HAN dan Kebebasan Berekspresi Suatu Tawa

HAN DAN
N KEBEBASAN
K
BEREK
KSPRESI
Suatu Tawaran
Ta
untuk Mewujud
judkan
Pem
Pemerintahan
yang Baik

Makalah ini ditulis sebagai
s
bahan ujian dan untuk melengkapi tugas
tug matakuliah
Hukum Administrasi Negara

oleh
AHM

HMAD PORWO EDI ATMAJA, S.H.

PROGRA
RAM MAGISTER ILMU HUK
UKUM
UNI
NIVERSITAS DIPONEGORO
RO
2012

SEKAPUR SIRIH

MAKALAH dengan judul “HAN dan Kebebasan Berekspresi: Suatu Tawaran untuk
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik” ini hendak mengkaji korelasi antara hukum
administrasi negara dan kebebasan berekspresi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang
baik (good governance). Hukum administrasi negara kerap kali dipahami sebagai inti—bukan
sabuk pengaman—sistem birokrasi Indonesia. Yang dipahami selama ini, bukan ilmu
administrasi negara yang dijadikan titik pangkal kinerja sistem birokrasi kita, melainkan
justru instrumen yuridisnya.
Fungsi hukum administrasi negara sejatinya adalah buat mewujudkan pemerintahan yang

baik. Pemerintahan yang baik mensyaratkan pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu
fondasinya. Dalam artian itu, kebebasan memperoleh informasi merupakan salah satu
prasyarat untuk menciptakan pemerintahan terbuka. Padahal, kebebasan memperoleh
informasi adalah elemen utama dari kebebasan berekspresi. Jadi, untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik juga diperlukan perlindungan atas kebebasan berekspresi masyarakat.
Demikianlah, makalah yang merupakan tugas untuk matakuliah Hukum Administrasi
Negara ini saya tulis. Tentu makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak bopeng
di sana-sini. Oleh karena itu, saya mohon maaf, semoga pembaca yang budiman maklum
adanya. Akhirnya, selamat membaca. Mudah-mudahan makalah ini mampu memenuhi
fungsinya.

Semarang, 10 Agustus 2012

APEA

2

DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH ............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4
1.1. Latarbelakang ……………………...................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ……….…………………….................................................. 6
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 7
2.1. HAN dan IAN: Selayang Pandang ...................................................................... 7
2.2. Kebebasan Berekspresi: Sebuah Penjelajahan .................................................... 9
2.3. Mewujudkan Pemerintahan yang Baik .............................................................. 12
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 15
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 15
3.2. Saran ……..............................……………….................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA …….............................................................................................. 16

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hukum administrasi negara (selanjutnya disebut HAN) kerap kali dipahami sebagai inti

(epicentrum) sistem birokrasi Indonesia. Padahal, HAN sejatinya hanyalah sabuk pengaman
(seatbelt) sistem birokrasi kita, yang fungsinya sebagai landasan yuridis setiap kebijakan
negara. Namun, yang dipahami selama ini, bukan ilmu administrasi negara (selanjutnya
disebut IAN) yang dijadikan titik pangkal kinerja sistem birokrasi kita, melainkan justru
instrumen yuridisnya.
Corak pengelolaan negara yang terlalu menekankan peraturan, bukan efektivitas dan
efisiensi, kemudian melahirkan birokrasi yang bertumpu pada suspect (prasangka), bukan
trust (kepercayaan). Segala kegiatan pengelolaan negara harus berlandaskan peraturan. Semua
yang tidak diatur berarti terlarang untuk dilaksanakan. Segala capaian dan kemajuan menuntut
pembuktian. Tidak ada pengakuan kalau tidak diiringi dengan pembuktian.
Penyelenggara negara, pada akhirnya, selalu dihantui oleh keyakinan bahwa ia harus
berorientasi pada prosedur, bukan hasil akhir (output). Setiap inovasi yang hendak
dicanangkan senantiasa terbentur prosedur formal, sehingga penyelenggara negara mau-takmau mesti bekerja tanpa inovasi.
Terbelenggu oleh prosedur, itulah yang kini dialami para birokrat kita. Reformasi 1998
merupakan permulaan atas kemunculan fenomena yang disebut Saldi Isra1 sebagai legislative
heavy atau DPR heavy. Berbeda dengan era pra-Reformasi yang cenderung executive heavy,
era pasca-Reformasi ditandai dengan pendulum kekuasaan yang bergerak terlampau berat ke
arah legislatif (pembuat regulasi) atau Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).
Eksekutif (pelaksana regulasi) seakan-akan tersandera regulasi, sehingga birokrasi tidak
berjalan secara positif.


