Wacana Postkolonial Dalam Sejarah dan Ka

Wacana Postkolonial:
Dalam Sejarah dan Karya Sastra Indonesia
(Agam Imam Pratama)1

A. Pendahuluan
Postkolonialisme, dari akar kata post + kolonial + isme, yang secara harfiah
berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Istilah
postkolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan
sesudah kemerdekaan. Namun postkolonial tidak semata-mata mengacu pada
makna “sesudah” kolonial atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Sesuai dengan
pendapat Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan
masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran
postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman
kolonialisme.
Postkolonialisme Indonesia berasal dari Barat, melalui gagasan-gagasan
yang dikembangkan Edward Said, tetapi objek, kondisi, dan permasalahan yang
dibicarakan diangkat melalui dan di dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya
teori postkolonialisme Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang dapat
berinteraksi dengan teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada.
Fungsi selanjutnya dengan adanya teori tersebut adalah adanya kesadaran
nasional. Selanjutnya pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai

hegemoni penjajah terhadap bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk
menata masa depan yang lebih baik.
Objek kajian postkolonialisme Indonesia yang secara umum mengacu pada
postkolonilisme Barat, mengalami beberapa masalah:
1. Objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang
lingkup yang paling sempit, objek postkolonialisme Indonesia adalah masamasa sesudah proklamasi. Dalam hal ini, postkolonialisme sama dengan
pascakolonialisme. Secara harfiah, pascakolonialisme Indonesia mulai
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Univ. Jenderal Soedirman, saat ini aktif
di HMI Cabang Purwokerto.

tanggal 17 Agustus 1945, sejak diumumkannya Proklamasi kemerdekaan
Soekarno dan Hatta.
2. Secara definitif postkolonialisme adalah teori, pemahaman dalam
kaitannya dengan kondisi-kondisi suatu wilayah negara yang pernah
mengalami kolonisasi. Jadi, objeknya terbentang sejak Belanda tiba pertama
kali di Banten (1596) sampai sekarang.
3. Dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme, maka objek
poskolonialisme sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan
kolonialis lain hingga sekarang. 2
Dalam tulisan ini kelompok kami menempatkan postkolonial tidak berkaitan

dengan suatu masa waktu tertentu, seperti “post kemerdekaan” atau “sesudah
kolonialisme”. Namun, postkolonialitas merupakan sebuah cara berpikir dan
memandang sebuah peristiwa, entitas kebudayaan atau pemikiran apapun secara
kritis Adapun wacana-wacana postkolonial yang sebagian besar mengacu pada
persoalan identitas. Misalnya saja gender, seksualitas, ras, kelas, hibriditas
identitas, serta subaltern. Dalam tulisan kali ini penulis mencoba membahas
seputar subaltern dan hibriditas.
Istilah subaltern mungkin memang kedengaran janggal bagi sebagian orang.
Mungkin mahasiswa pun yang sering disebut sebagai kaum intelektual hanya
sebagiannya saja yang mengerti makna dari subaltern. Padahal kata tersebut
memiliki makna yang sangat dalam, apalagi bagi negara dunia ketiga seperti
Indonesia yang selalu berada di bawah bayang-bayang negara super power dan
adikuasa.
Subaltern bermakna of inferior rank, yang berkedudukan di bawah atau
golongan terpinggir, manusia kecil yang tidak berkuasa. Istilah ini dipopularkan
oleh Antonio Gramsci (1891—1937) seorang intelektual muda Italia yang
berjuang dalam politik kiri semasa pemerintahan diktator Musolini dalam
makalah yang bertajuk “On the Margins History: History of the Subaltern Social
2 Wiwik Hidayati. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah Atas Subaltern
Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis Berdasarkan

Pendekatan Postkolonialisme (Skripsi) : 27

Group” pada tahun 1934. Istilah subaltern pada asalnya bermaksud perwira di
bawah kapten, kemudian berkembang kepada makna orang tertindas, deskripsi
tentang pelbagai kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang
memiliki kesedaran kelas.3
Istilah subaltern lebih sering disebut dan mulai berkembang sejak Gayatri
Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh,
mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on WidowSacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh
Diri Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India
(sati), tulisan itu di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan
intelektual pascakolonial tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori
pascakolonial.4
Bila dikontekskan di Indonesia maka sangat banyak golongan yang bisa
dikategorikan masuk ke dalam kaum subaltern. Sebut saja golongan rakyat kecil
yang suara dan aspirasinya tidak pernah didengar dan hanya dijadikan ladang
memanen suara saat pemilu saja, dengan janji-janji aspirasi mereka akan
ditampung. Namun kenyataannya setelah usai pemilu yang ada hanya nol besar.
Atau bisa juga golongan homoseksual atau lesbian yang selalu dipandang sebelah
mata. Juga misalnya lagi golongan kaum buruh yang hanya diperas tenaganya,

