MENONTON KEMBALI LENONG BETAWI SEBUAH GE (1)
MENONTON KEMBALI LENONG BETAWI, SEBUAH GEJOLAK KEBUDAAYAAN
DALAM MASYARAKAT MODERN
Doni Ahmadi
Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka, Jakata Timur, DKI Jakarta
Telepon (021) 4893726
ABSTRAK
Lenong betawi yang eksistensinya kian pudar dalam masyarakat Modern dikaji dengan tujuan
meredukasi kesadaran budaya dengan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara.
Untuk mencapai sebuah pelestarian budaya, membutuhkan pengenalan lebih jauh perihal budaya
agar tidak pudar seiiring dengan modernitas.
Kata kunci: Lenong Betawi, Pelestarian Budaya, Modernitas.
PENDAHULUAN
Umumnya jarang disadari kalau drama itu sungguh penting, jarang para pengajar sastra maupun
pegiat sastra yang mengedepankan drama dibanding genre sastra lain. Yang terjadi sejauh ini
para pengajar dan pegiat sastra justru sibuk dengan memahami fiksi dan puisi padahal
sesungguhnya drama itu seni yang kompleks.
Di era modern ini Banyak yang berasumsi drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru
anggapan ini hampir semua drama yang dipentaskan untuk ditonton, drama tanpa penonton jelas
sulit ditafsirkan, apakah menarik atau tidak. Karena yang dapat memberikan apresiasi adalah
penonton.
Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh, dikatakan serius artinya drama
butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbangan. Yang digarap adalah akting
agar memukau penonton. Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa dalam drama adalah “a
representation of an action” action adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Dalam drama itu
terjadi “a play” artinya permainan atau lakon.
Dalam hal ini saya menitik beratkan pada seni pertunjukan (drama) yang lebih tradisional yaitu
Lenong Betawi. Lenong betawi termasuk kedalam drama komedi tradisional yang ada di
Indonesia. Dr Suwardi Endraswara seorang pengajar di UNY menyatakan dalam bukunya .
Melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagi suatu pembukaan tabir rahasia
mengenaiuntuk apa manusia menentang/melawan dan untuk apa pula mempertahankan atau
membela sesuatu.
Lenong Betawi atau yang bisa kita sebut teater tradisional ini memang memiliki fungsi khusus di
dalam daerah. Sedyawati (1981) pernah mempertanyakan hadirnya teater tradisi, teater yang
belakang sering disebut tradisi lisan tersebut biasanya membawakan kisah-kisah lokal. Biarpun
kisahnya lokal namun bisa jadi memiliki nilai global. Teater tradisional tetap sebagi drama atau
sandiwara yang masih patut dilestarikan. Teater Tradisional tetap menawarkan nilai-nilai baru
yang mungkin lebih spektakuler. garapan teater tradisional tidak hanya menyangkut moral tetapi
juga banyak upaya bagaimana menyedot penonton agar lebih betah.
Berdasarkan hal tersebut, masalah yang diamati dalam penelitian ini adalah apakah Lenong
Betawi sebagai sebuah seni pertunjukan Teater Tradisional dapat terus hadir, dikenal dan
dinikmati oleh masyarakat di era modern ini.
Penelitian ini bertujuan mendapat deskripsi yang lengkap terhadap seni pertunjukan Teater
tradisional yaitu Lenong Betawi sekaligus bertujuan untuk kembali memperkenalkan apa itu
Lenong betawi.
PERIHAL SENI PERTUNJUKAN LENONG
Pengertian Sandiwara Lenong
Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam
dialek Betawi yang berasal dari Jakarta. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang
kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan
kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau
skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci
kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan
Lenong Betawi
dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Lenong Betawi
adalah kesenian berupa sandiwara yang asli dari Jakarta.
Lenong sudah dikenal sejak tahun
1920-an, pertunjukan Lenong diiringi musik gambang kromong. Pertunjukan Lenong biasanya
diawali dengan menampilkan lagu-lagu khas Betawi, seperti kicir-kicir, Cente Manis, Surilang,
Keramat Karem dan Balo-balo.
Lakon yang ditampilkan dalam pertunjukan Lenong Betawi umumnya berkisar tentang
kehidupan sehari-hari, misalnya kisah rumah tangga, percintaan dua insan, tuan tanah, jagoanjagoan dan sebagainya. Tentunya kisah-kisah tersebut sudah dibumbui unsure bodoran alias
lawakan, sehingga pertunjukan pun terlihat lucu, semarak dan seru. Bahasa yang digunakan pada
pertunjukan Lenong adalah bahasa Betawi Kasar atau Betawi Ora. Para pemainnya dirias dan
menggunakan kostum sesuai dengan perannya masing-masing.
Sejarah Sandiwara Lenong
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut
mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi
bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman
Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang
kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Sandiwara Lenong
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai
hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung.
Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung dengan alat penerang obor. Ketika
pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta
sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan
pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal
kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi
mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain
menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi
tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang
ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong
yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, Tile, Nori, dan Anen.
