SASTRA TERLIBAT KEKUASAAN JEJAK NEGARA P
SASTRA TERLIBAT KEKUASAAN:
JEJAK NEGARA PADA ZAMAN EDAN
Puji Santosa
Abstrak
Tujuan penelitian mengungkapkan dan mendeskripsikan tanda-tanda
zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R. Ng.
Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo.
Masalah penelitian bagaimana tanda-tanda zaman edan dan relevansinya
dengan keadaan sekarang berdasarkan kedua teks di atas? Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah analisis konten. Hasil dan temuan
pembahasan didapat adanya relevansi zaman yang disampaikan dalam
kedua teks sastra “Kalatidha” dan “Serat Walyuyan” dengan keadaan
zaman sekarang, yakni zaman edan. Ranggawarsita menandai zaman itu
sebagai zaman edan dengan sepuluh tanda-tandanya, dan Somodihardjo
menandainya dengan kerusakan empat bangsa (brahmana, ksatria,
waisiya, sudra) yang sudah tidak menetapi darma masing-masing.
Simpulan yang didapatkan bahwa nilai-nilai kearifan yang didapatkan
dalam kedua teks di atas dapat sebagai tuntunan ke arah kebajikan yang
menuju pada perilaku keutamaan, kemuliaan, dan keluhuran bangsa, yakni
agar manusia Indonesia tidak hanya sekadar bertopang dagu dan meratapi
nasibnya di zaman edan.
Kata-kata Kunci: sastra, kekuasaan, negara, zaman edan
1. PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 1997 hingga kini bangsa
Indonesia
dilanda
berbagai krisis
yang
tidak
kunjung selesai. Mula-mula berupa krisis moneter
dengan semakin merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang negara lain, terutama dolar
Amerika.
Kemudian
meningkat
pada
krisis
kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik,
krisis keamanan, dan tentu saja krisis kekuasaan
dengan lengsernya Presiden Soeharto. Di berbagai
sektor terjadi kebangkrutan keimanan dengan
ditandai oleh perilaku manusia yang mengarah kepada brutalisme,
1
sadisme,
kanibalisme,
penjarahan,
perampokan,
pembakaran,
pemerkosaan massal, dan pembunuhan yang disertai mutilasi. Para elite
politik saling menghujat tanpa etika. Nafsu setan sudah tidak terkendali.
Emosi massa mudah dibakar. Amarah mudah dibangkitkan. Ancaman
disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-tengah masyarakat kita
dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, lepasnya Timor Timur dari
pangkuan Ibu Pertiwi, bergejolaknya rakyat Papua menuntut kemerdekaan,
Aceh membara selepas DOM, Ambon banjir darah dengan perang
antaragama, serta Sambas, Ketapang, dan Sampit di Kalimantan porakporanda dengan perang antaretnis, Palu-Sulawesi bergejolak terus tiada
henti, dan banyak daerah yang menjadi ajang kerusuhan massa, teror bom,
pembasmian antaretnis, dan sebagainya dan sebagainya. Siapa pun yang
hidup di tengah masyarakat seperti itu akan merasa miris, cemas, was
khawatir, atau rasa ketakutan luar biasa karena keselamatan jiwanya
terancam, dan hidupnya pun tidak menentu. Semua orang sudah menjadi
edan, benar-benar gila. Apalagi ditambah berbagai bencana alam yang
melanda negeri ini silih berganti tiada henti, seperti tanah longsor, tsunami,
banjir, gunung meletus, gempa bumi, pesawat jatuh, kapal tenggelam,
tabrakan maut, kebakaran hutan dan lahan, serta mewabahnya berbagai
penyakit. Keadaan itu layak disebut sebagai zaman edan.
Menghadapi zaman edan yang begitu menyengsarakan seluruh
sendi-sendi kehidupan membuat hidup serba tidak menentu, pikiran dan
perasaan
manusia
sudah
tidak
sehat
lagi,
semuanya
serba
sulit
menentukan sikap, serta tidak ada fundamental keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, mau berbuat apakah kita? Apa saja
yang dapat kita lakukan untuk mengantisipati agar tidak ikut terseret arus
zaman edan yang demikian itu? Padahal keadaan zaman edan itu sudah
diantisipasi oleh seorang pujangga besar sastra Jawa, yakni R. Ng.
Ranggawarsita dalam karyanya “Serat Kalatidha” (1860) dan R. Trihardono
Soemodihardjo dalam karyanya “Serat Waluyan” (1949) yang ditujukan
kepada R. Soenarto Mertowardojo.
2
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana tanda-tanda
zaman edan dan relevansinya dengan keadaan sekarang berdasarkan
kedua teks tembang (“Serat Kalatidha” karya R. Ng, Ranggawarsita dan
“Serat Walyuan” karya R. Trihardono Soemodihardjo) di atas? Setelah
memahami ada relevansinya, lalu apa yang sebaiknya harus diperbuat
bangsa dan rakyat Indonesia berdasarkan amanat kedua teks di atas?
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan
tanda-tanda zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R.
Ng. Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo
serta relevansinya dengan keadaan zaman sekarang. Selain itu, penelitian
ini juga bertujuan menemukan amanat dari nilai kearifan kedua teks di atas
dalam menghadapi zaman edan sehingga ada hal-hal yang dapat diperbuat
dan tidak sekadar bertopang dagu dan meratapi nasib di zaman edan.
2. KAJIAN PUSTAKA
Serat Kalatidha adalah salah satu judul karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan”.
Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri
atas 12 bait, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas
11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930.
Dalam penulisan bab ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah
Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata
kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala
artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur,
khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu
zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa
kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah
kalabendu atau jaman retu.
Kata kalabendu disebut dalam Serat Kalatidha bait kedua baris
keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya
kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang
3
penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena
manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan
di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis
sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra
menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M.
Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga,
Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).
Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku
Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata
retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al,
1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman
retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan
massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.
Kajian terhadap Ranggawarsita dan karyanya antara lain dilakukan
oleh Kamadjaja (1964, 1988), Sumidi Adisasmita (1975), Suripan Sadi
Hutomo (1979), Anjar Any (1980), Simuh (1988, 1999), R.I. Mulyanto dkk.
(1990), Ahmad Norma Permana (1998), dan Harlina Indijati (2003).
Sementara itu, kajian terhadap karya-karya R. Trihardono Soemodihardjo
belum ada orang yang mengkajinya. “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo
itu dimuat dalam buku Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu: R.
Soenanrto Mertowardojo (R. Rahardjo, 1974: 128—130).
3. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten.
Analisis konten adalah penelitian yang berusaha menganalisis dokumen
untuk diketahui isi dan makna yang terkandung di dalam dokumen tersebut
(Wuradji dalam Jabrohim, 2001:6). Dalam analisis konten ini terdapat dua
macam analisis, yaitu analisis isi laten dan analisis isi komunikasi (Ratna,
2008: 48—49). Aanalisis isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan
analisis isi komunikasi akan menghasilkan makna. Sebagaimana halnya
metode kualitatif, dasar metode analisis konten adalah penafsiran. Sebagai
4
sampel penelitian ini adalah teks naskah “Serat Kalatidha” karya R.Ng.
Ranggawarsita
dan
Soemodihardjo.
Teknik
teks
“Serat
pengambilan
Waluyan”
karya
sampel
dilakukan
R.
Trihardono
dengan
cara
berdasarkan pada tujuan penelitian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tanda-Tanda Zaman Edan
Apakah yang menjadi tanda-tanda zaman edan itu? Kapankah
terjadinya? Apakah sekarang sudah termasuk zaman edan? Adalah
pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang hidup
antara tahun 1802—1873, Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang menyebut
keadaan suatu negera serba kacau-balau, karut-marut dilanda berbagai
situasi krisis, yaitu dengan istilah “zaman edan”. Kekisruhan negara yang
sedemikian hebatnya selama bertahun-tahun, bahkan tampaknya hingga
kini tak kunjung surut, pantas disebut sebagai zaman edan. Keadaan negeri
yang dhedhel-dhuwel dengan ditandai kekacauan di semua sektor,
timbulnya sparatisme, wabah penyakit di mana-mana atau pageblug,
bencana alam yang melanda setiap waktu, seperti kebakaran hutan, lahan,
dan pekarangan sehingga terjadi bencana asap, gunung meletus, gempa
bumi, hujan badai, banjir air bah disertai tanah longsor, gelombang air rob
atau tsunami, angin puting beliung, gerhana bulan atau gerhana matahari,
dan el nino el nina yang memperbesar lubang ozon sehingga menyebabkan
cuaca panas tak menentu, tiba-tiba hujan deras dan lebat disertai petir
menyambar-nyambar, serta akal pikiran manusia yang sudah tidak sehat
lagi, pantas disebut sebagai zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman
retu.