namun hanya mendapat upah tidak seberapa, bahkan seringkali berada di bawah
upah minimum regional. Masih banyak lagi golongan lain yang dapat dimasukkan
dalam kaum subaltern seperti kaum perempuan yang dikekang hak-haknya, buruh
migran, petani gurem, dan lain-lain. Tulisan ini akan mencoba mengaitkan serta
membandingkan sejarah Indonesia sebelum era kolonial, kolonial serta
pascakolonial hingga sekarang.
Hibriditas adalah sebuah konsep dimana kita membedakan masa kolonial
dan masa selepasnya, namun serentak juga masa selepasnya itu selalu berada
3 Amir Jeniri. 2007. Menonjolkan suara golongan terpinggir : 27

4
http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasan-subaltern-dan-perubahansosial-oleh
antariksa/

dalam keterkaitan dengan kolonialisme. Maka, apa yang nampak dalam peristiwa
masa kini berbeda dengan masa lalu, meski secara serentak juga
berkesinambungan dengan masa lalu itu. Dengan kata lain, masa kini sebenarnya
adalah sebuah kontestasi antara kuasa masa lalu dengan masa kini, yang
terbedakan namun berkesinambungan. Dari sini, maka, identitas kultural masa
kini bersifat campuran (hibrid). Postkolonialitas berarti menyelidiki pembentukan

identitas kultural yang hibrid, sebagai sebuah representasi dari cara pandang atau
imaginasi masa lalu yang secara diteruskan ke masa kini
Dalam konteks hibriditas tulisan kelompok kami ini akan coba mencoba
mencoba sedikit menganalisis wacana-wacana poskolonial yang terkandung
dalam novel terkenal “Tetralogi Pulau Buru” karya novelis kenamaan Pramoedya
Ananta Toer. Novel yang terdiri dari empat jilid ini mengulas bagaimana
kehidupan di Indonesia pada zaman kolonial, serta keterkaitannya dengan masa
kini dalam konteks hibriditas. Hal-hal ini atas akan coba kita bahas bersama di
bab selanjutnya.

B. Pembahasan
Sejarah Panjang Indonesia, Sejarah Perlawanan
Apabila berbicara mengenai subaltern, maka tidak perlu jauh-jauh. Kita
cukup memandang pada diri kita sendiri dan sekitar kita. Ya, rakyat Indonesia
adalah orang-orang yang menjadi kaum subaltern di negaranya sendiri. Memang
tidak semuanya, namun sebagian besar.
Bagaimana tidak?. Bapak-bapak kita yang mengaku sebagai wakil rakyat,
pada kenyataan hanya bisa mengatakan “ya” pada golongan-golongan yang ada di
atas mereka. Siapa lagi kalau bukan negara-negara adikuasa, serta organisasiorganisasi internasional seperti World Bank dan IMF. Bila demikian siapa yang
akan menyampaikan suara-suara masyarakat yang hanya dijadikan objek?.

Apakah masyarakat harus menyampaikan sendiri, sementara mulut mereka sudah
dibungkam oleh sistem yang tidak menguntungkan?.
Kita akan coba meninjau mulai dari kembali ke masa lampau, dimana
Indonesia memiliki kerajaan-kerajaan besar,misalnya Singosari, Kediri dan
Majapahit sebagai kerajaan besar yang pernah tumbuh, berkembang dan
menguasai nusantara. Bila ditarik dari garis sejarah, ketiga kerajaan ini memiliki
hubungan yang sangat erat, dimana Singosari di bawah kepemimpinan Sri
Kertanegara diruntuhkan oleh Jayakatwang yang kemudian mendirikan kerajaan
Kediri, yang selanjutnya Kediri diruntuhkan oleh Raden Wijaya yang tak lain
adalah menantu Sri Kertanegara yang kemudian mendirikan kerajaan Majapahit.
Pada beberapa buku referensi, pada masa itu terlihat sangat jelas bagaimana
kepala-kepala kadipaten (kepada daerah) beserta rakyatnya dengan sangat berani
melakukan pemberontakan terhadap raja apabila raja dinilai salah atau tidak
menepati janjinya. Misalnya saja pemberontakan Rangga Lawe yang waktu itu
selaku Adipati Tuban terhadap Sanggrama Wijaya yang merupakan raja Majapatit.
Hal ini dipicu oleh Sanggrama Wijaya saat sebelum menjadi raja pernah
menjanjikan Rangga Lawe menjadi Patih Amangkubumi Majapahit, namun pada
kenyataannya sesudah Sanggrama Wijaya menjadi raja, Rangga Lawe hanya

