Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahann (1)

Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya1
Parsudi Suparlan
(Universitas Indonesia)

Abstract
In this article the author looks into social conflict and alternative solutions to the problem. He begins by discussing the merits of a conflict model in viewing society, as expounded by
Dahrendorf, Bailey and others. The author argues that, in contrast, the New Order Regime of
Indonesia followed a model of equilibrium, characteristic of most pseudo-democratic or authoritarian states. With an emphasis on gotong royong. uniformity, balance and harmony, any
move toward individuality or anti-stability was seen as having no function in the maintenance
of the system. Holding to this latter model, any view deviating from official policy was removed.
Different views could only be expressed by those with power, who were in fact those in power.
By setting the rules of the game, their own views were never seen as a form of deviation. This led
to the emergence of conflict between various groups, whereby some were stripped of their
identities, dignity and/or material resources in the interest of the state or more powerful
groups. Conflicts between ethnic groups present a special problem, because any attack on the
group is seen as an attack on the individual, and vice versa. The author suggests that with a
conflict model, differences are a given, and conflicts give rise to competition where there exist
rules for competition that are fair and well-enforced. These rules must be enforced by an
impartial police. However, the incorporation of the police into the Indonesian military for the
past 32 years has placed emphasis on the use of military tactics for resolving conflict. In fact,
one solution to the problem of conflict is the presence of one institution or organization that

can be trusted and depended upon by all parties involved; and this should be the police.
Key words: conflict potentiality; ethnic plurality; culture dominant.

Pendahuluan
Konflik dapat dilihat sebagai sebuah
perjuangan antarindividu atau kelompok untuk
memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama
ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran
pihak lawan dilihat oleh yang bersangkutan
sebagai sesuatu tujuan utama untuk
memenangkan tujuan yang ingin dicapai.
1

Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang
sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol.
XXIII, no. 59, 1999, hlm. 7–19.

138

Berbeda dengan persaingan atau kompetisi

yang memiliki tujuan utama: pencapaian
kemenangan melalui keunggulan prestasi dari
yang bersaing, maka dalam konflik, tujuannya
adalah penghancuran pihak lawan. Karena itu,
tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin
dicapai acapkali menjadi tidak sepenting
keinginan untuk menghancurkan pihak lawan.
Konflik sosial yang merupakan perluasan dari
konflik individual, umumnya terwujud dalam
bentuk konflik fisik atau perang antardua

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

kelompok atau lebih yang biasanya selalu
terjadi dalam keadaan berulang.
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya
berhenti untuk sementara, karena harus
istirahat agar dapat melepaskan lelah; atau bila
jumlah korban pihak lawan sudah seimbang
dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah

istirahat, konflik diteruskan atau diulang lagi
pada waktu atau kesempatan yang lain. Contoh
klasik dari proses-proses konflik tersebut dapat
dilihat dalam kehidupan Orang Dani dan
Orang Yale yang hidup di pegunungan
Jayawijaya, Irian Jaya. Orang Dani, secara
tradisional, dari waktu ke waktu, hidup dalam
keadaan perang antarkelompok kerabat atau
klen, atau moiety yang terwujud sebagai perang
antardesa atau federasi desa (lihat Heider 1970).
Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan
Orang Yale, yang hidup di wilayah bagian Timur
dari Orang Dani (lihat Koch 1971:359-365).
Menurut Koch (1971:360), sesuatu perang
sebagai sebuah symptom, umumnya terjadi
karena ketidakadaan, tidak cukupnya, atau
telah hancurnya prosedur-prosedur yang
dapat digunakan untuk menjembatani
perbedaan-perbedaan yang dapat memecahkan dan menghentikan perang, atau konflik
tersebut.

Dalam karya klasik tokoh sosiologi Talcott
Parsons dan Edward Shills (1951), dinyatakan
bahwa proses-proses sosial yang terwujud
sebagai tindakan-tindakan sosial pada
dasarnya bertujuan untuk dapat saling bekerja sama di antara para pelaku yang merupakan
warga masyarakat. Karena itu, proses-proses
sosial mempunyai fungsi-fungsi yang menekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan
sosial dan kemasyarakatan yang bercorak
keseimbangan atau ekuilibrium di antara unsurunsurnya, sehingga menghasilkan adanya
integrasi sosial dan integrasi kemasyarakatan. Oleh Parsons dan pengikutnya,

tindakan-tindakan yang terwujud sebagai konflik dilihat sebagai penyimpangan, atau tidak
fungsional dalam kehidupan manusia.
Sebaliknya, para ahli sosiologi konflik,
melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakantindakan sosial manusia, sebagai hasil dari
konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik,
kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang
perorang atau kelompok berada diatas normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha
pencapaian kepentingan-kepentingan itu

didorong oleh konflik-konflik antarindividu
dan kelompok sebagai aspek-aspek yang lazim
terdapat dalam kehidupan sosial manusia.
Model lain yang bertentangan, tetapi relevan
dengan model konflik, adalah model keteraturan
yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk
kompetisi dan konflik dalam olahraga dan
politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.
Dalam tulisan ini, saya mencoba melihat konflik
sosial dalam perspektif model konflik dan model
keteraturan, dalam upaya memahami potensipotensi dan eskalasinya, serta upaya-upaya
untuk pencegahannya.

