TATA KELOLA MIGAS INDONESIA (1)

TATA KELOLA MIGAS
INDONESIA

Disusun oleh:
T. Rija Extrada
NIM: 14.420.4200.868

Teknik Perminyakan
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
2014

TATA KELOLA MIGAS DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
1.1 TATA KELOLA MIGAS INDONESIA
Dalam Program Legislasi Nasional tercantum RUU Perubahan atas UU No 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun hingga masa bakti DPR RI periode 2009 – 2014
telah berakhir, RUU tersebut belum sempat dibahas dan masih berstatus proses harmonisasi
di Baleg. Revisi UU Migas mendesak untuk dilakukan pasca putusan MK No 36/PUUX/2012 tanggal 13 November 2013, guna mengakhiri ketidakpastian tata kelola industri
migas –khususnya industri hulu, dan menciptakan iklim yang kondusif untuk pencapaian
target produksi migas nasional. Sebagaimana diketahui, Putusan MK No 36/PUU-X/2012
menyatakan beberapa materi muatan pasal UU Migas bertentangan dengan konstitusi

sehingga Tidak mengikat.
Putusan MK mengamanatkan perubahan yang cukup radikal dalam tata kelola industri hulu
migas nasional. Ada dua hal penting yang patut kita catat. Pertama adalah redefinisi konsep
penguasaan negara atas mineral minyak dan gas bumi dan yang kedua adalah pola hubungan
antara negara dengan kontraktor pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
2.1.1 Redefinisi Konsep Penguasaan Negara
Terkait redefinisi mengenai konsep penguasaan negara atas mineral, minyak dan gas bumi,
putusan MK ini tidak lain merupakan kelanjutan dari pergulatan bangsa Indonesia
mendefinisikan ulang dan mengaktualisasikan filosofi yang dirumuskan oleh para pendiri
negara kita dalam konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Konsep penguasaan oleh negara ini mengalami dinamika di
dalam penerapannya.
Terkait penguasaan atas mineral minyak dan gas bumi, kita kenal ada tiga konsep
penguasaan, yaitu:


Kuasa mineral (mineral right), penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam
wilayah suatu negara sebagai bagian integral dari kedaulatan wilayah;
 Kuasa pertambangan (mining right), wewenang dalam pengaturan dan pengawasan
pelaksanaan kegiatan pertambangan;

 Kuasa usaha pertambangan (economic right), wewenang untuk melakukan pengendalian
dan pengelolaan kegiatan pertambangan.
Implementasi ketiga konsep tersebut mengalami pergeseran, seiring dengan perubahan
pemaknaan filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ada kalanya satu konsep lebih berat ke
pihak negara, tetapi di lain waktu lebih berat ke pihak kontraktor. Pergeseran tersebut tampak
pada periodesasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam pengusahaan migas sejak zaman
kolonial.

1.1.2 Sejarah Kegiatan Pengusahaan Migas
Periode pertama adalah masa kolonialisme, kegiatan pengusahaan migas dimulai pada tahun
1883 saat ditemukannya cadangan minyak di Telaga Said. Mengingat Indonesia pada waktu
itu masih di bawah penjajahan Belanda, maka legalitas pengusahaan migas pun dilakukan
dengan penguasa jajahan pada waktu itu. Perusahaan minyak internasional yang melakukan
kegiatan ekplorasi dan eksploitasi migas memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah
Hindia Belanda dalam bentuk perjanjian konsesi. Di bawah perjanjian konsesi ini, praktis
semua konsep penguasaan tersebut di atas, yaitu mineral right, mining right dan economic
right berada di tangan perusahaan minyak asing pemegang konsesi, sementara pemerintah
Hindia Belanda hanya mendapatkan royalty. Konsensi terus berlangsung hingga Indonesia
merdeka.
Periode kedua yang ditandai dengan munculnya mosi Moh. Hassan pada 2 Agustus 1951

serta diundangkannya UU No 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. UU
tersebut meneguhkan kembali prinsip-prinsip dalam pengusahaan migas sebagaimana telah
digariskan
oleh
para
pendiri
negara
kita
di
dalam
konstitusi.
Pasal 2 UU No 44/Prp/1960 menyebutkan “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang
ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang
yang dikuasai oleh negara”. Ketentuan pasal ini menegaskan bahwa mineral right berada di
tangan negara, sesuai amanat konstitusi. Selanjutnya Pasal 6 (1) menyebutkan “Menteri
dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri
oleh
perusahaan
negara

yang
bersangkutan
selaku
pemegang
kuasa
pertambangan”.Ketentuan pasal tersebut dapat dimaknai mining right berada di tangan
perusahaan negara, sedangkan economic right diberikan kepada kontraktor dari perusahaan
negara.
Praktiknya tidak mudah untuk mengganti sistem kontrak konsesi yang berlaku, karena
kuatnya posisi tawar perusahaan-perusahaan minyak asing pada saat itu, baru pada tahun
1963 sistem kontrak konsesi dapat diganti dengan diberlakukannya Kontrak Karya dengan
PT Caltex Pacific Indonesia, PT Shell Indonesia dan PT Stanvac Indonesia. Dalam konsep
Kontrak Karya ini kontraktor tetap berwenang penuh atas kegiatan operasi migas, tidak ada
unsur pengawasan dan pengendalian oleh negara. Posisi negara hanya menerima pembagian
keuntungan dari hasil penjualan minyak saja. Melalui Kontrak Karya inipun bangsa Indonesia
baru berhasil mendapatkan mineral right saja, sedangkan mining right dan economic
rightmasih dikuasai oleh kontraktor asing.
Periode ketiga pada tahun 1966, merupakan fase bagi bangsa Indonesia menerapkan falsafah
penguasaan migas yang diamanatkan konstitusi, yaitu dengan ditandatanganinyaContract
Production Sharing dengan Independent Indonesia American Petroleum Company(IIAPCO)

pada bulan Agustus 1966. Dalam konsep Contract Production Sharing ini, perusahaan negara
memegang kendali dan pengawasan serta manajemen umum kegiatan hulu migas, sedangkan
kontraktor hanya mendapatkan bagi hasil saja. Dengan demikianmineral right dan mining
right dapat dikembalikan kepada bangsa Indonesia, sedangkaneconomic right diberikan

kepada

perusahaan

negara

dan

kontraktor

dari

perusahaan

negara.


Periode keempat ditandai dengan diundangkannya UU No 22 Tahun 2001, dimana ketentuan
Pasal 4 menyatakan:
1. Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang
terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh Negara
2. Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan
3. Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 23 menyatakan “Badan Pelaksana adalah suatu
badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak
dan Gas Bumi”. Melalui undang-undang ini terjadi pergeseran pemegang mining right dari
sebelumnya perusahaan negara kepada pemerintah, dan economic right diberikan kepada
SKK Migas dan kontraktor dari SKK Migas.
MK melengkapi upaya penafsiran atas konsep penguasaan migas oleh negara melalui Putusan
Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Dalam pertimbangan hukumnya, MK
menyatakan “Penguasaan negara harus dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan
oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)

dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat…. Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam
Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara
untuk melakukan kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah
yang akan melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha
Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap”.[iii] Pertimbangan hukum tersebut
mengandung makna bahwa mining right dan economic right sepenuhnya dipegang oleh
pemerintah.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengamanatkan dua perubahan. Pertama mengenai siapa
wakil negera dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta pengendalian dan
pengelolaan kegiatan industri hulu migas. Kedua bagaimana pola penunjukan pelaksana
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, atau yang sering disebut granting instrument.
Mengenai perubahan yang pertama, seperti disebut di atas MK menghendaki agar tindakan
pengaturan dan pengawasan serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu
migas, dilakukan langsung oleh pemerintah (eksekutif). Hal ini berarti UU Migas yang baru
nantinya harus mengukuhkan kedudukan SKK Migas sekarang ini sebagai bagian dari
Pemerintah (eksekutif). Selain itu, tugas dan wewenang SKK Migas harus diperluas tidak
hanya meliputi tindakan pengaturan dan pengawasan (mining right) tetapi juga tindakan
pengendalian dan pengelolaan (economic right).


1.1.3 Hubungan Kerja Karyawan SKK Migas
Salah satu aspek penting untuk diperhatikan dari dikukuhkannya SKK Migas sebagai bagian
dari pemerintah (eksekutif) adalah mengenai status hubungan kerja karyawan SKK Migas
yang sebelumnya merupakan karyawan BP MIGAS. Sebelum BP MIGAS dibubarkan
hubungan kerja antara karyawan dengan BP MIGAS diatur dalam Surat Keputusan
No.Kpts.75/BP00000/2003-S0 tertanggal 17 Oktober 2003, yang kemudian disempurnakan
dengan Surat Keputusan No. Kpts.51/BP00000/2004-S0 tentang Norma dan Syarat Kerja
(NSK) Pekerja BP MIGAS,tertanggal 22 Oktober 2004, yang kemudian digantikan dengan
Surat Keputusan No.KEP-0062/BP00000/2008/S0 tentang Norma dan Syarat Kerja (NSK)
Pekerja BP MIGAS, tertanggal 4 Desember 2008.
Materi dari Norma dan Syarat Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, pada pokoknya berisi syarat
kerja, tata tertib, hak dan kewajiban karyawan & BP MIGAS. Didalam Norma dan Syarat
Kerja (NSK) Pekerja BP MIGAS, Bab XV mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, huruf “D”
angka 2, diatur mengenai “PHK karena pembubaran BP MIGAS dan hak-hak karyawan
berupa Penghargaan Atas Pengabdian dan yang lainya. Kenyataanya pada saat BP MIGAS
dibubarkan hak-hak karyawan sampai saat ini belum dibayarkan.
Kondisi ini telah memicu kekhawatiran dan keprihatinan karyawan, apalagi saat ini santer
beredar kabar mengenai rencana pembubaran SKK MIGAS. Kekhawatiran karyawan menjadi
sangat beralasan ketika ternyata Kementrian Keuangan cq Ditjen Anggaran selalu menolak

persetujuan dana pesangon bagi karyawan dalam proses pengajuan anggaran SKK MIGAS.
Tepat jika kemudian karyawan membentuk wadah untuk memperjuangkan haknya melalui
pembentukan Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (SPSKKMIGAS). Kedepan apabila SKK Migas akan dibubarkan maka hal
utama yang harus di selesaikan adalah membayarkan hak karyawan berupa penghargaan atas
pengabdian dan hak yang lainya, sehingga apabila nantinya karyawan dipekerjakan kembali
dalam wadah/lembaga baru yang ditentukan oleh undang-undang, maka perhitungan masa
kerjanya dapat dimulai dari nol tahun.
Selanjutnya terkait perubahan kedua mengenai bagaimana pola penunjukan pelaksana
kegiatan eksplorasi dan eksploitas migas, kami kutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut: “… hubungan antara BP Migas (Negara – sekarang SKK Migas) dengan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah hubungan yang bersifat keperdataan yaitu
menempatkan posisi negara dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola
Migas dalam posisi yang sederajat. Dalam hal ini ketika kontrak telah ditandatangani,
negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat
regulasi bagi kepentingan rakyat yang bertentangan dengan isi KKS, sehingga negara
kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam yaitu kedaulatan untuk
mengatur Migas yang bertentangan dengan isi KKS. Padahal negara, sebagai representasi
rakyat dalam penguasaan sumber daya alam harus memiliki keleluasaan membuat aturan
yang membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah

hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat
dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang
bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah
kontrol dan kekuasaan Negara ”.

Intinya Mahkamah Konstitusi menghendaki agar nantinya penunjukan pelaksana kegiatan
eksplorasi dan eksploitas migas adalah didasarkan pada hukum publik dengan menggunakan
instrument konsesi atau perizinan. Hal ini adalah perubahan yang sangat radikal, karena
mengubah pola hubungan yang tadinya berada pada lapangan hukum privat menjadi berada
di lapangan hukum publik.
Perubahan tersebut boleh jadi tidak akan terlalu disukai oleh pelaku usaha kegiatan usaha
migas karena beberapa hal, yaitu:


Kedudukan pelaku usaha dan pemerintah tidak lagi setara sebagai pihak dalam perjanjian,
tetapi menjadi atas – bawah antara pemberi izin dan penerima izin.
 Dalam kedudukannya selaku pemberi izin pemerintah dapat melakukan intervensi lebih
luas dalam kegiatan operasi.
 Pelaku usaha tidak lagi dapat membukukan economic interest dari cadangan mingas yang
ada dan biaya operasi.

Investor selaku pelaku usaha kegiatan hulu migas tentunya mengharapkan adanya kebebasan
dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya dan dapat membukukan economic interest, selain
tentu saja mendapat keuntungan dari usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu tata kelola
industri yang hendak dikembangkan tentunya harus memperhatikan kepentingan semua pihak
secara berimbang. Artinya kepentingan pelaku usaha atau investor juga harus diperhatikan.
Hal ini tidak lain agar dengan tata kelola yang barus diharapkan tingkat produksi migas akan
meningkat,bukannya menurun.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan diatur secara jelas dalam granting
instrument yang akan digunakan, yaitu:


Siapa yang menyusun rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan
anggaran. Selama ini rencana tersebut disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui
oleh SKK Migas. Apakah nantinya SKK Migas yang menyusun dan kontraktor tinggal
melaksanakan? Apakah SKK Migas cukup memiliki sumber daya untuk itu?
 Bagaimana pembagian risiko dan tanggung jawab antara kontraktor dan SKK Migas,
dalam hal rencana pengembangan lapangan minyak serta rencana kerja dan anggaran
disusun SKK Migas, namun setelah dilaksanakan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan
yang diharapkan? Kondisi sekarang ini bawah konsep Kontrak Bagi Hasil, rencana
disusun oleh kontraktor untuk kemudian disetujui SKK Migas, dan risiko ada di tangan
kontraktor. Apakah nantinya SKK Migas yang akan membuat rencana? Apakah kontraktor
mau untuk menanggung risiko, atau Negara bersedia untuk berbagai risiko?
 Atas biaya siapa kegiatan operasi akan dilaksanakan? Kondisi saat ini sesuai dengan
konsep Kontrak Bagi Hasil kontraktor harus harus menyediakan dana terlebih dahulu
kemudian akan diganti dari minyak terproduksi. Apakah nantinya SKK Migas yang akan
menyediakan biaya? apakah pemerintah dapat menyisihkan dari anggaran Negara?
 Jika kontraktor harus menyediakan dana terlebih dahulu untuk kegiatan operasi,
bagaimana mekanisme penggantian biayanya? Saat ini kita sering mendengar pendapat
yang miring tentang praktek pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang diduga tidak
efisien dan tidak wajar. Jika nantinya kontraktor harus menyediakan dana terlebih dahulu,
bagaimana prosedur yang efisien untuk menekan kemungkinan penyalahgunaan?













Bagaimana mekanisme kompensasi yang diberikan kepada kontraktor? Mekanisme yang
berlaku saat ini adalah kontraktor menerima bagi hasil produksi setelah dikurangi biayabiaya. Jika nantinya granting instrument yang digunakan adalah perizinan atau konsesi
apakah kompensasi yang diterima kontraktor akan berbentuk pembagian keuntungan atau
fee saja? Apapun skema kompensasi yang disediakan harus lah kompetitif agar bisa
menarik investor untuk melakukan usaha di sektor hulu migas.
Bagaimana mekanisme perpajakan yang akan diterapkan? Saat ini kontraktor bisa memilih
untuk menggunakan regime pajak yang berlaku saat transaksi atau saat kontrak
ditandatangani. Apakah nanti pilihan tersebut dihilangkan dan kontraktor harus tunduk
pada regime pajak yang berlaku? Perlu dicatat agar hendaknya disusun mekanisme
perpajakan yang bisa menjadi insentif bagi para investor agar tertarik untuk melakukan
usaha di sektor hulu migas.
Siapa yang harus menyediakan peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam kegiatan
operasi? Saat ini sesuai dengan prinsip Kontrak Bagi Hasil, kontraktor membeli perlatan
yang diperlukan dan biayanya dimasukan sebagai biaya operasi, kemudian peralatan
tersebut menjadi milik Negara. Nantinya apakah kontraktor yang harus membawa
peralatan dan fasilitasnya sendiri? Investasi kontraktor ini tentu harus diperhitungkan.
Bagaimana izin-izin yang diperlukan dalam kegiatan operasi akan diberikan? Selama ini
izin-izin, seperti izin lokasi, izin pinjam pakai kawasan hutan, dan izin lingkungan harus
diurus sendiri oleh kontraktor dan sering menjadi kendala dalam kegiatan operasi. Apakah
nantinya izin-izin ini dapat diberikan sekaligus dan menyatu dengan konsesi yang akan
diberikan kepada kontraktor?
Bagaimana mengokomodasi aspirasi dari daerah penghasil untuk dapat berpartisipasi
dalam kegiatan hulu migas? Berdasarkan ketentuan UU Migas saat ini daerah penghasil
dapat memiliki partisipasi sebagai pengelola suatu blok migas. Apakah nantinya daerah
juga dapat memiliki interest dalam perusahaan kontraktor yang mendapatkan konsesi dari
Negara?
Bagaimana mekanisme penyelesaian jika muncul sengketa antara kontraktor dan SKK
Migas? Saat ini mekanisme penyeelsaian sengketa yang dipakai adalah melalui arbitrase.
Nantinya, mengingat kedudukan kontraktor dan SKK Migas bukanlah sebagai para pihak
dalam kontrak, apakah bisa menggunakan mekanisme arbitrase? Jika mekanisme yang
digunakan adalah melalui lembaga peradilan, apakah akan ada resistensi dari kontraktor?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas harus dijawab dan diatur dengan pasti dalam suatu
kebijakan baik dalam bentuk peraturan maupun konsesi yang diberikan. Kebijakan tersebut
harus disusun sedemikian rupa sehingga secara komersil masih cukup menarik bagi investor
dan mengatasi potensi sentiment negative dari munculnya tata kelola yang baru ini.
Bagaimana pun juga tata kelola dan pola hubungan antara negara dan kontraktor pada
akhirnya adalah berpulang pada keputusan politik pemerintah, dan yang tetap menjadi
perhatian investor adalah faktor keekonomian skema yang ditawarkan.
1.2 Sejarah Production Sharing Contract
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak
karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi
momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan
Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina.

Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa
seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin.
Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak
dibagikan bukan lagi membayar royalty.
Penemuan lapangan-lapangan minyak semakin sulit dan gas di Indonesia ini membuat
pengelolaan migas dengan PSC (Production Sharing Contract) ini harus selalu
dikembangkan.
Sistem bagi hasil ini sebenarnya sudah dikenalkan pada tahun 1951, namun sistem PSC
modern memang dimulai pada tahun 1966 setelah 2 tahun negosiasi antara PERMINA
dengan IIAPCO untuk WK ONWJ. Disebut sebagai PSC modern karena pokok-pokok
kontrak tersebut hingga saat ini masih dipakai.
Sedangkan kalau dilihat perkembangann PSC dengan digabungkan UU-nya maka:
PSC Generasi pertama (1960 – 1976):







Produksi minyakd an gas bumi setiap tahun dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
o 40% pertama disebut sebagai cost oil yang dialokasikan untuk pengembalian
biaya eksplorasi dan eksploitasi. (Ceiling Cost Recovery)
o 60% sisanya disebut sebagai profit oil atau equity oil yang dibagi:
 65% untuk PERMINA dan 35% untuk Kontraktor untuk produksi 75 ribu
BOPD
 67.5% % Pertamina, 32 % % Kontraktor untuk produksi antara 75.000 sid
200.000 per hari:
 70 % Pertamina, 30 % Kontraktor untuk produksi di atas 200.000 barrel per
hari.
Jangka Waktu eksplorasi selama 6 Tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali (masingmasing 2 tahun)
Pajak Sebesar 56% dan tidak dibedakan antara pajak coorporate dan dividen.
Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari
pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.
DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.

PSC Generasi kedua (1976 – 1988):
Dalam usahanya pemerintah meningkatkan keuntungan, pemerintah berusaha untuk
mengganti model yang sebelumnya memberikan dua level bagi hasil dihapuskan dan menjadi
satu bagi hasil sebesar 85:15 (70:30 untuk gas) bagi Pertamina. Perkecualian untuk Rokan
PSC di mana bagi hasilnya 88:12 untuk Pertamina.
Penerimaan Negara dibagi dalam dua kelompok yaitu:





Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam peraturan
perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian
Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk bagian
produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik kuasa atas sumber daya
minyak dan gas bumi, kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari produksi
yang diterimanya untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iura pembanguna daerah
(PBB), bonus, dan lain-lain.
Pajak sebesar 56% yang terdiri dari 45% pajak Coorporate dan 11% pajak Dividen.










Limit cost recovery yang sebelumnya 40% dihapuskan, sehingga Kontraktor dapat
mendapatkan kembali maksimum 100% dari revenue untuk penggantian biaya dan
didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).
Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi
antara Pertamina dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak)
31.82% : 68.18% (gas). Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56%
(terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian
pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).
Pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share)
diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85%
(minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).
Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari
pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi. dan diberikan DMO Holiday selama 5
tahun.
DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.
Jangka Waktu Eksplorasi selama 6 Tahun, dan tidak dapat diperpanjang (dalam
beberapa kontrak dapat diperpanjang satu kali selama 2 tahun).
Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari
pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor

PSC Generasi ketiga (1988 – 1993):
Pada tahun 1988 dan 1989, fiscal term yang telah direvisi tersebut diperkenalkan sebagai
model PSC baru. Perubahan penting dalam model PSC tersebut adalah diberlakukannya FTP,
kenaikan besaran DMO fee, dan perbaikan terms untuk proyek-proyek marginal, frontier,
deepwater dan reservoir pre-tersier . Pada tahun 1988 Pertamina memperkenalkan
beberapa terms and condition yang berbeda untuk kontrak area baru dan perpanjangan.
Kontrak area baru dibagi menjadi 2 kategori yaitu konvensional dan frontier . Komersialitas
dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 25% dari pendapatan kotor dan
ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.
PSC Generasi keempat (1994 – 2001):










Titik acuan PP Nomor 35 Tahun 1994
Dana ASR
Besaran pajak berubah dari 48% menjadi 44% yang terdiri dari 30% dan pajak
dividen sebesar 14%.
Standar investment credit untuk keperluan cost recovery turun dari 17% menjadi
15.78%.
Skema bagi hasil sebelum pajak juga berubah menjadi 73.22%:26.78%.
DMO sebesar 25% dari milik kontraktor (15% dari harga export setelah 5 tahun
pertama produksi)
Jangka Waktu Esplorasi selama 6 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali selama 4
tahun
Komersialitas tidak diberi batasan minimum pendapatan pemerintah.
Sebelum melakukan kegiatannya Kontraktor diwajibakan melakukanenvironmental
base line study.

 Perubahan ke satu : Pada tahun 1997, Pertamina merubah beberapa pokok terms &
condition dalam rangka meningkatkan kegiatan eksplorasi. Pokok-pokok tersebut

adalah: Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen
finansial maka dalam PSC generasi ini komitmen berubah menjadi komitmen
Finansial dan Kegiatan. Namun pelaksanaannya masih dihitung secara finansial.
Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen finansial
tanpa ada pembagian jenis komitmen maka dalam PSC generasi ini berubah menjadi
untuk 3(tiga) tahun atau 2 (dua) tahun pertama disebut sebagai komitmen pasti.
Apabila gagal memenuhi komitmen pasti dan kontraktor mengembalikan wilayah
kerja tersebut maka kontraktor wajib membayar kekurangan pelaksanaan komitmen
pasti tersebut.
 Perubahan kedua : Pada tahun 1998, besaran harga DMO berubah dari 15% menjadi
25% harga ekspor
 Perubahan ketiga : Pada tahun 1999, mulai diperkenalkan istilah performance
deficiency notice.
PSC Generasi kelima: 2001-2007:
Perubahan dari finansial komitmen menjadi work program Komitmen.
PSC Generasi Keenam: 2008-skrg:
POD Basis, dana ASR dalam escrow account, LCCA, Subsequent Petroleum Discovery,
persyaratan perpanjangan jangka waktu eksplorasi dipertegas, penurunan pajak penghasilan
mengikuti UU No.36 Tahun 2008
 Perubahan pertama-2009 : untuk WK GMB diperkenalkan Handling production
sebelum POD
 Perubahan Pengelolaan Migas Pasca Reformasi
Setelah Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998, perubahan pengelolaan migas
berubah menjadi sangat berbeda.
Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana yang menjadi dasar pertimbangan
diundangkannya Undang-Undang tersebut adalah sudah tidak sesuainya lagi UU No. 44
Prp. Tahun 1960 dengan perkembangan usaha pertambangan migas baik dalam taraf
nasional maupun internasional. UU 22/2001 ini terutama merubah sisi downstream atau
hilir menjadi terbuka utk perusahaan asing dari luar negeri. Perubahan yang terjadi pada
UU Migas 22/2001 ini dapat disarikan terlihat dibawah ini.