dijadikan adipati di Tuban. Hal ini memicu Rangga Lawe dan masyarakat yang

mendukungnya melakukan pemberontakan. Atau juga bisa dilihat pemberontakan
Rakrian Patih dimana merupakan bentuk kekesalannya terhadap raja yang hanya
memandang sebelah mata kelompoknya. Selain itu juga masih banyak kisah
pemberontakan-pemberontakan lain yang terjadi di berbagai kerajaan yang pernah
berdiri dan berkuasa di nusantara.
Kelompok kami dalam tulisan ini tidak menitik beratkan pada
pemberontakan yang dilakukan, namun lebih kepada bagaimana pengekspresian
luapan ketidakpuasan terhadap pemerintah (raja) dengan berani berkali-kali
ditunjukkan dalam sejarah Indonesia. Tidak hanya dalam sejarah kerajaankerajaan di Nusantara, namun sejarah Indonesia setelah masa kemerdekaan pun
menunjukan hal yang serupa. Kita bisa melihat beberapa sosok misalnya Arief
Budiman, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Mereka merupakan sosok yang militan dan
gigih melawan kultur bisu (silent culture). Apabila membaca buku Gie yang
berjudul “Catatan Seorang Demonstran” kita akan menemukan perjuangan
seorang pelaku sejarah yang kesepian, tidak banyak teman yang mau mendukung
idealismenya serta sendirian melawan arus. Ini dikarenakan teman-teman yang
pernah seperjuangan dengannya menjatuhkan pilihan politik menjadi “kutu
loncat”, memilih kemapanan kursi dan aroma kekuasaan.5
Dalam “Catatan Seorang Demonstran” terlihat bagaimana Gie merasa gerah
melihat realitas sistem yang melahirkan krisis dan juga himpitan-himpitan dari
hegemoni elit-elit penguasa yang menerapkan gaya politik represif yang membuat

rakyat tidak berani bersuara lantang serta tidak mampu menunjukan sikap
kritisnya. Sementara bagi rezim, kultur bisu ini merupakan kultur yang
menguntungkan bagi segelintir elit untuk mendulang keuntungan dan kemapanan
sebanyak-banyaknya. Pola penyelenggaraan kekuasaan semacam ini dianggap
oleh rezim sebagai “lokalisasi” yang bisa mengamankan dan mengembangkan
banyak keistimewaan privat, sementara rakyat yang berhasil “dibisukan” otomatis
hanya bisa menjadi penonton yang penurut, tidak berulang, apalagi sampai
menjadi radikal.
5 Fanny Tanuwijaya, ddk. 2006. Melawan Bandit Intelektual :66

Bila kita coba komparasikan dengan masa sekarang, dimana penjajahan
entah dari segi politik, ekonomi, ideologi, budaya dan lain-lain sangat jelas terasa.
Memang ada beberapa perlawanan yang terjadi, baik secara praksis, melalui
wacana dan lain-lain. Namun yang harus kita pahami itu semua tidak lain
dikarenakan hegemoni barat yang sangat kuat telah mengakar di bangsa kita.
Bermula dari masa kolonial, dimana orang-orang Eropa dan keturunannya
mendapat tempat khusus dalam pembagian kelas di negara kita. Sedangkan
pribumi (masyarakat Indonesia) sebagai penduduk asli mendapat tempat yang
rendah. Ini jelas menunjukan adanya proses hegemoni sejak jaman kolonial
bahwa orang-orang Barat berada di atas orang-orang pribumi dalam berbagai segi.

Ini merupakan indikasi sebuah proses pembentukan mindset bahwa barat lah
sumber segalanya, baik itu pengetahuan, ekonomi dan lain-lain, sehingga ke barat
lah kita harus berkiblat.
Dalam sebuah roman kolonial kenamaan berjudul “Tertalogi Pulau Buru”
yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer juga dibahaskan mengenai hal ini.
Dalam sebuah percakapan antara Pengemanann, seorang pribumi yang merupakan
seorang petugas kepolisian rahasia kolonial dengan Tuan L yang merupakan
petugas arsip gubermen Belanda dibahaskan betapa megahnya sejarah nusantara
khususnya Jawa sebelum jaman kolonial, berikut ini isi percakapan tersebut, “apa
sebab dengan kesempatan yang sama, dengan syarat-syarat yang sama, jumlah
bangsa Jawa jauh lebih tinggi daripada bangsa-bangsa lain di Hindia? Mengapa
Jawa punya sejarah lebih panjang dan lebih kaya? Meninggalkan warisan-warisan
kebudayaan lebih banyak, pada suatu kurun sejarah tertentu? Malahan dalam
suatu jaman yang sama pernah melebihi bangsa-bangsa Eropa tertentu dalam
bidang-bidang tertentu?”6.
Tulisan di atas menjelaskan betapa nusantara pernah lebih maju dibanding
negara-negara Eropa pada beberapa bidang tertentu pada masa sebelum kolonial.
Lalu mengapa keadaan bisa berbalik dan nusantara mampu dijajah oleh bangsabangsa Eropa dalam kurun waktu yang sangat lama?. Hal tersebut juga
dibahaskan dalam lanjutan percakapan di atas. “Pertama-tama karena bangsa ini
6 Pramoedya. 2000. Rumah Kaca : 90