Konflik dan keteraturan
Dahrendorf (1959), salah seorang tokoh
yang mengembangkan model konflik, melihat
bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang
bukan semata-mata dikarenakan oleh sebabsebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh
Karl Marx, melainkan karena berbagai aspek
yang ada dalam masyarakat; yang dilihatnya

sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa organisasi menyajikan
pendistribusian kekuatan sosial kepada
warganya secara tidak merata. Karena itu,
warga suatu masyarakat akan tergolong
kedalam mereka yang ‘mempunyai’ dan yang
miskin, dalam kaitan dengan kekuatan sosial

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

139

atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga
membatasi berbagai tindakan manusia, maka
pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai
kekuasaan. Mereka yang miskin kekuasaan,
yang terkena oleh pembatasan-pembatasan
secara organisasi oleh yang mempunyai
kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan

mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh
Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang
endemik, atau yang selalu ada dalam kehidupan
manusia bermasyarakat.
Coakley (1986:24-33), seorang ahli sosiologi
olahraga, melihat kehidupan manusia sebagai
sebuah keteraturan, dan bahwa keteraturan
tersebut terwujud karena adanya berbagai
dukungan yang bersumber dalam masyarakat
itu sendiri. Dukungan yang dimaksud adalah
pranata-pranata sosial dan norma-norma sosial
serta nilai-nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan. Olahraga, menurut Coakley,
adalah salah satu aspek dalam kehidupan
masyarakat yang mendukung lestarinya
keteraturan. Model keteraturan tersebut
sebenarnya adalah model dialektik dari hakekat
olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi (konflik)
yang terwujud sebagai konflik antarindividu
atau antara sekelompok individu dengan

sekelompok individu lainnya (individu-individu
melalui individualitas masing-masing bekerjasama dalam sebuah tim untuk mengalahkan
individu-individu dari tim lainnya).
Jadi, sebenarnya keteraturan hanya
mungkin terwujud kalau ada perbedaan di
antara unsur-unsurnya, dan jika perbedaan
tersebut berada dalam keadaan kompetisi
(konflik) yang dilakukan secara teratur, karena
mematuhi aturan-aturan permainan yang
bersifat adil dan jujur. Model keteraturan ini
menuntut adanya nilai-nilai budaya yang
menjadi acuan bagi etika dan moral yang
tercermin dalam aturan permainan atau konflik,
yang perwujudannya dalam tindakan-tindakan

140

pelakunya lazim kita namakan sebagai
sportivitas. Sportivitas hanya mungkin
diwujudkan dalam tindakan-tindakan para

pelaku olahraga kompetitif bila ada aturan main
yang jujur dan adil dalam kompetisi tersebut,
dan bila ada wasit dan/atau juri yang menjaga
keberlangsungan keadilan dan kejujuran selama
kompetisi tersebut berlangsung. Ini pun masih
harus didukung oleh adanya penonton yang
mengawasi bagaimana wasit dan/atau juri
tersebut menjalankan peran-perannya. Bila
dirasa kurang, maka bila perlu, dibentuk komisi
yang akan menilai keputusan-keputusan wasit
dan/atau juri dalam memimpin dan menilai
kompetisi yang telah berlangsung. Karena itu,
individu-individu dalam kompetisi tim, seperti
basket misalnya, mau tidak mau akan harus
bermain secara sportif. Bila tidak, secara
individu, mereka akan merugikan tim atau
kelompoknya, karena berbagai bentuk
hukuman yang dijatuhkan oleh wasit dan/atau
juri atas pelanggaran-pelanggaran mereka
sebagai individu anggota tim dalam kompetisi

yang berlangsung.
Model Coakley tersebut telah dikemukakan
sebelumnya oleh Bailey (1969) dalam menjelaskan proses-proses politik. Bailey menyatakan bahwa proses-proses politik pada
dasarnya adalah persaingan antara dua
kelompok atau lebih untuk memperebutkan
posisi atau kekuasaan penentu dalam kebijakan
umum mengenai penguasaan, alokasi, dan
pendistribusian dari sumber-sumberdaya yang
terbatas. Dalam persaingan tersebut harus ada
aturan main yang adil dan jujur, ada wasit, dan
ada juri sehingga aturan main tersebut dapat
menjamin terlaksananya persaingan yang adil
dan beradab. Model Bailey tersebut seringkali
juga dinamakan model zero sum game, karena
dalam model ini yang ada hanyalah persaingan
di antara dua pihak. Satu pihak harus
mengalahkan pihak yang lain untuk memenangkan hadiah, berupa posisi penentu

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


kebijakan umum tersebut. Dalam kenyataan
proses-proses politik yang berlaku, yang ada
tidak hanya antara yang kalah dan yang
menang dalam kompetisi, tetapi juga kompromi
atau kerjasama di antara pihak-pihak yang saling
bertentangan (model non-zero sum game).
Model keteraturan dari Coakley atau Bailey,
seperti tersebut di atas, adalah model yang
berlaku dalam masyarakat yang menganut
prinsip demokrasi. Model ini bertentangan
dengan model ekuilibrium dari Talcott Parsons
dan Edward Shills yang biasanya digunakan
dalam sistem pemerintahan yang pseudodemokrasi atau otoriter. Di samping model
Machiavelli, model ekuilibrium ini secara
menyolok telah digunakan dalam pemerintahan
Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan
karena itu diacu untuk meredam konflik-konflik
dan perbedaan-perbedaan serta individualitas
(yang acuan dasarnya adalah individualisme)
yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dalam
paradigma ekuilibrium, konflik dan dinamika
kehidupan masyarakat yang anti kestabilan
adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang
tidak fungsional dalam kehidupan. Karena itu,
semua bentuk ungkapan yang berbeda dari
kebijakan pemerintah dilihat sebagai penyimpangan yang harus ditiadakan. Penekanan dari
kestabilan sosial dalam zaman Orde Baru adalah
gotong royong, anti individualitas dan individualisme, dan karena itu memuja keseragaman, keseimbangan, dan keserasian.
Ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan
individualisme dan individualitas, dalam zaman
Orde Baru, hanya mungkin dilakukan oleh
mereka yang mempunyai kekuasaan. Karena
mereka itu yang berkuasa, maka tindakantindakan mereka tidak digolongkan sebagai
penyimpangan oleh pemerintah, sebagaimana
dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut di atas.
Aturan main yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat Orde Baru adalah aturan main yang
ditentukan dari atas ke bawah (top down), yang