Bermula dari bait ketujuh tembang sinom dalam Serat Kalatidha itu
begitu terkenalnya menandai hadirnya zaman edan. Bagi sebagian besar
masyarakat Jawa “amenangi jaman edan” seperti di atas bukanlah sesuatu
yang aneh, melainkan orang Jawa itu ora gampang gumunan lan ora
gampang kagetan1) “tidak mudah keheranan dan tidak mudah terkejut”.
5
Zaman edan seperti itu sudah diantisipasi jauh hari sebelumnya2). Dalam
berbagai serat dan pustaka klasik orang-orang Jawa, keadaan seperti itu
telah disebut-sebut akan datang waktunya. Selain disebut sebagai “Jaman
Edan”, keadaan negeri yang kacau-balau atau karut-marut, juga disebut
sebagai
“Jaman
Kalabendu”)
atau
juga
“Jaman
Retu”3).
Sebegitu
dahsyatnya kekuasaan zaman edan sehingga dengan kalimat bersayapnya,
Ranggawarsita meletakkan hukum moral bagi masyarakat Jawa (Indonesia)
dalam pengertian: Dilalah kersaning Allah, begja-begjane wong kang lali,
luwih begja kang eling lan waspada “Sudah kehendak Tuhan Allah, betapun
berbahagianya orang yang lupa, masih lebih berbahagia orang yang sadar
dan waspada”.
Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden
Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861 dalam pupuh sinom4). Karya
ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya
masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman
edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya
tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus
dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku
Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar
Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga
tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian
Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan
anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke
Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.
Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan
Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan.
Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan
raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar
bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon
adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita
sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja
6
Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari
Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan
Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha
tersebut.
Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang
macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat
perkataan amenangi jaman edan “menghadapi zaman gila”. Isi teks
Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman
edan
atau
zaman
mengakibatkan
rusak
suramnya
yang
derajat
serba
kabur
negara.
dan
tidak
Tanda-tanda
jelas
yang
zaman
yang
termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai
berikut.
1)
Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung,
yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki
pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun
penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang
memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik,
tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah
sebagai karma/dosa bangsa.
2)
Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak
yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun
rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka
berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang
ada.
3)
Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para
aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka
sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan
korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri,
penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela,
rendah, dan hina dina.
7
4)
Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan
kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup
hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda
kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.
5)
Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang
bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan
oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan
angkara.
6)
Berbeda-beda,
berjenis-jenis,
dan
banyak
ragamnya
perbuatan
angkara murka orang seluruh negara.
7)
Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya
karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh
fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan
pribadi.
8)
Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran,
dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga
menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9)
Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah
dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika
kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan
berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang
penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.
10)
Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak
orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba
sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang
menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit
jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.
Menghadapi zaman edan seperti itu membuat kita serba kesulitan
menentukan sikap. Apabila kita tidak mengikuti perilaku edan mereka,
lama-kelamaan kita menjdi bosan juga, tidak tahan akan penderitaan
hidup. Namun, apabila kita tidak ikut serta melakukan edan, rasa-rasanya
8
dihantui oleh ketakutan tidak mendapatkan bagian dari tahta, harta, dan
wanita5). Akibat perilaku edan-edanan itu, rakyatlah yang menderita
kelaparan, hingga hidup terasa menjadi “larang sandang, larang pangan,
larang papan” (serba mahal). Keadaan negara yang dilanda paceklik
mengakibatkan mahalnya sembako. Namun, apabila dirasa-rasakan semua
kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan
takdir Tuhan. Tuhan berkehendak membabati tanaman-tanaman liar yang
tidak berguna dan kemudian menggantikannya dengan tanaman yang lebih
indah berseri. Oleh karena itu, berbahagialah bagi mereka yang senantiasa
sadar dan berbakti kepada Tuhan serta waspada terhadap gejala perilaku
lupa dan edan. Meskipun mereka yang lupa segala-galanya mendapatkan
kue kekuasaan, harta, dan wanita, tetapi masih tetap lebih berbahagia bagi
mereka yang senantiasa sadar, berbakti, takwa, dan beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
4.2 Kerusakan Catur Bangsa
Masih senada dengan Ranggawarsita tentang zaman edan, seorang
ahli filosofi di Jawa abad XX, Raden Trihardono Soemodihardjo, secara
eksplisit melalui dua buah bait tembang dhandhanggula6) yang ditulis
pada tahun 1949 berjudul “Serat Waluyan”7), memberi tahu kepada kita
tentang tanda-tanda yang nyata terjadinya zaman edan tersebut. Dalam
tembangnya dhandanggula itu Soemodihardjo menggunakan tanda dan
lambang masyarakat Hindu atau India kuno, yang terkenal dengan
pembagian empat kasta atau catur bangsa.
Agar lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua bait tembang berikut
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Yen brahmana wus tindak ngapusi
laku dagang golek kauntungan
ngedol ngelmu kasektene
bangsa satria nguthuh
rebut melik asoring budi
bangsa waisya kuwasa
kadwi bangsa teluk
9
sujud marang si hartawan
kinen bantu genging bandhane wong sugih
srana nindhes wong sudra.
Bangsa sudra pan makaten ugi
rebut unggul nglawan bangsa waisya
wus sirna bangun miturute
minta mundhak blanja trus
wimbuh malih jaminan-neki
yen tan gelem nurutana
mogok buruhipun.
Yen adharma saya ndadra
jagat rusak Ingsun rawuh andandani
dharmaning catur bangsa.
(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,
berlaku dagang mencari keuntungan,
menjual ilmu yang menjadi andalannya.
Bangsa ksatria berbuat tercela,
berebut milik berbudi rendah.
Bangsa waisyalah yang berkuasa.
Kedua bangsa tadi takhluk
bersujud kepada si hartawan
disuruh membantu memperkaya harta si kaya
dengan cara menindas bangsa sudra.
Bangsa sudra pun berlaku demikian
berebut unggul melawan bangsa waisya
sudah hilang rasa patuhnya
selalu menuntut kenaikan upah
dan tambah berbagai jaminan
apabila tidak dipenuhi
mogok menjadi buruh.
Jikalau kerusakan semakin merajalela,
dunia rusak, Aku datang memperbaikinya
darma keempat bangsa tersebut.)
Petunjuk tentang tanda-tanda kekuasaan zaman edan yang diberikan
oleh Soemodihardjo melalui dua bait tembang macapat dhandhanggula itu
begitu jelasnya. Suatu zaman dikatakan edan apabila ditandai oleh perilaku
edan, rusaknya, dari keempat bangsa yang sudah ke luar dari kewajiban
(darma)-nya sebagai berikut.
10
1)
Bangsa brahmana8) sudah berani berbuat curang, menipu terhadap
umatnya,
membohongi
diri
sendiri
dan
orang
lain,
terjadi
pembohongan publik, tidak mengedepankan tindak kejujuran dan
kemuliaan,
kemudian
berlaku
dagang,
mencari
keuntungan,
memperkaya diri sendiri, serta menjual ilmu agamanya. Brahmana
yang demikian itu dapat disebut sebagai brahmana gadungan.
2)
Bangsa ksatria9) berbuat tercela, hina dina, saling berebut kekuasaan
dan pengaruh, rebutan hak milik, serta berbudi pekerti rendah,
sehingga bangsa ksatria ini takhluk dan bersujud kepada para
konglomerat, para investor, atau kepada si hartawan yang kaya-raya.
Ksatria yang demikian dapat disebut sebagai ksatria palsu.
3)
Bangsa waisya10) mampu menakhlukan kedua bangsa di atasnya,
yaitu bangsa brahmana dan bangsa ksatria. Kedua bangsa ini ikut
memperkaya harta bangsa waisya dengan cara menindas bangsa
sudra.
4)
Bangsa sudra11) pun tidak mau kalah untuk berebut unggul melawan
bangsa waisya. Bangsa sudra sudah hilang kepatuhannya sehingga
mereka berani melakukan demonstrasi beramai-ramai menuntut
kenaikan upah (UMR), meminta tambahan berbagai jaminan dan
tunjangan, seperti THR, cuti haid, asuransi kesehatan, bonus bulanan,
uang lembur, cuti melahirkan hingga 6 bulan, dan kalau PHK
meminta pesangon lebih. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh
majikannya, lalu mereka mogok kerja, bikin ulah dan teror, menjadi
provokator, serta ada juga yang melakukan mogok makan hingga
mati kelaparan.