Perkembangan Sandiwara Lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata
denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya
mengenakan busana formal dan kisahnya ber-setting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan,
sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan
umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga
dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus
(bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh
tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang
membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Lakon-lakon cerita Lenong Denes yang
masyhur misal, Si Pitung, Nyai Dasimah, Si Jampang Sementara itu, contoh kisah lenong denes
adalah kisah-kisah 1001 malam yang diadaptasi menjadi cerita lokal.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong
denes, terutama karena sindiran-sindiran, kritikan-kritikan, parodi-parodi, dan humor
melodramatik yang sering muncul dalam lenong preman sangat digemari masyarakat.
Gambang Kromong adalah satu kesenian masyarakat Betawi (kini Jakarta). Alat musik ini terdiri
dari alat musik tehyan, kongahyan, dan sukong. Dan alat lainnya, gendang, kecrek dan gong.
Kesenian ini, sebenarnya perpaduan antara kesenian etnis Tionghoa dan Betawi.
Dalam masyarakat Betawi, gambang kromong biasanya menjadi pengiring acara-acara
pernikahan, sunatan, dan lainnya. Kesenian ini juga menjadi musik pembuka pementasan lenong
Betawi. Kesenian musik Betawi lainnya yang terkenal, yakni Tanjidor dan topeng Betawi
sebagai seni teaternya.
Dulunya, lenong Betawi diperdengarkan untuk masyarakat strata sosial dari kalangan raja dan
bangsawan. Dari lingkungan itulah, akhirnya ada ungkapan yang terlontar dari kalangan sosial
jelata; kayak raja lenong. Sindiran ini ditunjukkan kepada orang yang bergaya feodal.
RUMUSAN MASALAH
Pelestarian budaya adalah suatu hal yang krusial dalam membudayakan budaya, Melestarikan
sebuah pementasan Tradisional Betawi berupa Lenong salah satunya adalah hal yang harus
dilakukan guna menjaga budaya multikultur Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana ada seorang narasumber yang akan
diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa buku yang merujuk kepada penelitian
tersebut.
KERANGKA TEORI
Tradisi pementasan Lenong merupakan tradisi yang telah menjadi kultur di tanah Betawi, yang
memang sudah seharusnya menjadi identitas budaya betawi. Namun seiringnya dengan
modernitas yang ada dan perkembangan zaman, warna budaya yakni tradisi pementasan lenong
sudah menjadi hal yang sepertinya mendapatkan pemakluman jika sudah sedikit terlupakan oleh
modernitas.
Masyarakat modern, terutama masyarakat yang sudah berada pada era teknologi canggih seperti
pada masyarakat di negara maju yang jelas paradigmanya berbeda bahkan bertentangan dengan
masyarakat tradisional. Meskipun demikian, masyarakat modern telah memilki cara pandang
yang berbeda baik mengenai hakikat masa lampau dan tradisi bahwa secara keseluruhan
kehidupannya ditentukan oleh masalah-masalah keilmuan. Selama manusia terdiri atas dua
dimensi yang berbeda—jasmani dan rohani dimana apabila kedua dimensi tersebut ditampilkan
secara proporsional maka sastra tetap berperanan dan relevan. Disinilah tampak peranan
dimensi-dimensi kehidupan yang lain, dalam hubungan ini masalah-masalah yang berkaitan
dengan kerohanian terutama sastra dan sebuah panggung kebudayaan. Dengan menonton sebuah
pementasan tradisional masyarakat dapat menegerti apakah yang dimaksudkan dari pementasan
itu seperti yang kita ketahui Drama (sandiwara) adalah karya sastra dialogis, karya tidak turun
begitu saja dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering
menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama tak lepas dari sebuah tafsir kehidupan.
Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak
keliru. Detail atau tidak, dia dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif. Pada
keseluruhannya karya sastra benar-benar bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi tidak perlu diartikan bahwa masalah-masalah yang berkaitan
dengan tradisi maupun karya seni harus dihapuskan, namun sebaliknya kemajuan dalam bidang
fisik maupun bidang jasmaniah harus diimbangi dengan kemajuan dalam bidang rohaniah.
Dengan kalimat lain, kemajuan kebudayaan sebagai sistem makro mensyaratkan kemajuan
aspek-aspek sebagai sistem mikro khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Karya seni jelas
merupakan kebutuhan sehari-hari meskipun bukan dalam pengertian kebutuhan praktis.
Kebudayaan indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi geografis misalnya dengan
membandingkan antara desa dengan kota dan kemajuan teknologi yang berhasil dicapai maka
dengan membandingkan antara tradisi llisan dengan tulisan pada dasarnya didominasi oleh
kebudayaan tradisional. Karya-karya warisan budaya dalam tradisi lisan sendiri merupakan
khazanah tradisional. Hanya sebagian kecil hasil-hasil karya yang menggunakan bahasa
Indonesia merupakan warisan nasional sebagai khazanah kebudayaan kontemporer. Kebudayaan
ini tampak dominan karena penyebarannya yang hampir merata sebagai dampak teknologi dan
politik kebudayaan nasional. Dalam hubungan ini, diperlukan tanggapan masyarakat
pendukungnya dimana suatu kesadaran yang pada gilirannya berubah menjadi tanggung jawab
untuk melestarikan sekaligus mengembangkannya. Jelasnya, banyak masyarakat yang memiliki
dan menyimpan warisan masa lampau tetapi, tidak semuanya berhasil untuk memeliharanya.