mempunyai watak selalu mencari-cari kesamaan, keselarasan, melupakan
perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial. Dia tunduk dan taat pada ini,
sampai kadang tak ada batasnya. Akhirnya dalam perkembangannya yang sering,
ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain sehingga kehilangan prinsipprinsip. Ia lebih suka penyesuaian daripada cekcok urusan prinsip.”7 Lalu masih
dalam percakapan yang sama juga dibahaskan dampak dari menyepelekan
masalah prinsip oleh orang nusantara khususnya Jawa tersebut. “Orang semakin
tidak mengindahkan prinsip. Begitu juga waktu Islam masuk ke Jawa nyaris
seratus tahun kemudian. Orang mencari kesamaan antara Shiva-Buddhisme
dengan Islam. Juga Islam diterima tanpa prinsip, diambil syariatnya. Dalam
puluhan tahun terbiasa meninggalkan prinsip ini Eropa datang, Eropa yang justru
berkukuhan pada prinsip. Orang Eropa lebih kecil jumlahnya, tapi menang karena
prinsip.”8
Cuplikan percakapan di atas menjelaskan betapa orang-orang terdahulu kita
telah melupakan hal paling mendasar dalam sebuah bangsa yaitu prinsip.
Berangkat dari itu maka sangat wajar bila sampai saat ini proses hegemoni barat
tersebut semakin kuat mengakar dalam bangsa kita. Kita bisa lihat dimana
produk-produk asing menjajah di pasar-pasar kita sehingga produk-produk dalam
negeri terpaksa banyak yang gulung tikar. Investasi-investasi asing merangsek
masuk hingga ke daerah-daerah menguasai segala sumber daya yang ada. Setiap

sendi kehidupan kita segalanya dikuasai oleh asing. Namun apa mau dikata, para
wakil rakyat dan kebijakan-kebijakan yang dibuat memperbolehkan hal tersebut
terjadi. Lagi-lagi kembali ini dikarenakan proses hegemoni barat yang dimulai
sejak jaman kolonial sudah begitu mengakar dalam diri bangsa ini.
Pada titik inilah kajian poskolonial mencoba membuat sebuah hegemoni
baru, bahwa barat bukanlah segalanya. Bukankah masih banyak hal lokal yang
kita miliki sementara barat tidak memilikinya, baik itu sastra, budaya, dan lainlain. Masih banyak hal-hal baik yang kita miliki, sehingga tidak harus selalu
berkiblat ke barat
7 Ibid, hal 92
8 Ibid, hal 94

Wacana Postkolonial Dalam Tetralogi Pulau Buru
“Dengan rendah hati aku mengakui, aku adalah bayi semua bangsa dari
segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran,
orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang
keramat.” –Pramoedya Ananta Toer-9
Tetralogi Pulau Buru merupakan sebuah roman empat serial yang
mengambil latar belakang cikal bakal Indonesia di awal abad ke-20. Roman
sejarah ini ditulis oleh Pram sewaktu masih mendekam dalam kamp kerjapaksa di
Pulau Buru. Pram berusaha membalikkan waktu sedemikian rupa dan membawa
kita menelusuri era membibitnya pergerakan nasional pada awalnya.
Dari kata-kata Pram dalam pembukaan sub judul di atas, nampak jelas Pram
merupakan orang yang paham akan wacana poskolonial. Dia menyadari bahwa
era sekarang memiliki hubungan yang sangat erat dengan masa lalu. Serta Pram
juga menyadari betapa hibridnya manusia-manusia sekarang, karenakan
merupakan hasil dari proses hibriditas masa-masa yang telah lalu. Sehingga
diragukan bila saat ini masih ada orang yang mampu menjamin dirinya asli
seratus persen Indonesia.
Demikian pula dalam Tetralogi Pulau Buru, terlihat sangat kental wacanawacana postkolonial misalnya subaltern dan hibriditas. Hal itu terlihat dari
penokohan masing-masing tokohnya. Dengan demikian, meski dalam roman ini
berlatar belakang waktu jaman kolonial, namun sangat kaya dengan wacanawacana postkolonial. Selanjutnya akan kita coba jabarkan satu-persatu beberapa
tokoh yang memegang peranan penting dalam roman ini.
Tokoh utama dalam roman ini adalah Raden Mas TAS atau dalam novel
disebut Minke. Setelah ditelusuri ternyata yang dimaksud dengan TAS merupakan
kepanjangan dari Tirto Adhi Suryo, yang saat ini dikenang sebagai cikal bakal
dunia pers di Indonesia. Sedangkan Minke adalah nama panggilannya. Tetralogi
ini sebagian besar merupakan kisah hidupnya yang merupakan sorang pribumi.

9 Pramoedya. 2006. Anak Semua Bangsa : vi

Minke merupakan anak dari seorang bupati jaman kolonial yang dalam
novel disebut sebagai kota B. Setelah dewasa melalui pertemuan yang tak terduga
dia jatuh hati pada Annelies, anak Tuan Mellema yang seorang Eropa dengan Nyai
Ontosoroh yang memiliki nama asli Sanikem. Namun belum lama pernikahan
mereka, Annelies dengan terpaksa diangkut ke Eropa oleh keluarga ayahnya yang
sudah meninggal, hingga pada akhirnya tak lama berselang Annelies pun
meninggal di Eropa.
Minke yang setelah itu sempat mengenyam sekolah di sekolah kedokteran
STOVIA, memilih untuk berhenti dan aktif di dunia kepenulisan. Tulisantulisannya dalam bahasa Belanda yang isinya cukup mengkritik pemerintahan
Belanda nyatanya disukai banyak kalangan, bahkan keturunan Eropa. Sayangnya
masyarakat pribumi sangat jarang yang mampu berbahasa Belanda. Melalui
obrolan dan belajar dari banyak orang Minke akhirnya menyadari betapa
pentingnya mencerdaskan bangsa sendiri dengan menulis untuk surat kabar
dengan bahasa Melayu. Pada pertengahan cerita roman ini Minke akhirnya
mempelopori harian pertama berbahasa Melayu dengan nama harian Medan.
Meskipun di akhir cerita Minke meninggal karena terkena disentri, namun
kisahnya cukup untuk dijadikan inspirasi dan sebagai penyemangat untuk terus
membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju. Berikut akan kita bahas tokohtokoh lain yang berperan besar dalam mengubah pemikiran Minke, baik melalui
diskusi, pengalaman hidup, maupun hanya sekedar melalui surat.
Nyai Ontosoroh, nama aslinya adalah Sanikem. Pada waktu muda dia dijual
dan dipaksa menikah oleh ayahnya, Sastrotomo, seorang juru ketik di kantor dinas
gubermen. Dia dipaksa menikah dengan seorang tuan kepala dinas pemerintahan
daerah pada masa itu yang merupakan seorang Eropa bernama Mellema, untuk
dijadikan gundik atau nyai (istri simpanan). Ini jelas merupakan contoh kasus
subaltern dimana banyak perempuan pada masa kolonial dijadikan istri-istri
simpanan orang-orang Belanda dan Eropa pada umumnya yang sedang melakukan
penjajahan di Indonesia, sementara istri sah mereka ada di negara asalnya.
Kembali pada nyai Ontosoroh, dengan berbekal dendamnya terhadap orang
tua dan suaminya Tuan Mellema, dia justru berusaha mencuri banyak ilmu dari

Tuan Mellema yang pada akhirnya menjadikan dia wanita cerdas bahkan memiliki
perkebunan sendiri yang disebut buitenzorg. Setelah Tuan Mellema bangkrut,
justru keadaan berbalik, nyai Ontosoroh menjadi seorang wanita kaya dan cerdas.
Pada akhirnya Tuan Mellema meninggal karena terkena penyakit “setan” di
tempat pelacuran tak jauh dari buitenzorg.
Nyai Ontosoroh memiliki seorang anak gadis cantik bernama Annelies yang
dinikahkan dengan Minke sebagai tokoh utama cerita ini. Pada Minke
diajarkannya pandangan hidup sebagai pribumi serta bagaimana cara
memposisikan diri terhadap orang-orang Eropa. Minke banyak belajar dari Nyai
Ontosoroh sebagai mertua sekaligus gurunya. Misalnya saja saat setelah
kerusuhan yang terjadi ketika Annelies istri Minke sekaligus anak nyai Ontosoroh
dibawa oleh keluarga Tuan Mellema ke Eropa. Minke dan Nyai Ontosoroh sempat
beberapa hari menjadi tahanan rumah. Berikut yang diajarkan Nyai Ontosoroh
pada Minke, “lihat, biar kau kaya bagaimanapun, kau harus bertindak terhadap
siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekalipun hanya
segumpil batu uang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat
berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar,
harus dilawan. Apalagi pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa hari
ini.”10
Kata-kata di atas menjelaskan bahwa Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita
yang tangguh, yang telah belajar dari pengalaman. Pelajaran yang diberikannya
pada Minke tidak hanya sebatas sampai disitu, dia juga mengajarkan pada Minke
bagaimana agar jangan terlalu men”dewa”kan yang kolonial atau yang serba
Eropa. Itu tercermin dalam kata-katanya pada Minke berikut, “seluruh dunia
memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tidak punya hak hidup,
termasuk mamamu ini. Berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya
dengan diam-diam seperti batu kali yang itu juga. Kau, Nak, paling sedikit harus
bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena
kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh

10 Pramoedya. 2006. Anak Semua Bangsa: 4

di kemudian hari.”11 Dari kata-kata tersebut jelas Nyai Ontosoroh menyemangati
Minke untuk terus menulis tentang penderitaan-penderitaan yang diterima karena
kolonialisasi.
Atau juga tercermin dalam kata-kata Nyai Ontosoroh kepada Minke saat
Minke resah karena apa yang dia tulis mengenai Angkatan Muda Cina yang dia
interview ternyata dimelencengkan beritanya oleh surat kabar Eropa. Begini
katanya, “kau dididik untuk menghormati dan mendewakan Eropa,
mempercayainya tanpa syarat. Setiap kau melihat kenyataan adanya Eropa tanpa
kehormatan, kau lantas jadi sentimen. Eropa tidak lebih terhormat daripada kau
sendiri, Nak! Eropa hanya lebih unggul dalam bidang ilmu, pengetahuan dan
pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat-aku, orang
desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau
mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan
menyewanya juga?”12 Kata-kata itu menggambarkan betapa Nyai Ontosoroh
mencoba memberi pengertian pada Minke, bahwa Eropa yang selama ini diagungagungkannya juga bisa busuk, bahkan sangat busuk.
Dan yang terakhir untuk mempertegas bagaimana bencinya Nyai Ontosoroh
terhadap Eropa, karena Eropa lah yang membuatnya sebagai wanita pribumi
menjadi tertekan. Berikut dialognya dengan Minke saat berusaha mengajarkan
pada Minke betapa berbahayanya kolonial, “Minke, Nak, jangan kau mudah
terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek
moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin
mengesani dunia dengan kehebatannya---kehebatan dalam kekosongan? Eropa
tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu
pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong
dengan ilmu dan pengetahuannya.”
Tokoh selanjutnya yang berperan penting dalam proses pembelajaran Minke
adalah Jean Marais, seorang mantan tentara Sekutu asal Perancis yang kehilangan
sebuah kakinya, sehingga menetap di Indonesia dan menjadi seorang pelukis
11 Ibid , hal. 111
12 Ibid, hal. 101

lepas. Memiliki seorang anak perempuan yang masih kecil bernama May,
sedangkan istrinya sudah meninggal. Dia merupakan kawan akrab sekaligus salah
satu dari kawan diskusi Minke.
Setelah Minke menjadi penulis yang lumayan dikenal karena menulis di
harian berbahasa Belanda, Marais adalah salah satu orang yang mendorong Minke
untuk menulis dengan bahasa Melayu dalam rangka mencerdaskan masyarakat
pribumi. Berikut kata yang diucapkannya pada Minke, “kau pribumi terpelajar!
Kalau mereka itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau
harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka
tahu.”13 Disini terlihat jelas betapa Jean Marais menginginkan Minke tidak hanya
sekedar menulis terkait tealita yang yang ada dalam dunia kolonial, namun juga
bagaimana tulisan Minke itu mampu mencerdaskan saudara sebangsanya.
Sebagaimana ditulis oleh Pram dalam tetralogi ini pada jilid yang pertama,
“seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran, perkataan, apalagi perbuatan.”14
Orang selanjutnya yang sedikit banyak berperan dalam proses perubahan
pola pikir Minke adalah Tuan Herbet de la Croix dan keluarganya. Herbet de la
Croix merupakan pegawai pada kerjaan Belanda di Hindia. Dia mempunyai dua
orang anak yaitu Sarah de la Croix dan Miriam de la Croix. Mereka sering
berkomunikasi dengan Minke, terutama melalui surat. Berikut cuplikan surat
Miriam de la Croix kepada Minke:
Minke yang baik, jangan kau jadi bosan pada kami karena kami terlalu
cerewet tentang negeri dan bangsamu. Papa bilang: sampai dengan masa hidup
kita ini, Minke, terus menerus bangsa-bangsa dari utara datang padamu untuk
menginjak-injak kau. Ya, sampai dengan masa hidup kita, Minke. Kau sendiri ikut
mengalami. Utara selalu jadi mata angin keramat bagi bangsamu, sampai-sampai
dalam impian. Kan mimpi berlayar ke utara selalu dianggap oleh bangsamu
sebagai firasat bakal mati. Kan sejak jaman-jaman tak dikenal bangsamu selalu
menguburkan mayat ke utara bujur? Kan ideal rumah kalian adalah menghadap ke
utara?.Kata Papa, karena dari utaralah datang kaki segala bangsa, meninggalkan
13 Ibid, hal 72
14 Pramoedya. 2006. Bumi Manusia : 136