Tindakan
keempat
bangsa
yang
rusak
seperti
itulah
yang
diungkapkan dalam tembang Dhandanggula dua bait oleh Soemodihardjo.
Sudah barang tentu perilaku rusak dari catur bangsa di atas mengarah
pada perilaku destruktif, durhaka, pandir, dungu, maksiat, bengis, sadis,
anarki, dan sudah melanggar dharma masing-masing, baik secara vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, maupun secara horisontal kepada
11
sesama umat. Keluarnya catur bangsa dari dharmanya itu mengakibatkan
dunia seisinya rusak, kacau-balau, karut-marut, amburadul semua tatanan
yang ada, dan akhirnya kutukan datang menimpa umat yang durhaka
tersebut. Kerusakan catur bangsa demikian itulah yang disebut dengan
zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.
4.3 Tidak Sekadar Bertopang Dagu dan Meratapi Nasib
Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam
menghadapi zaman edan seperti di atas? Tentu banyak hal yang dapat kita
perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam keadaan bagaimana pun.
Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang
dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal
diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita
lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat
Kalatidha karya Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo
di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita
perbuat dalam menghadapi zaman edan. Hal-hal yang dapat kita perbuat
itu antara lain sebagai berikut.
1)
Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya dengan baik.
Sebagai
warga
negara
yang
baik
hendaknya
kita
patuh
melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib,
hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara
dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga
negara dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan
rakyat.
2)
Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan
kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya
mengenak-enakan saja, bahkan kabar-kabar duka yang lain. Oleh
karena
itu,
kita
dituntut
untuk
memiliki
watak
kehati-hatian
(weweka). Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu
12
menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati
nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.
3)
Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita posisinya,
kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di
rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah
masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma
bangsa dan bukan sampah masyarakat.
4)
Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut
untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak
boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa
cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh
karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar
mencapai cita-cita menuju keberhasilan.
5)
Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan
nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh
Ranggawarsita
dengan
cara
menuliskan
cerita-cerita
kuno,
mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang
bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.
6)
Selalu tawakal atau narima dengan menyadari ketentuan takdir
Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak
ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh
Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan
hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu
memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita,
dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba,
dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga
tidak iri akan keberuntungan orang lain.
7)
Sabar sentosa. Sabar arinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat,
kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi
bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati
13
teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit.
Orang
yang
sabar
sentosa
dapat
disebut
sebagai
lautan
pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak
meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun.
Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri
watak picik dan berangasan.
8)
Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat
selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk
berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir
kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk
menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang
tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang
maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara
yang
lain
adalah
tidak
melupakan
dan
tidak
meninggalkan
sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Kita senantiasa diberi weweka, kehati-hatian, dapat membedakan
mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.
9)
Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi
darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita
sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun
menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh
menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar
dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga
dicapai hasil yang sesempurna mungkin.
10)
Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara
manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Serat Kalatidha di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan
diri dari dunia keramaian, selalu eling lan waspada, menyadari akan
takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau
sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
14
Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada
Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu
berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu
berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi
pekerti luhur dan mulia.
Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak
ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi
yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal
diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi
nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan
kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan
pegangan dalam menghadapi zaman edan. Seberapa kemampuan kita
melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam kedua
tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang
Maha Esa agar terhindar dari kekejaman zaman edan yang begitu dahsyat
mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.
5. SIMPULAN
Sebagaimana kita rasakan bersama dalam menghadapi zaman edan
yang begitu dahsyat mencekam menjadikan derajat negara suram, tampak
sunya-ruri, suwung, sepi melompong, dan tidak ada wibawanya sama
sekali. Hal itu diakibatkan oleh banyaknya bencana, musibah, malapetaka,
orang-orang yang sudah edan semua, dan kerusakan yang lainnya
menjadikan keprihatinan kita semua. Namun, sebagai bangsa yang
beradab dan bermartabat tentunya kita semua tetap tidak boleh putus asa,
tidak perlu putus harapan, dan tidak menyerah begitu saja pada keadaan
yang serba karut-marut ini. Kita semua harus bangkit dan bersemangat
untuk berjuang, berusaha atau berikhtiar dengan sekuat tenaga dan
kemampuan agar terbebas dari belenggu zaman edan yang kejam dahsyat
mencekam. Salah satu usaha itu adalah memberikan teladan atau contoh
15
dengan perbuatan keutamaan, kebajikan, dan berbudi pekerti luhur atau
mulia. Oleh karena itu, kita harus senantiasa “eling lan waspada”,
meningkatkan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sambil menunggu kehadiran ksastria piningit yang
akan mengentaskan penderitaan rakyat, mengembalikan derajat dan
martabat negera menuju peradaban dunia yang tenang, tentram, damai,
sejahtera, dan bahagia.
16
Catatan Akhir:
1)
Semasa kekuasaan Orde Baru jaya, perkataan itu menjadi sangat
populer karena sering diucapkan sebagai senjata “sabda pandita ratu”
Presiden Soeharto menangkal berbagai kritikan dan isu yang
menerpanya. Perkataan itu kemudian diabadikan dalam buku
suntingan Siti Hardiyanti Rukmana (1987), Butir-Butir Budaya Jawa:
Anggayuh Kasampurnaning Urip, Berbudi Bawa Leksana, Ngudi
Sejatine Becik (Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung).
2)
Bulan April tahun 1995 Presiden Soeharto berkunjung ke Jerman dan
didemo secara brutal di Dresden. Beliau kemudian berkomentar bahwa
tingkah laku mereka sudah gila semua, tidak ada yang waras. Peristiwa
yang dialaminya itu mirip dengan pemahamannya sebagai “zaman
edan”-nya Ronggowarsito (Kompas, Senin, 17 April 1995).
3)
Disebut dalam Serat Kalatida bait kedua baris keenam. Kata kala
artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat
(Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh
laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia
banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di
Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis
sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensinya dari
Serat Kalatidha karya Ronggowarsito (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas,
30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau
Tafsir Baru...”).
4)
Lihat Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat,
1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan
kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985:
269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman
yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak
kekacauan, dan penuh huru-hara.
5)
Kata sinom secara harfiah berarti: (1) pucuk daun muda, dan (2) daun
muda asam (Saputra, 1992:23). Kedua makna itu sama-sama
mengisyaratkan suatu keadaan yang masih berusia muda. Ingat pula
di Jawa ada kata sinoman, yaitu suatu perkumpulan para anak muda
untuk membantu orang yang mempunyai hajat. Namun, ada juga
pendapat lain bahwa sinom ada hubungannya dengan upacaraupacara adat bagi anak-anak muda pada zaman dahulu (Laginem,
1996: 18). Atas dasar pengertian kata sinom tersebut, maka dapat
dipahami bahwa tembang sinom itu diperuntukan bagi dunia muda,
dunia anak remaja, yakni dunia anak-anak yang berusia muda belia
yang penuh keceriaan, penuh suka cita, penuh cita-cita dan kemauan,
dan selalu senang, riang gembira, tiada duka lara. Oleh karena itu,
17
peralihan pupuh atau metrum dari suatu pupuh tertentu ke tembang
pupuh sinom selalu diberi isyarat wong anom sami ‘para orang muda’.
Pola persajakan bentuk sinom diatur sedemikian rupa sehingga
membentuk formula: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a.
6)
Terhadap ketiga hal ini, “tahta, harta, dan wanita”, bagi sebagian besar
orang Jawa dianggap sebagai “trisarana urip” (tiga sarana hidup).
Namun, ketiga hal itu juga sebagai godaan manusia yang kasar dan
kasat mata, yakni dengan ungkapan khas yang sering kita dengar: (1)
klubuking iwak ing kedhung, bergejolaknya ikan di suatu lubuk, yaitu
berkaitan dengan tergodanya seseorang akan kepangkatan,
kedudukan, atau jabatan yang lebih tinggi; (2) kemrincinge ringgit,
berkemerincingnya uang logam ringgit, yaitu berkaitan dengan
tergodanya seseorang akan uang atau harta benda, seperti suap,
kurupsi, dan mark up; dan (3) gebyaring wentis kuning, yaitu
berkilaunya betis kuning, yakni berkaitan dengan tergodanya
seseorang akan api asmara percintaan, seperti berzina, tindakan
asusila, penyelewengan asmara, dan pelecehan seksual.