Sebagai tradisi kultur, Lenong merupakan sebuah karya sastra dalam bentuk pertunjukan yang
mana dapat menjadi ciri darimana Lenong itu berpijak. Bicara menenai darimana kebudayaan itu
berasal berarti membahas sebuah Lokalitas, yaitu tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya
sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga.
Adapun faktor penyebab terlupakannya tradisi pementasan Lenong adalah kurangnya kesadaran
masyarakat akan budaya sendiri seiring dengan berjalannya modernisasi yang menonjolkan
teknologi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana
ada seorang pakar/narasumber yang akan diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa
buku yang merujuk kepada penelitian tersebut. Teknik wawancara dipilih karena akan
memberikan data yang valid, bersifat objektif, dapat dipertanggungjawabkan sekaligus
menambahkan informasi yang kurang yang terdapat di dalam teks. Data penelitian ini saya
dapatkan dari warga asli Betawi, yaitu Bapak Syaifudin Amri, seorang sutradara Lenong yang
sudah menggiati seni tradisional ini sejak lama.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan hasil wawancara akan dilampirkan.
Kemudian data tersebut akan diidentifikasi untuk memperoleh simpulan yang relevan dengan
tujuan penilitian. Sebagai penunjang analisis, penelitian ini dilengkapi dengan studi pustaka.
PEMBAHASAN
Dari hasil observasi dan wawancara yang telah penulis lakukan. Penulis memberikan empat soal
pertanyaan perihal Lenong dan narasumber menjawabnya satu per satu. Sebenarnya tardapat dua
narasumber namun narasumber pertama yang penulis temui dibilangan setu babakan tidak dapat
menjawab pertanyaan apa yang penulis berikan pada akhirnya penulis menemui narasumber lain
yang diketahu sebagai pakar/ahli dalam dunia seni pertunjukan lenong. Demikianlah hasil
wawancara saya dengan bapak Syaiful Amri:
1. Bisakah Bapak ceritakan sedikit sejarah tentang Lenong?
2. Menurut Bapak apakah yang membedakan lenong dengan teater?
3. Mengapa dalam lenong sekarang terdapat unsur Religiusitas?
4. Bagaimanakan pertunjukan lenong di era modern ini adakah perubahan-perubahan yang
terjadi, bentuk lenong yang dulu dengan lenong sekarang (kontemporer)?
Hingga sampailah saya dengan jawaban ini.
1. Lenong itu awalmulanya berasal dari orang-orang pasar (sekitar tahun 20an) dimana orangorang itu tidak memiliki hiburan, seprti tv, radio dan lainnya. Maksud dari orang-orang pasar itu
ialah masyarakat yang pada tiap pagi menjajakan dagangannya berkeliling menuju kampung
cina, kampung arab, dan lainnya hingga larut malam berkumpullah mereka dipasar. Karena tidak
ada hiburan inilah mereka akhirnya saling berkumpul dan menceritakan pengalamannya disaat
berdagang, mereka menceritakan bagaimana mereka berdagang lalu para pembeli dengan gaya
masing-masing, hal itu mereka lakukan hampir setiap malam, hingga mereka berpikir bagimana
kalau ketika bercerita dikasih unsur musik. Tetapi saat itu alat musik belum ada lalu yang ada
hanya ember, panci, penggorengan yang bunyinya nang-neng-nong nang-neng-nong maka
disebutlah jadi lenong. Diperkembangannya sekitar tahun 1930 lenong terbagi menjadi dua yaitu
lenong “Denes” dan lenong “Preman”, kalau lenong preman biasanya berkisah tentang para
jawara setempat misalnya Pitung, Jampang, Ronda dan lain sebagainya. Sedang dalam lenong
denes biasanya menceritakan tentang cerita kerajaan atau cerita 1001 malam yang menjadi cirri
khas lenong denes ini adalah selalu ditampilkan tokoh jin. Yang membedakan diantara kedua
jenis lenong itu adalah dari segi cerita dan bahasa, bahasa yang digunakan dalam lenong preman
adalah bahasa sehari-hari semisal kata Lo-Gue sedang dalam lenong denes menggunakan bahasa
melayu tinggi semisal kata hambaku karena unsur latar pementasan ini adalah kerajaan. Dalam
kedua lenong itu terdapat sebuah pakem, yakni musik gambang kromong jika bukan musik
gambang kromong sudah bisa dipastikan itu bukanlah pementasan lenong.
2. Perbedaan antara lenong dengan teater sebenarnya tidak ada karena keduanya adalah samasama jenis pertunjukan, mungkin yang membedakan adalah teater lebih modern dan lenong
masih tradisional. Selain itu yang menjadi pembeda adalah jika teater itu sudah terkonsep dalam
artian para pemainnya sudah menghafal teks lalu tidak ada interaksi dengan penonton, sedang
dalam lenong yang menjadi kekuatan adalah kekuatan improvisasi dan adanya interaksi dengan
penonton inilah yang menjadi pembeda antara lenong dengan teater.
3. Mengapa lenong dikatakan selalu ada unsur Religius, sebenarnya balik lagi kepada asal
muasal lenong yang dimulai dari orang-orang pasar yang saya sebutkan, orang-orang ini
termasuk orang-orang betawi pinggir, nah setelah orang-orang betawi tengah mulai mengikuti
munculan unsur-unsur religiusitas dalam lenong, sehingga dalam lenong sekarang muncullah
tokoh-tokoh ustad, kiai dan sebagainya.
4. Sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan dari lenong yang ada terdahulu dan yang ada
dimasa sekarang (kontemporer), lenong masih dengan powernya yaitu improvisasi dari para
pemainnya dan kekuatan interaksi dari para pemain kepada penonton. Yang berubah mungkin
dari segi cerita, seiring dengan era modern yang berkembang cerita lenong juga berubah
mengikuti perkambangan zaman.
Berdasarkan wawancara diatas terdapat perbedaan antara teks dan pelaku kebudayaan itu sendiri,
namun terdapat satu titik temu dimana dalam pendahuluan sudah dijelaskan tentang bagaimana
seni pentunjukan adalah sebuah bentuk kesenian yang komplek, lalu dalam seni tradisional
terdapat pembeda dari seni-seni pertunjukan modern. Dari analisis yang singkat ini semoga kita
dapat memaknai pentingnya sebuah kebudaan dan mencoba kembali mengenalinya dari berbagai
sudut pandang. Karena pada akhirnya kebenaran adalah suatu yang subjektif, maka itu penulis
memberikan dua sudut pandang dari sebuah pementasan Lenong menurut teks dan menurut
ahli/narasumber.
PENUTUP
Menyaksikan sebuah pertunjukan budaya di era modern ini memanglah sudah menjadi hal yang
sangat klasik atau bisa dibilang menjadi sebuah minoritas pada dinamika masyarakat modern
sekarang ini. Masyarakat modern sekarang ini memang lebih suka menonton film, menyaksikan
konser musik, atau menonton pertandingan sepak bola di stadion dan lainnya. Gejala sosial inilah
yang membuat sebuah pertunjukan budaya seperti sebuah hal yang sangat mahal seperti halnya
mendengarkan musik dari sebuah piringan hitam yang sudah sangat sulit ditemui pada zaman ini.
Sebuah pertunjukan budaya ini lah asal muasal sebermulanya hiburan yang beredar dalam
sebuah masyarakat, sebuah hal yang sangat ditunggu-tunggu pada masanya di mana sebuah
pertunjukan menjadi sebuah pusat perhatian masyarakat tradisional. Masyarakat yang dibesarkan
oleh kebudayaan.
Perihal kebudayaan terdapat banyak sekali definisi mengenai kebudayaan, defini yang paling tua
sekaligus paling luas berasal dari E.B Tylor yang dikemukakan dalam bukunya Primitive Culture
(1871). Menurut Tylor, kebudayaan ialah keseluruhan aktivitas manusia , termasuk pengetahuan,
kepercayaan,seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain, yang
juga senada dengan Tylor sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat diberikan
oleh Marvin Harris –Seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh
dengan cara belajar termasuk pikiran dan tingkah laku .
Menurut Koentjaraningrat (1974) kata kebudayaan berasal dari buddhaya (sansekerta) sebagai
bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Disamping kebudayaan, terdapat istilah lain yang
berkaitan yaitu peradaban (dari akar kata adab bahasa arab). Dalam tradisi barat, peradaban
berarti warga negara. Jadi, secara etimologis kebudayaan dan peradaban adalah sinonim,
keduanya berarti keseluruhan hidup masyarakat manusia.
Meskipun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya pada umumnya peradaban diartikan sebagai bentuk-bentuk
kebudayaan yang paling tinggi, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, sistem
ketata negaraan dan sebagainya .
Dari pengertian diatas kebudayaan memang akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu,
akan selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi selaras dengan modernitas. Namun ketika
budaya yang dahulu menjadi sebuah pusat perhatian, ciri dari sebuah peradababan tertentu yang
menjadi sebuah symbol atauu tanda untuk menunjukan identitas masyarakat. Sepertinya
memang sangat miris ditengah berlangsungnya modernitas, kebudayaan masa lalu memang
sudah tergerus zaman, mereka dilupakan, tidak mendapat tempat di era modern sekarang ini –Era
dimana teknologi menentukan hierarki sebuah masyarakatnya. Maka dari itu, menyaksikan
sebuah pementasan budaya sudah seharusnya menjadi sebuah nostalgia, sebuah relaksasi akan
kejenuhan era modern di mana zaman yang sudah melupakan kebudayaan sebagai ciri dan
menggantikannya dengan teknologi. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan yang terdapat pada
suatu daerah tertentu akan menjadi sebuah identitas, sebuah ciri yang membedakan budaya
dimana suatu tempat berasal dan tentu menjadi sebuah identitas bangsa dengan budaya yang
beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Damono, Sapardi. Sosiologi Sastra – Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta, 1979)
Endraswara, Suwardi. Metode Pembelajaran Drama (Yogyakarta, Caps 2011)
Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
S. Mahayana, Maman. Lokalitas Dalam Sastra Indonesia (Jakarta, 2010)
DALAM MASYARAKAT MODERN
Doni Ahmadi
Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka, Jakata Timur, DKI Jakarta
Telepon (021) 4893726
ABSTRAK
Lenong betawi yang eksistensinya kian pudar dalam masyarakat Modern dikaji dengan tujuan
meredukasi kesadaran budaya dengan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara.