tidak selamanya dapat diterima oleh mereka
yang di bawah, tetapi harus diterima. Kalau
tidak, mereka dianggap menyimpang atau tidak
fungsional dalam kehidupan Orde Baru.
Model gotong royong dan anti individualisme atau anti individualitas dengan
aturan main yang datangnya dari atas selama
pemerintahan Orde Baru, telah menghasilkan
berbagai bentuk konflik terselubung. Konflik
tersebut tidak terwujud sebagai konflik terbuka,
karena tidak seimbangnya hubungan kekuatan
sosial yang dipunyai oleh yang berkuasa,
dengan yang dipunyai oleh yang dikuasai—
atau rakyat—sehingga rakyat tidak berani
menentang kekuasaan pemerintah secara
terang-terangan. Konflik terselubung tersebut
terjadi antara mereka yang menikmati berbagai
bentuk kekuasaan dan fasilitas pemerintahan
Orde Baru, dengan mereka yang tersingkirkan
atau dimiskinkan kemampuan kekuatan
sosialnya oleh kemapanan kekuasaan Orde
Baru, sebagaimana dikemukakan Dahrendorf di
atas.
Begitu juga kebencian yang mendalam
terhadap kemapanan kekuasaan sebagai akibat
dari ketersingkiran atau pemiskinan kekuatan
sosial yang diderita oleh sebagian warga
masyarakat. Hal itu dianggap oleh mereka yang
tersingkir sebagai tidak adil atau sewenangwenang, yang secara sadar atau tidak sadar
telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Kebencian tersebut baru dapat meledak setelah
keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Pada
masa itu, dengan kekuatan ABRI (militer dan
kepolisian) yang begitu besar, tidak ada
sesuatu kekuatan sipil apa pun yang berani
untuk dan mampu berbeda pendapat dengan
pemerintah; apalagi bertentangan dengan
kebijakan-kebijakannya. Dalam masa reformasi
sekarang ini, saat proses-proses demokratisasi
menuju kematangannya, barulah berbagai
bentuk ketidakadilan dan penderitaan karena
kesewenang-wenangan yang diderita oleh

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

141

masyarakat meledak dalam berbagai bentuk
konflik sosial dan kerusuhan massa. Ledakan
dalam wujud konflik dan kerusuhan itu
sebenarnya ditujukan terhadap pemerintahan
Orde Baru sebagai pranata politik, terhadap
tindakan-tindakan pemerintahan Orde Baru dan
oknum-oknumnya serta kroni-kroninya,
maupun terhadap ABRI yang menjadi tulang
punggung kekuatan kekuasaan pemerintahan
Orde Baru.
Faksi-faksi politik, yang merupakan
kekuatan-kekuatan sosial untuk berbeda dari
kebijakan pemerintah Orde Baru, hanya
mungkin terwujud di antara golongan elite
politik dan militer (yang juga merupakan
kekuatan sosial-politik). Model konflik dari
Dahrendorf dapat digunakan untuk melihat
berbagai gejala sosial yang berlaku dalam elite
politik dan militer dalam zaman Orde Baru.
Model keteraturan dari Coakley tidak berlaku
untuk memahami konflik-konflik sosial politik
yang terbuka maupun tertutup di antara faksifaksi politik dan militer pada tingkat atas, karena
corak aturan main ditentukan oleh yang
berkuasa, yaitu penguasa tunggal Orde Baru
pada waktu itu dan para kroninya.

Potensi-potensi konflik
Bila kita mengikuti model Dahrendorf di
atas, secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam
setiap masyarakat terdapat potensi-potensi
konflik, karena setiap warga masyarakat akan
mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi,
yang dalam pemenuhannya harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya.
Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan
kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa
mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai
hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial
yang berlaku setempat), yang dianggap adil dan
beradab. Bila dalam masyarakat tersebut ada

142

aturan-aturan main yang diakui bersama oleh
warga masyarakat sebagai adil dan beradab,
maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan.
Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan
berkembang pada saat perasaan-perasaan—
yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan
adanya perlakuan sewenang-wenang dan
tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang
dideritanya, yang diakibatkan oleh perbuatan
pihak lawannya itu—muncul, berkembang dan
semakin mantap.
Adanya potensi konflik dalam diri
seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh
adanya perasaan tertekan karena perbuatan
pihak lawan. Dalam keadaan itu, si pelaku tidak
mampu untuk melawan atau menolaknya, dan
bahkan tidak mampu untuk menghindarinya.
Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan perasaan kebencian yang terpendam
terhadap pihak lawan. Perasaan kebencian
tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatanperbuatan lain yang merugikan dari pihak
lawannya. Kebencian yang mendalam dari si
pelaku—yang selalu kalah—biasanya terwujud
dalam bentuk menghindar atau melarikan diri
dari pihak lawan. Tetapi, kebencian tersebut
secara umum biasanya terungkap dalam bentuk
kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si
pelaku yang selalu kalah tidak dapat menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati,
yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik
dan verbal di antara dua pelaku yang bertentangan tersebut.
Konflik fisik yang menyebabkan kekalahan
si pelaku oleh lawan akan menghentikan
tindakan perlawanan si pelaku. Hal itu tidak
berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut
menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya.
Kebencian yang mendalam masih tersimpan
dalam hatinya, yang akan merupakan landasan
semangat untuk menghancurkan pihak lawan.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau
situasi yang dihadapi memungkinkan, maka dia
akan berusaha untuk menghancurkannya.
Tujuannya, agar ia merasa telah menang atau
setidak-tidaknya telah seimbang dengan
kekalahan yang telah dideritanya dari pihak
lawan.
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitan dengan konsep hak
yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan,
keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi,
keluarga, kerabat, dan komunitas atau
masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau
perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang akan dapat
diterima oleh seseorang atau sekelompok
orang yang memiliki hak tersebut, bila sesuai
menurut norma-norma dan nilai-nilai budaya
yang berlaku dalam masyarakat setempat, atau
memang seharusnya demikian. Tetapi, hal itu
tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan,
bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan
norma-norma dan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Dalam hubungan antarsukubangsa,
konsep hipotesa kebudayaan dominan dari
Bruner (lihat Suparlan 1999d:13–20) menjadi
relevan sebagai acuan untuk memahami
keberadaan aturan-aturan main, atau konvensikonvensi sosial yang berlaku di antara dua
sukubangsa atau lebih, yang bersama-sama
menempati sebuah wilayah, dan membentuk
kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat
setempat.
Bila dalam kehidupan masyarakat setempat
ada sebuah sukubangsa yang dominan, maka
kebudayaan sukubangsa tersebut menjadi
dominan dalam kehidupan masyarakat
setempat. Kebudayaan dominan tersebut
menjadi acuan bagi penilaian mengenai
tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak
yang berlaku bagi warga masyarakat setempat
tersebut di tempat-tempat umum, termasuk