7)
Menurut tradisi tutur, tembang dhandhanggula ini diciptakan oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga (Saputra, 1992:21), seorang wali utama di
tanah Jawa pada abad 15–-16 Masehi. Salah satu ciptaan tembang
macapat metrum dhandhanggula karya Sunan Kalijaga yang terkenal
adalah “Kidung Rumeksa Ing Wengi” (lihat Santosa, 1992 dan 2001).
Namun, ada juga yang menyatakan bahwa nama tembang
dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri pada abad ke-12, yaitu
Prabu Dhandhanggendis (Laginem, et al., 1996: 18). Apabila ditelusuri
dari jarwa dhosok-nya, kata dhandhanggula berasal dari kata
dhandhang + gula. Kata dhandhang dapat memiliki arti, yaitu ‘burung
gagak’ dan ‘terang sekali’ atau ‘jelas benar’ (Sudaryanto et al.,
2001:217). Mardiwarsito et al. (1985:73) menambahkan satu arti lagi,
yaitu ‘kapak’. Sementara kata gula, yang berarti juga ‘gula’,
berkonotasi pada rasa manis atau hal-hal yang manis. Atas dasar
pengertian di atas kata dhandhanggula dapat diartikan ‘kapak untuk
menebang hal-hal yang gelap atau buruk agar menjadi terang dan
terlihat manis’. Pola persajakan tembang dhandhanggula juga dibuat
dengan formula tertentu, yaitu 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, dan
7a.
8)
Kata brahmana berarti “sebutan pendeta agama Brahma, yakni kasta
tertinggi di masyarakat India kuno”, atau “orang yang masuk golongan
pendeta, resi, wiku”. Secara umum sekarang kata brahmana dimaknai
sebagai sebutan bagi para pemimpin yang hidupnya senantiasa
mengabdikan dirinya kepada agama yang dipeluk dan diyakininya.
18
9)
Kata ksatria berarti “sebutan bagi prajurit, tamtama, kasta militer, dan
raja-raja atau putra raja yang memegang kekuasaan suatu negara di
masyarakat India kuno”. Namun, kini kata ksatria mengalami perluasan
makna tidak hanya bagi bangsawan dan militer, tetapi juga para
sarjana, kaum cerdik cendekia, dan siapa pun orang yang rela
membela negara, menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi,
serta membela rakyat jelata untuk dapat dientaskan dari kemiskinan.
10) Kata waisya semula diartikan sebagai “kasta ketiga dalam agama
Hindu atau masyarakat India Kuno, yaitu golongan pedagang, petani,
dan tukang”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata waisya
mengalami perluasan makna untuk menyebut konglomerat, saudagar,
investor, pengusaha, para majikan, tengkulak, dan bisnismen.
11) Kata sudra semula berarti “golongan atau kasta terendah dalam
masyarakat India kuno atau masyarakat agama Hindu”. Kata sudra
dalam bahasa Indonesia sekarang dipahami sebagai golongan
masyarakat berpenghasilan rendah, seperti buruh, budak, rakyat
jelata, pembantu rumah tangga, gelandangan atau tuna wisma, dan
kaum fakir miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Sumidi. 1975. Sekitar Ki Pujangga Ranggawarsita. Yogyakarta:
Yayasan Sosrokartono.
Any, Anjar. 1980. Raden Ngabegi Ranggawarsita: Apa yang Terjadi.
Semarang: Aneka Ilmu.
Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan.
Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa.
Cetakan
ketiga.
Hardijanti Rukmana, Siti (ed). 1987. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta: Citra
Lamtoro Gung.
Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Yogyakarta: UP Indonesia.
Laginem, et al. 1996. Macapat Tardisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mertowardojo, R. Soenarto. 1986. Sasangka Jati. Cetakan kesebelas.
Cetakan pertama 1956. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.
19
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I dan II.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Permana, Ahmad Norma (penyunting). 1998. Zaman Edan Ranggawasita
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Pour, Julius. 1995. “Kapan Zaman Edan-Nya Ronggowarsito?”. Kompas,
Senin, 17 April 1995, hlm.12.
Rahardjo, R. 1974. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto
Mertowardojo. Cetakan Kedua. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika
Bandung: Angkasa.
dan Pengkajian Susastra.
Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan
Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores:
Nusa Indah.
Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio
Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998,
hlm. 3–15.
Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun
1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
20
Santosa, Puji. 1999a. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri
Bangsa” dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999,
hlm. 92–106.
Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam
Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.
Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak
Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah
Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan
Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra
Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo
Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori,
Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak
Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu
dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah
Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah
Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
21
Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran
Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis
Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar
Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing,
Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko
Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya,
Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal,
Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa
Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era
Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.
Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas
Sastra UI.
Sawega, Ardus M. 2001. “Zaman ‘Kaliyuga’, ‘Klabendu’, atau Tafsir Baru...”.
Kompas, Jumat, 30 Maret, halaman 1 dan 11.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta:
UI Press.
Tim Penyusun Kamus. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
22
Wuradji. 2001. “Pengantar Penelitian” dalam Jabrohim (ed). Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita dan Masyarakat Puitika
Indonesia.
Laporan Sidang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Judul
Penyaji
Moderator
Notulis
Hari/Tanggal
Waktu
Isi Sidang
: “Zaman Edan: Derajat Negara Suram”
: Drs. Puji Santosa, M.Hum.
: Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A.
: Drs. Aji Sapto, M.Si.
: Kamis, 4 Maret 2010
: Pukul 10.00—11.00 WIB
: Pertanyaan, Komentar, Masukan, dan Jawaban:
1) Drs. Amran Purba, M.Hum.
Tanggapan : Peristiwa zaman edan itu sifatnya temporal?
Jawaban
: Ya, dapat juga temporal, akan tetapi seberapa lamanya
zaman edan itu, tentu dilihat dari tanda-tanda yang
menyertainya.
2) Drs. Aji Sapto, M. Si.
Tanggapan : Muatan lokal bukan hanya bahasa dan sastra daerah?
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa tidak
mencitrakan keluhuran atau keadiluhungan budaya Jawa,
tetapi justru hal-hal yang bersifat seksual, seperti Silir
dan Gunung Pane? Apa tanggapan Saudara?
Jawaban
: Ya, memang benar muatan lokal itu bukan hanya dari
bahasa dan sastra daerah setempat, tetapi dapat juga
karya seni yang lain, seperti seni batik, seni ukir, atau
sejarah lokal. Bahasa dan sastra daerah setempat hanya
salah satu saja dari muatan lokal itu.
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang
adiluhung dilihat dari peninggalan sejarahnya dan karyakarya yang dihasilkan oleh pujangga-pujangga besar,
seperti R.T. Jasadipura I dan II, R. Ng. Ranggawarsita,
Pakubuana IV, dan Sri Mangkunegara IV. Karya-karya
merekalah yang membuat Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa, dan jangan dilihat dari efek sosialnya
yang kini banyak terjadi penyakit masyarakat.
3. Drs. Malem S. Sembiring
Pertanyaan :
Apakah ada bukti otentiknya zaman edan itu?
Jawaban
:
Bukti otentik mana yang Saudara maksudkan? Saya
hanya menganalisis isi teks “Serat Kalatidha” dan “Serat
Waluyan”, dari segi arti dan makna atau amanatnya.
23
Apabila ada relevansinya dengan keadaan sekarang,
tentu itu hanya kebenaran dari penafsiran teks dengan
keadaan sekarang.
4. Drs. Saksono Prijanto, M.Hum.
Tanggapan :
Sebaiknya Pak Puji hanya mendasarkan teks sastra,
jangan
menyerempet-nyerempet
dengan
masalah
persoalan politik dan keadaan sekarang.
Jawaban : Terima kasih atas sarannya, saya hanya menganalisis
teks sastra, dalam mencari amanat atau makna karya
sastra diperbolehkan dilakukan penafsiran secara
mimesis, yakni hubungan antara teks karya sastra
dengan keadaan dunia atau alam semesta sekarang.
Sebab, karya sastra tidak lahir dari kekosongan atau
jatuh dari langit, tetapi ditulis berdasarkan kenyataan
yang ada pada waktu karya ditulis.
5. Dr. Sabar Budi Rahardjo, M.Pd.
Tanggapan :
Sebaiknya
Pak
Puji
menuliskan
artikelnya
berdasarkan ketentuan karya tulis ilmiah (KTI) yang
berlaku sesuai dengan ketentuan LIPI. Jangan hanya
mengalir saja, untuk bahan seminar tentu boleh
demikian.
Jawaban : Terima kasih Pak Sabar, saya akan usahakan sesuai
dengan KTI dari ketentuan LIPI.
