KOnsep dan permasalahan tantangan Manaje

KONSEP, TEORI, PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PENDIDIKAN
BERBASIS MULTIBUDAYA
A. Pendahuluan
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai
gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolahsekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembagalembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus
sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak
memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang
pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini
diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui
reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti
perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam
lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan
antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika
bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras
atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan
yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan
yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga

dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan;
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan
sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya
variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi
perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan
dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem
nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan
negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang
menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat
berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia

yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan
meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab
tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang
mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya
pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan
jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku
bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum,

tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi,
dan sosial.
Makna manajemen multi budaya (pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang
berbeda-beda, memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara
internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa, karsa/karya seseorang/kelompok,
bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi
bisnis maupun non profit.
Pemahaman manajemen multi budaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi
budaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi
yang berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama), kegiatan-kegiatan yang bersifat global,
kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan baru yang terpadu, pluraslisme masyarakat dalam suatu
negara, sehingga diperlukan suatu seni dan ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman
budaya itu dapat saling mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam
keragaraman tersebut. Esensi dari manejemen multi budaya terletak pada komunikasi, baik melalui katakata, benda material, maupun perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang
keragaman budaya tersebut (Hall & Hall, 1987 dalam Elashmawi & Haris, 1999:4-27).
Berbicara tentang manajemen multi budaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi,
yang memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Dalam konteks
persekolahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk
berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam

hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote
social norms,…”
. Fenomena multi kultural di Indonesia telah cukup memberikan gambaran bahwa untuk
merumuskan sebuah pola tindakan dan pendidikan multi kultural, pertama-tama perlu kesadaran untuk
memandang dan memperlakukan orang lain seperti layaknya memperlakukan diri sendiri. Malahan dalam
paham Advaita Vedanta (monisme) diterangkan bahwamanusia secara esensial sama, bukan secara

fenomenan sama. Artinya, Advaita Vedanta sangat menyadari akan adanya perbedaan dan pluralisme.
Karena itu perlu adanya kemauan bersama sebagai bagian dari komunitas multi kultural untuk
mengakutualisasikannya dalam bentuk praksis dan tindakan nyata.
Pentingnya peranan komunikasi dalam manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa modelmodel komunikasi yang sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah contoh model
komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:

Imbalan (ganjaran)

NILAI

KOMUNIKASI

KEPERCAYAAN

Hidup/mati
Alam
Sejarah
Agama

Persaingan
Kemandirian
Langsung
Ambil resiko
Keselaraan kelompok
Kerjasama
Umur - Senioritas
Inormasi
Pengabdian
Hubungan
Keselarasan keluarga
Formalitas/status

Oraganisasi sosial
Komunikasi non verbal

Tanggapan emosional
Estetika
Makanan
Orientasi kegiatan

Sumber : Elashmawi & Haris (1999:82-84)
Gambar 1
Model Kepercayaan, Nilai dan Komunikasi Multi Budaya
Dari gambaran di atas tersirat pengertian bahwa perilaku seseorang (dalam bisnis, kehidupan
sosial, pemerintahan dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai yang dianutnya
dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya orang Jepang) bekerja di Amerika,
memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah
orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian,
keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya
jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.
Untuk itu, model di atas perlu dilanjutkan dengan membangun kepekaan budaya, disebut model
kesenangan/kepuasan (happy/satisfied), seperti diragakan pada gambar berikut:

Imbalan (ganjaran)


NILAI

KOMUNIKASI

FASE I
Mendengarkan
Mengamati
Merasakan
FASE II
Menanggapi
Ambil bagian
Tumbuh
FASE III
Menyesuaikan
Berbagi
Mengalami
FASE IV
Menikmati

Sumber : Elashmawi & Haris (1999:85-86)

Gambar 2
Model Kesenangan/Kepuasan
Dalam model ini harus disadari perbedaan nilai-nilai budaya yang ada dan saling berinteraksi.
Berkomunikasi dengan orang Jepang misalnya, Fase I sangat dihargai, biasanya memakanya waktu lama,
karena orang Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran mitra asing meraka, lebih
dari sekedar hanya menjawab langsung, meraka sangat antusias. Barulah mereka ambil bagian pada Fase
II, sedangkan Fase III sudah tinggal meluruskan apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV
tinggal dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, senderung kurang suka berlamalama pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau ke dua nilai budaya itu tidak saling
menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan
budaya.
B. Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan Pendidikan Multikultural adalah transformasi pembelajaran kooperatif di mana di dalam
proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi
pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar, konseptualisasi dan

organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang
menggunakan kelompok kecil, di mana pemelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan
saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi
pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab
terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

