Kedudukan Objek dan Metode dalam Materia

KEDUDUKAN OBJEK DAN METODE DALAM MATERIAL CULTURE:
PERSPEKTIF ARKEOLOGI INTEPRETATIF
Dr. Herdito Sandi Pratama
Pengertian
Kebudayaan memiliki sejumlah dimensi: gagasan, perilaku, dan artefak.
Memahami suatu gagasan simbolik kebudayaan bisa dilakukan dengan mengobservasi,
menginvestigasi, dan memaknai objek-objek material (material culture). Material
culture sederhananya adalah segala objek, lingkungan, dan dunia di mana kita
berinteraksi dan dikelilingi olehnya.1 Dalam hal ini, kita adalah pencipta sekaligus
diciptakan oleh material culture; ia melampaui konteks.
Namun, material culture bisa bermakna ganda: sebagai suatu studi, maupun
sebagai subject-matter suatu studi. “The term material culture thus refers quite directly
and efficiently, if not elegantly, both to the subject matter of the study, material, and to
its purpose, the understanding of culture.”2 Karena itulah, kita harus membedakan
secara cermat material culture dari dua kategori ini.
Material culture juga dapat dipahami sebagai suatu studi mengenai sistem nilai,
keyakinan, gagasan, perilaku, dan asumsi sosial, melalui investigasi serius terhadap
artefak. “Material culture is the study through artifacts of the beliefs-values, ideas,
attitudes, and assumptions of a particular community or society at a given time.”3 Dapat
bekerjanya studi material culture adalah karena asumsi bahwa eksistensi objek buatan
manusia adalah bukti konret dari adanya kehadiran intelejensi manusia yang

berlangsung selama proses fabrikasi objek tersebut. “Material culture as a study is
based upon the obvious fact that the existence of a man-made object is concrete
evidence of the presence of a human intelligence operating at the time of fabrication.” 4
Dengan demikian, objek-objek tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan suatu
manifestasi dari aktivitas dan gagasan manusia; yang secara lebih baik dipahami sebagai
masyarakat.
Kedudukan Objek
Arkeologi, sebagai satu disiplin sosial-humaniora, tidak hanya berurusan dengan
masa lampau. Sebab, tidak ada masa lampau yang terang dengan sendirinya. “There is
nothing self-evident about the past.”5 Karena itulah, dalam melihat masa lampau,
intepretasi, pertanyaan, dan pendekatan menjadi hal penting. Yang harus digali bukan
saja entitas objek yang diteliti, melainkan dimensi sosial dan makna yang melekat,
terhubung, dan menyelubungi suatu objek. Suatu luaran dari masa lampau, yakni entitas
objek, senantiasa terhubung dengan aktivitas sosial dan simbolik tertentu. Oleh karena
itu, ada usaha kreatif dari arkeolog untuk memaknai entitas objek yang diekskavasi. 6
Ilmuwan, dalam hal ini arkeolog, sebetulnya melakukan imajinasi arkeologis terhadap

Clive Gamble. 2004. The Basic Archeology (New York: Routledge), hlm. 100.
Jules David Prown. 1982. Mind in Matter: An Introduction to Material Culture Theory and
Method, dalam jurnal Chicago University, Winterthur Portfolio, Vol. 17, No. 1, hlm. 2.

3
Ibid., 1.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Lihat Gamble. 2004. Op.cit., 99.
1
2

1

objek.7Artinya, investigasi terhadap masa lalu hanya mungkin dengan bantuan
imajinasi, sebagai suatu aspek keseharian. Menurut saya, manifestasi metodologisnya
adalah teori dan praktik intepretasi.
“An archeological imagination must be as old as the human species. At
one level it is that taken-for-granted ability to reconstruct in our daily
lives what went on from the evidence left behind; at another level this
imagination has been sharpened and refined in the past 200 years into a

professional discipline.”8
Objek, dengan demikian, memiliki kedudukan yang sangat krusial dalam
perdebatan sosial-humaniora, khususnya pada bidang arkeologi. Sebab, menafikan
objek sama saja dengan mengabaikan manifestasi gagasan di dalamnya. Kebudayaan
banyak termanifestasikan dalam objek-objek bisu yang sebetulnya mampu berbicara
banyak. Sebuah candi, vas, makam, gadget, dan sebagainya merupakan objek yang
mampu berbicara banyak mengenai dimensi simbolik dari gagasan yang berkembang di
suatu kebudayaan tertentu.
Kesulitan Metodologis
Dalam kesadaran terhadap objek, kita memahami bahwa studi investigatif
terhadap material culture sangat penting dalam membantu pemahaman kita mengenai
kebudayaan yang banyak disumbangkan oleh analisis sosiologis dan antropologis.
Namun, ada kebutuhan metodologis untuk merumuskan langkah-langkah procedural
dan sistematik dalam meneliti material culture sehingga bisa terpenuhinya prinsip
ilmiah. Pertanyaan metodologisnya adalah, bagaimana kita bisa mengekstraksi suatu
informasi kebudayaan dari suatu objek yang bisu?
Satu kesulitan metodologis yang dihadapi adalah bahwa pengertian material
culture sangatlah luas, yang terentang dari teks-teks tertulis, simbol-simbol material,
hingga tingkah laku.9 Begitu luasnya muatan kategoris dari pengertian ini menyebabkan
setiap usaha ilmiah untuk menginvestigasi material culture, pada akhirnya harus