1

Saldi Isra, “Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek dan Tantangan”, dalam
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:amandemen-lembagalegislatif-dan-eksekutif-prospek-dan-tantangan&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 (diakses tanggal 8 Agustus
2012).

4

Sistem birokrasi yang terlalu bertumpu pada regulasi menganggap kinerja prosedural
sebagai sesuatu yang utama dan penting. Penyelenggaraan negara yang aprosedural dianggap
sebagai sebuah pelanggaran yang mesti ditindak dengan sanksi.
Maraknya kasus korupsi akhir-akhir ini ditengarai bukan disebabkan oleh kejahatan
birokrat semata, melainkan juga kejahatan birokrasi. Maksudnya, secara substansial,
pelaksana kebijakan bisa jadi tidak melakukan kesalahan. Tetapi, secara prosedural ia terbukti
telah melakukan pelanggaran. Jadi, pemaknaan atas korupsi sesungguhnya amat picik dan
sempit ketika segala sesuatu hanya dilihat dari segi prosedur belaka.
Oleh sebab itu, sistem birokrasi Indonesia sesungguhnya telah jauh tertinggal dari
dinamika wacana negara modern. Negara modern bertolak dari konsep tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).

Menurut F.X. Adji Samekto,2 konsep tata kelola pemerintahan yang baik mesti terdiri
dari lima aspek. Pertama, pelaksanaan demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia
(selanjutnya disebut HAM). Kedua, perlindungan atas lingkungan hidup. Ketiga, perbaikan
standar ketenagakerjaan. Keempat, peningkatan peran perempuan. Kelima, pemberantasan
korupsi yang berlandaskan etika guna mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean
government).
Pemerintahan yang baik juga mensyaratkan pemerintahan yang terbuka (open
government) sebagai salah satu fondasinya. Dalam artian itu, kebebasan memperoleh
informasi (public access to information) merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan
pemerintahan terbuka. Pemerintahan terbuka adalah penyelenggaraan pemerintahan yang
transparan dan partisipatoris. Semakin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik,
semakin dapat dipertanggungjawabkan penyelenggaraan negara tersebut.
Alison Brysk3 mengatakan, negara bisa saja melakukan perubahan dari atas dan bawah
karena negaralah yang berwenang mengendalikan wilayah, kekuatan, dan sumber daya.
Namun, negara tidak bisa memonopoli informasi dan kekuasaan. Dengan demikian,
transparan dan terbuka terhadap informasi adalah kata kunci konsep pemerintahan yang baik,

2

F.X. Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008),

hal. 61.
3
Shayne Weyker, “The Ironies of Information Technology”, dalam Alison Brysk (ed.), Globalization and
Human Rights, (California: University of California Press, 2002), hal. 116.