warga dari berbagai sukubangsa yang tidak
tergolong sebagai sukubangsa yang dominan
dalam masyarakat tersebut. Kalau model
hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner
(1974) bercorak generalis, yang digunakannya
untuk memperbandingkan corak ungkapanungkapan kesukubangsaan di Medan dan di
Bandung, maka secara empirik model hipotesa
kebudayaan dominan tersebut menunjukkan
variasi-variasi dalam corak dominasi kebudayaannya (lihat kritik Suparlan 1995). Variasi
tersebut muncul karena masyarakat sebagai
sebuah satuan kehidupan tidak dibatasi oleh
sebuah satuan kehidupan kota, ataupun dibatasi oleh sebuah satuan kategori masyarakat
sukubangsa; tetapi oleh satuan kehidupan dari
masyarakat itu sendiri, yang menempati sebuah
wilayah atau lingkungan tertentu. Apa yang
menjadi corak kehidupan dari suatu masyarakat
dalam sebuah satuan wilayah atau lingkungan
tertentu, akan berbeda dari corak yang dipunyai
oleh suatu masyarakat yang hidup dalam
sebuah wilayah atau lingkungan yang lain;
walaupun kedua masyarakat tersebut tercakup
dalam suatu satuan kehidupan masyarakat
sukubangsa.
Dengan demikian, dalam suatu masyarakat
yang sukubangsa setempatnya dominan, sukusukubangsa lainnya yang hidup dalam
masyarakat tersebut akan tergolong sebagai
minoritas. Sebaliknya, sukubangsa minoritas
dalam masyarakat tersebut akan menjadi
dominan dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri. Bila dalam masyarakat luas sukubangsa,
pedoman penilaian dalam kehidupan bermasyarakat mengacu pada kebudayaan
dominan sukubangsa tersebut, maka dalam
masyarakat-masyarakat sukubangsa minoritas,
pedoman penilaian yang berlaku mengacu pada
kebudayaan sukubangsa minoritas yang
bersangkutan, yang berlaku setempat dan
bukannya mengacu pada kebudayaan dominan
yang berlaku dalam masyarakat luas. Karena

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

143

itu, konsep benar atau salah, adil atau tidak
adil, menjadi kontekstual atau tidak dapat
diberlakukan secara umum dan merata.
Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk, yang terdiri atas berbagai sukubangsa dengan kebudayaan dan keyakinan
keagamaan masing-masing yang dipersatukan
oleh sistem nasional Indonesia menjadi sebuah
masyarakat-negara (Suparlan 1999a). Sebagai
sebuah masyarakat majemuk, Indonesia
mempunyai potensi-potensi konflik yang tidak
sedikit jumlahnya. Potensi-potensi konflik
tersebut dapat terwujud sebagai konflik-konflik
antarindividu. Konflik-konflik antarindividu
dapat meledak menjadi konflik-konflik sosial
yang terjadi sebagai konflik antarsukubangsa
atau antara yang dikuasai dan yang berkuasa.
Konflik antarindividu bisa mempunyai potensi
untuk menjadi konflik sosial atau konflik
antarsukubangsa, pada waktu konflik tersebut
dirasakan sebagai suatu perwujudan ketidakadilan oleh salah satu pihak terhadap lainnya.
Ketidakadilan tersebut dirasakan sebagai
ketidakadilan yang bukan hanya menimpa
individu yang bersangkutan, melainkan
menimpa sukubangsanya dan kepentingankepentingannya (jatidiri, kehormatan, kerugian
material dan penderitaan atau ketidakpuasan
secara umum karena ketidakadilan yang merata
yang diderita oleh warga sukubangsa tersebut).
Pihak yang menjadi lawan bisa saja sukubangsa lainnya (kasus Sambas, kasus Ambon),
atau pemerintah dan aparatnya (kasus Irian
Jaya, kasus Aceh, kasus Riau). Harus dicatat
bahwa sesuatu potensi konflik sosial tidak akan
terwujud bila tidak ada ‘tukang kipas’ atau
provokatornya, yang biasanya mempunyai
kepentingan yang ingin dicapai melalui
kejayaan sukubangsa atau golongannya yang
telah direndahkan martabatnya dalam konflik
antarindividu. Begitu juga harus dicatat bahwa
sesuatu potensi konflik sosial tidak akan
meledak menjadi konflik atau kerusuhan sosial,