Untuk mencapai sebuah pelestarian budaya, membutuhkan pengenalan lebih jauh perihal budaya
agar tidak pudar seiiring dengan modernitas.
Kata kunci: Lenong Betawi, Pelestarian Budaya, Modernitas.
PENDAHULUAN
Umumnya jarang disadari kalau drama itu sungguh penting, jarang para pengajar sastra maupun
pegiat sastra yang mengedepankan drama dibanding genre sastra lain. Yang terjadi sejauh ini
para pengajar dan pegiat sastra justru sibuk dengan memahami fiksi dan puisi padahal
sesungguhnya drama itu seni yang kompleks.
Di era modern ini Banyak yang berasumsi drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru
anggapan ini hampir semua drama yang dipentaskan untuk ditonton, drama tanpa penonton jelas
sulit ditafsirkan, apakah menarik atau tidak. Karena yang dapat memberikan apresiasi adalah
penonton.
Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh, dikatakan serius artinya drama
butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbangan. Yang digarap adalah akting
agar memukau penonton. Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa dalam drama adalah “a
representation of an action” action adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Dalam drama itu
terjadi “a play” artinya permainan atau lakon.
Dalam hal ini saya menitik beratkan pada seni pertunjukan (drama) yang lebih tradisional yaitu
Lenong Betawi. Lenong betawi termasuk kedalam drama komedi tradisional yang ada di
Indonesia. Dr Suwardi Endraswara seorang pengajar di UNY menyatakan dalam bukunya .
Melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagi suatu pembukaan tabir rahasia
mengenaiuntuk apa manusia menentang/melawan dan untuk apa pula mempertahankan atau
membela sesuatu.
Lenong Betawi atau yang bisa kita sebut teater tradisional ini memang memiliki fungsi khusus di
dalam daerah. Sedyawati (1981) pernah mempertanyakan hadirnya teater tradisi, teater yang
belakang sering disebut tradisi lisan tersebut biasanya membawakan kisah-kisah lokal. Biarpun
kisahnya lokal namun bisa jadi memiliki nilai global. Teater tradisional tetap sebagi drama atau
sandiwara yang masih patut dilestarikan. Teater Tradisional tetap menawarkan nilai-nilai baru
yang mungkin lebih spektakuler. garapan teater tradisional tidak hanya menyangkut moral tetapi
juga banyak upaya bagaimana menyedot penonton agar lebih betah.
Berdasarkan hal tersebut, masalah yang diamati dalam penelitian ini adalah apakah Lenong
Betawi sebagai sebuah seni pertunjukan Teater Tradisional dapat terus hadir, dikenal dan
dinikmati oleh masyarakat di era modern ini.
Penelitian ini bertujuan mendapat deskripsi yang lengkap terhadap seni pertunjukan Teater
tradisional yaitu Lenong Betawi sekaligus bertujuan untuk kembali memperkenalkan apa itu
Lenong betawi.
PERIHAL SENI PERTUNJUKAN LENONG
Pengertian Sandiwara Lenong
Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam
dialek Betawi yang berasal dari Jakarta. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang
kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan
kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau
skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci
kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan
Lenong Betawi
dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Lenong Betawi
adalah kesenian berupa sandiwara yang asli dari Jakarta.
Lenong sudah dikenal sejak tahun
1920-an, pertunjukan Lenong diiringi musik gambang kromong. Pertunjukan Lenong biasanya
diawali dengan menampilkan lagu-lagu khas Betawi, seperti kicir-kicir, Cente Manis, Surilang,
Keramat Karem dan Balo-balo.
Lakon yang ditampilkan dalam pertunjukan Lenong Betawi umumnya berkisar tentang
kehidupan sehari-hari, misalnya kisah rumah tangga, percintaan dua insan, tuan tanah, jagoanjagoan dan sebagainya. Tentunya kisah-kisah tersebut sudah dibumbui unsure bodoran alias
lawakan, sehingga pertunjukan pun terlihat lucu, semarak dan seru. Bahasa yang digunakan pada
pertunjukan Lenong adalah bahasa Betawi Kasar atau Betawi Ora. Para pemainnya dirias dan
menggunakan kostum sesuai dengan perannya masing-masing.
Sejarah Sandiwara Lenong
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut
mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi
bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman
Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang
kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Sandiwara Lenong
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai
hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung.
Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung dengan alat penerang obor. Ketika
pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta
sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan
pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal
kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi
mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain
menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi
tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang
ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong
yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, Tile, Nori, dan Anen.