24
JEJAK NEGARA PADA ZAMAN EDAN
Puji Santosa
Abstrak
Tujuan penelitian mengungkapkan dan mendeskripsikan tanda-tanda
zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R. Ng.
Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo.
Masalah penelitian bagaimana tanda-tanda zaman edan dan relevansinya
dengan keadaan sekarang berdasarkan kedua teks di atas? Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah analisis konten. Hasil dan temuan
pembahasan didapat adanya relevansi zaman yang disampaikan dalam
kedua teks sastra “Kalatidha” dan “Serat Walyuyan” dengan keadaan
zaman sekarang, yakni zaman edan. Ranggawarsita menandai zaman itu
sebagai zaman edan dengan sepuluh tanda-tandanya, dan Somodihardjo
menandainya dengan kerusakan empat bangsa (brahmana, ksatria,
waisiya, sudra) yang sudah tidak menetapi darma masing-masing.
Simpulan yang didapatkan bahwa nilai-nilai kearifan yang didapatkan
dalam kedua teks di atas dapat sebagai tuntunan ke arah kebajikan yang
menuju pada perilaku keutamaan, kemuliaan, dan keluhuran bangsa, yakni
agar manusia Indonesia tidak hanya sekadar bertopang dagu dan meratapi
nasibnya di zaman edan.
Kata-kata Kunci: sastra, kekuasaan, negara, zaman edan
1. PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 1997 hingga kini bangsa
Indonesia
dilanda
berbagai krisis
yang
tidak
kunjung selesai. Mula-mula berupa krisis moneter
dengan semakin merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang negara lain, terutama dolar
Amerika.
Kemudian
meningkat
pada
krisis
kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik,
krisis keamanan, dan tentu saja krisis kekuasaan
dengan lengsernya Presiden Soeharto. Di berbagai
sektor terjadi kebangkrutan keimanan dengan
ditandai oleh perilaku manusia yang mengarah kepada brutalisme,
1
sadisme,
kanibalisme,
penjarahan,
perampokan,
pembakaran,
pemerkosaan massal, dan pembunuhan yang disertai mutilasi. Para elite
politik saling menghujat tanpa etika. Nafsu setan sudah tidak terkendali.
Emosi massa mudah dibakar. Amarah mudah dibangkitkan. Ancaman
disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-tengah masyarakat kita
dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, lepasnya Timor Timur dari
pangkuan Ibu Pertiwi, bergejolaknya rakyat Papua menuntut kemerdekaan,
Aceh membara selepas DOM, Ambon banjir darah dengan perang
antaragama, serta Sambas, Ketapang, dan Sampit di Kalimantan porakporanda dengan perang antaretnis, Palu-Sulawesi bergejolak terus tiada
henti, dan banyak daerah yang menjadi ajang kerusuhan massa, teror bom,
pembasmian antaretnis, dan sebagainya dan sebagainya. Siapa pun yang
hidup di tengah masyarakat seperti itu akan merasa miris, cemas, was
khawatir, atau rasa ketakutan luar biasa karena keselamatan jiwanya
terancam, dan hidupnya pun tidak menentu. Semua orang sudah menjadi
edan, benar-benar gila. Apalagi ditambah berbagai bencana alam yang
melanda negeri ini silih berganti tiada henti, seperti tanah longsor, tsunami,
banjir, gunung meletus, gempa bumi, pesawat jatuh, kapal tenggelam,
tabrakan maut, kebakaran hutan dan lahan, serta mewabahnya berbagai
penyakit. Keadaan itu layak disebut sebagai zaman edan.
Menghadapi zaman edan yang begitu menyengsarakan seluruh
sendi-sendi kehidupan membuat hidup serba tidak menentu, pikiran dan
perasaan
manusia
sudah
tidak
sehat
lagi,
semuanya
serba
sulit
menentukan sikap, serta tidak ada fundamental keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, mau berbuat apakah kita? Apa saja
yang dapat kita lakukan untuk mengantisipati agar tidak ikut terseret arus
zaman edan yang demikian itu? Padahal keadaan zaman edan itu sudah
diantisipasi oleh seorang pujangga besar sastra Jawa, yakni R. Ng.
Ranggawarsita dalam karyanya “Serat Kalatidha” (1860) dan R. Trihardono
Soemodihardjo dalam karyanya “Serat Waluyan” (1949) yang ditujukan
kepada R. Soenarto Mertowardojo.
2
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana tanda-tanda
zaman edan dan relevansinya dengan keadaan sekarang berdasarkan
kedua teks tembang (“Serat Kalatidha” karya R. Ng, Ranggawarsita dan
“Serat Walyuan” karya R. Trihardono Soemodihardjo) di atas? Setelah
memahami ada relevansinya, lalu apa yang sebaiknya harus diperbuat
bangsa dan rakyat Indonesia berdasarkan amanat kedua teks di atas?
Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan
tanda-tanda zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R.
Ng. Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo
serta relevansinya dengan keadaan zaman sekarang. Selain itu, penelitian
ini juga bertujuan menemukan amanat dari nilai kearifan kedua teks di atas
dalam menghadapi zaman edan sehingga ada hal-hal yang dapat diperbuat
dan tidak sekadar bertopang dagu dan meratapi nasib di zaman edan.
2. KAJIAN PUSTAKA
Serat Kalatidha adalah salah satu judul karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan”.
Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri
atas 12 bait, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas
11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930.
Dalam penulisan bab ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah
Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata
kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala
artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur,
khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu
zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa
kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah
kalabendu atau jaman retu.
Kata kalabendu disebut dalam Serat Kalatidha bait kedua baris
keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya
kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang
3
penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena
manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan
di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis
sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra
menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M.
Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga,
Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).
Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku
Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata
retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al,
1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman
retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan
massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.
Kajian terhadap Ranggawarsita dan karyanya antara lain dilakukan
oleh Kamadjaja (1964, 1988), Sumidi Adisasmita (1975), Suripan Sadi
Hutomo (1979), Anjar Any (1980), Simuh (1988, 1999), R.I. Mulyanto dkk.
(1990), Ahmad Norma Permana (1998), dan Harlina Indijati (2003).
Sementara itu, kajian terhadap karya-karya R. Trihardono Soemodihardjo
belum ada orang yang mengkajinya. “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo
itu dimuat dalam buku Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu: R.
Soenanrto Mertowardojo (R. Rahardjo, 1974: 128—130).
3. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten.
Analisis konten adalah penelitian yang berusaha menganalisis dokumen
untuk diketahui isi dan makna yang terkandung di dalam dokumen tersebut
(Wuradji dalam Jabrohim, 2001:6). Dalam analisis konten ini terdapat dua
macam analisis, yaitu analisis isi laten dan analisis isi komunikasi (Ratna,
2008: 48—49). Aanalisis isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan
analisis isi komunikasi akan menghasilkan makna. Sebagaimana halnya
metode kualitatif, dasar metode analisis konten adalah penafsiran. Sebagai
4
sampel penelitian ini adalah teks naskah “Serat Kalatidha” karya R.Ng.
Ranggawarsita
dan
Soemodihardjo.
Teknik
teks
“Serat
pengambilan
Waluyan”
karya
sampel
dilakukan
R.
Trihardono
dengan
cara
berdasarkan pada tujuan penelitian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tanda-Tanda Zaman Edan
Apakah yang menjadi tanda-tanda zaman edan itu? Kapankah
terjadinya? Apakah sekarang sudah termasuk zaman edan? Adalah
pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang hidup
antara tahun 1802—1873, Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang menyebut
keadaan suatu negera serba kacau-balau, karut-marut dilanda berbagai
situasi krisis, yaitu dengan istilah “zaman edan”. Kekisruhan negara yang
sedemikian hebatnya selama bertahun-tahun, bahkan tampaknya hingga
kini tak kunjung surut, pantas disebut sebagai zaman edan. Keadaan negeri
yang dhedhel-dhuwel dengan ditandai kekacauan di semua sektor,
timbulnya sparatisme, wabah penyakit di mana-mana atau pageblug,
bencana alam yang melanda setiap waktu, seperti kebakaran hutan, lahan,
dan pekarangan sehingga terjadi bencana asap, gunung meletus, gempa
bumi, hujan badai, banjir air bah disertai tanah longsor, gelombang air rob
atau tsunami, angin puting beliung, gerhana bulan atau gerhana matahari,
dan el nino el nina yang memperbesar lubang ozon sehingga menyebabkan
cuaca panas tak menentu, tiba-tiba hujan deras dan lebat disertai petir
menyambar-nyambar, serta akal pikiran manusia yang sudah tidak sehat
lagi, pantas disebut sebagai zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman
retu.