144

bila kondisi kelompok—yang menginginkan
adanya konflik sosial itu—tidak berada dalam
keadaan tanpa pilihan lain karena situasi yang
dihasilkan oleh hubungan antarkelompok
sukubangsa tersebut dengan sukubangsa
lainnya, atau dengan pemerintah sebagai pihak
lawan. Situasi yang dimaksud adalah tidak
adanya jalur-jalur yang dapat mengomunikasikan keinginan dan kebutuhan mereka secara
memuaskan, yang dapat menjembatani untuk
mengakomodasi dan mengkrompomikan
perbedaan-perbedaan dan pertentanganpertentangan antara kelompok tersebut dengan
pihak lawannya.
Dalam upaya untuk memperkokoh kesatuan
dan menjalin persatuan Indonesia, pemerintah
Indonesia (dalam zaman pemerintahan
Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto)
memperkuat sistem nasional, antara lain, dengan
memperkuat tentara (zaman Presiden Sukarno),
dan memperkuat ABRI (Polisi dijadikan bagian
dari ABRI, dalam pemerintahan Presiden
Soeharto). Dengan menggunakan kekuatan
nyata yang menakutkan, yang dapat memaksa
ini, maka kesatuan Indonesia dapat diperkokoh,
dan persatuan dapat dijalin secara semu. Hal
itu terjalin secara semu, karena kesatuan dan
persatuan tersebut ‘dipaksakan’ dari atas ke
bawah, dan karena itu tidak mempunyai
landasan atau dukungan dari bawah (bottom
up); yaitu masyarakat-masyarakat sukubangsa
yang dirugikan oleh penguatan sistem
nasional. Dampak dari penguatan sistem
nasional seperti tersebut di atas adalah
dilemahkannya sistem-sistem sukubangsa.
Pemerintahan Orde Baru yang menyandarkan kekuasaannya pada kekuatan militer yang
mempunyai kekuatan memaksa, telah secara
sadar atau tidak, menghasilkan pola-pola
tindakan yang ‘sewenang-wenang’ yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang berkuasa
dan para aparatnya. Tidak ada mekanisme
kontrol yang efektif yang dapat menjadi rambu-

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

rambu bagi tindakan-tindakan penyimpangan
para oknum-oknum penguasa tersebut. Seringkali, tindakan-tindakan sewenang-wenang
tersebut dianggap sebagai hal yang biasa oleh
warga masyarakat Indonesia. Dalam zaman
pemerintahan Orde Baru, tindakan-tindakan
yang ‘sewenang-wenang’ dari anggota tentara
dan kepolisian, seperti naik bis atau makan di
‘warteg’ tidak membayar, dianggap bukan
tindakan sewenang-wenang. Bahkan, saya
pernah menyaksikan seorang anggota tentara
yang membayar biaya naik bis kota di Jakarta,
ditolak oleh kondektur bis tersebut.
Perlakuan sewenang-wenang oleh orang
atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang
atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila
tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan
oleh yang diperlakukan sewenang-wenang,
akan membekas dalam bentuk kebencian.
Kebencian yang timbul saat terjadinya peristiwa tersebut akan tersimpan atau terpendam
dalam hati, karena pihak yang dirugikan tidak
berani atau tidak mampu untuk melawannya,
atau tertutup oleh berbagai kesibukan dalam
suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam seperti
ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk
stereotip dan prasangka. Stereotip atau
prasangka tersebut akan terwujud dalam
bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari
keburukan atau kerendahan martabat pelaku
yang sewenang-wenang tersebut. Simbolsimbol tersebut bisa diacu dari pewayangan
(sebagaimana yang terjadi pada Orang Jawa di
Suriname, dalam Suparlan 1995), atau hewan,
atau terwujud dalam bentuk ‘kirata basa’ atau
penjabaran sebuah kata yang menghasilkan
berbagai corak atribut lawan dalam bentuk
kalimat yang kata-katanya penuh dengan
ungkapan makna penghinaan karena kebencian.
Ungkapan ini seringkali terwujud dalam
kalimat yang isinya adalah kata-kata lucu,
sehingga menjadi lelucon yang menghibur bagi

yang merasa terpuruk (lihat Douglas 1975:96101). Pada tahun 1998 yang baru lalu, pada
waktu menjelang dan setelah beberapa lama
kejatuhan Pak Harto sebagai presiden—yaitu
pada waktu gencar-gencarnya aksi anti pak
Harto—di kampung-kampung di Jakarta, anakanak menyayikan lagu menunjuk hidung—
yang pada tahun ini sudah hilang dari peredaran
permainan anak-anak—dengan cara memlesetkan liriknya, sehingga berbunyi:
Dang dang tut
Bambang ama Tutut Anak raja maling
Sedangkan aslinya berbunyi:
Dang dang tut Akar kolang kaling
Siapa yang kentut Ditembak raja maling

Keberadaan potensi konflik sosial pada
dasarnya juga mengikuti pola-pola yang
berlaku dalam terwujudnya potensi konflik
antarindividu. Potensi konflik yang meledak
menjadi konflik antarindividu, bisa terbatas
hanya pada dua orang individu yang
bersangkutan saja, tetapi dapat juga meluas
melibatkan anggota-anggota keluarga dan
kerabatnya, serta komunitas atau masyarakat
sukubangsa kedua belah pihak. Keterlibatan
keluarga atau kerabat, komunitas, atau juga
masyarakat sukubangsa kedua belah pihak
dalam konflik yang terjadi, menunjukkan bahwa
konflik antarindividu telah mewujudkan dirinya
dalam bentuk konflik sosial.

