Permasalahan dan Strategi Pelestarian sekolah

 

Permasalahan dan Strategi
Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Warisan Budaya

Antariksa

Pendahuluan
Di tahun 1970-an di negara-negara Barat ada semacam tren melakukan penggusuran
bangunan-bangunan tua untuk memberikan ruang bagi bangunan-bangunan baru. Belakangan
tindakan itu diratapi banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka menyebutnya sebagai
architecture suicide, bunuh diri arsitektural. Disebut begitu karena justru pemerintah
merekalah yang menghancurkan arsitektur-arsitektur tua dan bersejarah yang seharusnya
dilindungi. Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam perkembangan kota modern adalah,
hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan oleh bangunan-bangunan bergaya
internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus dan tak berjiwa. Dengan demikian,
menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu
cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno,
lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu
identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta & Budhiardjo,
1989). Karena itulah warisan budaya menjadi penting mengingat gencarnya kegiatan

modernisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan
wajah kota yang sama disetiap kota. Pelestarian bangunan maupun arsitektur perkotaan
merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya satu bangunan
kuno-bersejarah pada suatu kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat,
antara masa kini dan masa lalu. Melihat hal tersebut, maka masa lalu yang diungkapkan
dengan keberadaan fisik dari bangunan kuno-bersejarah akan ikut menentukan dan
memberikan identitas yang khas bagi suatu kawasan perkotaan di masa mendatang.
Pengertian Pelestarian
Kegiatan pelestarian bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Bila ingin
memecahkan permasalahan pelestarian, ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab bersama.
Yaitu mengapa kita ingin melestarikan? Apakah karena aspek-aspek tersebut merupakan
bagian dari warisan kita? Apakah untuk memperbaiki/meningkatkan lingkungan
masyarakat? Atau untuk mendapatkan mendapatkan uang dari wisatawan? Hal inilah yang
seharusnya dijadikan dasar sebagai tujuan pelestarian yang akan bisa dilakukan mengingat
kota-kota di Indonesia mempunyai banyak peninggalan bangunan kuno hampir di sebagian
besar wilayah, tapi semuanya belum terinventarisasi dengan baik. Tujuan pelestarian itu tidak
hanya untuk meningkatkan mutu kawasan kota secara fisik saja, tetapi juga untuk menjaga
stabilitas perkembangan kawasan atau bangunan itu sendiri.
Sebenarnya, kalau kita tengok kembali istilah pelestarian dewasa ini telah banyak
digunakan dengan berbagai macam pengertian. Istilah “konservasi” sedikit telah mengalami

perubahan, kemudian muncul dengan istilah baru, yaitu “bangunan kuno-bersejarah”. Istilah
konservasi dan preservasi itu sendiri, telah digunakan dengan berbagai macam pengertian.
Preservation (preservasi), adalah sejenis campur tangan (intervensi) yang mempunyai tujuan
untuk melindungi dan juga memperbaiki bangunan bersejarah, dan pada umumnya kata

 

 

preservation banyak digunakan di Amerika (USA). Conservation (konservasi), adalah
tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari bangunan bersejarah yang
ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional, atau dengan sambungan baja, dan atau
dengan bahan-bahan sintetis, sedangkan kata conservation lebih banyak digunakan di UK dan
Australia (Larsen, 1994). Pendapat lain mengenai preservasi adalah, upaya preservasi sesuatu
tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa adanya perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran, sedangkan konservasi, adalah upaya untuk mengkonservasi bangunan,
mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dalam
Piagam Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi,
rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996).

Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari
konsep pelestarian yang bersifat statis, yaitu bangunan yang menjadi objek pelestarian
dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Konsep yang statis tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan lebih luas.
Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga
karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas
merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau
bangunan bersejarah.

Beberapa Kasus dalam Pelestarian
Satu peristiwa yang menarik perhatian banyak orang pada tahun 1991 adalah, adanya
rangkaian aksi protes yang dilakukan oleh para seniman dan budayawan dengan rencana akan
dibongkarnya Gedung Senisono di Yogyakarta. Para seniman dan budayawan bermaksud
ingin mempertahankan gedung tersebut, karena dikatakan secara ilmiah pun gedung itu
memang mempunyai arti sejarah, bahkan di tempat inilah Konggres Pemuda I, tahun 1945
berlangsung (TEMPO, 11 Mei 1991). Kemudian disusul dengan kejadian di Keraton
Surakarta, para puteri Keraton Kasunanan Surakarta melancarkan protes mogok makan
dengan akan dibangunnya sebuah hotel baru di dalam kawasan keraton yang kabarnya akan
merobohkan Bangsal Keputren (TEMPO, 29 Agustus 1992). Masalah tersebut berlanjut
dengan munculnya para mahasiswa yang membentuk aksi solidaritas untuk melestarikan

budaya setempat dengan dirobohkannya sebagian dari bangunan di kawasan keraton tersebut
(TEMPO, 10 Oktober 1992).
Lain di Indonesia lain pula yang terjadi di Kota Kyoto. Warga Kota Kyoto dan
organisasi keagamaan menolak rencana pemilik Kyoto Hotel menaikkan ketinggian
bangunan dari 31 meter (8 lantai) menjadi 60 meter (16 lantai). Hal itu dilakukan, karena
akan merusak lansekap dan peninggalan sejarah kota tersebut. Bahkan dua kuil besar di kota
Kyoto, yaitu kuil Kinkaku-ji dan kuil Kiyomizudera memasang papan pengumuman di depan
pintu masuk ke kuil tersebut. Isi dari pengumuman adalah, menolak para wisatawan yang
menginap di Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang mempunyai afiliasi untuk tidak
mengunjungi kedua kuil tersebut. Selain itu, pada kuil-kuil yang lain, dipasang papan-papan
pengumuman yang bertuliskan: “kita menolak bangunan tinggi yang akan menghancurkan
sejarah dan lansekap Kota Kyoto”. Perlu diketahui, sejak dulu bangunan-bangunan yang
terdapat di pusat Kota Kyoto ketinggianya dibatasi, yaitu 45 meter (The Japan Times,
December 2, 1992). Masih di Jepang, di Kota Hiroshima sebuah kelompok yang terdiri dari
15 organisasi mengusulkan untuk mengubah perundangan agar Atomic Bomb Dome
direkomendasikan dan didaftarkan ke United Nation sebagai salah satu warisan sejarah dunia
(world heritage). Sebaliknya, di akhir tahun 50-an beberapa penduduk Hiroshima justru
mendukung penghancuran bangunan tersebut untuk memindahkan kenangan dari perang

 


 

dunia. Namun akhirnya, pemerintah kota tetap memberikan pendanaan untuk pemeliharaan
bangunan tersebut. (The Daily Yomiuri January 29,1994)
Pada tahun 1995, untuk memperingati akhir perang dunia ke-2 Pemerintah Korea
Selatan memulai dengan penghancuran simbol kekuasaan pemerintahan kolonial Jepang,
yang dibangun tahun 1926. Sebuah penderek raksasa menarik dan melepas ujung dome
bagian atap bangunan yang terbuat dari batu granit. Bangunan itu terletak di bagian tengah
dari istana dinasti Yi, yang ditaklukkan oleh pemerintah Jepang di tahun 1910. Pada
kesempatan itu Presiden Kim Young Sam mengatakan, ”hanya dengan membuka bagian atap
dari bangunan ini, kita dapat dengan sungguh-sungguh mengembalikan wujud dari istana
Kyongbokkung, hal ini merupakan simbol kekuasaan yang sangat penting dalam sejarah
nasional kita.” (The Daily Yomiuri August 16, 1995)

Permasalahan Pelestarian
Keselamatan bangunan kuno tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja,
tetapi para wisatawan pun yang mengunjungi tempat ataupun bangunan bersejarah juga ikut
bertanggung jawab. Julius John Norwich mengatakan, bahwa ”polusi dari wisatawan tidak
hanya akan menghancurkan bangunan bersejarah saja, tetapi menghancurkan seluruh atmosfir

dari bangunan itu” (Architecture Record, 3/1991) Sebagai contoh, ”jika anda berkunjung ke
’Westminster Abbey’ tiga hari sebelum perayaan Natal akan terlihat seperti department store,
dan atmosfir kekhidmatan dari bangunan itu menjadi hilang”.
Kota Venice di Italy, yang pada suatu hari di tahun 1987 kedatangan luapan wisatawan
sebanyak 66.000 ribu orang, sehingga merusak infra struktur kota tersebut, dan akhirnya
penguasa setempat menutup jalan yang menghubungkan Kota Venice dengan tanah daratan.
Di Vatican, banyak wisatawan yang memadati Sistine Chapel selama kegiatan sehari-hari dan
menyebabkan suhu temperatur naik mencapai 41 derajat. Naiknya suhu tersebut
menyebabkan uap udara naik sampai ke langit-langit bangunan dan akibatnya memproduksi
fungus (jamur).
Demikian juga lukisan dalam gua di Lascaux, Prancis juga ditutup untuk para
wisatawan dengan alasan yang sama. Atau ruangan besar sebelah selatan dari Canterbury
Cathedral, sekarang lebih rendah 1.5 inchi dari dua puluh tahun yang lalu, akibat dari pijakan
kaki para wisatawan setiap harinya.
Menurut World Tourism Organization yang berpusat di Madrid menjelaskan, bahwa
industri wisata di dunia meluas sekitar empat persen per tahunnya. Prancis, adalah merupakan
tempat tujuan dari para wisatawan yang setahunnya menarik sekitar 60 juta pengunjung.
Menurut WTO jumlah pelancong yang bepergian ke luar negeri mencapai 528 juta orang,
sedangkan prediksi yang dilakukan oleh organisasi tersebut untuk tahun 2004 yang lalu saja,
jumlahnya telah mencapai 937 juta orang. Beberapa tempat wisata terkenal telah menjadi

melimpah jumlahnya, dan pada tahun 1995 WTO telah menyelenggarakan konferensi
internasional di San Marino membahas masalah bagaimana caranya mengurangi jumlah dari
3.4 trilyun dolar industri wisata per tahunnya (Stanger, 1995).
Beberapa cara pun telah dilakukan, seperti pada Montmartre’s Sacré-Coeur Basilica di
Athena, yang akan mengambil langkah untuk mengurangi jumlah wisatawan. Contoh lain
yang menarik, adalah kota tua Salsburg yang melarang bus-bus besar yang membawa
wisatawan untuk masuk ke pusat jantung kota. Atau para kurator di Giverny di bagian utara
Prancis menolak kunjungan wisatawan dalam jumlah besar pada saat bunga-bunga di taman
kota tersebut berkembang.


 

 

Intervensi dan Inventarisasi
Untuk itu, perlu adanya inventarisasi yang didasarkan dengan kajian sejarah dan
arsitektur untuk memperjelas nilai-nilai keunikan gaya arsitektur yang terdapat pada
bangunan kuno tersebut. Baik ditinjau dari usia, bentuk, ornamen, relief, tata ruang, dan lain
sebagainya. Semuanya digunakan sebagai landasan utama menentukan kriteria dipertahankan

atau dilestarikannya bangunan itu. Memang, tidak semua bangunan kuno yang dibangun pada
masa kolonial adalah dengan sendirinya merupakan cagar budaya yang harus dipertahankan.
Perlu adanya kebijakan yang salah satu bentuknya ialah, intervensi pemkot yang merupakan
kekuatan yang potensial di dalam melestarikan bangunan kuno. Hal yang lebih penting, yaitu
intervensi tersebut harus mempunyai manfaatnya untuk kepentingan masyarakat serta para
pemilik bangunan kuno. Di samping itu, upaya pelestarian untuk konteks pembangunan kota
harus bermanfaat antara lain: untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah;
terpeliharanya tata ruang kota yang khas; mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang
menjadi bagian dari kota; dan memiliki nilai ekonomi yang perlu dipertahankan sebagai
modal lingkungan/kawasannya. Jadi dari sisi tujuan pun, pelestarian bangunan kuno
diperkotaan tentunya akan banyak memberikan manfaat juga. Di antaranya, memperkaya
pengalaman visual dengan masa lampau, kawasan lama akan menawarkan susana permanen
yang menyegarkan, membuat hadirnya sense of place, merupakan aset besar dalam industri
wisata, menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang, dan membantu
terpeliharanya warisan arsitektur yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau. Untuk
tujuan tersebut dirasa perlu ada perangkat hukum yang saling terkait di antara dinas-dinas
yang ada di pemkot dan perangkat itu harus benar-benar mengikat. Yang harus diperhatikan
ialah biaya untuk melestarikan bangunan kuno itu sangat mahal dan perlu juga dipikirkan
akan menjadi beban siapa nantinya.


Kebijakan dan Pendekatan
Isu kebijakan yang paling utama adalah, apakah konservasi fisik itu selalu mempunyai
manfaat? Apakah konservasi sosial itu mempunyai tujuan untuk memelihara masyarakat yang
ada?, dan harus dijadikan prioritas. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
menangani masalah konservasi antara lain: (1) Teknik konservasi, banyak teknik-teknik yang
digunakan dalam menangani konservasi bangunan maupun kawasan dari berbagai negara
telah dipublikasikan dan disajikan dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik dalam konsep
maupun teknis pelaksanaannya, namun belum sepenuhnya dapat diadaptasi dan
dikembangkan dengan baik; (2) Peraturan pemerintah daerah setempat, masih banyak
peraturan-peraturan yang belum banyak dipublikasikan kepada masyarakat, terutama yang
berkaitan dengan konservasi bangunan kuno-bersejarah maupun kawasan, sehingga banyak
bangunan-bangunan kuno yang dirobohkan atau dihancurkan untuk kemudian diganti dengan
bangunan-bangunan baru: (3) Peraturan perundangan Benda Cagar Budaya (Undang-Undang
No 11 Tahun 2010) masih terlihat tumpang-tindih dengan peraturan daerah, khususnya dalam
melindungi masing-masing bangunan kuno maupun kawasan bersejarah untuk tiap daerah,
baik mengenai usia bangunan, style, ornamen, bahan, dan lain sebagainya.
Sebagai konsep pengembangan, bangunan kuno-bersejarag tidak hanya
mempertimbangkan pada kawasan sekitarnya saja, tetapi merupakan suatu bagian dari
seluruh kompleks bangunan atau permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan
konsep fisik untuk warisan arsitektur. Kiranya perlu dipahami dan diikuti, bahwa

perkembangan peraturan pelestarian sudah beranjak dari sekitar pelestarian bangunan, bendabenda bersejarah atau kawasan saja. Akan tetapi, mencakup suatu kawasan kota yang
ditetapkan sebagai kawasan yang dilestarikan. Nampaknya, perlu juga dikembangkan dengan
lebih luas lagi melalui “intangible cultural properties.” Seperti, pelestarian seni tradisional

 

 

(tarian, musik dan teater) serta kerajinan (tenun, keramik, perak, dan sebagainya), yang
mempunyai nilai seni dan sejarah yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah, dengan cara mengembangkan seluruh wilayah
sebagai museum hidup, atau dengan istilah lain disebut “ecological museum” atau
”ecomuseum”. Diwujudkan melalui tiga elemen, yaitu warisan, partisipasi, dan museum,
ketiga hal itu harus seimbang. Untuk warisan akan mewakili alam dan budaya, serta industri
tradisionil pada wilayah yang telah diberikan. Kemudian, demi masa depan mereka perlu
adanya partisipasi dari penduduk setempat dalam operasional dan manejemennya. Terakhir,
adalah museum itu sendiri, dapat dipakai sebagai fungsi dari pelestarian alam dengan tradisitradisinya yang dapat ditampilkan sebagai sebuah wilayah yang dilestarikan (Ohara, 1998).

Pelestarian Terintegrasi
Pelestarian yang terintegrasi harus memenuhi seluruh peraturan perundangan yang ada,

yang dapat memberikan sumbangan perlindungan pelestarian bagi warisan arsitektur. Saat ini
peraturan perundangan tujuannya belum mencukupi, perlu ditambah dengan instrumeninstrumen legal yang lebih tepat, baik dalam tingkat nasional, regional maupun lokal.
Sehingga pelaksanaan kebijakan pelestarian terintegrasi pada pelayanan administrasinya
harus segera dibentuk. Selain melestarikan warisan budaya dengan peraturan perundangan
yang ada, kita harus menemukan pemecahan lain. Sangat tidak bermanfaat kalau pelestarian
bangunan atau kawasan bila tujuannya hanya sekedar pelestarian, dan tidak memberikan
keuntungan finansial. Atau dengan memadukan kepentingan budaya dengan wawasan
ekonomi.
Perencanaan pelestarian yang terintegrasi harus diprogramkan sebagai proses yang
secara fundamental berdasar pada pengertian dan kejelasan dari nilai kehidupan dalam
komunitas perkotaan. Solusinya harus diformulasikan berdasar pada kelangsungan hidup
mereka, dan kemungkinan implementasinya. Usulan harus jelas dalam waktu, mengakar pada
budaya, ekonomi, dan struktur politik dari masyarakat perkotaan. Di samping itu, proses
perencanaan pelestarian mempunyai beberapa fase, di antaranya adalah (Zancheti &
Jokilehto, 19??): a) analisis dan penilaian; b) persiapan dari alternatif solusinya; c) negosiasi
dan implementasi; serta d) monitoring dan kontrol.
Kemudian ada tujuh prinsip dalam konservasi perkotaan yang berkelanjutan di
antaranya:
1. merupakan sebuah proses bukan sebuah projek;
2. konservasi membutuhkan keseimbangan dalam pengembangan dan kebutuhan
penghuni;
3. merupakan gabungan jangka-panjang yang berkelanjutan: sosial (= penghuni);
ekonomi (= skala-kecil perusahaan setempat); budaya (= konservasi); dan ekologi (=
sumber daya alam–kesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan melalui pro-aktif dan program yang mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari stakeholders termasuk komunitas setempat; dan
7. pengembangan projek skala besar harus dihindari.
Kenyataannya, semua akan tergantung pada keistimewaan dari masing-masing kawasan
perkotaan. Pemerintah daerah, pedagang, pengembang, kalangan atas, golongan menengah,
pekerja dan kaum miskin, berlomba untuk mencari tempat atau lahan kosong, atau berpindah
untuk mencarai kawasan yang hijau. Pedagang menginginkan modernisasi, bangunan mewah,
efisiensi, dan adanya pencapaian yang baik ke suatu kawasan; pemuda, golongan atas dan
menengah serta anak-anak, ingin tinggal di tempat mereka dapat melakukan aktifitasnya;

 

 

pihak pemerintah kota, menginginkan untuk menarik pajak berdasarkan tempat mereka
berada; wisatawan menginginkan kebersihan dari kawasan bersejarah dan hotel-hotel yang
menyenangkan.
Penggabungan antara kelompok yang berbeda sangat tergantung pada isu dan keadaan
di antaranya adalah:
(1)
Dalam beberapa kasus dewan kota dan badan pengembangan masyarakat,
mempunyai pekerjaan mempromosikan dana untuk pengembangan kawasan bersejarah di
kota-kota, dan juga pada kelompok masyarakat miskin;
(2)
Kepentingan dari pedagang, pengembang rumah mewah dan pemilik tanah
yang saling berkompetisi, seharusnya mereka membentuk koalisi yang terbuka;
(3)
Para pemerhati konservasi dan kelompok masyarakat, sambil mengikuti
tujuan-tjuan yang berbeda, sewaktu-waktu dapat saling dikombinasikan untuk pengembangan
kawasan bersejarah; dan
(4)
Para akademisi dan pengelola cagar budaya harus dapat mengintegrasikan
antara perundangan cagar budaya dan kajian ilmiah untuk konservasi bangunan maupun
kawasan.
Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan merupakan pertimbangan dari tinjauan
sisi sejarah arsitektur maupun perkotaan. Konsep pelestarian dapat dipertanggung-jawabkan
secara akademis, dan dapat memberikan sumbangan pada pengelola cagar budaya dalam
memutuskan atau menentukan bangunan maupun kawasan bersejarah sebagai tempat yang
dilindungi dan dilestarikan.
Untuk itu, perlu diambil sikap yang bijaksana dalam memilih mana warisan budaya
yang perlu dilindungi dan mana yang tidak, sehingga tidak mempunyai kesan bahwa langkah
pelestarian ini hanya membabibuta dan tidak efisien.