5

yang menguat di era globalisasi dewasa ini. Apalagi, sekarang muncul konsep masyarakat
terbuka (open society) yang digagas oleh Karl Popper.4
Keterbukaan informasi pada akhirnya akan memunculkan hak atas informasi dan kian
menegaskan bahwa hak tersebut adalah hak asasi yang mesti dijamin pemenuhannya. Secara
yuridis, hak atas informasi sesungguhnya muncul disebabkan oleh adanya hak atas kebebasan
berekspresi. Pengakuan dan pengaturan terhadap kebebasan berekspresi meniscayakan
kebebasan untuk mencari (to seek), menerima (to receive), dan menyampaikan (to impart)
informasi dengan cara apa pun.
Jadi, ada korelasi serius antara HAN sebagai instrumen yuridis penyelenggaraan negara
dan kebebasan berekspresi sebagai salah satu unsur yang mesti ada untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik. Melalui makalah berjudul “HAN dan Kebebasan Berekspresi: Suatu
Tawaran untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik” ini, saya hendak mengkaji korelasi itu.


1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini hendak membidik beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1. Apakah HAN yang menjamin terpenuhinya kebebasan berekspresi masyarakat mampu
mewujudkan pemerintahan yang baik?
2. Bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik melalui HAN yang menjamin kebebasan berekspresi?

4

George Soros, Open Society: Reforming Global Capitalism, diterjemahkan oleh Sri Koesdiyantinah, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007).

6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. HAN dan IAN: Selayang Pandang
Salah satu ciri hukum modern, menurut David M. Trubek,5 adalah dalam hal
penggunaannya yang secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu

itu, antara lain, tersusun dari kemauan sosial-kemasyarakatan yang mengejawantah menjadi
kebijakan negara. Di sini, terjalin suatu mekanisme bawah-atas (bottom-up) dalam
pembentukan hukum: hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat menjiwai hukum yang
diberlakukan secara nasional. Namun, seiring dengan menguatnya negara, mekanisme itu
kemudian terkikis, sehingga negara memperoleh legitimasi politis untuk membuat dan
memberlakukan hukum tanpa mesti mencari dukungan dari masyarakat.
Alih-alih mencari dukungan masyarakat, negara yang semakin kuat lambat laun akan
merasa “percaya diri”. Bahkan, negara, demi menegakkan legitimasinya, akan melakukan
penindasan terhadap masyarakat, dengan tujuan supaya masyarakat patuh dan tunduk
kepadanya. Satjipto Rahardjo menjelaskan, keadaan yang mendasari penindasan adalah
kemiskinan dalam sumber daya-sumber daya politik. Kekuasaan untuk menindas, yang
semula bersifat potensial, lalu menjadi manifes. Terwujudnya kekuasaan yang bersifat
menindas tersebut berbarengan dengan munculnya tugas-tugas mendesak yang mesti dihadapi
negara—dengan kekuatan yang memadai, tetapi dengan sumber daya yang langka. Negara
menjadi terdesak dan tak punya pilihan lain selain melanggengkan kekuasaan yang bersifat
menindas itu.6
Lunturnya pola-pola interaksional antara negara dan masyarakat menyebabkan terjadi
disparitas antara hukum yang diharapkan masyarakat dan hukum yang tampak dalam alam
kenyataan. Padahal, sebagaimana dikatakan Roberto M. Unger,7 dalam pengertiannya yang
paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak

individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dari kelompok dan individu
5

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 89.
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin,
(Yogyakarta: Genta, 2009), hal. 110.
7
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan oleh
Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa Media, 2011), hal. 63.
6

7

tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik
yang harus dipenuhi.
Lebih lanjut, Unger menyebutkan tiga macam konsep hukum yang muncul dari pola-pola
interaksional tersebut. Konsep hukum pertama disebut hukum adat (customary law) atau
hukum interaksional (interactional law). Bagi hukum adat, persoalan mengenai “yang
sebenarnya terjadi” tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan “yang seharusnya dilakukan”.
Akan ada saat manakala penyimpangan dari peraturan menciptakan kembali (remake)

peraturan itu sendiri.8 Hukum adat tidak pernah bersifat positif ataupun publik: ia lebih
dikenal oleh seluruh masyarakat, tidak terkait dengan pemerintah terpusat yang berdiri
terpisah dari kelompok sosial lainnya.
Konsep hukum kedua disebut Unger sebagai tatanan hukum (legal order) atau sistem
hukum (legal system). Berkebalikan dengan hukum adat, konsep hukum ini tidak banyak
dikenal oleh semua jenis masyarakat. Ia muncul dan bertahan hidup hanya dalam keadaankeadaan luar biasa. Tatanan hukum bersifat general dan otonom, sekaligus publik dan positif.
Menilik secara historis, tatanan hukum muncul bersamaan dengan tumbuhnya masyarakat
liberal Eropa modern. Negara liberal mempunyai kumpulan norma hukum tersendiri, pranata
hukum yang khusus, tradisi doktrin hukum yang terdefinisikan secara jelas, dan profesi
hukum dengan pandangan dan minatnya sendiri yang relatif khas.9 Oleh sebab itu, tidak
semua masyarakat mengenal tatanan hukum.
Konsep hukum ketiga disebut dengan hukum birokratis (bureaucratic law) atau hukum
pengatur (regulatory law). Disebut hukum birokratis karena hukum ini terutama menjadi
bagian dari wilayah administrasi penguasa terpusat dan pejabat-pejabat khususnya. Hukum
birokratis sengaja diberlakukan oleh pemerintah, bukan tercipta secara serta merta oleh
masyarakat. Di samping itu, berbeda dengan hukum adat, hukum birokratis bersifat publik
dan positif. HAN yang tengah kita bicarakan adalah perwujudan dari hukum birokratis.
Terlalu menitikberatkan pada perumusan HAN (administrative law/administratief recht/
bestuursrecht/verwaltungsrecht/droit administratief) ketimbang IAN (public administration)
bisa diasumsikan sebagai peminggiran peran masyarakat dalam mewujudkan efektivitas dan
efisiensi pemerintahan. Dengan berkata seperti itu, sesungguhnya saya hendak bilang bahwa

8

Ibid., hal. 64. Dalam istilah Satjipto Rahardjo, “penyimpangan yang menciptakan peraturan” ini dinamakan
rule breaking (terobosan). Lihat Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), hal. 23, 83, 140, 169, dan 219.
9
Ibid., hal. 67-69.

8

ilmu hukum itu selalu membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial, dan bahkan ilmu hukum
adakalanya mesti menyediakan jalan untuk keterlibatan penuh ilmu-ilmu sosial.
Philipus M. Hadjon dkk.10 mengatakan, terdapat perbedaan antara HAN dan IAN. Hal itu
berkenaan dengan makna “administrasi” dalam kedua istilah tersebut. Kata “administrasi
negara” dalam HAN merupakan pemborosan kata sebab dalam kata “administrasi”
sesungguhnya telah tercakup makna negara atau publik. Sementara dalam IAN jelas
diperlukan penulisan “administrasi negara” untuk membedakannya dengan ilmu administrasi
niaga.
IAN tergolong bagian ilmu administrasi umum yang merupakan cabang dari ilmu sosial
(ilmu politik). IAN, menurut S. Pamudji,11 didefinisikan sebagai organisasi dan manajemen
dari manusia dan benda guna mencapai tujuan pemerintah. Dengan demikian, titik sentral
IAN jelas: manusia. Kebijakan negara mestilah berorientasi pada manusia, bukan pemerintah
atau negara semata. Hal inilah yang membedakannya dengan HAN, yang cenderung melihat
segalanya dari sudut pandang dan kepentingan negara.
Maka, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa istilah administrasi negara dalam IAN
meliputi seluruh kegiatan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sedangkan administrasi
dalam HAN hanya meliputi lapangan bestuur (penegakan hukum/eksekutif), di luar wetgeving
(pembuatan hukum/legislatif) dan rechtspraak (peradilan/yudikatif).

