yang baik serta dipengaruhi oleh
lingkungannya. Hanya saja dalam konsep hadits di atas secara umum
manusia lahir memiliki potensi yang sama. Maka dari itu sebagai
orang tua wajib baginya untuk memilihkan lingkungan yang baik agar
anak dapat berkembang ke arah yang baik.
Dalam hal ftrah anak, orang tua memiliki peranan
terbesar dalam pendidikan anak. Orang tuanyalah yang akan
menentukan keberhasilan pendidikan anak. Pendidikan tersebut yang
membedakan antara anak dengan hewan yang begitu lahir induknya
membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang untuk memenuhi
tugasnya sebagai hewan dewasa karena hewan umumnya telah diberi
perlengkapan yang sudah memungkinkan untuk berkembang
mencapai kedewasaan berupa insting yang dimilikinya.

Menurut Al-Ghazali anak adalah amanah Allah yang harus
dijaga dan dididik untuk mencapai keutamaan dalam hidup dan
mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan di dunia ini
bagaikan sebuah mutiara yang belum diukir dan belum berbentuk tapi
amat bernilai tinggi. Kedua orang tuanyalah yang akan mengukir dan
membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan