Identitas Kultural Transkultural dan Mul

IDENTITAS: KULTURAL,
TRANSKULTURAL, DAN MULTIKULTURAL1
Yasintus Toin Runesi
Mahasiswa Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia
Kita berpikir kalau kita berhubungan dengan para sosiolog;
kita salah: mereka adalah entomolog (Jean-Paul Sartre)
Pengantar
Lewat para penganjur multikulturalisme, kita tahu bahwa budaya setiap orang (budaya
seseorang yang tidak dipaksakan dari luar) adalah satu prekondisi yang menentukan, dalam
mencapai identitas diri otentik. Titik tolaknya adalah: setiap budaya yang pertama atau asli
dalam arti singular (di mana seseorang tertanam di dalamnya) adalah sesuatu yang dipaksakan
dari luar, mau tak mau, meskipun itu milik sendiri dalam artinya yang tidak ketat, namun
dalam kasus-kasus tertentu, kita menjadi sadar bahwa yang kita sebut sebagai milik kita itu
bukan hasil sebuah pilihan bebas atau yang diperoleh karena kita bekerja. Konsekuensinya,
identitas kita tidak dibangun di atas budaya milik kita dalam arti yang ketat (in-sensu-stricto).
Pertanyaan penting di sini adalah apa hal-hal paling bermanfaat dalam upaya
mengembangkan identitas pribadi, selain hubungan antarpribadi? Ada dua (2) konsep yang
dipergunakan di sini untuk menunjukkannya. Pertama, transkultural untuk menyebut berbagai
usaha dan pergulatan diri berhadapan dengan bermacam ciri tetap karena bentukan alam
seperti tubuh maupun lingkungan: berdasarkan pengenalan pribadi dan pengetahuan objektif
sejauh dapat diketahui. Kedua, multikultural untuk menyebut pemerkayaan diri melalui para

kenalan dan mengembangkan apa yang paling menguntungkan dari semua hasil karya
manusia dan kebiasaan dengan mana seseorang berada dalam kontak dengan semua itu.
Perkembangan Konsep
Awalnya budaya dimengerti dalam hubungan dengan dunia pertanian dengan latar
belakang religius, lalu secara metaforis dimengerti dalam konteks ide-ide, hasil
teknis/kesenian, kekuasaan. Sebagai contoh, budaya pada mulanya memiliki akarnya dalam
kultus penyembahan dewa-dewi dengan tujuan menghindari kemurkaan para dewa sekaligus
memohon berkat mereka bagi kehidupan masyarakat. Misalnya dalam budaya Yunani dikenal
Festival Thesmophoria, di mana masyarakatnya menghidupkan kembali kisah Demeter, Dewi
gandum yang menyediakan dasar ekonomi dari peradaban.2
1

Artikel ini disarikan dari Peter Caws, “Identity: Cultural, Transcultural, and Multicultural” dalam David Theo
Goldberg (ed.), Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), pp. 371-387.
Dipresentasikan dalam diskusi Filsafat dan Multikulturalisme pada Program Magister Ilmu Filsafat Universitas
Indonesia, pada Selasa 29 Oktober 2013.
2
Sumber berbahasa Indonesia yang cukup lengkap menguraikan asal-mula Festival Thesmophoria ini dapat
1


Bergerak dari aktivitas-aktivitas yang spesifik pada bidang tertentu, oleh Kant, konsep
kultur diperluas menjangkau kegiatan rational secara umum. Ia mendefinisikan kebudayaan
sebagai “hasil produksi suatu ada rasional lewat kecerdasannya karena suatu tujuan yang telah
dipilihnya sendiri, dengan konsekuensi bahwa bakat itu berkembang dalam kebebasannya”.
Sejak kira-kira abad 19, term kultur memiliki makna ganda: yang normatif kalau dilihat pada
level individual dan yang deskriptif terkait dengan kelompok tertentu.3 Yang normatif dapat
kita temukan pada penjelasan Matthew Arnold lewat bukunya Culture and Anarchy. Ia
mendefenisikan kebudayaan sebagai upaya mencapai kesempurnaan total dengan cara
mengenal semua hal yang mungkin menjadi perhatian kita, terutama menyangkut apa yang
terbaik yang telah dipikirkan dan dikatakan tentang dunia. Yang normatif menekankan
aturan-aturan maupun gugus nilai yang dapat diacu oleh seseorang dalam berperilaku.
Sedangkan yang deskriptif bisa kita temui, misalnya dalam persaingan antara gereja dan
Negara Prussia lewat benturan budaya dalam Kulturkampf, atau yang disebut oleh C.P. Snow
sebagai persaingan antara yang literer dan yang ilmiah. Artinya, kultur adalah sebuah totalitas
yang membentuk sebuah kehidupan sosial yang dibentuk oleh bidang-bidang tertentu. Hal
inilah yang mendorong Matthew Arnold untuk menyatakan bahwa disebut barbarian itu
bukanlah suku-suku tertinggal yang berada di belahan dunia lain, tetapi para aristokrat Inggris
yang dengan kekuasaannya mendikte perkembangan lembaga-lembaga seni dan pendidikan.
Lewat deskripsi-deskripsi etnografi tentang masyarakat, kita tahu bahwa ada hubungan
yang erat antara kultus, ideologi, kekuasaan dan praktek hidup yang terbuka, yang di

kemudian hari lewat literatur antropologi, budaya lalu didefinisikan sebagai kumpulan
kepercayaan, kebiasaan, produk dan ketaatan yang dihadapi dalam kehidupan suatu kelompok
tertentu yang secara geografis, bahasa, dan teknologi terpencil dan tertinggal. Pendefinisian
semacam ini dapat kita temukan dalam buku Ruth Benedict Patterns of Culture. Dan dalam
upaya Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn ditemukan 164 definisi berbeda yang dapat
dikelompokkan menjadi enam pengertian pokok mengenai kultur.4
Kultur dan Pendidikan: Kurikulum
Terdapat dua elemen kunci multikulturalisme sebagai nilai budaya alternatif dan
kegunaannya sebagai sarana identifikasi diri berhadapan dengan kultur dominan yang
menindas. Pertama, tidak dapat diragukan lagi (multikulturalisme) dan saya menerima itu
sebagai yang terberi. Kedua, apakah hal itu secara benar berbicara tentang suatu budaya yang

dibaca pada Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan, terjemahan oleh Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2011
[2009]), pp. 121-127.
3
Bandingkan dengan penjelasan Philip Smith mengenai macam-macam definisi kultur dalam bukunya Cultural
Theory: An Introduction, (Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, 2001), pp. 2-3. Lihat juga Mudji
Sutrisno & Hendar Putranto (eds.), Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 9. Juga artikel
Mudji Sutrisno, Jalan Kebudayaan Menghadapi Globalisasi, (tanpa tahun dan tempat).
4

Lihat Philip Smith, Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (eds.).
2

dominan atau dengan cara lain, apakah budaya yang dominan memiliki kesatuan dan
koherensi yang membuatnya dikenal sebagai budaya yang tunggal. Berkaitan dengan problem
identitas, jika bukan kultur dominan yang menyebabkan kekacauan itu, barangkali budaya
alternatif tidak akan membantu juga.
Kalau ada sesuatu yang mendominasi, dalam hal ini kultur tertentu, sudah pasti bahwa
kelompok minoritas yang tidak terasilimasi di dalamnya secara ekonomi dan sosial pasti
dirugikan, dan karena alasan ini, ketika tidak terjadi tindakan rasis, sering terlihat bahwa
terdapat hak dari kebudayaan yang berbeda-beda. Tetapi sangat mungkin juga kelompok yang
diuntungkan menolak sesuatu yang berbeda, ketika di sana tidak cukup jelas kesamaan
pandangan, dan apa yang nampaknya sebagai budaya monolitik dari luar, mungkin penuh
dengan variasi dan bahkan kontradiksi di dalamnya.
Oleh karena itu, kita tidak boleh melihat dari satu sudut pandang saja. Dalam kaitannya
dengan itu salah satu isu penting yang dapat diangkat di sini adalah tentang kurikulum.
Kurikulum telah menjadi medan pertempuran utama multikulturalisme sebagaimana ditulis
oleh Arnold Krupat bahwa dalam pendidikan yang disebut multikulturalisme itu tidak lain
suatu tata instruksi yang dibuat dan tanpa sadar ada budaya dominan yang menentukan cara
kita mendefinisikan “yang lain” dan “yang berbeda”. Kurikulum menentukan pengetahuan

seseorang, dari sebab itu, ia harus memberi kemungkinan dalam pelajaran, seseorang tidak
hanya terpaku dengan tata instruksi yang telah disiapkan. Kurikulum harus bisa membuat
seseorang belajar melampaui apa yang ada dalam buku.
Di sini, kita akan menunjukkan suatu bentuk ketidakrelevanan kurikulum yang mencoba
mengartikulasikan pentingnya multikulturalisme di Indonesia. Dalam kritiknya terhadap
kurikulum 2013, Mardiatmadja menyatakan bahwa kurikulum 2013 berangkat dari dorongan
bagaimana memikirkan keterpaduan bangsa. Namun pada kenyataannya kurikulum kita justru
menyiapkan perpecahan bangsa, sebab pengertian ilmu dalam kurikulum itu sangat sempit
yang terlihat dalam caranya pemerintah menyerapkan pelajaran IPA dan IPS ke dalam mata
pelajaran lain.5 Dan meskipun kurikulum tersebut ditolak oleh banyak pihak, tetapi terpaksa
diberlakukan atas dasar keputusan presiden menunjukkan suatu bentuk “penyempitan tidak
sah dari cara (pemerintah) mendengar dan menjawab dalam ruang publik demokrasi.”6
Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa pendidikan yang dirancang sangat
menentukan cara kita berhubungan dan caranya kita melihat “yang lain”. Sebagaimana dalam
pengalaman orang Amerika, demikian juga kurikulum kita akan sangat menentukan cara
berpikir yang memarginalisasi orang lain dengan menggunakan term-term yang sebenarnya
dipakai untuk memelihara keragaman.7 Akan ada perbedaan cara berhubungan antara dua
5

BS. Mardiatmadja, “Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah”, Kompas, (Jumat 18 Januari 2013).

Sintus Runesi, “Pendidikan dan Persatuan, Victory News, (Rabu, 10 Juli 2013).
7
Lihat David Theo Goldberg, “Introduction: Multicultural Conditions” dalam David Theo Goldberg (ed.),
Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), p. 4.
3
6

orang yang memiliki persamaan kultur, dan cara berhubungan antara dua orang yang berbeda
kultur, kendati mereka memiliki kesukaan yang sama menyangkut klub sepakbola, aliran
musik, band tertentu, gaya rambut dan seterusnya.
Ilmu Pengetahuan sebagai Kultur Netral
Menurut penulis ini, identitas yang kita bangun bukan by choise tetapi by implication, itu pun
tidak cukup untuk menunjukkan diri kita secara utuh. Pada dasarnya yang paling penting
adalah bahwa ada pengakuan akan kesetaraan mengenai nilai-nilai budaya yang berbeda-beda
sebagai dasar universal yang dibutuhkan bagi suatu penerimaan tak bersyarat. Di dalam rasa
penerimaan itu, terkandung di dalamnya juga afirmasi akan partikularitas setiap etnik yang
mengandung potensi nilai universal yang bisa dibagikan kepada orang lain, di mana di
dalamnya terkandung bagian esensial dari identitas seseorang. Inilah sikap yang disebut oleh
Taylor sebagai “politics of recognition”. Politics of recognition 8 memerlihatkan sebuah
ekspresi mengenai begitu kompleksnya kebutuhan manusia akan perasaan penerimaan dan

dimiliki (sense of belonging), yang seringkali hanya bisa dijawab pada level religious.
Namun menurut Peter Caws sikap ini (politics of recognition) mengandung sisi
negatifnya. Bahwa pentingnya melakukan identifikasi kultural, terutama karena marginalisasi
rasial sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Amerika, justru secara politik dan ekonomi,
menjadi pendukung bagi suatu bentuk marjinalisasi yang lebih buruk. Suatu pengakuan atas
partikularitas suatu etnik merupakan tindakan politis yang buruk, dan impian bahwa dengan
pengakuan itu terbangun suatu kesatuan kosmik yang lebih baik adalah suatu fantasi saja. Apa
alasannya? Menurut Peter Caws pengakuan terhadap suatu etnik, yang berarti kita lebih
memikirkan sebuah kelompok etnik ketimbang berpikir tentang individu. Karena itu
pengakuan terhadap sebuah kelompok tidak selalu diikuti dengan pengakuan akan individu
konkrit dari etnik tersebut, dan dalam politik hanya akan mengangkat individu-individu
tertentu saja, yang berarti memelihara patronase kultural, selain bahwa ia menguatkan politik
identitas.
Pada sisi lain, kita melihat bahwa Peter Caws juga menerima argument Taylor, bahwa
identitas kita berkembang dalam dialog, sering juga dalam perjuangan berhadapan segala
sesuatu yang kita artikan dalam hubungan dengan yang lain, yang menghadirkan diri di
hadapan kita.9 Identitas kita selalu bersifat refleksif, yaitu relasi dengan diri kita sendiri
(konfrontasi diri). Dan relasi dengan diri sendiri dapat dibangun melalui interaksi dengan
yang lain dan dengan dunia kehidupan. Relasi dengan sesama dan dunia merupakan elemen
yang sering diabaikan dalam pembicaraan mengenai identitas, karena sering dirusakkan dan

dipandang rendah ketika seseorang yang kurang beruntung mencoba menemukan identitasnya
8

Secara lengkap dapat dibaca pada Charles Taylor, “Politics of Recognition” dalam David Theo Goldberg (ed.),
Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), pp. 75-106.
9
Charles Taylor, ibid., p. 79.
4

lewat identifikasi kultural. Jadi yang mau ditekankan oleh Peter Caws adalah bahwa secara
langsung atau kurang derivatif beberapa aspek yang menentukan identitas kita barangkali
lahir dari konfrontasi kita dengan dan pengetahuan atas alam dan lingkungan yang lebih luas.
Perasaan kita inilah yang sering diungkapkan oleh para eksistensialis dengan
istilah-istilah yang menarik. Kita ingat Heidegger misalnya, menyebut manusia adalah
in-der-welt-sein, atau Sartre sampai mengatakan bahwa sesamaku adalah neraka. Buber dan
Marcel mengatakan bahwa aku harus ada supaya engkau ada. Bahwa identitas kita tergantung
sepenuhnya pada bagaimana kita memberi arti bagi dunia. Yang mau ditekankan di sini
adalah bahwa perkembangan seseorang tidak terlepas dari pola tingkah laku dan situasi di
mana dirinya dibanjiri beragam ide, entah itu yang datang dari kulturnya sendiri maupun
datang dari kultur lain. Peter Caws menyebutnya sebagai paduan antara beragam pengetahuan:

pengetahuan kita secara pribadi dan pengetahuan umum (ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu
humaniora), antara common sense dan pengetahuan objektif.
Maka tak dapat diragukan lagi bahwa beberapa hal yang kita hadapi sudah tentu
merupakan hasil kultural yang mengatasi perbedaan antarkultur. Di sini, ia menyebut ilmu
pengetahuan, yang karena mengatasi perbedaan kultural, ia menyebutnya sebagai kultur netral
atau transkultural. Transkultural berarti ia dapat diterima oleh semua orang dari mana saja ia
berasal. 10 Ilmu pengetahuan yang berawal sejak zaman dulu dan menjadi sangat cepat
berkembang dalam tiga ratus atau empat ratus tahun terakhir menunjukkan bahwa bukan
hanya orang dari kultur tertentu saja yang terlibat dalam pengembangannya. Beberapa
eksponen postmodernis (bisa ditambahkan para fundamentalis) memandang bahwa ilmu
pengetahuan tak mungkin memiliki konvergensi dengan kultur tertentu karena ia hanya
bentukkan satu kultur tertentu dan bahkan ada yang merelatifkannya sebagai hanya kultur
barat. Tetapi dalam kenyataan tidaklah seperti itu. Sebagai contoh orang hanya perlu berpikir
apa isi teori Kopernikus kalau sedang belajar Fisika tanpa perlu tahu siapa dia sebenarnya
yang adalah seorang pastor.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan bentuk generalisasi yang lokal. Ilmu
pengetahuan pada awalnya merupakan sesuatu yang bersifat lokal, tetapi dari yang lokal itu
bisa ditarik hal-hal yang umum, dan ini berarti dalam ilmu pengetahuan kita selalu
bersentuhan dengan yang nonlokal. Maka hasil ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki
inteligibilitasnya yang dapat dipahami oleh setiap orang dengan latarbelakang budaya yang

berbeda. Sehingga kalau berbicara ilmu pengetahuan, yang harus ditekankan adalah
menyangkut pemahaman bukan penerimaan/hafalan karena indoktrinasi. Dan karena
pemahaman kita selalu terbatas, penting untuk disadari bahwa hal itu tidak menjadi alasan
bahwa kita tidak mungkin mencapainya.