Perkembangan Sandiwara Lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata
denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya
mengenakan busana formal dan kisahnya ber-setting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan,
sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan
umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga
dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus
(bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh
tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang
membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Lakon-lakon cerita Lenong Denes yang
masyhur misal, Si Pitung, Nyai Dasimah, Si Jampang Sementara itu, contoh kisah lenong denes
adalah kisah-kisah 1001 malam yang diadaptasi menjadi cerita lokal.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong
denes, terutama karena sindiran-sindiran, kritikan-kritikan, parodi-parodi, dan humor
melodramatik yang sering muncul dalam lenong preman sangat digemari masyarakat.
Gambang Kromong adalah satu kesenian masyarakat Betawi (kini Jakarta). Alat musik ini terdiri
dari alat musik tehyan, kongahyan, dan sukong. Dan alat lainnya, gendang, kecrek dan gong.
Kesenian ini, sebenarnya perpaduan antara kesenian etnis Tionghoa dan Betawi.
Dalam masyarakat Betawi, gambang kromong biasanya menjadi pengiring acara-acara
pernikahan, sunatan, dan lainnya. Kesenian ini juga menjadi musik pembuka pementasan lenong
Betawi. Kesenian musik Betawi lainnya yang terkenal, yakni Tanjidor dan topeng Betawi
sebagai seni teaternya.
Dulunya, lenong Betawi diperdengarkan untuk masyarakat strata sosial dari kalangan raja dan
bangsawan. Dari lingkungan itulah, akhirnya ada ungkapan yang terlontar dari kalangan sosial
jelata; kayak raja lenong. Sindiran ini ditunjukkan kepada orang yang bergaya feodal.
RUMUSAN MASALAH
Pelestarian budaya adalah suatu hal yang krusial dalam membudayakan budaya, Melestarikan
sebuah pementasan Tradisional Betawi berupa Lenong salah satunya adalah hal yang harus
dilakukan guna menjaga budaya multikultur Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana ada seorang narasumber yang akan
diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa buku yang merujuk kepada penelitian
tersebut.
KERANGKA TEORI
Tradisi pementasan Lenong merupakan tradisi yang telah menjadi kultur di tanah Betawi, yang
memang sudah seharusnya menjadi identitas budaya betawi. Namun seiringnya dengan
modernitas yang ada dan perkembangan zaman, warna budaya yakni tradisi pementasan lenong
sudah menjadi hal yang sepertinya mendapatkan pemakluman jika sudah sedikit terlupakan oleh
modernitas.
Masyarakat modern, terutama masyarakat yang sudah berada pada era teknologi canggih seperti
pada masyarakat di negara maju yang jelas paradigmanya berbeda bahkan bertentangan dengan
masyarakat tradisional. Meskipun demikian, masyarakat modern telah memilki cara pandang
yang berbeda baik mengenai hakikat masa lampau dan tradisi bahwa secara keseluruhan
kehidupannya ditentukan oleh masalah-masalah keilmuan. Selama manusia terdiri atas dua
dimensi yang berbeda—jasmani dan rohani dimana apabila kedua dimensi tersebut ditampilkan
secara proporsional maka sastra tetap berperanan dan relevan. Disinilah tampak peranan
dimensi-dimensi kehidupan yang lain, dalam hubungan ini masalah-masalah yang berkaitan
dengan kerohanian terutama sastra dan sebuah panggung kebudayaan. Dengan menonton sebuah
pementasan tradisional masyarakat dapat menegerti apakah yang dimaksudkan dari pementasan
itu seperti yang kita ketahui Drama (sandiwara) adalah karya sastra dialogis, karya tidak turun
begitu saja dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering
menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama tak lepas dari sebuah tafsir kehidupan.
Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak
keliru. Detail atau tidak, dia dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif. Pada
keseluruhannya karya sastra benar-benar bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi tidak perlu diartikan bahwa masalah-masalah yang berkaitan
dengan tradisi maupun karya seni harus dihapuskan, namun sebaliknya kemajuan dalam bidang
fisik maupun bidang jasmaniah harus diimbangi dengan kemajuan dalam bidang rohaniah.
Dengan kalimat lain, kemajuan kebudayaan sebagai sistem makro mensyaratkan kemajuan
aspek-aspek sebagai sistem mikro khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Karya seni jelas
merupakan kebutuhan sehari-hari meskipun bukan dalam pengertian kebutuhan praktis.
Kebudayaan indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi geografis misalnya dengan
membandingkan antara desa dengan kota dan kemajuan teknologi yang berhasil dicapai maka
dengan membandingkan antara tradisi llisan dengan tulisan pada dasarnya didominasi oleh
kebudayaan tradisional. Karya-karya warisan budaya dalam tradisi lisan sendiri merupakan
khazanah tradisional. Hanya sebagian kecil hasil-hasil karya yang menggunakan bahasa
Indonesia merupakan warisan nasional sebagai khazanah kebudayaan kontemporer. Kebudayaan
ini tampak dominan karena penyebarannya yang hampir merata sebagai dampak teknologi dan
politik kebudayaan nasional. Dalam hubungan ini, diperlukan tanggapan masyarakat
pendukungnya dimana suatu kesadaran yang pada gilirannya berubah menjadi tanggung jawab
untuk melestarikan sekaligus mengembangkannya. Jelasnya, banyak masyarakat yang memiliki
dan menyimpan warisan masa lampau tetapi, tidak semuanya berhasil untuk memeliharanya.