2.2. Kebebasan Berekspresi: Sebuah Penjelajahan
Di bagian sebelumnya, kita berbicara tentang riwayat konsep-konsep hukum serta
perlunya konsepsi-konsepsi IAN diterapkan dengan porsi yang lebih banyak ketimbang HAN
dan mengapa hal itu harus dilakukan. Di bagian ini, saya ingin mengarahkan pembicaraan ke
tema sentral makalah ini, yakni soal kebebasan berekspresi dan instrumen-instrumen yuridis
yang melindunginya. Mengenai kebebasan berekspresi dan korelasinya dengan HAN, sedikitbanyak telah disinggung di Bab I.
R. William Liddle12 menganggap, ada pertalian kuat antara kebebasan sipil dan
demokrasi. Ia mengatakan bahwa kebebasan sipil terdiri dari kebebasan berpikir, kebebasan

10

Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), hal.2-6.
11
Loc. cit.
12
R. William Liddle, “Demokrasi dan Kebebasan Sipil”, dalam Hamid Basyaib (ed.), Membela Kebebasan:
Percakapan tentang Demokrasi Liberal, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), hal. 145-151.

9

berpendapat [dan berekspresi], kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan beragama,
serta kebebasan pers.
Menurut Liddle, jaminan atas terpenuhinya kebebasan sipil merupakan agenda buat
mewujudkan demokrasi. Kebebasan sipil bisa dijadikan parameter penting untuk mengukur
apakah suatu negara demokratis atau tidak. Ia berpendapat, kalau pemerintah menarik kembali
hak warga untuk berekspresi secara bebas, itu berarti demokrasi tidak bisa dipraktikkan di
negara tersebut.
John Stuart Mill (1806-1873) pernah mengatakan, semakin luas kebebasan berekspresi
dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban, maka masyarakat atau peradaban tersebut
akan semakin maju dan berkembang.13 Sementara menurut Nirwan Dewanto, kebebasan
berekspresi adalah sarana untuk menyatakan pendapat. Artinya, untuk mencapai kebenaran,
setiap individu harus mengompetisikan pendapatnya.14
Hak atas kebebasan berekspresi (right to freedom of expression), dijamin dalam pelbagai
instrumen HAM internasional, regional, dan nasional. Di tataran internasional, ia diatur dalam
Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR, 1948)
dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR, 1966).
Selain itu, hak atas kebebasan berekspresi juga bisa ditemukan dalam Pasal 5 d butir (viii)
Konvensi

Internasional

tentang

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi

Rasial

(International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ ICEAFRD, 1965)15 dan Pasal 13 ayat (1) Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights
of the Child/CRC, 1989).16
Di tataran regional, hak atas kebebasan berekpresi termaktub dalam Pasal 10 Konvensi
Eropa tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar (Convention for the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms, 1950), Pasal 13 Konvensi Amerika tentang HAM
(American Convention on Human Rights, 1969), dan Pasal 9 Piagam Afrika mengenai HAM
dan Hak-hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples’ Rights, 1979).
Secara khusus, Pasal 19 UDHR, Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR, Pasal 10 Konvensi
Eropa tentang Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar, Pasal 13 Konvensi Amerika tentang
13

Nirwan Dewanto, “Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat”, dalam Ibid., hal. 267.
Ibid., hal. 264.
15
Diratifikasi pemerintah RI melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999.
16
Diratifikasi pemerintah RI melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
14

10

HAM, serta Pasal 9 Piagam Afrika mengenai HAM dan Hak-hak Rakyat menjamin seorang
individu atas hak menyatakan pendapat dan bebas berekspresi tanpa gangguan. Namun
demikian, Pasal 29 ayat (2) UDHR, Pasal 19 ayat (3) butir (a) dan (b) ICCPR, dan Pasal 20
ICCPR harus dipahami sebagai ketentuan yang mengecualikan pemenuhan hak atas
kebebasan berekspresi.
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa hak-hak dan kebebasan asasi manusia hanya
dapat dibatasi dengan Undang-undang dengan tujuan untuk menghormati hak-hak dan
kebebasan asasi orang lain, moralitas, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum di dalam
masyarakat yang demokratis.
Pembatasan juga dapat dilakukan dalam rangka mempromosikan kesejahteraan umum
dalam masyarakat demokratis, atas dasar alasan keamanan nasional, atau dalam keadaan
darurat yang sah yang membahayakan kehidupan bangsa. Di samping itu, pembatasan
tersebut hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk (1)
menghormati hak atau nama baik orang lain dan (2) melindungi keamanan nasional,
ketertiban, kesehatan, atau moral umum.
Namun, harus pula dipahami bahwa pembatasan terhadap pemenuhan kebebasan
berekspresi tidak boleh membahayakan kebebasan berekspresi itu sendiri, sebagaimana
ditegaskan dalam Paragraf 4 General Comment No. 10 Freedom of Expression, Article 19,
Nineteenth Session, 1983.
Berkaitan dengan hak atas kebebasan berekspresi (right to freedom of expression),
Indonesia memiliki beragam aturan konstitusional seiring dengan perjalanannya sebagai
negara dan bangsa dalam lintasan sejarah. Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949
(selanjutnya disebut Konstitusi RIS 1949) dan Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950
(selanjutnya disebut UUDS 1950) dengan redaksi yang hampir serupa menyebutkan bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan agama” (Pasal 18), “setiap
orang berhak atas kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat” (Pasal 19), dan “hak
penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat setjara damai diakui dan sekadar perlu
didjamin dalam peraturan2 undang-undang” (Pasal 20).
Hak atas kebebasan berekspresi, sebagaimana diatur dalam Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950 tersebut, hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang-undang dengan syarat-syarat
sesuai konsitusi. Akan tetapi, pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk esensi kebebasan

11

yang dijamin dalam konstitusi itu sendiri. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 33 Konstitusi
RIS 1949 dan Pasal 34 UUDS 1950 yang menyatakan:
“Tiada suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengan pengertian,
sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak dari padanja untuk
mengusahakan sesuatu apa atau melakukan perbuatan berupa apapun jang bermaksud
menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan jang diterangkan dalamnja.”
Dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), hak atas
kebebasan berekspresi tidak diatur secara rinci. Penuangan materi HAM dalam UUD 1945
menjadi perdebatan dalam perumusannya. Dalam soal hak atas kebebasan berekspresi,
perdebatan panjang para pendiri bangsa pada akhirnya menghasilkan rumusan Pasal 28 UUD
1945 yang menyebutkan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Dalam
Penjelasan Pasal 28 UUD 1945 disebutkan bahwa kebebasan tersebut untuk membangunkan
negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945), hak atas kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28
E ayat (2) dan (3). Pasal 28 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undangundang.”
Pasal 28 E ayat (2) dan (3) menyatakan: “(2) Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Selain dari rumusan konstitusi di atas, hak atas kebebasan berekspresi juga dapat
ditemukan dalam Pasal 23 ayat (2), 25, 44, dan 55 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM).

2.3. Menuju Pemerintahan yang Baik
Pengabaian terhadap IAN terbukti telah mengakibatkan kelambanan dan kelembaman
kinerja birokrasi. Padahal, Leonard D. White17 mendefinisikan administrasi negara sebagai
kegiatan negara untuk menunaikan dan melaksanakan kebijakan negara. Dengan demikian,
prioritas administrasi negara adalah jelas, yakni kebijakan negara, bukan tetek-bengek

17

Philipus M. Hadjon dkk., op.cit., hal. 5.

12

prosedural: peraturan, Undang-undang, dan segala macamnya. Lebih jauh lagi, administrasi
negara mestinya berorientasi pada masyarakat dan manusia.
Hannah Arendt memerikan tiga jenis kegiatan utama manusia, yakni kerja (labor), karya
(work), dan aksi (action).18 Kerja adalah apa yang dilakukan oleh setiap orang untuk
mempertahankan hidupnya, yakni segala yang berhubungan dengan kebutuhan primer seperti
makan, minum, dan mencari perlindungan terhadap alam. Dalam bekerja, manusia bertindak
sebagai animal laborans (makhluk yang bekerja). Di sini, barang-barang tak diubah
bentuknya, melainkan hanya dikonsumsi hingga tandas.
Taraf manusia meningkat menjadi homo faber ketika ia tidak hanya mengonsumsi
barang-barang, tetapi juga mengubah bentuk barang-barang itu sehingga memudahkan
pekerjaannya. Inilah yang disebut dengan karya: apa yang dihasilkan manusia akan ia pakai
terus-menerus, tidak habis ia konsumsi seperti apa yang dihasilkan dari kerja. Karya memiliki
sifat permanence (tetap).
Namun, ada suatu saat ketika hasil karya berubah menjadi hasil kerja. Inilah yang disebut
para sosiolog Marxis dengan reifikasi, yakni saat di mana homo faber melaksanakan
keterampilannya dalam kedudukan sebagai animal laborans. Hasil karya yang seharusnya
bisa dikonsumsi terus-menerus menjadi hanya difungsikan secara singkat layaknya hasil
kerja. Ini terjadi ketika hasil karya itu dijual atau dibarter guna memperoleh makanan atau
kebutuhan hidup lain. Gara-gara reifikasi, manusia kehilangan daya bebasnya akan karya dan,
lebih jauh lagi, ia kehilangan kebebasan dirinya. Manusia menjadi tergantung pada kerja:
kemampuan dan keterampilannya semata-mata digunakan untuk menghasilkan hasil kerja,
bukan hasil karya.
Untuk “menyelamatkan” manusia dari ketergantungan kerja, lanjut Arendt, manusia perlu
melakukan aksi. Aksi terdiri dari dua komponen utama, yakni perbuatan dan pembicaraan
(deed and speech). Secara singkat dapat dikatakan, kebebasan berekspresi adalah manifestasi
dari perbuatan dan pembicaraan (aksi) yang mesti dilakukan manusia untuk meneguhkan
eksistensinya. Menyitir perkataan Nirwan Dewanto di muka, kebebasan berekspresi amatlah
penting sebab “untuk mencapai kebenaran, setiap individu harus mengompetisikan
pendapatnya”.
Mengingat peran kebebasan berekspresi yang amat menentukan tersebut, pemerintah
seyogianya menyusun dan menegakkan administrasi negara yang berwawasan kebebasan
18

A. Ferry T. Indratno (ed.), Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009), hal. 6.

13

berekspresi. Maksudnya, setiap kebijakan negara mesti memerhatikan aspek kebebasan
berekspresi setiap warga dan/atau masyarakat. Sebab, pemasungan kebebasan berekspresi
sama saja dengan pembatasan HAM yang jelas dilindungi dalam pelbagai instrumen yuridis,
baik nasional maupun internasional. Menukil pendapat F.X. Adji Samekto di muka,
pembatasan HAM juga bertentangan dengan konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) yang meniscayakan pelaksanaan demokrasi dan penghormatan atas HAM.
Amatlah menarik untuk merenungkan beberapa pokok pikiran yang disampaikan David
Osborne dan Ted Gaebler19 dalam rangka menemukan kembali tata pemerintahan (reinventing
government) yang sesuai dengan tuntutan zaman (baca: pemerintahan yang baik). Pertama,
pemerintah harus berfungsi sebagai katalis (catalytic), yakni pihak yang mampu mempercepat
terciptanya kemajuan negara. Kedua, negara harus bisa menjadi milik bersama (community
owned), tanpa memberi prioritas kepada kelompok masyarakat tertentu.
Ketiga, negara harus berani bersaing (competitive) dengan negara lain dalam percaturan
globalisasi. Keempat, pemerintah harus menjalankan negara dengan misi (mission driven)
tertentu. Kelima, pemerintah mesti mengelola negara dengan berorientasi pada hasil (result
oriented). Keenam, negara harus memosisikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Negara
dikelola dengan bertumpu pada “nasabah”, yang dalam hal ini berarti rakyat.
Ketujuh, negara harus berperan layaknya perusahaan (enterprising), yang mengupayakan
keuntungan sebesar-besarnya untuk rakyat. Kedelapan, pemerintah mesti awas atau berpikiran
jangka panjang (anticipatory) terhadap peristiwa yang belum terjadi. Kesembilan, pemerintah
perlu melakukan desentralisasi (desentralized) untuk menghindari pemusatan yang
menyebabkan inefisiensi. Kesepuluh, negara mesti berorientasi pada pasar (market oriented).