Konflik sosial
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok
atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik
fisik antara mereka yang tergolong sebagai
anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang
berlawanan. Dalam konflik sosial, jatidiri dari
orang perorang yang terlibat dalam konflik
tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri
orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri
golongan atau kelompok. Dengan kata lain,
dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

145

konflik antara orang perorang dengan jatidiri
masing-masing, melainkan antara orang perorang
yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri
jatidiri orang perorang tersebut berasal dari
stereotip yang berlaku dalam kehidupan
antargolongan yang terwakili oleh kelompokkelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi
ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi
siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok
yang tergolong dalam golongan yang menjadi
musuh atau lawannya, sehingga penghancuran
atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak
lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran
kelompok pihak lawan.
Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dari
golongan sosial atau sukubangsa yang
berbeda—yang semula adalah teman baik—
akan menghapus hubungan pertemanan yang
baik tersebut menjadi hubungan permusuhan,
atau setidak-tidaknya menjadi hubungan
penghindaran. Hubungan mereka menjadi
hubungan golongan, yaitu masing-masing
mewakili golongannya dalam hubungan konflik
yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan kelompokkelompok yang sedang dalam konflik fisik
tersebut—bila mempunyai atribut-atribut yang
memperlihatkan kesamaan dengan ciri-ciri dari
pihak lawan—akan digolongkan sebagai
lawan. Tanpa permisi atau meminta penjelasan
mengenai jatidiri golongannya, orang-orang
tersebut akan juga dihancurkan.
Di antara berbagai konflik sosial yang
terwujud sebagai konflik fisik, konflik
antarsukubangsa adalah konflik yang tidak
dapat dengan mudah didamaikan. Konflik yang
terjadi, yang disebabkan oleh rasa ketidakadilan, kesewenang-wenangan ataupun
kekalahan, dipahami sebagai penghancuran
harga diri dan kehormatan. Kehancuran harga
diri itu kemudian dipahami sebagai kehancuran

146

eksistensi atau keberadaan sukubangsanya.
Keberadaan sukubangsanya adalah segala
kehidupannya, karena dia dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan sukubangsanya.
Dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya,
dia dibesarkan dan dijadikan manusia, dan
memperoleh perlindungan dari segala gangguan yang berasal dari luar kehidupan
sukubangsanya. Pada waktu mati, dia juga akan
dirawat dan dikebumikan sebagai manusia dan
sebagai hamba Tuhan atau Sang Pencipta oleh
kerabat-kerabat dan handai taulan yang juga
sesama warga sukubangsanya. Sukubangsa
adalah sesuatu acuan yang primordial (yang
utama dan pertama) dalam dan bagi kehidupannya. Sukubangsa bagi warga sukubangsa yang bersangkutan adalah sama
dengan dirinya sendiri. Penghinaan terhadap
dirinya adalah sama dengan penghinaan
terhadap sukubangsanya, dan penghinaan
terhadap sukubangsanya adalah sama dengan
penghinaan terhadap dirinya.
Sukubangsa mewujudkan dirinya sebagai
sebuah masyarakat, yang terwujud sebagai
kumpulan individu-individu, yang pemenuhanpemenuhan kebutuhan hidup dan keteraturan
kehidupannya dipedomani oleh kebudayaannya. Dengan menggunakan kebudayaannya,
warga sukubangsa itu dijadikan orang atau
dimanusiakan.oleh keluarga dan masyarakat
sukubangsanya. Dengan menggunakan
kebudayaan yang berisikan pengetahuan yang
diyakini kebenarannya, warga sukubangsa
melihat diri mereka dan melihat mereka yang
tergolong sebagai sukubangsa lainnya berbeda
dari mereka yang berbeda sukubangsanya.
Dengan mengacu pada kebudayaannya, warga
sukubangsa mengembangkan stereotip dan
prasangka mengenai suku-sukubangsa lainnya
dan berbagai golongan sosial lainnya yang ada
dalam kehidupan mereka. Melalui stereotip dan
prasangka ini, batas-batas sosial dan budaya,
atau batas-batas sukubangsa yang tergolong

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

dalam sukubangsanya, dan yang tergolong
dalam sukubangsa mereka (yang lain), ataupun
yang tergolong dalam golongan sosial lainnya,
dapat menjadi jelas.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk
(Suparlan 1999a), dengan sistem nasional Indonesia yang mempersatukan suku-sukubangsa
yang semula adalah masyarakat jajahan Hindia
Belanda menjadi sebuah masyarakat-negara Indonesia, kedudukan sukubangsa berada di
bawah kekuasaan sistem nasional atau pemerintah Indonesia. Dalam posisi yang berada
di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia,
sukubangsa yang terwujud sebagai masyarakat
sukubangsa, sadar atau tidak sadar, merasakan
dominasi kekuasaan pemerintah dalam berbagai
bentuk dominasi. Tanah dan segala isinya yang
semula adalah hak mereka menurut adat,
sekarang menjadi milik negara yang dikuasai
oleh pemerintah. Begitu juga halnya dengan
wilayah hutan dan air beserta segala isinya.
Berbagai ketentuan yang semula diatur oleh adat,
sekarang harus diatur oleh hukum positif yang
berlaku secara nasional berikut sanksisanksinya, yang berbeda dengan sanksi-sanksi
adat yang semula berlaku. Wilayah-wilayah
yang secara adat adalah wilayah mereka,
sekarang juga menjadi wilayah yang berhak
untuk dihuni oleh mereka yang berasal dari
berbagai sukubangsa.
Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam
masyarakat mana pun di dunia ini— termasuk
yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia—
dimulai oleh perebutan sumber-sumber daya
atau sumber-sumber rezeki. Bila perebutan yang
terjadi berjalan sesuai aturan main yang mereka
anggap adil, maka tidak akan terjadi konflik
sosial di antara mereka. Dalam keadaan
diberlakukannya aturan main secara tidak adil
oleh satu dari dua atau lebih kelompok yang
bersaing memperebutkan sumber daya atau
rezeki, konflik sosial tidak akan terwujud bila
penegak hukum dapat bertindak adil dan