Penutup
Akhirnya, agar kebijakan pelestarian kawasan menjadi satu kesepakatan, maka perlu
melibatkan unsur-unsur antara lain, pemerintah kota, pengelola cagar budaya, akademisi,
lembaga swadaya masyarakat, pemerhati pelestarian, pengusaha, pemilik bangunan, dan
pedagang kaki lima. Untuk akademisi dan pengelola cagar budaya dengan kajian ilmiah
tentang pelestarian kawasan bersejarah. Agar kebijakan yang dihasilkan merupakan
pertimbangan dari tinjauan sisi sejarah kota atau kawasan dan konsep pelestarian, yang dapat
dipetanggung-jawabkan secara akademis. Dengan demikian, tentunya dapat memberikan
sumbangan pada pemerintah kota dan pengelola cagar budaya dalam memutuskan atau
menentukan bangunan kuno dan kawasan yang akan dilindungi atau dilestarikan.
Daftar Pustaka
Anonim, 1991. Preservation. Architectural Record. March 3.
Anonim, 1992. Hotel Atau Mogok Makan. TEMPO. 29 Agustus.
Anonim, 1992. Kyoto temples ‘ban’ guests of hotel planning high-rise. The Japan Times.
December 2.
Anonim, 1994. Group lobbies for Atomic Bomb Dome world heritage site. The Daily
Yomiuri. January 29.
Anonim, 1995. S. Korea starts razing colonial symbol. The Daily Yomiuri. August 16.
Anonim. 1992. Main Gempur di Keraton. TEMPO. 10 Oktober.


 

 

Antariksa. 2015. Pelestarian Arsitektur & Kota Yang Terpadu. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.
Appleyard, D. 1979. The Conservation of Europe Cities. ed. London: The MIT Press.
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Eder, C. 1986. Our Architectural Heritage: From Consciousness to Conservation, translated
by Professor Ayler Bakkalciouglu. United Kingdom: Unesco.
Jokilehto, J. 1995. Cultural heritage: Diversity and Authenticity. Journal of the Society of
Architectural Historians of Japan. No. 24, March. pp. iv- xi.
Larsen, K.E. 1994. Architectural Preservation in Japan. ICOMOS International Wood
Committee. Trondheim: Tapir Publishers.
Marquis-Kyle, P. & Walker, M. 1996. The Illustrated BURRA CHARTER. Making good
decisions about the care of important places. Australia: ICOMOS.
Ohara, K. 1998. The Image of ’Ecomuseum’ in Japan. Pacific Friend. A Window on Japan,
April. Vol. 25 No. 12. pp. 26-27.
Raj Ishar, Y. 1986. The Challenge to Our Cultural Heritage. Washington DC: Unesco and
Smithsonian Institution Press.
Sidharta & Budihardjo, E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Besejarah Di
Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Stanger, T. 1995. The Madding Crowds. Newsweek. July 17.
Zancheti, S.M. & Jokilehto, J. 19??. Reflection on Integrated Conservation Planning.

Makalah ini dipresentasikan dalam Diseminasi Peraturan Perundang-Undangan
Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan dengan tema Tertib Penyelenggaraan
Bangunan Gedung Menuju Kota Berkelanjutan Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Malang 20-22 April 2016.