10

Bandingkan misalnya dengan uraian Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Pijar-pijar Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), pp. 11-24, khususnya bagian mengenai rasionalitas yang rasional.
5

Rasio sebagai Basis Multikultural
Sebagai makhluk dimensional, setiap identitas personal dibangun di atas beberapa hal
yang berbeda-beda yang menyentuh dimensi yang berbeda-beda. Namun dari argumen
mengenai kultur dan pendidikan, secara implisit terkandung asumsi tentang kesamaan dan
suatu kelenturan yang bertujuan menyeragamkan setiap orang sehingga rentan mengandung
indoktrinasi atau sebaliknya juga indoktrinasi dengan tujuan penyeragaman. Ini mungkin
yang menjadi alasan mengapa Sartre dengan jengkel menyebut para sosiolog sebagai
entomolog (kelihatan ekstrim ya). Sebab pendidikan dengan tujuan indoktrinasi tidak pernah
mampu menyiapkan orang untuk menjadi benar-benar manusia yang bebas.

Multikultural sebagai sebuah kata sifat, menunjuk pada aspek keterbukaan untuk
menyambut atau menerima, mengandung inklusivitas, serta merangkul, dan seperti konsep
international atau pluralis atau ekumenikal, ia juga sebuah konsep besar yang melampaui
sekat-sekat kepentingan, suatu keterbukaan terhadap keanekaragaman tujuan dan prestasi.
Tentu ada reaksi dari para chauvinist, filsuf-filsuf analitik dan para fundamentalis yang
melihat bahwa yang disebut internasionalisme, pluralisme dan ekumenisme menggambarkan
suatu serangan langsung terhadap kepentingan nasional, kemurnian doktrin suatu masyarakat
dan yang ditunjukkan dalam kesediaan membela kulturnya karena keyakinan akan
superioritas cara hidup yang mereka miliki, pemikiran dan kebijaksanaan yang berkembang
dalam kultur mereka. Namun, semua itu bukanlah sikap yang memadai dalam suatu upaya
menjamin keragaman pola kultural.
Transkultural dan multikultural tidak dapat dipisahkan secara tegas. Meskipun hal-hal
yang umum dari ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam beragam kultur; bisa saja
terjadi bahwa ia merupakan formulasi sebuah kultur tertentu yang kemudian dapat
diterangkan dengan berbagai cara yang berbeda. Multikulturalisme hadir dengan sendirinya,
ketika yang menjadi masalah tidak menyangkut sebuah proposisi mengenai dunia objektif
yang dapat diterjemahkan, melainkan menyangkut proposisi, objek-objek dan praktik-praktik
yang mana secara struktural dapat ditransformasikan dari kultur yang satu ke kultur yang lain,
tetapi dalam banyak kasus, menjadi kultur spesifik yang hanya dapat diapresiasi oleh mereka
yang diasumsikan memiliki horizon yang mampu menjangkaunya, sedangkan yang tidak
memilikinya malah menjadi sulit berbicara mengenai multikulturalisme. Contoh, seorang
yang punya keyakinan religious yang condong pada totalitas akan kesulitan untuk menarik
konsepsi mengenai ilmu pengetahuan keluar dari keyakinan religiusnya, dan menilai ilmu
pengetahuan hanya dari sudut pandangnya yang fundamental, yang bila mengeras menjadi
sikap politis, merupakan latar belakang sikap identitas: ilmu pengetahuan harus diukur dengan
doktrin-doktrin religiusnya.
Berhadapan dengan situasi demikian, yang dibutuhkan dari seorang individu adalah
kemampuan dan kemauan untuk memerluas horizon atau cakrawala berpikir sebagai satu
syarat penting berkembangnya identitas multikultural. Dalam perluasan cakrawala itu, bisa
6