Karakteristik pembelajaraan kooperatif Tujuan kelompok (group Goals), adalah menghargai
anggota kelompok dari kemampuan yang tidak sama untuk bekerja sama dan membantu satu sama lain
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tanggungjawab individual (individual accountability), mempunyai
pengertian bahwa setiap anggota kelompok memberikan respon untuk menguasai materi, dan kesempatan
yang sama untuk sukses (equal opportunity for success), bahwa setiap anggota kelompok mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapatkan penghargaan dari kemampuan yang dicapainya, dan
keberhasilan kelompok adalah keberhasilan setiap anggota kelompoknya. Dengan demikian, pendidikan
multikultural berimplikasi pada terpencarnya, divergent, konsep pendidikan bermutu dan terpusatnya,
convergent, nilai-nilai kooperatif secara menyeluruh dalam upaya membuka kemampuan manusia,
unlocking human capacity, menuju keistimewaan dalam membangun spirit of innovation, semangat
pembaharuan.
Semangat pembaharuan seperti yang dibangun oleh Vigotsky dalam perkembangan kognitif
merupakan pemahaman kognisi makhluk susila dalam konteks sosial sebagai bagian dari masyarakat. Hal
inilah yang dimaksud dengan dimensi sosial kultural pembelajaran/pendidikan yang melibatkan hadirnya
suatu kompetensi lintas budaya, cross cultural. Oleh karena itu, multikultural education adalah proses
pengembangan kompetensi dalam sistem standar jamak yang merujuk pada persepsi, evaluasi, yakini plus
tindaki, peningkatan kompetensi lintas budaya kepada semua mahasiswa tak peduli etnis, latar belakang
ras, perempuan laki-laki. Selanjutnya, pendidikan multikultural menuntut setiap orang termasuk private
culture, harus memiliki wawasan tentang kebudayaan masyarakatnya sendiri ditambah kebudayaan
individu lain ia punya persepsi tentang kebudayaan orang lain.

Seperti yang telah dikemukan oleh Care Guston Yung seorang psykiater tentang penyesuaian
kesadaran bahwa manusia itu memiliki beberapa kemampuan dan dapat dilihat dari berbagai sisi dalam
setiap situasi ia menyesuaikan diri, manusia itu terdiri atas rasio, fisik, pribadi kolektif. Sedangkan,
Descartes mengatakan manusia itu terdiri atas rasio dan fisik. Selanjutnya Freud mengatakan manusia itu
terdiri atas rasio, fisik dan ketidaksadaran, intiusi kesadaran yang digali dari ketidaksadaran. Dalam
hubungannya dengan pendidikan multikultur kesadaran ini harus berwujud dalam aktivitas belajar
bersama-sama satu sama lain sehingga bisa menerima (accept), menghormati (respect) dan saling
toleransi terhadap kelompok lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Di sini terjadi sikap aku, kamu di
mana bekerja tanpa pamrih dan tidak akan terjadi sikap aku dia bekerja dengan pamrih bekerja dengan
tujuan maksud tertentu. Di dalam pendidikan multikultur diharapkan terjadi proses pembelajaran yang

menyentuh dan diharapkan pendidikan multikultur berpihak pada aku dan kamu. Menurut Martin Buber
Gabriel Marcel bahwa pendidikan multikultur yang diwaujudkan melaslui pembelajaran terjadi hubungan
manusia dengan masyarakat (Ich und du) di mana manusia sebagai makluk sosial dan dengan terjadinya
hubungan dengan masyarakat yang tanpa pamrih akan terwuju harapan kita sebagai hamba Allah (Ich und
Du) sehingga terjalin hubungan dengan sang pencipta. Kebutuhan individu yang berbeda satu sama lain
dan kebutuhan masyarakat pada umumnya berbeda maka dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya
memberlakukan berbagai metode di mana kemampuan peserta didik satu dengan lainnya berbeda baik
tingkat intelektual, kecepatan belajar, sifat maupun sikap, sehingga dapat menggali kemampuan peserta
didik tiada batas berkembang secara optimal.