Bermula dari bait ketujuh tembang sinom dalam Serat Kalatidha itu
begitu terkenalnya menandai hadirnya zaman edan. Bagi sebagian besar
masyarakat Jawa “amenangi jaman edan” seperti di atas bukanlah sesuatu
yang aneh, melainkan orang Jawa itu ora gampang gumunan lan ora
gampang kagetan1) “tidak mudah keheranan dan tidak mudah terkejut”.
5
Zaman edan seperti itu sudah diantisipasi jauh hari sebelumnya2). Dalam
berbagai serat dan pustaka klasik orang-orang Jawa, keadaan seperti itu
telah disebut-sebut akan datang waktunya. Selain disebut sebagai “Jaman
Edan”, keadaan negeri yang kacau-balau atau karut-marut, juga disebut
sebagai
“Jaman
Kalabendu”)
atau
juga
“Jaman
Retu”3).
Sebegitu
dahsyatnya kekuasaan zaman edan sehingga dengan kalimat bersayapnya,
Ranggawarsita meletakkan hukum moral bagi masyarakat Jawa (Indonesia)
dalam pengertian: Dilalah kersaning Allah, begja-begjane wong kang lali,
luwih begja kang eling lan waspada “Sudah kehendak Tuhan Allah, betapun
berbahagianya orang yang lupa, masih lebih berbahagia orang yang sadar
dan waspada”.
Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden
Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861 dalam pupuh sinom4). Karya
ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya
masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman
edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya
tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus
dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku
Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar
Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga
tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian
Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan
anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke
Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.
Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan
Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan.
Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan
raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar
bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon
adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita
sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja
6
Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari
Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan
Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha
tersebut.
Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang
macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat
perkataan amenangi jaman edan “menghadapi zaman gila”. Isi teks
Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman
edan
atau
zaman
mengakibatkan
rusak
suramnya
yang
derajat
serba
kabur
negara.
dan
tidak
Tanda-tanda
jelas
yang
zaman
yang
termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai
berikut.
1)
Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung,
yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki
pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun
penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang
memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik,
tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah
sebagai karma/dosa bangsa.
2)
Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak
yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun
rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka
berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang
ada.
3)
Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para
aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka
sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan
korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri,
penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela,
rendah, dan hina dina.
7
4)
Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan
kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup
hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda
kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.
5)
Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang
bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan
oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan
angkara.
6)
Berbeda-beda,
berjenis-jenis,
dan
banyak
ragamnya
perbuatan
angkara murka orang seluruh negara.
7)
Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya
karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh
fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan
pribadi.
8)
Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran,
dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga
menjadi perkara hukum dan sebagainya.
9)
Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah
dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika
kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan
berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang
penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.
10)
Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak
orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba
sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang
menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit
jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.
Menghadapi zaman edan seperti itu membuat kita serba kesulitan
menentukan sikap. Apabila kita tidak mengikuti perilaku edan mereka,
lama-kelamaan kita menjdi bosan juga, tidak tahan akan penderitaan
hidup. Namun, apabila kita tidak ikut serta melakukan edan, rasa-rasanya
8
dihantui oleh ketakutan tidak mendapatkan bagian dari tahta, harta, dan
wanita5). Akibat perilaku edan-edanan itu, rakyatlah yang menderita
kelaparan, hingga hidup terasa menjadi “larang sandang, larang pangan,
larang papan” (serba mahal). Keadaan negara yang dilanda paceklik
mengakibatkan mahalnya sembako. Namun, apabila dirasa-rasakan semua
kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan
takdir Tuhan. Tuhan berkehendak membabati tanaman-tanaman liar yang
tidak berguna dan kemudian menggantikannya dengan tanaman yang lebih
indah berseri. Oleh karena itu, berbahagialah bagi mereka yang senantiasa
sadar dan berbakti kepada Tuhan serta waspada terhadap gejala perilaku
lupa dan edan. Meskipun mereka yang lupa segala-galanya mendapatkan
kue kekuasaan, harta, dan wanita, tetapi masih tetap lebih berbahagia bagi
mereka yang senantiasa sadar, berbakti, takwa, dan beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
4.2 Kerusakan Catur Bangsa
Masih senada dengan Ranggawarsita tentang zaman edan, seorang
ahli filosofi di Jawa abad XX, Raden Trihardono Soemodihardjo, secara
eksplisit melalui dua buah bait tembang dhandhanggula6) yang ditulis
pada tahun 1949 berjudul “Serat Waluyan”7), memberi tahu kepada kita
tentang tanda-tanda yang nyata terjadinya zaman edan tersebut. Dalam
tembangnya dhandanggula itu Soemodihardjo menggunakan tanda dan
lambang masyarakat Hindu atau India kuno, yang terkenal dengan
pembagian empat kasta atau catur bangsa.
Agar lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua bait tembang berikut
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Yen brahmana wus tindak ngapusi
laku dagang golek kauntungan
ngedol ngelmu kasektene
bangsa satria nguthuh
rebut melik asoring budi
bangsa waisya kuwasa
kadwi bangsa teluk
9
sujud marang si hartawan
kinen bantu genging bandhane wong sugih
srana nindhes wong sudra.
Bangsa sudra pan makaten ugi
rebut unggul nglawan bangsa waisya
wus sirna bangun miturute
minta mundhak blanja trus
wimbuh malih jaminan-neki
yen tan gelem nurutana
mogok buruhipun.
Yen adharma saya ndadra
jagat rusak Ingsun rawuh andandani
dharmaning catur bangsa.
(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,
berlaku dagang mencari keuntungan,
menjual ilmu yang menjadi andalannya.
Bangsa ksatria berbuat tercela,
berebut milik berbudi rendah.
Bangsa waisyalah yang berkuasa.
Kedua bangsa tadi takhluk
bersujud kepada si hartawan
disuruh membantu memperkaya harta si kaya
dengan cara menindas bangsa sudra.
Bangsa sudra pun berlaku demikian
berebut unggul melawan bangsa waisya
sudah hilang rasa patuhnya
selalu menuntut kenaikan upah
dan tambah berbagai jaminan
apabila tidak dipenuhi
mogok menjadi buruh.
Jikalau kerusakan semakin merajalela,
dunia rusak, Aku datang memperbaikinya
darma keempat bangsa tersebut.)
Petunjuk tentang tanda-tanda kekuasaan zaman edan yang diberikan
oleh Soemodihardjo melalui dua bait tembang macapat dhandhanggula itu
begitu jelasnya. Suatu zaman dikatakan edan apabila ditandai oleh perilaku
edan, rusaknya, dari keempat bangsa yang sudah ke luar dari kewajiban
(darma)-nya sebagai berikut.
10
1)
Bangsa brahmana8) sudah berani berbuat curang, menipu terhadap
umatnya,
membohongi
diri
sendiri
dan
orang
lain,
terjadi
pembohongan publik, tidak mengedepankan tindak kejujuran dan
kemuliaan,
kemudian
berlaku
dagang,
mencari
keuntungan,
memperkaya diri sendiri, serta menjual ilmu agamanya. Brahmana
yang demikian itu dapat disebut sebagai brahmana gadungan.
2)
Bangsa ksatria9) berbuat tercela, hina dina, saling berebut kekuasaan
dan pengaruh, rebutan hak milik, serta berbudi pekerti rendah,
sehingga bangsa ksatria ini takhluk dan bersujud kepada para
konglomerat, para investor, atau kepada si hartawan yang kaya-raya.
Ksatria yang demikian dapat disebut sebagai ksatria palsu.
3)
Bangsa waisya10) mampu menakhlukan kedua bangsa di atasnya,
yaitu bangsa brahmana dan bangsa ksatria. Kedua bangsa ini ikut
memperkaya harta bangsa waisya dengan cara menindas bangsa
sudra.
4)
Bangsa sudra11) pun tidak mau kalah untuk berebut unggul melawan
bangsa waisya. Bangsa sudra sudah hilang kepatuhannya sehingga
mereka berani melakukan demonstrasi beramai-ramai menuntut
kenaikan upah (UMR), meminta tambahan berbagai jaminan dan
tunjangan, seperti THR, cuti haid, asuransi kesehatan, bonus bulanan,
uang lembur, cuti melahirkan hingga 6 bulan, dan kalau PHK
meminta pesangon lebih. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh
majikannya, lalu mereka mogok kerja, bikin ulah dan teror, menjadi
provokator, serta ada juga yang melakukan mogok makan hingga
mati kelaparan.
