Sastra dan Sejarah Pacar Merah

Melihat Sastra dan Sejarah dalam Novel Pacar Merah Indonesia

Disusun oleh:
Guntur Rahmandhito, 1006699291

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas makalah
Mata Kuliah Sastra Sejarah

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok
Juni, 2013
1. Pendahuluan

Karya sastra dapat hadir sebagai refleksi dari realitas sosial dan refleksi kesejarahan yang
berkembang di masyarakat. Memang, sastra sebagai refleksi dari kenyataan masyarakat
rasanya sulit diingkari kebenarannya. Karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai hasil
dari sebuah proses ekspresif dalam merespon situasi lingkungan, isu-isu sejarah, dan
sosialnya.
Meski karya sastra menampilkan realita sosial, karya sastra tidak lahir begitu saja.
Karya sastra lahir dari improvisasi dan kreativitas pengarang serta pergulatan antara realitas

dan imajinasi pengarang. Dengan imajinasi tersebut, pengarang ingin mewujudkan kembali
segelintir pengalaman-pengalaman tertentu yang pernah dialami oleh pengarang terhadap apaapa saja yang terjadi pada lingkungan dan kehidupannya. Di saat seperti inilah diperlukan
kemahiran seorang pengarang dalam mengungkapkan gagasan sosial, bentuk ekspresi, dan
kritisisasinya terhadap sebuah peristiwa atau kejadian. Apabila kemahiran itu dilupakan atau
tidak bisa diwujudkan secara benar, sebuah karya hanya akan menjadi buku sejarah kacangan.
Akan tetapi, adanya karya sastra yang berangkat dari realitas, paling tidak bisa memberikan
penceritaan kepada masyarakat tentang sesuatu yang pernah terjadi pada masa tertentu.
Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra muncul dari panggung sosio-historis tertentu
yang melatarbelakanginya. Kemunculannya ditandai dari pergerakan-pergerakan imajinistik
yang membuat suatu sastra memiliki daya dedah tersendiri melalui medium bahasa serta
menjadikan dirinya sebagai elemen penting bagi terciptanya suatu kebudayaan. Sastra tidak
sekadar menjadi alat komunikasi dan kreativitas yang mencakup sekumpulan genre
kesastraan. Ia juga dapat berubah menjadi instrumen ide dalam pendulum sejarah. Sastra
dengan demikian menjadi salah satu ruang produksi dan diaspora simbol, dipadati oleh
berbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna
menamakan realitas. Sastra tidak terbatas hanya sebatas epik, cinta, petualangan, tragedi,
heroik, dan parodi. Sastra telah bergerak menuju sebuah fragmen ruang dan waktu, dan
fragmen sejarah. Rekam jejak perjalanan dan karier sebuah bangsa terumuskan melalui kronik
sastra. Dengan demikian, karya sastra Indonesia merumuskan peta perjalanan negara
Indonesia.


2. Ringkasan Cerita Pacar Merah Indonesia
2

Pacar Merah Indonesia berkisah tentang petualangan tokoh utama bernama Vichitra
yang lebih sering dikenal sebagai Pacar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan
kemerdekaan Tanah Airnya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda, dan memperjuangkan
cita-cita sosialis-komunisnya. Oleh karena aktivitas politiknya itu, ia terpaksa melarikan diri
dari Indonesia dan menjadi buron polisi internasional. Dalam pelariannya itu, Vichitra
dibantu oleh Nona Ninon Phao, anak perempuan dari kepala polisi rahasia Thailand, Khun
Phra Phao, bersembunyi di Senggora, sebuah kota kecil di Thailand.
Langkah Pacar Merah tidak berhenti di negeri Siam. Untuk menghindar dari
penangkapan interpol, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya, mulai dari
Singapura, Filipina, Kamboja, Hongkong, hingga China. Dalam setiap pelariannya itu ia
harus bersembunyi, baik itu di dalam kapal, di rumah seorang tokoh pergerakan, di loteng
rumah di wilayah terpencil, maupun menyamar sebagai perempuan tua dengan tiga anak.
Meskipun buron, Pacar Merah dapat turut menghadiri Konferensi Pertama Pan-Malay
Peoples Union. Hadir dalam konferensi itu pemuka- pemuka negeri Melayu dan dukungan
dari Hawaii, Maori, serta pulau-pulau yang menjadi bagian Australia. Selain itu, ia juga
datang ke Konferensi Buruh Pasifik yang diadakan di China. Di Kamboja Pacar Merah ikut