saja terjadi konflik dalam diri mengenai pengetahuan baru yang ada, ini disebabkan karena
kultur yang berbeda-beda selalu mengandung ketidakbersepadanan (incommensurable) 11 .
Namun ketidakbersepadanan ini tidak menjadi alasan gerakan multikultural dibelokkan
menjadi proyek monokultural. Sebaliknya bila dalam situasi demikian, perbedaan kultur mesti
dihadapi dengan sebuah sikap surprise dan apresiasi yang tinggi, yang akan mendorong kita
masuk dalam kehidupan kultur tersebut, dan pada gilirannya kultur menjadi jalan untuk
memahami diri dari sudut pandang yang baru, yang akan menyumbang sesuatu yang baru
dalam pembentukan identitas kita. Di sini saya teringat akan Gus Dur. Ia berani berhubungan
dengan orang lain yang berbeda keyakinan dengan dirinya tanpa takut kehilangan
ke-Islam-annya sekaligus ia membentuk identitasnya sebagai seorang pluralis.
Dengan demikian, di bawah sikap multikultur, setiap kultur yang berbeda dapat terus
ada dalam bentuknya sebagaimana adanya. Di sini, seorang akan bebas dari ikatan fanatisme
kultural bila ia mau melampaui cara berpikir yang dibentuk oleh lingkungannya sendiri.
Transkultural menjadi aspek penting yang harus diperhitungkan dalam upaya menumbuhkan
sikap multikultur. Dan sikap yang kelihatan ideal ini menjadi tantangan nyata untuk
kurikulum yang cenderung menciptakan gaya berpikir monokultur.
Melampaui satu-satunya kultur kita tidak berarti menjalani suatu gaya yang bersifat
pankulturalisme. Kita hidup dalam sebuah dunia plural yang tak mungkin diubah lagi
(irreversibility), tetapi ada satu dasar bagi sebuah kehadiran bersama yang harmonis
(harmonious coexistence), yakni dalam sharing timbal-balik dari aspek-aspek kultur yang
dapat dipertemukan, dan respek timbal-balik terhadap aspek-aspek yang berbeda-beda dari
masing-masing kultur. Namun, relasi timbal-balik yang saling menguntungkan ini merupakan
sesuatu yang ideal, disebabkan hubungan antarkultur selalu bersifat asimetris, selain karena
selalu ada sikap ketidakmauan untuk terbuka terhadap sesuatu yang berbeda.
Akhirnya, menurut Peter Caws, setiap individu memiliki kemampuan untuk bersikap
melampaui bukan hanya kulturnya sendiri tetapi melampaui identifikasi kultural yang terjadi
di bawah penindasan. Ia yakin bahwa kita mempunyai sebuah dunia bersama yang memiliki
kapasitas untuk saling berbagi di antara berbagai kultur yang berbeda. Ini bukan sebuah
konsep mengenai rasionalitas, tetapi ia yakin bahwa dengan rasio yang kita miliki, kita
mampu untuk melakukan dialog antarwarga.12 Dari situ terbuka kemungkinan bahwa seorang
individu adalah seorang dengan identitas yang dibentuk oleh suatu komunitas moral yang
terbuka terhadap setiap perbedaan. Maka, kita menjadi pribadi-pribadi dengan identitas
11

“Ketidakbersepadanan” artinya kultur-kultur itu tidak dapat dimengerti secara timbal balik, kultur yang satu
tidak dapat menjadi ukuran untuk menilai kultur lain. Namun hal itu tidak berarti terdapat kontradiksi di antara
berbagai kultur, melainkan karena kultur-kultur itu tidak saling bertemu. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau
kultur-kultur itu tidak bertemu, lalu bagaimana mungkin bisa terjadi konflik? Bandingkan dengan penjelasan
Thomas Kuhn mengenai “ketidakbersepadanan” antara rasionalitas teori-teori pengetahuan yang tidak
kontradiktif.
12
Lihat artikel diskusi matakuliah Filsafat dan Multikulturalisme dari Frederikus Fios, Mengonseptualisasikan
Manusia: Tinjauan atas Manusia Perspektif Bhiku Parekh, (Selasa, 08 Oktober 2013), p. 3.
7