Tindakan
keempat
bangsa
yang
rusak
seperti
itulah
yang
diungkapkan dalam tembang Dhandanggula dua bait oleh Soemodihardjo.
Sudah barang tentu perilaku rusak dari catur bangsa di atas mengarah
pada perilaku destruktif, durhaka, pandir, dungu, maksiat, bengis, sadis,
anarki, dan sudah melanggar dharma masing-masing, baik secara vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, maupun secara horisontal kepada
11
sesama umat. Keluarnya catur bangsa dari dharmanya itu mengakibatkan
dunia seisinya rusak, kacau-balau, karut-marut, amburadul semua tatanan
yang ada, dan akhirnya kutukan datang menimpa umat yang durhaka
tersebut. Kerusakan catur bangsa demikian itulah yang disebut dengan
zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.
4.3 Tidak Sekadar Bertopang Dagu dan Meratapi Nasib
Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam
menghadapi zaman edan seperti di atas? Tentu banyak hal yang dapat kita
perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam keadaan bagaimana pun.
Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang
dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal
diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita
lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat
Kalatidha karya Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo
di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita
perbuat dalam menghadapi zaman edan. Hal-hal yang dapat kita perbuat
itu antara lain sebagai berikut.
1)
Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya dengan baik.
Sebagai
warga
negara
yang
baik
hendaknya
kita
patuh
melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib,
hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara
dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga
negara dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan
rakyat.
2)
Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan
kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya
mengenak-enakan saja, bahkan kabar-kabar duka yang lain. Oleh
karena
itu,
kita
dituntut
untuk
memiliki
watak
kehati-hatian
(weweka). Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu
12
menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati
nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.
3)
Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita posisinya,
kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di
rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah
masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma
bangsa dan bukan sampah masyarakat.
4)
Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut
untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak
boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa
cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh
karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar
mencapai cita-cita menuju keberhasilan.
5)
Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan
nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh
Ranggawarsita
dengan
cara
menuliskan
cerita-cerita
kuno,
mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang
bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.
6)
Selalu tawakal atau narima dengan menyadari ketentuan takdir
Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak
ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh
Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan
hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu
memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita,
dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba,
dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga
tidak iri akan keberuntungan orang lain.
7)
Sabar sentosa. Sabar arinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat,
kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi
bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati
13
teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit.
Orang
yang
sabar
sentosa
dapat
disebut
sebagai
lautan
pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak
meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun.
Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri
watak picik dan berangasan.
8)
Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat
selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk
berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir
kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk
menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang
tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang
maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara
yang
lain
adalah
tidak
melupakan
dan
tidak
meninggalkan
sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Kita senantiasa diberi weweka, kehati-hatian, dapat membedakan
mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.
9)
Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi
darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita
sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun
menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh
menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar
dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga
dicapai hasil yang sesempurna mungkin.
10)
Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara
manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Serat Kalatidha di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan
diri dari dunia keramaian, selalu eling lan waspada, menyadari akan
takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau
sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
14
Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada
Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu
berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu
berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi
pekerti luhur dan mulia.
Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak
ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi
yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal
diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi
nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan
kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan
pegangan dalam menghadapi zaman edan. Seberapa kemampuan kita
melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam kedua
tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang
Maha Esa agar terhindar dari kekejaman zaman edan yang begitu dahsyat
mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.
5. SIMPULAN
Sebagaimana kita rasakan bersama dalam menghadapi zaman edan
yang begitu dahsyat mencekam menjadikan derajat negara suram, tampak
sunya-ruri, suwung, sepi melompong, dan tidak ada wibawanya sama
sekali. Hal itu diakibatkan oleh banyaknya bencana, musibah, malapetaka,
orang-orang yang sudah edan semua, dan kerusakan yang lainnya
menjadikan keprihatinan kita semua. Namun, sebagai bangsa yang
beradab dan bermartabat tentunya kita semua tetap tidak boleh putus asa,
tidak perlu putus harapan, dan tidak menyerah begitu saja pada keadaan
yang serba karut-marut ini. Kita semua harus bangkit dan bersemangat
untuk berjuang, berusaha atau berikhtiar dengan sekuat tenaga dan
kemampuan agar terbebas dari belenggu zaman edan yang kejam dahsyat
mencekam. Salah satu usaha itu adalah memberikan teladan atau contoh
15
dengan perbuatan keutamaan, kebajikan, dan berbudi pekerti luhur atau
mulia. Oleh karena itu, kita harus senantiasa “eling lan waspada”,
meningkatkan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sambil menunggu kehadiran ksastria piningit yang
akan mengentaskan penderitaan rakyat, mengembalikan derajat dan
martabat negera menuju peradaban dunia yang tenang, tentram, damai,
sejahtera, dan bahagia.
16
Catatan Akhir:
1)
Semasa kekuasaan Orde Baru jaya, perkataan itu menjadi sangat
populer karena sering diucapkan sebagai senjata “sabda pandita ratu”
Presiden Soeharto menangkal berbagai kritikan dan isu yang
menerpanya. Perkataan itu kemudian diabadikan dalam buku
suntingan Siti Hardiyanti Rukmana (1987), Butir-Butir Budaya Jawa:
Anggayuh Kasampurnaning Urip, Berbudi Bawa Leksana, Ngudi
Sejatine Becik (Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung).
2)
Bulan April tahun 1995 Presiden Soeharto berkunjung ke Jerman dan
didemo secara brutal di Dresden. Beliau kemudian berkomentar bahwa
tingkah laku mereka sudah gila semua, tidak ada yang waras. Peristiwa
yang dialaminya itu mirip dengan pemahamannya sebagai “zaman
edan”-nya Ronggowarsito (Kompas, Senin, 17 April 1995).
3)
Disebut dalam Serat Kalatida bait kedua baris keenam. Kata kala
artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat
(Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh
laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia
banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di
Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis
sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensinya dari
Serat Kalatidha karya Ronggowarsito (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas,
30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau
Tafsir Baru...”).
4)
Lihat Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat,
1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan
kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985:
269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman
yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak
kekacauan, dan penuh huru-hara.
5)
Kata sinom secara harfiah berarti: (1) pucuk daun muda, dan (2) daun
muda asam (Saputra, 1992:23). Kedua makna itu sama-sama
mengisyaratkan suatu keadaan yang masih berusia muda. Ingat pula
di Jawa ada kata sinoman, yaitu suatu perkumpulan para anak muda
untuk membantu orang yang mempunyai hajat. Namun, ada juga
pendapat lain bahwa sinom ada hubungannya dengan upacaraupacara adat bagi anak-anak muda pada zaman dahulu (Laginem,
1996: 18). Atas dasar pengertian kata sinom tersebut, maka dapat
dipahami bahwa tembang sinom itu diperuntukan bagi dunia muda,
dunia anak remaja, yakni dunia anak-anak yang berusia muda belia
yang penuh keceriaan, penuh suka cita, penuh cita-cita dan kemauan,
dan selalu senang, riang gembira, tiada duka lara. Oleh karena itu,
17
peralihan pupuh atau metrum dari suatu pupuh tertentu ke tembang
pupuh sinom selalu diberi isyarat wong anom sami ‘para orang muda’.
Pola persajakan bentuk sinom diatur sedemikian rupa sehingga
membentuk formula: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a.
6)
Terhadap ketiga hal ini, “tahta, harta, dan wanita”, bagi sebagian besar
orang Jawa dianggap sebagai “trisarana urip” (tiga sarana hidup).
Namun, ketiga hal itu juga sebagai godaan manusia yang kasar dan
kasat mata, yakni dengan ungkapan khas yang sering kita dengar: (1)
klubuking iwak ing kedhung, bergejolaknya ikan di suatu lubuk, yaitu
berkaitan dengan tergodanya seseorang akan kepangkatan,
kedudukan, atau jabatan yang lebih tinggi; (2) kemrincinge ringgit,
berkemerincingnya uang logam ringgit, yaitu berkaitan dengan
tergodanya seseorang akan uang atau harta benda, seperti suap,
kurupsi, dan mark up; dan (3) gebyaring wentis kuning, yaitu
berkilaunya betis kuning, yakni berkaitan dengan tergodanya
seseorang akan api asmara percintaan, seperti berzina, tindakan
asusila, penyelewengan asmara, dan pelecehan seksual.