bertindak sebagai pengayom. Tetapi, bila
penegak hukum bertindak tidak adil, maka
aturan-aturan main yang adil dan beradab tidak
akan dapat diberlakukan. Tidak ada yang
memaksa untuk memberlakukan aturan-aturan
main itu. Sebaliknya, masing-masing pihak yang
bermusuhan akan menggunakan aturan-aturan
mainnya sendiri yang menguntungkan mereka
untuk dapat memenangkan konflik yang
berlaku.
Jadi, sebuah persyaratan penting untuk
meredam, atau menghentikan konflik sosial—
yang mentransformasikan dirinya menjadi
kerusuhan sosial, yang ditandai oleh menonjolnya konflik fisik yang saling menghancurkan—
ialah adanya aturan main yang adil, dan adanya
penegak hukum yang dapat bertindak adil dan
bertindak sebagai pengayom masyarakat. Bila
petugas kepolisian sebagai penegak hukum
tidak dapat bertindak adil dan tidak dapat
bertindak sebagai pengayom masyarakat, maka
kerusuhan yang terjadi tidak dapat dicegah. Ini
pernah terjadi dalam Kerusuhan Sambas
(Suparlan 1999b), saat petugas kepolisian di
Kecamatan Jawai— yang merupakan asal mula
terjadinya kerusuhan Sambas—tidak berani
menahan pencuri asal Madura yang tertangkap
basah. Akibat dari dilepaskannya pencuri asal
Madura tersebut, 200 warga Madura asal
kecamatan lain—yang merupakan temanteman dan kerabat si pencuri—datang
menyerbu dan membunuh tiga orang Melayu
di Kecamatan Jawai, tempat ditangkapnya si
pencuri. Keberanian orang-orang Madura
tersebut telah didorong, antara lain, oleh
ketidakberanian petugas kepolisian Jawai
untuk menghadapi orang-orang Madura.
Kerusuhan sosial sebagai konflik antarsukubangsa, yang terwujud sebagai saling
penghancuran oleh satu kelompok sukubangsa
terhadap kelompok sukubangsa lainnya, juga
terwujud sebagai kegiatan ‘perang’ penaklukan. ‘Perang’ penaklukan itu bertujuan

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

147

menguasai wilayah-wilayah untuk diakui
sebagai wilayah sukubangsanya, yaitu untuk
menciptakan kebudayaan dominan dalam
wilayah yang telah dikuasainya itu. Hal ini
terjadi dalam Kerusuhan Sambas dan
Kerusuhan Ambon (Suparlan 1999c), dan juga
terjadi dalam kerusuhan Aceh.
Dalam Kerusuhan Ambon, konflik yang
semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton,
dan Makasar (BBM) yang beragama Islam di
satu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota
Ambon yang beragama Kristen di pihak lain,
telah bergeser menjadi konflik antara sesama
Orang Ambon, yaitu antara Orang Ambon yang
beragama Islam dengan yang beragama Kristen.
Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di
Ambon adalah kerusuhan sosial antara orangorang Ambon Kristen lawan Islam. Dari berita
terakhir yang ada di media massa, kita ketahui
bahwa kota Ambon dibagi dalam wilayahwilayah Kristen dan Islam.

Penutup: menghentikan konflik sosial
Konflik sosial yang terwujud sebagai
kerusuhan fisik atau amuk massa harus
dihentikan. Yang seharusnya menghentikan
adalah petugas kepolisian, dan bukannya
tentara, karena doktrin kepolisian sebenaraya
berbeda dari doktrin ketentaraan. Sayangnya,
Polisi Indonesia sudah menjadi seperti tentara,
karena selama 32 tahun di bawah pemerintahan
Orde Baru, polisi telah dijadikan sebagai sebuah
satuan yang tidak terpisahkan dari ABRI.
Bahkan, setelah dikeluarkannya Instruksi
Presiden Habibie untuk memisahkan Polisi dari
ABRI, Polisi pun secara organisasi masih
berada di bawah departemen Hankam.
Fungsi polisi dalam masyarakat adalah
sebagai penegak hukum, pengayom masyarakat,
dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak
hukum, polisi juga menjalankan fungsi sebagai
pembasmi kejahatan. Dalam organisasi ABRI,
selama 32 tahun, fungsi sebagai pembasmi

148

kejahatanlah yang diutamakan dan dibiayai
secara memadai. Fungsi-fungsi lainnya
dianaktirikan, atau bahkan diabaikan sama
sekali. Fungsi sebagai pembasmi kejahatan
mempunyai kesamaan dengan fungsi tentara
sebagai penyerang atau penghancur musuh,
dan karena itu cocok dengan posisi polisi
sebagai bagian dari ABRI.
Dampak dari pengabaian fungsi-fungsi
polisi seperti tersebut di atas—yang sebetulnya
merupakan fungsi-fungsi utama dari polisi—
adalah bahwa polisi menjadi kurang mampu, atau
tidak profesional dalam menangani berbagai
konflik dan kerusuhan sosial. Hal itu disebabkan
oleh cara penanganannya yang bukan merupakan cara penanganan polisi, melainkan cara
penanganan tentara. Yang diturunkan ke
lapangan untuk menangani konflik atau
kerusuhan sosial adalah pasukan tempur, dan
bukannya pasukan pendamai. Akibatnya, konflik
sosial yang terjadi bukannya dapat dihentikan,
melainkan malah berkembang biak.
Syarat utama bagi setiap upaya penanganan
konflik sosial agar dapat menghentikan konflik
tersebut, ialah adanya suatu pranata atau
organisasi (yang terbaik adalah polisi) yang
dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan,
dan yang digolongkan sebagai pihak ketiga,
yang artinya tidak mempunyai kepentingan
dalam konflik tersebut. Pihak ketiga itu dipercaya
karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya.
Bila polisi juga mempunyai kepentingan dalam
konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka
polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti
konflik sosial tersebut. Begitu juga, bila polisi
sebagai sebuah pranata atau organisasi tidak
mempunyai kekuatan yang sah untuk
menegakkan hukum dan keadilan, maka polisi
juga tidak akan dapat berfungsi untuk
menghentikan konflik sosial yang terjadi.
Syarat kedua adalah tidak memusuhi atau
menembak para perusuh, baik salah satu pihak
atau kedua pihak yang bermusuhan, tetapi