Selajutnya, dalam pendidikan multikultur seharusnya dapat memberikan perubahan secara
bertahap dan berkelanjutan sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai di mana belajar merupakan aktivitas
individu bersama orang lain dan tujuan belajar adalah penetapan harapan ke depan tentang kompetensi
atau penguasaan yang dipelajari, dan struktur di dalam menentukan saling ketergantungan antar
pembelajar saat mereka berusaha untuk mencapai tujuan belajarnya. Guru hendaknya bukan sekedar
memindahkan pengetahuan ke pemelajar, tetapi membantu pemelajar membangun pengetahuannya. Oleh
karena itu, peran guru lebih merupakan mediator dan fasilitator yang membantu pemelajar untuk dapat
mengkonstruksi pengetahuan secara cepat dan efektif. Dengan demikian, seorang guru perlu mempunyai
pandangan, pengetahuan yang luas sehingga memahami berbagai cara, dan strategi dan tidak terpokus
pada satu model mengajar saja, sehingga dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki peserta didik
menjadi kemampuan yang akan dimilikinya.
Pendidikan multikultur harus diarahkan pada kegiatan mengembangkan kesadaran dan kebanggaan
menjadi bangsanya sendiri, di mana sebagai suatu bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya dan
memliki sistem yang beragam dan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak membedakan peserta didik satu
dengan lainnya dan semua peserta didik dapat terlayani dengan baik karena mempunyai hak yang sama.
Memiliki kesempatan yang sama berarti terlibat dalam proses pembelajaran yang tepat. Tuntutan dan
tantangan kehidupan yang meningkat seiring dengan era globalisasi, begitu pula dengan dunia pendidikan
yang juga memasuki perkembangan baru, sekarang sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar
nasional maupun internasional sehingga para peserta didik dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Namun
reformasi dunia pendidikan berjalan lambat karena adanya sistem sentralisasi sementara proses

globalisasi terus berjalan. Nilai-nilai meritrokrasi bukan hanya dilihat secara kualitatif, melainkan juga
secara kualitatif. Meritrokasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dan hasil
pengukuran pengetahuan, yang berwujud skor, sedang meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat
mengungkap sikap, perilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki.
Penghargaan pada prestasi boleh bervariasi. Penghargaan individual terjadi bila penghargaan itu
dapat dicapai oleh pemelajar manapun tidak tergantung pada pencapaian individu lain. Penghargaan

kompetitif terjadi bila penghargaan itu diperoleh sebagai upaya individu melalui persaingan dengan orang
lain. Sedangkan penghargaan kooperatif diperoleh dari keberhasilan bersama anggota kelompok yang
lain. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan
bangsa. Sayangnya, penyelenggara pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip
tersebut dan para pengambil kebijakanpun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan
terhadap prestasi.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk
menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau
setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas
sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur
monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul
dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong
kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar
sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri
tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan
sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik
diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara
lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah
lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga
pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang
dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan
kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari
konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan
pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank
adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan
multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok
sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan
wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide
persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan
kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas
pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya

prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat
populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang
sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam
mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang
beraneka macam di negara ini.
Ide

pendidikan

multikulturalisme

akhirnya

menjadi

komitmen

global

sebagaimana

direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat
empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan
menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta
mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua,
pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaianpenyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan
masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara
damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun
secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS,
khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia.
Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang
dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan
untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh
momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era
reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma
pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan
untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas
sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk
membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan
untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah
tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada
prinsip-prinsip berikut ini:



Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
pandangan dan perspektif banyak orang.



Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah.



Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang
kebudayaan yang berbeda-beda.



Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan
budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan
mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur
sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di
antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi
anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
C. Permasalahan dan Tantangan Manajeman Pendidikan Multibudaya
Pembangunan pendidikan di daerah menurut UU.No.32/2004 bukan lagi suatu konsep tetapi mulai
diimplementasikan pada semua tingkatan manajemen, tidak terkecuali pada tatanan kelembagaan SKPD
(Dinas Pendidikan) maupun pada satuan pendidikan di jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Implementasi pada tatanan kelembagaan pendidikan sungguh sangat berarti, karena fungsi dan peranan
kelembagaan tersebut sangat strategis dalam pembangunan peradaban masyarakat.
Tiga persoalan mendasar yang patut diantisipasi dalam otonomi pengelolaan pendidikan, yaitu: Apakah
pemberian otonomi pengelolaan pendidikan akan menjamin setiap anggota masyarakat memperoleh
haknya dalam pendidikan? Apakah dengan pemberian kewenangan pengelolaan pendidikan kepada
lembaga satuan pendidikan dapat menjamin peran serta masyarakat akan meningkat? Apakah pengelolaan
pendidikan yang dilakukan di setiap lembaga satuan pendidikan dapat mencapai hasil-hasil pendidikan
yang bermutu?
Untuk menjawab ketiga pertanyan tersebut, perlu merujuk sistem perundang-undangan tentang
penyelenggaraan otonomi pendidikan. Karakteristik yang melekat pada UU.No.32/2004 telah membawa
implikasi terhadap manajemen pendidikan nasional, regional dan lokal. Implikasi tersebut diantaranya
bahwa setiap proses pengelolaan pendidikan harus pula berlandaskan bottom up approach, karena
pengelolaannya harus acceptable dan accountable dalam melayani masyarakat terhadap kebutuhan

pendidikan. Secara teknis, pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota eksistensinya tidak terlepas
dari rekomendasi kebutuhan pada tingkat satuan pendidikan. Artinya,

bidang garapan, proses, dan

konteks pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan tidak mutlak sama, baik dengan daerah
lainnya yang sederajat maupun dengan antar daerah kabupaten/kota. Secara teoritis, keragaman itu akan
memunculkan sinergisme yang didukung oleh keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing
daerah dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Dengan demikian, bahwa besar dan luasnya kewenangan dalam pengelolaan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan akan tergantung kepada sistem politik dalam memberikan keleluasaan tersebut.
Akan tetapi, sekalipun keleluasaan itu diberikan tidak dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan
mutlak tanpa mempertimbangkan kepentingan pemerintah daerah, sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara pengelola pendidikan pada tingkat kabupaten dengan pengelola pendidikan di tingkat
kelembagaan satuan pendidikan. Sesungguhnya konflik kepentingan tersebut tidak perlu terjadi apabila
para pengelola tingkat kabupaten memahami hakekat dan urgensi perlunya otonomi dalam pengelolaan
pendidikan. Walaupun terjadi

tarik menarik kepentingan, harus berdasarkan pada prinsip saling

ketergantungan untuk menghasilkan sinergitas bagi tujuan-tujuan pembangunan pendidikan yang lebih
luas.
Dalam konsepnya, otonomi mengandung dua makna, yaitu makna politik (otonomi politik) dan
makna administratif (otonomi administrasi). Membedakan kedua istilah ini sangat penting dalam praktek
pengelolaan pendidikan, karena pelayanan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang pendidikan
secara politik harus dapat menjamin hak dan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas,
dan pelaksanaannya menyangkut banyak pihak yang berkepentingan, sehingga memerlukan kesepakatankesepakatan politik. Sedangkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang garapan, proses,
dan konteks penyelenggaraan pendidikan secara administrasi dan manajerial tidak memerlukan konsensus
dengan pihak-pihak di luar kelembagaan pendidikan, karena otonomi administrasi merupakan bagian dari
strategi manajemen yang memungkinkan sangat variatif sesuai karakteristik jalur, jenjang dan jenis
kelembagaan satuan pendidikan di masing-masing daerah.
Otonomi pengelolaan pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi
pejabat atau unit tingkat atas terhadap persoalan-persoalan manajemen pendidikan yang sepatutnya bisa
diputuskan dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah, sehingga diharapkan terjadi pemberdayaan peran
unit di tingkat bawah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam pengelolaan pendidikan yang
diberikan kepada lembaga satuan pendidikan, tetap harus konsisten dengan sistem konstitusi.
D. Referensi
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of
Research in Education.
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA

Elashmawi, Farid dan R. PhilipHarris (1999). Manajemen Multi Budaya. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Iim Wasliman, 2007. TINJAUAN KONSEP MANAJEMEN MULTI BUDAYA DI SEKOLAH, Makalah.
James D.Adam, 2007. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL& PAKET MULTIKULTURAL, Makalah
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.