7)
Menurut tradisi tutur, tembang dhandhanggula ini diciptakan oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga (Saputra, 1992:21), seorang wali utama di
tanah Jawa pada abad 15–-16 Masehi. Salah satu ciptaan tembang
macapat metrum dhandhanggula karya Sunan Kalijaga yang terkenal
adalah “Kidung Rumeksa Ing Wengi” (lihat Santosa, 1992 dan 2001).
Namun, ada juga yang menyatakan bahwa nama tembang
dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri pada abad ke-12, yaitu
Prabu Dhandhanggendis (Laginem, et al., 1996: 18). Apabila ditelusuri
dari jarwa dhosok-nya, kata dhandhanggula berasal dari kata
dhandhang + gula. Kata dhandhang dapat memiliki arti, yaitu ‘burung
gagak’ dan ‘terang sekali’ atau ‘jelas benar’ (Sudaryanto et al.,
2001:217). Mardiwarsito et al. (1985:73) menambahkan satu arti lagi,
yaitu ‘kapak’. Sementara kata gula, yang berarti juga ‘gula’,
berkonotasi pada rasa manis atau hal-hal yang manis. Atas dasar
pengertian di atas kata dhandhanggula dapat diartikan ‘kapak untuk
menebang hal-hal yang gelap atau buruk agar menjadi terang dan
terlihat manis’. Pola persajakan tembang dhandhanggula juga dibuat
dengan formula tertentu, yaitu 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, dan
7a.
8)
Kata brahmana berarti “sebutan pendeta agama Brahma, yakni kasta
tertinggi di masyarakat India kuno”, atau “orang yang masuk golongan
pendeta, resi, wiku”. Secara umum sekarang kata brahmana dimaknai
sebagai sebutan bagi para pemimpin yang hidupnya senantiasa
mengabdikan dirinya kepada agama yang dipeluk dan diyakininya.
18
9)
Kata ksatria berarti “sebutan bagi prajurit, tamtama, kasta militer, dan
raja-raja atau putra raja yang memegang kekuasaan suatu negara di
masyarakat India kuno”. Namun, kini kata ksatria mengalami perluasan
makna tidak hanya bagi bangsawan dan militer, tetapi juga para
sarjana, kaum cerdik cendekia, dan siapa pun orang yang rela
membela negara, menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi,
serta membela rakyat jelata untuk dapat dientaskan dari kemiskinan.
10) Kata waisya semula diartikan sebagai “kasta ketiga dalam agama
Hindu atau masyarakat India Kuno, yaitu golongan pedagang, petani,
dan tukang”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata waisya
mengalami perluasan makna untuk menyebut konglomerat, saudagar,
investor, pengusaha, para majikan, tengkulak, dan bisnismen.
11) Kata sudra semula berarti “golongan atau kasta terendah dalam
masyarakat India kuno atau masyarakat agama Hindu”. Kata sudra
dalam bahasa Indonesia sekarang dipahami sebagai golongan
masyarakat berpenghasilan rendah, seperti buruh, budak, rakyat
jelata, pembantu rumah tangga, gelandangan atau tuna wisma, dan
kaum fakir miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Sumidi. 1975. Sekitar Ki Pujangga Ranggawarsita. Yogyakarta:
Yayasan Sosrokartono.
Any, Anjar. 1980. Raden Ngabegi Ranggawarsita: Apa yang Terjadi.
Semarang: Aneka Ilmu.
Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan.
Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa.
Cetakan
ketiga.
Hardijanti Rukmana, Siti (ed). 1987. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta: Citra
Lamtoro Gung.
Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Yogyakarta: UP Indonesia.
Laginem, et al. 1996. Macapat Tardisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mertowardojo, R. Soenarto. 1986. Sasangka Jati. Cetakan kesebelas.
Cetakan pertama 1956. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.
19
Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I dan II.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Permana, Ahmad Norma (penyunting). 1998. Zaman Edan Ranggawasita
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Pour, Julius. 1995. “Kapan Zaman Edan-Nya Ronggowarsito?”. Kompas,
Senin, 17 April 1995, hlm.12.
Rahardjo, R. 1974. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto
Mertowardojo. Cetakan Kedua. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika
Bandung: Angkasa.
dan Pengkajian Susastra.
Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan
Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores:
Nusa Indah.
Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern
1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio
Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998,
hlm. 3–15.
Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santosa, Puji., dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun
1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
20
Santosa, Puji. 1999a. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri
Bangsa” dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999,
hlm. 92–106.
Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam
Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.
Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak
Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah
Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan
Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra
Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo
Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori,
Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak
Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu
dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah
Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah
Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
21
Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran
Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis
Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar
Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing,
Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko
Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya,
Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal,
Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa
Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era
Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.
Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas
Sastra UI.
Sawega, Ardus M. 2001. “Zaman ‘Kaliyuga’, ‘Klabendu’, atau Tafsir Baru...”.
Kompas, Jumat, 30 Maret, halaman 1 dan 11.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta:
UI Press.
Tim Penyusun Kamus. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
22
Wuradji. 2001. “Pengantar Penelitian” dalam Jabrohim (ed). Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita dan Masyarakat Puitika
Indonesia.
Laporan Sidang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Judul
Penyaji
Moderator
Notulis
Hari/Tanggal
Waktu
Isi Sidang
: “Zaman Edan: Derajat Negara Suram”
: Drs. Puji Santosa, M.Hum.
: Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A.
: Drs. Aji Sapto, M.Si.
: Kamis, 4 Maret 2010
: Pukul 10.00—11.00 WIB
: Pertanyaan, Komentar, Masukan, dan Jawaban:
1) Drs. Amran Purba, M.Hum.
Tanggapan : Peristiwa zaman edan itu sifatnya temporal?
Jawaban
: Ya, dapat juga temporal, akan tetapi seberapa lamanya
zaman edan itu, tentu dilihat dari tanda-tanda yang
menyertainya.
2) Drs. Aji Sapto, M. Si.
Tanggapan : Muatan lokal bukan hanya bahasa dan sastra daerah?
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa tidak
mencitrakan keluhuran atau keadiluhungan budaya Jawa,
tetapi justru hal-hal yang bersifat seksual, seperti Silir
dan Gunung Pane? Apa tanggapan Saudara?
Jawaban
: Ya, memang benar muatan lokal itu bukan hanya dari
bahasa dan sastra daerah setempat, tetapi dapat juga
karya seni yang lain, seperti seni batik, seni ukir, atau
sejarah lokal. Bahasa dan sastra daerah setempat hanya
salah satu saja dari muatan lokal itu.
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang
adiluhung dilihat dari peninggalan sejarahnya dan karyakarya yang dihasilkan oleh pujangga-pujangga besar,
seperti R.T. Jasadipura I dan II, R. Ng. Ranggawarsita,
Pakubuana IV, dan Sri Mangkunegara IV. Karya-karya
merekalah yang membuat Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa, dan jangan dilihat dari efek sosialnya
yang kini banyak terjadi penyakit masyarakat.
3. Drs. Malem S. Sembiring
Pertanyaan :
Apakah ada bukti otentiknya zaman edan itu?
Jawaban
:
Bukti otentik mana yang Saudara maksudkan? Saya
hanya menganalisis isi teks “Serat Kalatidha” dan “Serat
Waluyan”, dari segi arti dan makna atau amanatnya.
23
Apabila ada relevansinya dengan keadaan sekarang,
tentu itu hanya kebenaran dari penafsiran teks dengan
keadaan sekarang.
4. Drs. Saksono Prijanto, M.Hum.
Tanggapan :
Sebaiknya Pak Puji hanya mendasarkan teks sastra,
jangan
menyerempet-nyerempet
dengan
masalah
persoalan politik dan keadaan sekarang.
Jawaban : Terima kasih atas sarannya, saya hanya menganalisis
teks sastra, dalam mencari amanat atau makna karya
sastra diperbolehkan dilakukan penafsiran secara
mimesis, yakni hubungan antara teks karya sastra
dengan keadaan dunia atau alam semesta sekarang.
Sebab, karya sastra tidak lahir dari kekosongan atau
jatuh dari langit, tetapi ditulis berdasarkan kenyataan
yang ada pada waktu karya ditulis.
5. Dr. Sabar Budi Rahardjo, M.Pd.
Tanggapan :
Sebaiknya
Pak
Puji
menuliskan
artikelnya
berdasarkan ketentuan karya tulis ilmiah (KTI) yang
berlaku sesuai dengan ketentuan LIPI. Jangan hanya
mengalir saja, untuk bahan seminar tentu boleh
demikian.
Jawaban : Terima kasih Pak Sabar, saya akan usahakan sesuai
dengan KTI dari ketentuan LIPI.
24