Buku menghadapi tantangan zaman net.doc

BUKU MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN
Oleh:
Rattahpinnusa H Handisa

I. Pengantar
Buku merupakan hasil transformasi peradapan manusia. Perkembangan buku tidak
terlepas dari sejarah peradapan manusia. Awal mulanya, manusia hidup berpindah-pindah
untuk bertahan hidup. Dalam pola kehidupan nomaden tersebut, manusia mengalami hal-hal
yang baru. Selanjutnya manusia mencoba mengkomunikasikan pengalaman tersebut kepada
manusia lain melalui pahatan simbol pada batu, kayu atau benda lainnya. Ilham membuat
pahatan tersebut datang ketika manusia menyadari bahwa daya ingat manusia terbatas.
Cantuman (record) pada kayu, batu mampu mengkomunikasikan berita ke generasi
berikutnya. Semenjak saat itu, manusia mulai berkomunikasi dengan manusia lain dengan
bahasa tulisan.
Pada abad pertama, orang eropa berhasil membuat buku dalam bentuk lembaran yang
dijilid dan diletakkan antara dua papan kayu serta mengunakan kulit binatang sebagai pelapis.
Buku mengalami perkembangan pesat pada abad 16 ketika Guttenberg menciptakan mesin
cetak. Bersamaan dengan penemuan tersebut, lahir paham Renaissance di Eropa. Timbulnya
aliran romantik yang mementingkan logika dalam berbagai penemuan serta usaha gereja
disegala bidang. Penentangan itu secara tidak langsung mendapat dukungan dari penemuan
mesin cetak. Saat Marthen luther menempelkan protesnya digereja wiltenberg 1517, ia

menggunakan protes tercetak. Semenjak saat itu mesin cetak yang diasosiakan dengan buku
memiliki dampak sosial yang besar yakni sebagai media propaganda.
Pasang surut perkembangan buku disuatu negara bergantung pada kondisi sosial
politik, ekonomi dan pendidikan negara tersebut. Hal prinsipil yang membedakan
perkembangan buku antara negara maju dan berkembang adalah: masyarakat di negara maju
buku telah menjadikan buku sebagai kebutuhan kultural sedangkan masyarakat negara
berkembang masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan kultural yang
identik dengan aktivitas intelektual dan seni seperti membaca, menulis atau seni pertunjukan
menjadikan negara maju unggul dalam ilmu pengetahuan. Ungkapan Roger Bacon, ilmuwan
ulung abad pertengahan, “Nam et ipsa scientia postesa est” atau ‘ ilmu pengetahuan adalah
kekuatan’ merupakan tabir rahasia keunggulan negara maju diberbagai sektor. Kondisi yang
1

ideal seperti: adanya kemakmuran ekonomi sehingga memungkinkan perorangan atau
lembaga menuangkan ekspresi intelektualnya tanpa takut kebutuhan ekonominya tidak
tercukupi, adanya pertumbuhan ekonomi yang merangsang berkembangnya industri termasuk
industri penerbitan dan media massa, kepemimpinan yang menunjukkan minat pada budaya
dan intelektual menjadi faktor penunjang perkembangan buku. Namun faktor-faktor tersebut
masih jauh dari jangkauan negara berkembang yang masih sibuk memikirkan pemenuhan
kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi rakyatnya. Sehingga kondisi ideal bagi

perkembangan buku masih belum terealisasi di negara berkembang.

II. Pembahasan
Suatu kondisi ideal yang hendak dicapai, senantiasa menghadapi kendala pada proses
pentahapannya. Seperti halnya yang dialami negara berkembang. Indonesia hendak
memposisikan buku sebagai katalis bagi pembentukan masyarakat yang matang secara sosial
dan kultural untuk pembangunan karakter bangsa. Namun perkembangan buku di Indonesia
menghadapi kendala sebagai berikut:
1. Sensor
Sensor dapat pahami sebagai pemeriksaan terhadap buku sebelum buku tersebut
diedarkan. Sensor kerap kali menjadi ‘mimpi buruk’ bagi para penerbit yang terbitannya
bersentuhan dengan politik. Apabila terbitannya memuat kritik ataupun isinya dianggap
mengandung penyimpangan politik yang berpotensi membahayakan penguasa maka jangan
harap terbitan tersebut dapat beredar bahkan bisa saja izin penerbitan ikut dicabut. Sebab hak
mutlak sensor menjadi milik penguasa. Tercatat karya-karya seperti : Sapta dharma karangan
Mr.Yamin; Demokrasi kita karya milik M. Hatta, buku-buku karangan sastrawan yang
tergabung dalam lekra ataupun novel karangan Pramoedya Ananta Noer sempat “menikmati”
pelarangan untuk beredar akibat karya tersebut tidak lulus sensor. Pelarangan tersebut tidak
permanen sifatnya akan tetapi mengikuti fluktuasi politik yang terjadi. Bisa jadi sebelumnya
sebuah karya dilarang namun setelah rezim tersebut tumbang karya tersebut mejadi buruan

orang untuk membacanya.
2. Pelarangan
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan sebuah buku dilarang beredar disuatu
negara. Selain buku tidak dapat melewati proses sensor sehingga berakibat pelarangan.
Namun kondisi sosial kemasyarakan turut berpengaruh. Munculnya kelompok pendesak
2