mempertimbangkan betul hubungannya dengan konteks situasi dari produksi,
penggunaan, pembuangan, dan penggunaan-kembali dari suatu objek. 10 Kesulitan ini
bisa diatasi dengan mengajukan distingsi antara dua makna material.
Pertama, sebagian material culture didesain secara khusus untuk menjadi media
komunikasi dan representasi. Dalam hal ini, pendekatan struktural menjadi penting
karena ada family resemblances antara material culture dalam pengertian ini, dengan
bahasa sebagai sistem pemaknaan yang memiliki struktur abstrak. Dalam konteks ini,
setiap objek pada dasarnya adalah representasi dari suatu struktur yang bisa dikenali.
Kedua, ada sejumlah objek material culture yang tidak bekerja dengan aturanaturan representasi seperti bahasa, melainkan sebagai seperangkat praktik dalam
pengalaman individual. Dalam hal ini, ada kesulitan metodologis untuk menyusun suatu
model eksplanasi tunggal berdasarkan struktur yang dikenali.11
Distingsi tersebut juga menegaskan identifikasi yang pernah dilakukan Giddens
terhadap dua kutub akademik yang mendominasi ilmu-ilmu sosial-humaniora. Kutub
pertama adalah fungsionalisme dan structuralism; yang menekankan supremasi struktur
Pandangan Julian Thomas, Ibid., 1.
Ibid.
9
Ian Hodder. The interpretation of Documents and Material Culture., hal. 395.
10
Ibid.

11
Ibid., 395-396.
7
8

2

terhadap manifestasi individual. Kutub kedua adalah sosiologi intepretatif dan
hermeneutika; yang menekankan individualitas sebagai basis analisis.12 Dalam material
culture, dua kutub itu tampak pada interpretive archeology dan reconstructive
archeology.
Kesulitan metodologis lain terletak pada frasa material culture itu sendiri yang
tampaknya kontradiktif. Mengapa? Sebab material adalah suatu kata yang terasosiasi
dengan benda-benda pragmatik, sementara culture terasosiasi dengan hal-hal abstrak,
simbolik, dan intelektual. “The term material culture seems unsatisfactory, indeed, selfcontradictory. Material is a word we associate with base and pragmatic things; culture
is a word we associate with lofty, intellectual, abstract things.”13
Memahami Dimensi Sosial Objek
Adanya kesulitan untuk melihat objek sebagai suatu entitas individual murni
tentu saja membutuhkan keterangan lain. Interpretive archeology merupakan satu
respon yang diametral terhadap pandangan rekonstruktif yang memaknai objek sebagai

entitas singular.
Menurut Christopher Tilley, material culture dipahami sebagai kerangka dan
media dalam komunikasi praktik sosial. Dalam hal ini, ia berguna untuk
mentransformasi, menyimpan, dan melestarikan informasi sosial. Material culture
dalam konteks ini, membentuk media simbolik bagi praktik sosial. Hal yang harus
diperhatikan adalah bahwa material culture bisa saja diproduksi secara individual.
Namun, pada dasarnya ia selalu merupakan produksi sosial. 14 Sehingga, analisis
terhadap suatu objek, kendati diduga keras bersifat individual, tetap diasalkan pada
struktur yang bersifat sosial. Yang individual adalah manifestasi yang sosial.
Jika dimensi sosial objek dipahami secara penuh dengan interpretive archeology,
maka kita akan memperoleh kesempatan luas untuk menguji dan mengkaji begitu
banyak objek. Secara hipotetik, kita bisa katakan bahwa tidak ada objek yang tidak bisa
dikenali. Begitu kita menempatkannya pada konteks situasi, maka dimensi sosialnya
akan tampak. Manifestasi-manifestasi individual yang mencakup inovasi dan ciri khas,
akan diterangi berdasarkan intepretasi terhadap makna sosial yang menjadi konteks
situasinya.
Satu-satunya kelemahan interpretive archeology adalah bahwa kita akan jatuh
pada situasi harus menjelaskan kebudayaan melalui kebudayaan. Artinya, suatu objek
budaya hanya terjelaskan jika kita bisa mengungkap keterangan konteks budaya yang
menaunginya. Namun, di sisi lain, konteks budaya bisa dikenali justru melalui objekobjek. Untuk mengatasi kelemahan ini, menurut saya, investigasi terhadap objek

material culture harus dilakukan secara simultan dua-arah. Yakni menyasar objek itu
sekaligus makna simbolik yang menyelubunginya. Atas dasar ini, saya setuju pada
pandangan Jules David Prown yang berpendapat bahwa material culture adalah cabang
dari sejarah budaya dan antropologi, di samping sub-disiplin arkeologi.
Untuk memahami secara utuh, metodologi yang diajukan meliputi deskripsi,
deduksi, dan spekulasi. Deskripsi dibagi menjadi analisis substansial dan analisis
formal. Deduksi sendiri dibagi melibatkan keterlibatan sensorik, intelektual, dan respon

Anthony Giddens. The Constitution of Society., hlm. 122-123.
Prown. 1982. Op.cit., 2.
14
Christopher Tilley. Intepreting Material Culture., hlm. 70.
12
13

3

emosional. Sementara spekulasi melibatkan teori dan hipotesa, dan program
penelitian.15
Kasus Makara UI

Makara umumnya ditemukan di sejumlah prasasti dan candi di Indonesia.
Umumnya dipahami sebagai suatu makhluk gabungan dua hewan dalam mitologi
Hindu. Sering juga dianggap sebagai kendaraan Dewa Gangga dan Baruna. Universitas
Indonesia memakai makara sebagai logo universitas. Ini adalah objek dari material
culture yang bisa kita cermati secara cepat-cepat. Sumaxtono, mahasiswa Seni Rupa
Fakulteit Teknik Universiteit Indonesia, Bandung pada 1952 menciptakan lambang UI
yang disebutnya kala-makara. Sama seperti makara pada candi dan prasasti, ide
dasarnya adalah gabungan. Makara UI adalah gabungan dari kala (kekuatan matahari)
dan makara (kekuatan bumi). Dengan demikian, makara melambangkan UI sebagai
sumber ilmu pengetahuan yang hasilnya tersebar.
Dua unsur yang tampak secara visual adalah pohon beserta cabangnya dan
makara. Pohon itu melambangkan pohon ilmu dan cabang ilmu pengetahuan. Kuncup
pohon ilmu pengetahuan terletak di atas diikuti cabang-cabang pohon ilmu. Di tengah
terdapat pancuran yang berbentuk makara dengan air yang mengalir.16
Makara UI tentu merupakan suatu objek current-past dalam studi material
culture. Kendati diciptakan oleh individu tertentu dengan maksud-maksud simbolik
tertentu, material culture khususnya interpretive aercheology, akan melihatnya sebagai
manifestasi produk sosial. Dalam metodologinya, makara UI akan dimengerti dan
diletakkan dalam konteks situasi budayanya. Bagaimana rujukannya terhadap gagasan
dan visual makara dari sejumlah candi dan prasasti merupakan satu dimensi yang

menaunginya. Sementara, bagaimana logo makara itu dihasilkan tentu melibatkan
pengetahuan, kode-kode simbolik, dan konteks kekinian yang dimiliki pembuatnya.
Selain itu, logo ini juga menjadi objek di mana manusia dan masyarakat saling
terhubung dan membentuk makna satu sama lain.
Manusia membentuk logo makara, namun di saat yang sama logo itu turut
membentuk budaya, yang manifestasi mikronya adalah perilaku. UI dan warganya,
terhubung dan saling membentuk perilaku melalui makara. Bagaimana objek itu
ditransformasi dan menjadi media komunikasi bagi praktik sosial yang berlaku dalam
konteks UI sendiri. Maka, logo makara UI pada dasarnya adalah produk sosial.
Daftar Pustaka:
Clive Gamble. 2004. The Basic Archeology (New York: Routledge)
Jules David Prown. 1982. Mind in Matter: An Introduction to Material Culture Theory
and Method, dalam jurnal Chicago University, Winterthur Portfolio, Vol. 17,
No. 1.
Anthony Giddens. The Constitution of Society.
Christopher Tilley. Intepreting Material Culture.
Ian Hodder. The interpretation of Documents and Material Culture.

15
16


Lihat Prown. 1982. Op.cit., 8-12.
Situs resmi UI www.ui.ac.id.
4