19

Budi Winarno, Implementasi Konsep “Reinventing Government” dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Makalah, disampaikan dalam seminar nasional bertajuk "Penataan Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah” di UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, 14 Januari 2004.

14

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.1.1. HAN yang menjamin kebebasan berekspresi masyarakat mampu mewujudkan
pemerintahan yang baik. Jaminan atas terpenuhinya kebebasan berekspresi merupakan agenda
buat mewujudkan demokrasi. Padahal, penghormatan atas demokrasi adalah salah satu aspek
yang mesti dipenuhi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Dengan demikian,
pemerintahan yang baik dapat dicapai hanya dengan menegakkan kebijakan negara melalui
HAN yang menjamin kebebasan berekspresi masyarakat.
3.1.2. Pemerintahan yang baik melalui HAN yang menjamin kebebasan berekspresi dapat
diwujudkan dengan memprioritaskan efektivitas dan efisiensi kebijakan negara dan
berorientasi pada masyarakat dan manusia, bukan tetek-bengek prosedural seperti peraturan
dan Undang-undang. Di samping mencermati ketiga jenis kerja utama manusia, untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik juga mesti merenungkan sepuluh pokok pikiran yang
disampaikan David Osborne dan Ted Gaebler dalam rangka menemukan kembali tata
pemerintahan (reinventing government) yang sesuai dengan tuntutan zaman.

3.2. Saran
3.2.1. Diperlukan perubahan pemahaman tentang HAN. Bahwa HAN seharusnya
memberi ruang lebih banyak kepada IAN. IAN, secara konsisten dan konsekuen, harus
dijadikan inti sistem birokrasi Indonesia. Dengan demikian, fungsi HAN yang hanya sebagai
sabuk pengaman sistem birokrasi kita dapat memberikan hasil yang optimal, sehingga
pemerintahan yang baik dapat termanifestasikan.
3.2.2. Pemerintah seyogianya menyusun dan menegakkan administrasi negara yang
berwawasan kebebasan berekspresi. Maksudnya, setiap kebijakan negara mesti memerhatikan
aspek kebebasan berekspresi setiap warga dan/atau masyarakat. Sebab, pemasungan
kebebasan berekspresi sama saja dengan pembatasan HAM yang jelas dilindungi dalam
pelbagai instrumen yuridis, baik nasional maupun internasional.

15

DAFTAR PUSTAKA

Basyaib, Hamid (ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal,
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006).
Brysk, Alison (ed.), Globalization and Human Rights, (California: University of California
Press, 2002).
Hadjon, Philipus M. dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005).
Indratno, A. Ferry T. (ed.), Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
Isra, Saldi, “Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek dan Tantangan”, dalam
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:amand
emen-lembaga-legislatif-dan-eksekutif-prospek-dantantangan&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 (diakses tanggal 8 Agustus 2012).
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006).
, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas
Disiplin, (Yogyakarta: Genta, 2009).
, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).
Samekto, F.X. Adji, Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan, (Yogyakarta:
Genta Press, 2008).
Soros, George, Open Society: Reforming Global Capitalism, diterjemahkan oleh Sri
Koesdiyantinah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,
diterjemahkan oleh Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa Media, 2011).
Winarno, Budi, Implementasi Konsep “Reinventing Government” dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah, Makalah, disampaikan dalam seminar nasional bertajuk "Penataan
Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” di UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya,
14 Januari 2004.

16