kalian setelah jadi buncit, dan sampah-sampahnya yang kalian dapatkan? Dan
penyakitnya? Dan hanya sedikit dari ilmunya? Kami hanya ingin menyampaikan:
utara bukan sesuatu yang mengandung magis. Tapi benar: arahkan selalu
pandangmu ke arah utara dengan waspada.15 Dari surat di atas terlihat jelas
bagaimana keluarga Herbet de la Croix berusaha membuka pikiran Minke sebagai
salah satu intelektual pribumi yang mereka kenal agar terbuka pikirannya dan
waspada terhadap bangsa lain, tidak hanya sekedar mengadopsi.
Tokoh berikutnya adalah Khouw Ah Soe, seorang anggota Angkatan Muda
Cina yang memang sengaja datang ke Indonesia dan negara-negara lain di Asia
dalam rangka mencari dukungan dan menggalang dana untuk menggulingkan
angkatan tua. Minke dan Khouw Ah Soe bertemu saat Minke melakukan
interview terkait Angkatan Muda Cina. Sejak saat itu mereka menjadi kawan
berdiskusi. Berikut yang pernah dikatakan Khouw Ah Soe dalam beberapa
percakapannya dengan Minke, “dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas
akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan
dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern binatang yang sebuas-buasnya juga
bisa ditundukkan. Tuan tahu yang kumaksudkan: Eropa.”16 Atau juga bisa kita
lihat dari percakapannya yang lain dengan Minke, “maka jangan harapkan
pendidikan modern akan diberikan di negeri-negeri jajahan seperti negeri Tuan
ini. Hanya bangsa jajahan sendiri yang tahu kebutuhan negeri dan bangsanya
sendiri. Negeri penjajah hanya akan menghisap madu bumi dan tenaga bangsa
jajahannya. Dibolak-balik akhirnya kaum terpelajar bangsa jajahan sendiri yang
perlu tahu kewajibannya.”17
Dari kalimat di atas jelas terlihat bahwa Khouw Ah Soe mencoba
memperingatkan Minke bahwa kaum terpelajar di negeri jajahan yang jumlahnya
sedikit itulah yang mampu membawa perubahan bagi bangsanya.
Permasalahannya hanya tinggal kaum terpelajar itu menyadari kewajibannya atau
tidak. Sebagaimana Khouw Ah Soe dan kawan-kawan seperjuangannya di

15 Ibid, hal.67
16 Ibid, hal 119
17 Ibid, hal 120

Angkatan Muda Cina rela menyebar ke seluruh Asia demi memberi perubahan
bagi bangsanya.
Dari uraian singkat beberapa tokoh tadi, meskipun masih banyak tokoh lain
yang tak kalah pentingnya namun sudah bisa kita lihat betapa banyak kajian
poskolonial yang terkandung dalam tetralogi Pulau Buru ini. Misalnya saja
bagaimana Sanikem sebelum berganti nama menjadi Nyai Ontosoroh tidak dapat
melawan kehendak orang tuanya serta pegawai gubermen Belanda yang
memaksanya untuk dijadikan istri simpanan. Dalam “Anak Semua Bangsa” juga
diceritakan bagaimana Surati, anak dari adik Sanikem mengalami nasib yang
sama. Surati diperistri (dijadikan gundik) dengan paksa oleh kepala Administratur
pabrik gula tempat ayahnya bekerja yang bernama Frits Homerus Vlekkenbaaij,
yang oleh orang pribumi biasa dipanggil Tuan Plikemboh.
Untuk menggambarkan betapa subalternnya posisi perempuan saat itu bisa
juga kita cuplik dalam “Jejak Langkah” yang masih merupakan bagian dari
Tetralogi Pulau Buru” bagaimana Pramoedya berusaha menggambarkan posisi
perempuan pada masa kolonial. Kita cuplik bagian dari cerita yang mengisahkan
Kartini atau dalam roman ini dipanggil dengan sebutan gadis Jepara mengirim
surat pada Ang San Mei, seorang perempuan anggota Angkatan Muda Cina yang
dalam roman ini juga merupakan istri kedua Minke beberapa saat berselang
setelah kematian istri pertamanya, Annelies. Berikut sedikit isi surat tersebut,
“gadis-gadis kami barulah bebas kalau ada seorang lelaki datang dan
mengambilnya jadi istri satu-satunya atau yang kesekian, kemudian bercerai.
Betapa buruknya, sahabat, perceraian sebagai azimat pembuka pintu kebebasan.”18
Ini menjelaskan betapa terkekang kehidupan perempuan pada masa itu, baik
sebagai anak maupun sebagai istri. Sebagai anak mereka harus dipingit dan tidak
diberi kebebasan, sedangkan sebagai istri mereka hanya diperlakukan layaknya
pemuas serta budak saja oleh suaminya, sebab kepala keluarga (suami) lah yang
memegang segala peranan pengambilan keputusan dalam rumah tangga,
sementara istri hanya sebagai penonton sekaligus pelaksana.