menyaksikan pemberontakan kaum radikal terhadap pemerintah kolonial Perancis.
Pelarian Pacar Merah tidak sendiri. Beberapa aktivis politik antikolonial lainnya yang
menjadi kawan seperjuangan Pacar Merah juga terpaksa menjadi buron di luar negeri. Namanama mereka adalah Paul Mussotte, Ivan Alminsky, Darsnoff, Semounoff, Djalumin, serta
Soe Beng Kiat. Mereka tinggal berpencaran, ada yang di Perancis, Moskwa, dan Berlin. Ivan
Alminsky mendapat tugas dari Semounoff untuk menjumpai Darsnoff, lalu bersama-sama
mencari Pacar Merah, pemimpin yang dijuluki "diktator" oleh anak buahnya. Tugas
Alminsky adalah membujuk Pacar Merah untuk mau "rujuk" kembali dengan rezim komunis
Moskwa dan tunduk kepada instruksi dari Moskwa. Rupanya selama ini Pacar Merah dinilai
telah bertindak semaunya sendiri oleh Moskwa.
Setelah melalui perjalanan panjang dan berliku, Alminsky berhasil bertemu dengan
Pacar Merah di Kota Chapei, China. Pertemuan mereka dibayangi oleh serangan tentara
Jepang atas kota Shanghai dan Chapei. Ketika akhirnya bertemu dan Alminsky
menyampaikan mandat dari Moskwa, Pacar Merah menolak untuk tunduk kepada Moskwa.
Ia berketetapan untuk terus berjuang bagi kemerdekaan Tanah Air-nya dan bukan untuk
3

kepentingan Moskwa. Pacar Merah sempat ditangkap oleh pihak interpol akibat
pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan Ninon Phao, sebelumnya dibebaskan kembali
berkat bantuan dari tunangan Ninon Phao itu sendiri.


3. Unsur Sastra dalam Novel Pacar Merah Indonesia
3.1 Bentuk Ekspresi dan Kreativitas Pengarang
Kegiatan sastra adalah kegiatan berpikir kreatif dan mencurahkan ekspresi
pengarang dalam membuat sastra. Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang
lain berbeda. Setiap sastrawan memiliki cara masing-masing, latar belakang kehidupan,
pengalaman, pendidikan, dan lingkungan adalah faktor terbesar yang ikut “membentuk”
pengarang itu. Oleh karena itu, tidak salah apabila ada pernyataan yang menyebut bahwa
sastra merupakan karya cipta manusia yang berisi ekspresi pikiran, gagasan, pemahaman,
tanggapan, dan perasaan penciptanya tentang kehidupan dan lingkungannya dengan
bahasa imajinatif dan emosional. Dalam novel Pacar Merah Indonesia, ditemukan
beberapa bentuk ekspresi pengarang yang menarik untuk dibahas dan dianalisis, seperti (1)
penamaan judul Pacar Merah Indonesia dan (2) penyebutan tokoh utama, yakni Tan
Malaka, yang berbeda-beda.
Pertama, pemberian nama Pacar Merah Indonesia sebagai judul sudah pasti memiliki
dasar pemikiran yang jelas dan perlu dipertanyakan dari seorang pengarang. Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Harry Poeze pada bagian pengantar dalam Pacar Merah
Indonesia, pemberian nama ini didasarkan atas inspirasi dari sebuah karya yang kemudian
jadilah nama Pacar Merah Indonesia. Namun, sebagai seorang pembaca, saya melihat
bahwa pemberian judul sebuah karya sastra adalah proses berpikir kreatif dan berekspresi
yang tidak main-main, seorang pengarang harus bisa memberi judul yang tidak hanya

menarik, namun juga memiliki arti dan kesesuaian dengan cerita atau apa yang ingin ia
sampaikan di dalam cerita tersebut. Saya memiliki anggapan bahwa Pacar Merah
Indonesia ini tersusun dari tiga susunan kata yang saling berkesinambungan, yakni Pacar,
Merah, dan Indonesia. Pacar yang berarti kekasih atau orang yang disayang ini merujuk
pada seorang tokoh utama, yakni Tan Malaka. Ia adalah orang yang di dalam cerita
ditempatkan sebagai seseorang yang berpengaruh, memiliki kedudukan yang tinggi, dan
berjasa besar terhadap orang-orang di sekelilingnya. Kata Merah saya artikan sebagai
4

simbol terhadap asosiasi komunis yang menjadi cita-cita dasar dari Tan Malaka dan
teman-temannya. Terakhir adalah Indonesia yang sudah sangat jelas memberikan maksud
dan gambaran, yakni negara Indonesia.
Kedua, penyebutan yang bermacam-macam terhadap seorang tokoh. Dalam novel
ini, Matu Mona tidak hanya menyebut Tan Malaka, tapi juga memberikan banyak nama
samaran bagi Tan Malaka, seperti Vichitra, Pacar Merah, mysteryman, dan Ulap Putih.
Pemakaian berbagai nama itu tidak memiliki pola atau digunakan dalam situasi tertentu
dan bersifat sporadis (acak). Matu Mona jelas memiliki tujuan dan maksud, apakah itu
bertujuan demi mendukung jalan cerita, membangun pencitraan Tan Malaka sebagai sosok
yang misterius, sering menyamar, sulit dikenali, dan keberadaannya seperti bayangan.
Namun, perlu dikritik bahwa penyebutan nama secara acak ini dapat membingungkan bagi

pembaca dalam berimajinasi. Setidaknya Matu Mona memiliki pola-pola tertentu yang
dapat dimengerti secara gamblang oleh pembaca.
3.2 Kisah Percintaan sebagai Tema lain dalam Novel
Setelah membaca novel ini, pembaca tidak hanya akan menangkap satu buah tema
yakni sejarah petualangan saja, namun ada tema lain yang turut membangun karya ini
menjadi karya yang lebih “hidup” dan realistis. Novel ini turut melibatkan tema kecil
yakni kisah percintaan. Meskipun alur cerita lebih banyak merepresentasi pergerakan
pemuda Indonesia menjelang kemerdekaan bangsa, tapi tidak lepas dari bumbu-bumbu
cinta. Demi memanjakan para pembaca dan membuat novel ini agar jalan cerita menjadi
tidak kaku dan monoton, Matu Mona memakai tema percintaan ini sebagai selingan,
hiburan, dan pengaduk emosi para pembaca. Pada bab atau sekuel “Keramaian di Kota
Paris” (hlm. 103—146) diceritakan kedatangan Alminsky/ Alimin dari Moskow untuk
menjumpai Paul Mussotte dan nantinya akan kembali berpetualang untuk menemui Tan
Malaka. Di kota Paris, Alminsky secara tidak sengaja menolong wanita bernama
Mademoiselle Marcelle yang tengah diperkosa. Dari perjumpaan yang tidak disangkasangka inilah timbul gejolak cinta pada pandangan pertama.

“Kekasihku, hidupku ini bagaikan hidup seorang patriot, aku tidak boleh memikirkan
kepentingan diriku sendiri. Aku mempunyai dua cinta. Pertama, cintaku pada tanah
5


airku, kedua, cintaku kepada kau, ma petite sorite! (kekasihku yang budiman). Begitu
besar cintaku pada tanah airku, begitu besar pula cintaku pada kau, Marcelle.”
(Dialog Ivan Alminsky dengan Marcelle di depan Menara Eiffel, halaman 151).
Alminsky menilai Marcelle sebagai wanita cantik, pintar, dan berbudi pekerti,
sedangkan Marcelle melihat Alminsky sebagai pria yang gagah, berani, penyayang, dan
teguh pendirian. Keduanya saling cinta, namun keduanya sempat dipisahkan akibat misi
yang harus dijalankan oleh Alminsky dalam menemukan Tan Malaka sebelum akhirnya
kembali lagi ke Paris.
Tidak hanya itu, ada pula sebuah kisah percintaan yang muncul dalam karya ini.
Kisah cinta yang satu ini coba ditunjukkan oleh Madamoiselle Ninon, putri Kun Phra Pao,
seorang pimpinan polisi Thailand yang menyimpan rasa suka kepada Vichitra (Tan
Malaka). Dia rela berkorban demi melindungi dan menyelamatkan Vichitra agar tidak
jatuh ke tangan polisi meskipun dirinya adalah anak dari seorang boss polisi di Thailand.
Namun apa daya, Vichitra hanya menganggap Ninon sebagai kawan yang berjasa besar
terhadap keselamatan dirinya. Bahkan di akhir perpisahannya, Vichitra meminta agar
Ninon mau dan rela menikah dengan seseorang yang telah dijodohkan oleh orangtuanya
sendiri.

4. Unsur Sejarah dalam Novel Pacar Merah Indonesia
4.1 Tokoh dan Penokohan dalam Cerita

Salah satu bentuk kesejarahan yang berusaha ditampilkan Matu Mona di dalam
Pacar Merah Indonesia adalah lewat tokoh-tokoh. Tokoh adalah individu ciptaan
pengarang yang memiliki peranan di dalam cerita karena mengalami peristiwa/kejadian
dalam berbagai peristiwa cerita. Peranan seorang tokoh sangatlah krusial ketika kita
berbicara apakah ini sastra fiksi atau sumber sejarah. Tokoh menjadi indikator apakah
karya sastra ini memiliki tendensi ke arah fiksi, bentuk kritikan, sindiran, parodi, atau
memang benar sebagai fakta sejarah. Melalui tokoh dan penokohan pun seorang pembaca
yang sebelumnya telah memiliki pengalaman sejarah atau mengetahui konteks tersebut
akan langsung mengarah kepada realita sejarahnya.
Matu Mona di dalam Pacar Merah Indonesia membuat beberapa tokoh yang hampir
kebanyakan cerminan dari realita dan fakta sejarah yang ada. Selain Tan Malaka, kita
6

dapat menemui tokoh seperti contohnya Paul Musotte, Alminsky, Darsonoff, Semounoff,
dan Djalumin. Jika kita menelisik sejarah Indonesia ketika terbentuknya PKI, sebenarnya
nama-nama tersebut adalah nama yang tenar pada waktu itu. Selain Tan Malaka, memang
nama-nama tersebut sedikit berbeda karena Matu Mona telah mengubahnya dengan alasan
seperti pencocokan tokoh terhadap tempat tinggal dan sebagainya. Akan tetapi, kita dapat
melihat kedekatan kata yang sangat terasa. Paul Musotte adalah Muso Munawar yang
pernah menjabat sebagai ketua PKI, Alminsky atau Alimin yang juga pernah menjadi

pemimpin PKI, Darsonoff atau Darsono dan Semounoff atau Semaun yang pernah
menjadi anggota PKI, dan Djalumin atau Djamaluddin seorang kerabat dekat Tan Malaka.
Penamaan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah ekspresi dan kreatifitas seorang pengarang
demi mendukung jalan cerita dan dapat dinilai sebagai bentuk sensor dari pengarang
terhadap karyanya atas dasar lingkungan sang pengarang yang memang pada masa itu
(pembuatan novel) tidak diperbolehkan untuk membuat sastra berbau anti-kolonial.
Jika seorang pembaca memiliki latar pengetahuan sejarah yang cukup untuk
mengerti novel Pacar Merah Indonesia ini, melihat penamaan tokoh-tokohnya saja sudah
dapat terasa kentara apakah bahasan sejarah yang akan diceritakan di dalamnya. Penamaan
dalam novel ini tidak semata-mata hanya menggunakan ketenaran nama seorang tokohtokoh yang terkenal pada waktu itu guna mendukung ide cerita atau demi mendompleng
kepopuleran novelnya. Pengarang pun menjadikan tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan
watak penggambaran dan cerminan dari realita sejarah yang ada. Sebut saja tokoh
Djalumin yang pada kenyataannya adalah seorang rekan dan sahabat Tan Malaka yang
setia. Dalam novel digambarkan bahwa Djalumin rela mati demi menyelamatkan Tan
Malaka dan cita-cita komunisnya dan Alminsky yang terlalu patuh dan tunduk terhadap
partai komunis di Russia.
4.2 Latar
Berbicara tentang karya sastra dan sejarah, rasanya hanya akan hambar kalau kita
tidak membicarakan soal latar atau setting yang ada di dalamnya. Latar, baik tempat,
waktu, dan suasana merupakan unsur yang harus muncul di dalam karya sastra bertema

sejarah karena melalui unsur intrinsik inilah pembaca akan mendapat deskripsi atau
penjelasan tentang sejarah apa yang dibahas dalam karya tersebut. Matu Mona dalam

7

karya ini lihai membuat latar sejarah dan deskripsi tempat secara detail lalu
memasukkannya ke dalam rangkaian cerita yang padu dan saling mendukung.
Di dalam novel ini, pembaca dibawa berkeliling ke negeri-negeri jauh dengan
konflik sosial politik yang sedang berlangsung ketika itu. Negara pertama yang menjadi
latar pembuka dari pergulatan eksistensi Tan Malaka dalam novel ini adalah Thailand.
Matu Mona dengan lihainya melukiskan detail Bangkok, tak hanya dari sisi panorama
alam, lokasi pariwisata dengan “aceuk” atau nona-nona genit yang cantik manis asal
Chiangmai, namun juga dari pergulatan politik yang berlangsung di sana pada tahun 1930an. Di dalam novel, Tan Malaka diposisikan sedang berada dalam kerusuhan politik yang
ada di Thailand sehingga memaksa dirinya untuk mengevakuasi dirinya dan berpindah ke
tempat lain. Meskipun kebenaran dari peristiwa Tan Malaka dan pergulatan politik di
Bangkok masih belum ada bukti yang kuat, Matu Mona secara tersirat menggambarkan
bahwa latar yang dipakai dalam novelnya ini tidak “main-main,” ia serius dalam
menentukan latar dan mengaitkannya dengan jalan cerita.
Di dalam novel, latar bersejarah lain yang coba dimasukkan Matu Mona adalah
peristiwa perang di Shanghai, antara China dengan Jepang. Berdasarkan sumber sejarah,

pada akhir tahun 1931 ketegangan di Shanghai memuncak dengan adanya serangan
Jepang atas Manchuria dan penyerangan ke Shanghai. Matu Mona kemudia memasukkan
peristiwa ini sebagai “bumbu” cerita yang nantinya akan dikaitkan dengan jalan cerita
dalam novelnya ini. Ketika Jepang menyerang Shanghai, Tan Malaka yang kebetulan
masih berada di wilayah itu hanya bisa menyaksikan pertempuran itu tanpa bisa berbuat
apa-apa, ia sempat terkepung di dalam sebuah rumah dan dibombardir dengan peluru
meriam dan granat, namun ia berhasil selamat karena masuk ke dalam sebuah banker atau
ruang bawah tanah.
4.3 Sejarah di dalam Sejarah
Fenomena yang unik dan menarik dapat ditemukan dalam novel ini. Matu Mona
memasukkan sebuah sejarah di dalam cerita sejarah Pacar Merah ini. Hal ini ditemukan
ketika Tan Malaka berjumpa dengan seoran kawan lama yang telah menjabat sebagai
jenderal sekaligus pimpinan partai buru di Kamboja. Mereka berbincang-bincang tentang
keindahan bangunan Angkor Wat dan hubungan antara bangsa Indonesia dan bangsabangsa di Asia Tenggara yang sebenarnya masih termasuk ke dalam rumpun yang sama.
8

“Angkot Thom artinya ‘kota bertembok’, di dalam lingkungan kota itu di zaman
purbakala ditaksir oleh kaum naturalist bahwa di sana berdiam setidaknya 30 juta
jiwa manusia. Dan Kaum itu bernama ‘Khmer’, mereka mendirikan Angkor Wat,
yaitu bangunan-bangunan yang luar biasa indahnya. Sehingga Mouhot, naturalist
Prancis, yang mula-mula menjumpai kerajaan yang terbengkalai sejak abad ke-11 itu
merasa kagum dan menyatakan keindahan bangunan-bandungan Angkor Wat itu.”
(Hlm. 178)
Salah satu cuplikan sejarah di atas menunjukkan bahwa pengarang membawa
sebuah sejarah lalu kembali memasukkan sejarah lain di dalamnya yang menurutnya
menarik untuk dimasukkan atas dasar keterkaitan dengan jalan cerita.

5. Kesimpulan
Novel Pacar Merah Indonesia sebagai novel sejarah tidak hanya menyuguhkan ceritacerita sejarah ketika Tan Malaka diusir dari Indonesia dan berpetualang ke negara-negara
seperti Thailand, Kamboja, China, dan Filipina, namun turut memunculkan ekspresi-ekspresi
pengarang dalam melihat sebuah peristiwa atau sejarah. Kedua elemen itu (sastra dan
sejarah), disajikan dengan sangat apik oleh Matu Mona di dalam novelnya ini. Unsur realita
dan unsur fiksi yang berimbang membuat pembaca menjadi bingung untuk menggolongkan
apakah novel ini dominan menjadi karya sastra atau sumber sejarah.

Daftar Pustaka
Mona, Matu. 2010. Pacar Merah Indonesia: Roman Sejarah Petualangan Tan Malaka. Beranda:
Yogyakarta.
Purwantari, “Petualangan Pacar Merah,” dalam , diunduh pada 1 Juni 2013, pukul 19.45 WIB.

9