(pressure group) yang memanfaatkan potensi massanya dapat menekan pemerintah serta
penerbit swasta untuk tidak menerbitkan buku yang dianggap bertentangan dengan ajaran
mereka. Tekanan kepada pemerintah untuk melarang beredarnya buku Terang Bulan pada
tahun 1950-an karena buku ini dianggap memuat hal-hal yang berbau pornografi

oleh

kalangan tertentu.
3.Maraknya tayangan hiburan yang menawarkan gaya hidup hedonisme.
Semakin variatifnya hiburan mulai dari tayangan TV, film-film dalam format CD,
DVD sangat digandrungi oleh sebagian besar masyarakat kita. Tayangan itu lebih diminati
masyarakat sebab medianya yang atraktif. Masyarakat seolah tak peduli terhadap penetrasi
budaya demi mendapatkan kebahagiaan semu kendati variasi hiburan tersebut merupakan

produk kapitalisme .Gaya hidup hedonisme seakan menjadi tujuan sedangkan identitas
bangsa sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dengan lunturnya budaya baca. Namun
hikmah dibalik ketatnya persaingan dengan media komunikasi lainnya adalah buku dapat
menemukan penikmat sejatinya yakni kaum intelektual.
4.Pembajakan.
Pembajakan buku dapat diasosiasikan dengan terorisme intelektual. Sebab praktek
pembajakan telah meresahkan kehidupan intelektual dan seni budaya. UU no.12 tahun 1997
tentang Hak Kekayaan Intelektual

belum efektif memberantas kejahatan ini. Walaupun

pembajakan buku dikategorikan delik perkara namun kenyatannya banyak pembajak buku
yang mampu lolos dari jerat hukum. Orientasi para pembajak buku adalah memperoleh
keuntungan secara illegal. Produk-produk bajakan banyak diminati masyarakat karena
harganya lebih murah dibanding produk orisinil. Faktor ongkos produksi buku bajakan lebih
rendah sebab pembajak buku tidak terbebani oleh kewajiban seperti membayar royalti kepada
penulis dan membayar pajak. Ironisnya kaum terpelajar dinegeri ini secara tidak langsung
turut mempraktekkan kegiatan pembajakan semisal menggandakan hasil karya orang lain
tanpa seizin yang bersangkutan.
Bagaimanapun praktek dan produk bajakan tidak bisa ditolerir keberadaannya

sebab manfaat yang diperoleh tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan. Praktek
pembajakan buku mengancam eksistensi profesi penulis khususnya berkaitan dengan income
penulis sehingga gairah untuk menulis buku turun. Selain itu para penerbit beranggapan
industri buku menjadi tidak prospektif sebab keuntungannya penjualan buku turun akibat
pembajakan buku. Sehingga produktivitas industri perbukuan yang rendah. Sedangkan

3

konsumen buku bajakan seolah-olah tidak menyadari bahwasanya mereka turut menjadi
korban pembajakan buku. Sebab tidak ada jaminan kualitas buku bajakan lebih baik dari
buku asli.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan buku bergantung
pada kondisi sosial politik, ekonomi dan pendidikan suatu negara. Bilamana buku telah
ditempatkan sebagai kebutuhan kultural maka masyarakat akan berposes menuju kematangan
sosial dan kultural sehingga berdampak pada kemajuan suatu bangsa. Sedangkan tantangan
yang menghadang adalah aturan sensor yang ketat; pelarangan buku serta pembajakan buku
Namun praktisi perbukuan harus optimis untuk bertahan. Sebab buku akan eksis
selama ilmu pengetahuan masih dipelajari dan dikembangkan oleh manusia. Optimisme
tersebut hendaknya diwujudkan dengan sikap selalu berinovasi dalam dunia penerbitan
semisal memvariasikan produknya dengan memproduksi buku elektronik. Menjalin

hubungan baik dengan lembaga eksekutif, legislative maupun LSM untuk menaikkan posisi
tawar praktisi penerbitan. Mensinergikan hubungan antara LSM bidang media dengan
praktisi perbukuan dan memposisikan hasil sinergi sebagai kekuatan penyeimbang agar
pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada kebebasan berekspresi pada media
terbitan. Sedangkan upaya untuk meminimalkan kasus kejahatan pembajakan buku dapat
melalui penegakan hukum secara represif .Semoga artikel ini menambah wawasan anda
dalam khazanah perbukuan dan menjadi renungan bagi kita bersama terkait hari buku tanggal
17 Mei 2005.*

4