multikultural. Multikultural bukan sebuah pankulturalisme yakni “nobody is going to be at
home everywhere, but to have many homes, not just one.”
Sumbangan Filsafat: Dialog Kultural dalam Konteks Indonesia
Pada peringatan hari Filsafat Sedunia tanggal 18 November 2010, UNESCO mengangkat
tema “Philosophy, Cultural Diversity and Rapprochement of Cultures”. Melalui tema ini
diharapkan mampu mendorong kolaborasi akademik serta menyoroti kontribusi pengetahuan
filosofis dalam mengatasi isu-isu global yang selalu merupakan persoalan kultural dan
peradaban manusia. Di sini diharapkan adanya kesalingan dalam berbagi pikiran, elaborasi
berbagai aliran pemikiran, dan bersama-sama mengeksplorasi berbagai ide kontemporer serta
mendiskusikan tantangan global, dan bersama menemukan solusi dalam mengatasi
masalah-masalah yang ada.
Jalan kultur dipilih karena menurut Benediktus XVI, dialog kultural dan peradaban
adalah dialog yang sangat intelektual.13 Kultur mengatasi perbedaan agama dan ideologi yang
sering dikaitkan secara erat dengan kepentingan politik sempit. Secara antropologis, kultur
memiliki dimensi-dimensi yang mampu mempersatukan. Ada dimensi spiritual, dimensi etis
moral, dimensi estetis dan dimensi rasional. Maka dialog kebudayaan bukan semata-mata
suatu dialog deliberatif gaya Habermasian14 melainkan juga dialog kenosis gaya Socrates:
dialog yang membuka kemungkinan saling pemahaman dan pengakuan bahwa dari “yang lain”
kita bisa belajar.
Karena sangat intelektual, maka menurut Mantan Direktur Jenderal UNESCO, Koïchiro
Matsuura, filsafat dapat memainkan perannya yang menentukan. Ia mengungkapkan bahwa
filsafat mampu memberikan landasan-landasan konseptual mengenai prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang membentuk kemungkinan perdamaian dunia - demokrasi, hak asasi manusia,
keadilan dan kesetaraan. Dalam dialog kebudayaan, filsafat tidak menghadirkan dirinya
sebagai hakim epistemik. Sebaliknya filsafat membawa paradigma berpikir yang mampu
mendamaikan persoalan onto-epistemis yang terkait dengan ketidakmungkinan peserta dialog
dapat secara lengkap terlepas dari akar kulturalnya. Dialog kultural: dari kultur-kultur yang
co-esse (coexistence/ada bersama) menuju kultur-kultur yang pro-esse (proexistence/bersama
ada). Memang sulit tapi tidak mustahil.
Dalam konteks Indonesia berarti, filsafat menyiapkan suatu landasan pertemuan antara
beragam kultur Indonesia yang tidak akan saling meniadakan. Filsafat memberi kita modal
13

Tajuk – Hidup, No. 01 Tahun 64. 3 Januari 2010
Konsensus Habermasian mengandaikan tiga hal utama yakni kesetaraan, tiadanya tekanan, dan yang berlaku
adalah kekuatan argument yang lebih baik. Ketiga unsur utama ini harus selalu dilengkapi dengan empat norma
atau klaim dalam komunikasi yakni bahasa komunikasi harus: (1) Jelas, artinya orang harus dapat
mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud; (2) benar, artinya mengungkapkan apa yang mau
diungkapkan; (3) jujur, artinya tidak ada kebohongan atau intensi tersembunyi lainnya; (4) betul, artinya sesuai
dengan norma-norma yang diandaikan bersama. Lihat Franz Magnis-Suseno, op.cit., p. 167.
8
14

dalam upaya penerimaan keanekaragaman kita. Kesadaran itulah yang diwujudnyatakan
dalam format politik: demokrasi. Demokrasi menjadi jaminan rasional terhadap keragaman
kepentingan kelompok. Dengan itu, hak asasi manusia dapat dilaksanakan. Tentu dengan
jaminan fasilitas konstitusi yang memberi ruang bagi konsensus berbagai kepentingan kultural.
Semua ini berawal dari pendidikan yang tidak menyiapkan perpecahan.

9

Daftar Pustaka

Caws, Peter, “Identity: Cultural, Transcultural, and Multicultural” dalam David Theo
Goldberg, Multiculturalism: A Critical Reader, (Oxford & Cambridge: Blackwell,
19941)
Goldberg, David Theo, Multiculturalism: A Critical Reader, (Oxford & Cambridge:
Blackwell, 19941)
Magnis-Suseno, Franz, Pijar-pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)
Mardiatmadja, BS., “Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah”, Kompas, (Jumat 18 Januari 2013).
Runesi, Sintus, “Pendidikan dan Persatuan”, Victory News, (Rabu, 10 Juli 2013).
Smith, Philip, Cultural Theory: An Introduction, (Oxford & Massachusetts: Blackwell
Publishers, 2001)
Sutrisno, Mudji, Membaca Wajah-wajah Kebudayaan, (Jakarta: Warna Widya Jati, 2011)
Sutrisno, Mudji, (Batu Uji) Menjadi Indonesia: Antara Teks dan Konteks, Gatra, (Rabu, 25
September 2013)
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (eds.), Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius,
2005)
Tajuk – Hidup, No. 01 Tahun 64. 3 Januari 2010

10