Sebagai tradisi kultur, Lenong merupakan sebuah karya sastra dalam bentuk pertunjukan yang
mana dapat menjadi ciri darimana Lenong itu berpijak. Bicara menenai darimana kebudayaan itu
berasal berarti membahas sebuah Lokalitas, yaitu tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya
sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga.
Adapun faktor penyebab terlupakannya tradisi pementasan Lenong adalah kurangnya kesadaran
masyarakat akan budaya sendiri seiring dengan berjalannya modernisasi yang menonjolkan
teknologi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana
ada seorang pakar/narasumber yang akan diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa
buku yang merujuk kepada penelitian tersebut. Teknik wawancara dipilih karena akan
memberikan data yang valid, bersifat objektif, dapat dipertanggungjawabkan sekaligus
menambahkan informasi yang kurang yang terdapat di dalam teks. Data penelitian ini saya
dapatkan dari warga asli Betawi, yaitu Bapak Syaifudin Amri, seorang sutradara Lenong yang
sudah menggiati seni tradisional ini sejak lama.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan hasil wawancara akan dilampirkan.
Kemudian data tersebut akan diidentifikasi untuk memperoleh simpulan yang relevan dengan
tujuan penilitian. Sebagai penunjang analisis, penelitian ini dilengkapi dengan studi pustaka.
PEMBAHASAN
Dari hasil observasi dan wawancara yang telah penulis lakukan. Penulis memberikan empat soal
pertanyaan perihal Lenong dan narasumber menjawabnya satu per satu. Sebenarnya tardapat dua
narasumber namun narasumber pertama yang penulis temui dibilangan setu babakan tidak dapat
menjawab pertanyaan apa yang penulis berikan pada akhirnya penulis menemui narasumber lain
yang diketahu sebagai pakar/ahli dalam dunia seni pertunjukan lenong. Demikianlah hasil
wawancara saya dengan bapak Syaiful Amri:
1. Bisakah Bapak ceritakan sedikit sejarah tentang Lenong?
2. Menurut Bapak apakah yang membedakan lenong dengan teater?
3. Mengapa dalam lenong sekarang terdapat unsur Religiusitas?
4. Bagaimanakan pertunjukan lenong di era modern ini adakah perubahan-perubahan yang
terjadi, bentuk lenong yang dulu dengan lenong sekarang (kontemporer)?
Hingga sampailah saya dengan jawaban ini.
1. Lenong itu awalmulanya berasal dari orang-orang pasar (sekitar tahun 20an) dimana orangorang itu tidak memiliki hiburan, seprti tv, radio dan lainnya. Maksud dari orang-orang pasar itu
ialah masyarakat yang pada tiap pagi menjajakan dagangannya berkeliling menuju kampung
cina, kampung arab, dan lainnya hingga larut malam berkumpullah mereka dipasar. Karena tidak
ada hiburan inilah mereka akhirnya saling berkumpul dan menceritakan pengalamannya disaat
berdagang, mereka menceritakan bagaimana mereka berdagang lalu para pembeli dengan gaya
masing-masing, hal itu mereka lakukan hampir setiap malam, hingga mereka berpikir bagimana
kalau ketika bercerita dikasih unsur musik. Tetapi saat itu alat musik belum ada lalu yang ada
hanya ember, panci, penggorengan yang bunyinya nang-neng-nong nang-neng-nong maka
disebutlah jadi lenong. Diperkembangannya sekitar tahun 1930 lenong terbagi menjadi dua yaitu
lenong “Denes” dan lenong “Preman”, kalau lenong preman biasanya berkisah tentang para
jawara setempat misalnya Pitung, Jampang, Ronda dan lain sebagainya. Sedang dalam lenong
denes biasanya menceritakan tentang cerita kerajaan atau cerita 1001 malam yang menjadi cirri
khas lenong denes ini adalah selalu ditampilkan tokoh jin. Yang membedakan diantara kedua
jenis lenong itu adalah dari segi cerita dan bahasa, bahasa yang digunakan dalam lenong preman
adalah bahasa sehari-hari semisal kata Lo-Gue sedang dalam lenong denes menggunakan bahasa
melayu tinggi semisal kata hambaku karena unsur latar pementasan ini adalah kerajaan. Dalam
kedua lenong itu terdapat sebuah pakem, yakni musik gambang kromong jika bukan musik
gambang kromong sudah bisa dipastikan itu bukanlah pementasan lenong.
2. Perbedaan antara lenong dengan teater sebenarnya tidak ada karena keduanya adalah samasama jenis pertunjukan, mungkin yang membedakan adalah teater lebih modern dan lenong
masih tradisional. Selain itu yang menjadi pembeda adalah jika teater itu sudah terkonsep dalam
artian para pemainnya sudah menghafal teks lalu tidak ada interaksi dengan penonton, sedang
dalam lenong yang menjadi kekuatan adalah kekuatan improvisasi dan adanya interaksi dengan
penonton inilah yang menjadi pembeda antara lenong dengan teater.
