sejarah dan minang dan kabau

Sejarah Minangkabau – Bagian 1
A. Lintasan Sejarah Minang Kabau
Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke
Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit
yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di
Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun. Di Kabupaten Lima Puluh Kota
peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki
Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah,
Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan
berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang
kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah
timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan
Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh
Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang
sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa
Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang
ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru

(Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang
kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan
menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut
oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang
berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lainlain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu
Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis
dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang
Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai
tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum

masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan
dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau
kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara
tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia.
Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan
barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat
dengan kebudayaan timur.

Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat
diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau.
Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh
Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja
merupakan seorang tokoh legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang
anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima
Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk
di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para
penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya.
Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi
selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak
gunung merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi
seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang
Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak
langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang
berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar
Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih
sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu

gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung
Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah
asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada
sampai sekarang pada zaman kita ini.

Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh
Sang Guno Dirajo: ”…Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang
sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar
akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang
kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo – bakalamoan aia lauik basentak turun, nan
gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian,
lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi…”
(karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi
makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka
dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek
moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi
“dari mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari
puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana

datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai
sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya
melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang
orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya
sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan
masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek
moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara
abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan
umur kebudayaan megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo,
tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang
untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal,
akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi
tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi
pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir
lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang

Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk

bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada
zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di
Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka
masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai
Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang
Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago,
Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang
pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan
gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan
untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa
mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak
yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi,
sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan
nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat
sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang
utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan

Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah
Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui
peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah
hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat
Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan
Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu
sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat
tajam malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat
air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa
yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu

hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang
kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum
yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masakmasak. Disamping itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu
siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman
ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam,

misalnya orang yang membunuh harus di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum
terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan.
Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai masuknya agama
Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau,
yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah
didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini
sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu,
tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan
Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian
diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir
1. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang
meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam
masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan
adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi
dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di
daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan
Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari

berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun
sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masingmasingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk
zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu
peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.
Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara
semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang
Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut:

”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti,
dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan
balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena
masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”… Antah barapo
kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang
sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah
mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan
kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini
agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina.
Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini
sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap

dalam sejarah Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra
Sejarah dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan
lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.

2. Zaman Minangkabau Timur
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk,
dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua
periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh
sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun
1347-1809.
Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat
perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di
Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu
berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk
dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh
kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu didatangi oleh
nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mulamula ke Minangkabau juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu
periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama

pun masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri,

maupun yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India
dan lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah
berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah
mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya
karena lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami
perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau,
Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara
Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan
Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah.
Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu
dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat
ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu
itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah
sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk
Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad

pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah
daerah-daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah
perhubungan antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan
pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang
Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan
India, maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat
kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur
pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan
dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia
besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah
lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan
Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.

Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan
India maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga
akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli
berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad
ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam
buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu
mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja
Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang
utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di
Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah
kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi
bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan
Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada
menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun
690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat
ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam
abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu.
Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang lamakelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni
perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa
Timur dan Kerajaan Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu,
rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat
memperkuat diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu
Sungai Batang Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat
diketahui dari prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si
Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.

Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang
menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi
militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan
memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah
Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan
acara Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan
Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan
Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk
menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan
terhadap utusan Cina sebelumnya.
3. Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo
Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar
Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian
keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini
yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat
memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya
merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir
kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama
Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang
ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar
perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin
memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam
Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang
dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi
Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu
Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di
Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki.
Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi
raja di Pulau Emas (Sumatera).

Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai
ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang
Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga
orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri
Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi
bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah
“Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian
itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman
dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan
bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang
pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi
raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya
Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari
mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari
pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama
raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat
terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan
semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk
mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan
kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja
yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word
atau Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang
Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti
Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada
arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja
Tribuana.

Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama.
Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut
dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari
Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang
Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah
sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti
Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita
bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan
lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu
Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit
atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris
dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya,
tentu berada di bawah kekuasaan Singasari – Majapahit itu, maka untuk melepaskan
diri dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya
kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya
dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi
kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi
raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di
Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh
rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat
menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya
sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih
memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama
dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan
Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman
menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu
sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan
daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak
dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam
Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah
Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan
yang pro dan kontra.

Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan
Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan
dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang
jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang
memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya,
seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar
pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak
mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan
sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang
gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.
4. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam
masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama
tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan
lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan
nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama
tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari
Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri
Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam,
Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung
Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai
penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang
berbeda, walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo
Jelita atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut
dengan nama Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada
perbedaan sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul
merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian
benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena
tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh

ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau.
Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan
bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang
pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan.
Segala sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari
salah seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo
Dirajo sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati
melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama
Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama
Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar
dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati
adalah salah seorang tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
5. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah
Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah
Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada
masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan
penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto
Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam
masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang
ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan
oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera
mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur
pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat
itu.
Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah
Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada
bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang

dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh
yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai
salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya.
Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu
adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam
sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai
peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah
dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan
dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan
Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang
menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak
cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu
terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang
masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu
memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng
saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu
perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk
Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh
itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan
Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang
berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal
ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang
dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk
Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah
Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh

Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan
kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh
itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya,
melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua
tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka
oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan
nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di
dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah
merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti
yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau,
melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup
dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi
Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh
lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang
bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang
dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada
kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang
dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah
suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari
keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati
Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan
darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam
ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap
oleh kebanyakan penulis-penulis barat.
6. Masa Pemerintahan Adityawarman
Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan
Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang
sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan
yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil
dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara

keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman
saja.
Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa,
mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari
telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh
Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini
nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan
melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang
kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman
merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan
Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu
Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.
Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa
Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya
terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke
Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton
Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah
bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang
pertama.
Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan
hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang
mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di
daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir
darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan
politis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan
Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton
Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang
kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan
Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau
perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan

raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara
mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai
duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah
kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan
pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim
kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun
1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan
menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman
utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak
Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu,
Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan
Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena
kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347
Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal
ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca
Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama :
“Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja
Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan
bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di
atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari
pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat
kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung
ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman
mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375,
1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya
di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung
berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia
bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di
bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah
pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah
paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian
corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak

pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang
ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung
yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung,
sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan
Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan
adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai
lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan
kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian
pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat
Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak
berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja
Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat
Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa
Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan
seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada
mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan
masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh
Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan,
Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya
terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat
tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang
merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai
luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan
kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa
seterusnya.
Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak
meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya.
Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I
dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih
banyak lagi yang belum dapat dibaca.

Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan
kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia
tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah
ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu
hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya
Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan
data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai
raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan
Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai
anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung
digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja,
kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut
agama Islam.
Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh
Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti
Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut
Adityawarman di Minangkabau.
Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak
memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya
sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk
menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena
angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan
oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman
menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi
sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau
membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.
7. Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung
sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH.
Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:

1.
Adityawarman (1339-1376)
2.
Ananggawarman (1376)
3.
Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
4.
Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
5.
Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
6.
Yang Dipertuan Sultan Barandangan
7.
Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
8.
Yang Dipertuan Sultan Muning III
9.
Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
10.
Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
11.
Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
12.
Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
13.
Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
14.
Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di
Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh
Islam).
Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi
dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan
Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan
Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah
desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom
penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.
Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya
dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo
dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masingmasing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat
berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja
Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan
kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa
Ampek Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri

2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat
kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga
diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan
lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga
dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus
kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai
kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan
pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo
dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman
“Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh,
Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau
Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan
Bakilap Alam.
Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada
mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto
Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang;
Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan
Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri
Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau
dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di
Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang
bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat
di Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya
dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran
Lima Puluh Kota adalah Penghulu.
Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek
Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang
dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa

yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan
Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan
Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan
dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah
sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan
pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam
cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi
yang mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu
sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sul