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

berbicara dengan mereka. Dari apa yang telah
diuraikan terdahulu, konflik atau perang terjadi
karena tidak adanya jalur komunikasi yang
dapat mengakomodasi atau meredam perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang terjadi. Untuk itu, harus dicari
kepala-kepala atau tokoh-tokoh yang betulbetul pemimpin dari kelompok-kelompok yang
bermusuhan tersebut untuk diajak saling
berbicara. Tujuannya ialah mencari titik temu
yang memungkinkan dapat dihentikannya
konflik sosial yang merugikan semua pihak. Bila
suatu keputusan yang disetujui bersama telah
dicapai, maka persetujuan bersama tersebut
harus dijalankan oleh kedua belah pihak yang
bermusuhan dengan diawasi dan dikendalikan
pelaksanaannya oleh polisi, untuk betul-betul
dijalankan secara bulat dan menyeluruh. Bila
hasil persetujuan tidak dijalankan secara bulat
dan menyeluruh, maka perdamaian tidak akan
berlangsung lama. Seperti yang telah terjadi di
Ambon, saya mengusulkan untuk mengaktifkan pela gandong, sebuah ikatan darah
atau seketurunan yang mengikat secara adat
dua orang atau kelompok yang beragama Islam dan Kristen sebagai sebuah satuan
kehidupan sehidup semati, berikut sanksisanksi adat bagi para pelanggarnya, yang harus
dilakukan melalui upacara yang sakral. Tetapi,
yang telah dilakukan untuk mendamaikan
konflik Ambon tersebut pada bulan Mei 1999
yang lalu, bukanlah membuat upacara ritual
yang sakral, melainkan membuat upacara
seremonial yang superfisial. Tentu saja upaya
perdamaian tersebut gagal.
Perundingan yang harus dilakukan oleh
pihak ketiga yang netral dan diakui kewibawaan
kekuasaannya oleh kedua belah pihak yang
bermusuhan, adalah titik kunci pembuka jalan
perdamaian. Pembicaraan yang dilakukan oleh
pihak ketiga harus terpusat pada sebab-sebab
permusuhan dan patokan-patokan penilaian
menurut kebudayaan masing-masing pihak

yang bermusuhan tersebut. Berdasarkan
patokan-patokan nilai budaya yang digunakan
oleh masing-masing pihak yang berkonflik
tersebut, pihak ketiga dapat melakukan tawar
menawar mengenai sumber-sumber konflik. Hal
itu bertujuan untuk mereduksi sumber-sumber
konflik menjadi perbedaan-perbedaan yang
tidak harus diselesaikan dengan cara saling
menghancurkan satu sama lain.
Tujuan akhir dari pihak ketiga dalam
perundingan tersebut adalah tercapainya
persetujuan dari pihak-pihak yang konflik
mengenai patokan keadilan yang harus mereka
patuhi bersama, keutuhan jatidiri dan
kehormatan masing-masing pihak. Kedua belah
pihak harus merasa diuntungkan dengan
adanya perdamaian di antara mereka. Cara-cara
perdamaian dan isi perdamaian harus
dirundingkan dan disesuaikan dengan nilainilai budaya dari pihak-pihak yang konflik. Jadi,
bukan menurut cara-cara pihak ketiga.
Selama perundingan berlangsung, konflik sosial dalam bentuk kerusuhan ataupun
pembunuhan dan pembakaran harta benda
harus dapat dihentikan, dan dengan
persetujuan atau setidak-tidaknya sepengetahuan pihak-pihak yang konflik.
Penghentian kerusuhan dilakukan dengan
menyiarkan pengumuman secara meluas
kepada dua belah pihak yang konflik untuk
menghentikan segala kegiatan pengrusakan
mereka; dan mengenakan sanksi bagi
pelanggar-pelanggarnya tanpa pandang bulu.
Penghentian harus dilakukan dengan
menggunakan kekuatan polisi yang harus
mampu mengambil tindakan tegas bila ada yang
melanggarnya. Ketegasan bertindak yang adil
dengan cara bertindak yang tidak pandang
bulu harus dilakukan.

Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya

149

Referensi
Bailey, F.G.
1969 Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. New York: Schocken.
Bruner, E.M.
1974 “The Expression fo Ethnicity in Indonesia’, dalam, A. Cohen (peny.) Urban Ethnicity.
London: Tavistock. Hlm. 251–288.
Coakley, JJ.
1986 Sport and Society: Issues and Controversies. St. Louis: Times Mirror/Mosby
Dahrendorf, R.
1959 Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford, California: Stanford University Press.
Douglas, M.
1975 Impilicit Meanings. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Heider, K.G.
1970 The Dugun Dani: a Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago:
Aldine.
Koch, Klaus-Frederich
1971 ‘Cannibalistic Revenge in Jale Warfare’, dalam J.P. Spradley dan D.W. McCurdy (peny.)
Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology. Boston: Little, Brown,
and Company.
Parsons, T. dan E.A. Shills (peny.)
1951 Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Suparlan, P.
1995 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Tempe, Arizona:
Program for SEA Studies, Arizona State University
1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antarsukubangsa’, dalam I.Wibowo (peny.)
Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm. 149–
173.
1999b Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
1999c Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan terbatas disampaikan kepada Kapolri.
1999d ‘Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal
Antropologi Indonesia 22(56):13–20.

150

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006