18 Pramoedya. 2000. Jejak Langkah : 83

Selain itu juga ada wacana hibriditas dan roman ini. Kita bisa lihat
bagaimana pertemuan dan pertukaran wacana antara Minke, keluarga de la Croix,
Khouw Ah Sou dan lain-lain merupakan sebuah bentuk hibriditas yang membuat
pola pikir mereka masing-masing berubah. Dan yang lebih mengagumkan lagi
adalah bagaimana Jean Marais serta keluarga de la Croix yang notabene adalah
orang Eropa justru berusaha menyadarkan Minke agar berusaha membawa
bangsanya keluar dari hegemoni Eropa. Kejadian seperti ini sangat mungkin
terjadi tidak hanya pada Minke saja tetapi juga intelektual-intelektual lain pada
masa itu yang perlahan-lahan mengubah pola berpikir bangsa ini. Pola-pola
seperti ini yang terus berkelanjutan membuat kita semua menjadi manusia hibrid.
Hampir tidak ada lagi yang mampu mengklaim dirinya bahwa dia murni
Indonesia.

C. Kesimpulan
Kajian poskolonial merupakan kajian yang sangat seksi untuk dibahaskan
dewasa ini. Indonesia yang notabene negara bekas jajahan selama bertahun-tahun
tentunya memiliki permasalahan yang sangat kompleks yang berhubungan dengan
sebab-sebab yang ditimbulkan oleh jaman kolonial. Hal tersebut sangat penting
untuk dikaji terkait akar-akar permasalahan bangsa yang dimulai sejak jaman
kolonial.
Indonesia dalam sejarahnya merupakan sebuah negara besar, bahkan pada
masa terdahulu pernah mengungguli peradaban Eropa dalam beberapa segi.
Misalnya saja sebelum bangsa Eropa mengenal tulis menulis, nusantara sudah
mengenal kebudayaan tulis. Terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah tulis
misalnya prasasti yang telah berumur ribuan tahun. Namun seiring
berkembangnya jaman, justru semakin lama kitalah yang semakin berkiblat ke
Eropa.
Hal di atas pertama disebabkan bangsa kita yang terlalu kompromis dengan
hal-hal prinsip, sehingga bangsa lain dengan mudahnya berkuasa bahkan
menghegemoni bangsa kita. Ini terlihat dari dengan mudahnya bangsa kita terjajah
ratusan tahun, bahkan sampai saat ini. Sejak jaman kolonial kita menjadi kacung
di rumah sendiri. Berangkat dari itulah, kajian poskolonial di Indonesia mencoba
memandang permasalahan bangsa saat ini yang berakar sejak jaman kolonial.

D. Daftar Pustaka
Buku :
 Hidayati, Wiwiek. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah Atas
Subaltern Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan:
Analisis Berdasarkan Pendekatan Postkolonialisme. Semarang :
Universitas Diponegoro.
 Jeniri, Amir. 2007. Menonjolkan Suara Golongan Terpinggir.
Jakarta: Dewan Sastera.
 Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
 Tanuwijaya, dkk. 2006. Melawan Bandit Intelektual. Jakarta: Edsa
Mahkota.
 Toer, Pramoedya A. 2006. Bumi Manusia (Cetakan kedelapan).
Jakarta : Lentera Dipantara.
 Toer, Pramoedya A. 2006. Anak Semua Bangsa (Cetakan kedelapan).
Jakarta : Lentera Dipantara.
 Toer, Pramoedya A. 2002. Jejak Langkah (Cetakan keempat).
Yogyakarta: Hasta Mitra.
 Toer, Pramoedya A. 2000. Rumah Kaca (Cetakan kedua).
Yogyakarta: Hasta Mitra.
Lain :
 http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasan-subaltern-dan

perubahan-sosial-oleh-antariksa/ : diakses pada 15 April 2012
pukul 15.43 WIB.