3. Mengapa lenong dikatakan selalu ada unsur Religius, sebenarnya balik lagi kepada asal
muasal lenong yang dimulai dari orang-orang pasar yang saya sebutkan, orang-orang ini
termasuk orang-orang betawi pinggir, nah setelah orang-orang betawi tengah mulai mengikuti
munculan unsur-unsur religiusitas dalam lenong, sehingga dalam lenong sekarang muncullah
tokoh-tokoh ustad, kiai dan sebagainya.
4. Sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan dari lenong yang ada terdahulu dan yang ada
dimasa sekarang (kontemporer), lenong masih dengan powernya yaitu improvisasi dari para
pemainnya dan kekuatan interaksi dari para pemain kepada penonton. Yang berubah mungkin
dari segi cerita, seiring dengan era modern yang berkembang cerita lenong juga berubah
mengikuti perkambangan zaman.
Berdasarkan wawancara diatas terdapat perbedaan antara teks dan pelaku kebudayaan itu sendiri,
namun terdapat satu titik temu dimana dalam pendahuluan sudah dijelaskan tentang bagaimana
seni pentunjukan adalah sebuah bentuk kesenian yang komplek, lalu dalam seni tradisional
terdapat pembeda dari seni-seni pertunjukan modern. Dari analisis yang singkat ini semoga kita
dapat memaknai pentingnya sebuah kebudaan dan mencoba kembali mengenalinya dari berbagai
sudut pandang. Karena pada akhirnya kebenaran adalah suatu yang subjektif, maka itu penulis
memberikan dua sudut pandang dari sebuah pementasan Lenong menurut teks dan menurut
ahli/narasumber.
PENUTUP
Menyaksikan sebuah pertunjukan budaya di era modern ini memanglah sudah menjadi hal yang
sangat klasik atau bisa dibilang menjadi sebuah minoritas pada dinamika masyarakat modern
sekarang ini. Masyarakat modern sekarang ini memang lebih suka menonton film, menyaksikan
konser musik, atau menonton pertandingan sepak bola di stadion dan lainnya. Gejala sosial inilah
yang membuat sebuah pertunjukan budaya seperti sebuah hal yang sangat mahal seperti halnya
mendengarkan musik dari sebuah piringan hitam yang sudah sangat sulit ditemui pada zaman ini.
Sebuah pertunjukan budaya ini lah asal muasal sebermulanya hiburan yang beredar dalam
sebuah masyarakat, sebuah hal yang sangat ditunggu-tunggu pada masanya di mana sebuah
pertunjukan menjadi sebuah pusat perhatian masyarakat tradisional. Masyarakat yang dibesarkan
oleh kebudayaan.
Perihal kebudayaan terdapat banyak sekali definisi mengenai kebudayaan, defini yang paling tua
sekaligus paling luas berasal dari E.B Tylor yang dikemukakan dalam bukunya Primitive Culture
(1871). Menurut Tylor, kebudayaan ialah keseluruhan aktivitas manusia , termasuk pengetahuan,
kepercayaan,seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain, yang
juga senada dengan Tylor sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat diberikan
oleh Marvin Harris –Seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh
dengan cara belajar termasuk pikiran dan tingkah laku .
Menurut Koentjaraningrat (1974) kata kebudayaan berasal dari buddhaya (sansekerta) sebagai
bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Disamping kebudayaan, terdapat istilah lain yang
berkaitan yaitu peradaban (dari akar kata adab bahasa arab). Dalam tradisi barat, peradaban
berarti warga negara. Jadi, secara etimologis kebudayaan dan peradaban adalah sinonim,
keduanya berarti keseluruhan hidup masyarakat manusia.
Meskipun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya pada umumnya peradaban diartikan sebagai bentuk-bentuk
kebudayaan yang paling tinggi, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, sistem
ketata negaraan dan sebagainya .
Dari pengertian diatas kebudayaan memang akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu,
akan selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi selaras dengan modernitas. Namun ketika
budaya yang dahulu menjadi sebuah pusat perhatian, ciri dari sebuah peradababan tertentu yang
menjadi sebuah symbol atauu tanda untuk menunjukan identitas masyarakat. Sepertinya
memang sangat miris ditengah berlangsungnya modernitas, kebudayaan masa lalu memang
sudah tergerus zaman, mereka dilupakan, tidak mendapat tempat di era modern sekarang ini –Era
dimana teknologi menentukan hierarki sebuah masyarakatnya. Maka dari itu, menyaksikan
sebuah pementasan budaya sudah seharusnya menjadi sebuah nostalgia, sebuah relaksasi akan
kejenuhan era modern di mana zaman yang sudah melupakan kebudayaan sebagai ciri dan
menggantikannya dengan teknologi. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan yang terdapat pada
suatu daerah tertentu akan menjadi sebuah identitas, sebuah ciri yang membedakan budaya
dimana suatu tempat berasal dan tentu menjadi sebuah identitas bangsa dengan budaya yang
beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Damono, Sapardi. Sosiologi Sastra – Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta, 1979)
Endraswara, Suwardi. Metode Pembelajaran Drama (Yogyakarta, Caps 2011)
Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
S. Mahayana, Maman. Lokalitas Dalam Sastra Indonesia (Jakarta, 2010)