Yang paling utama dalam pembaharuan pengelolaan migas ini adalah pengalihan
pengelolaan migas dalam Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara PERTAMINA
kepada pemerintah.

Salah satu hal utama sebagai konsekuensi pengesahan UU 22/2001 ini adalah perlu
dibentuknya adanya Badan Pelaksana (dibentuk BPMIGAS) dan Badan Pengatur
(dibentuk BPHMIGAS) serta perubahan bentuk PERTAMINA menjadi persero.
PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa
pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang
diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA
juga mendandatangani KKKS dengan MIGAS pada tanggal 17 September 2005.
Dalam hal produksi nasional, BPMIGAS menjadi badan negara yang mengelola produksi
atas bagihasil di lapangan-lapangan yang dikelola oleh kontraktor (KKKS).

1.2 PENDAPAT BAPAK FAISAL BASRI MENGENAI TATA KELOLA MIGAS
INDONESIA
1.2.1 Beberapa Kutipan Penyataan Faisal Basri Mengenai Mafia Migas Di indonesia
TEMPO.CO , Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi,
Faisal Basri, menargetkan timnya memberikan rekomendasi yang tepat bagi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memberantas praktek mafia Migas dalam enam
bulan ke depan. "Jangan sampai setelah enam bulan bekerja, sektor Migas masih dinikmati
kelompok tertentu," kata dia. Menurut Faisal, salah satu target timnya adalah rekomendasi
penguatan sektor industri berbasis Migas. Dia mencontohkan, jika pemerintah bisa
memproduksi kondensat dan meningkatkan olahan produk petrokimia, maka biaya impor
plastik dan bahan kimia organik bisa ditekan. Faisal menambahkan, selama ini mafia Migas
bisa beroperasi karena banyak proses tender dan transaksi dalam industri ini yang tidak
transparan. Selain itu, mafia Migas, memburu keuntungan dari skema insentif dan celah
kebijakan. Oleh karena itu, kata Faisal, memberantas mafia Migas dilakukan dengan cara
membangun institusi ekonomi yang kuat. Jika institusi ekonomi di bidang migas inklusif
maka kelompok-kelompok yang ingin mengambil keuntungan bisa diminimalisir.
Pada Ahad, 16 November 2014, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said,
mengangkat Faisal Basri sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi.
Ada empat ruang lingkup tim ini selama bertugas, yakni mereview seluruh proses perizinan
dari hulu ke hilir, menata ulang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan minyak dan
gas, mempercepat revisi undang-undang Migas, dan merevisi proses bisnis untuk mencegah
adanya pemburu rente.
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi
Faisal Basri memaparkan beberapa poin mengenai mafia pada sektor minyak dan gas
(migas). Menurut Faisal, selama ini mafia migas bisa beroperasi karena banyak proses yang
tidak transparan. "Salah satunya dalam hal jual-beli dan pengadaan komoditas migas yang
tidak transparan," katanya di Hotel Le Meridien, Senin, 17 November 2014. Faisal
mengatakan mafia migas juga bersumber dari beberapa kebijakan dan aturan yang longgar
serta adanya skema insentif yang terstruktur dalam bisnis ini. Karena itu, Faisal mengatakan
cara untuk memberantas mafia migas adalah membangun institusi ekonomi yang kuat. "Jika
institusi ekonomi di bidang migas inklusif (terbuka), kelompok-kelompok yang ingin
mengambil alih keuntungan bisa diminimalkan," ujarnya. Pada Ahad, 16 November 2014,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengangkat Faisal Basri sebagai
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Ada empat ruang lingkup tim ini
selama bertugas, yakni me-reviewseluruh proses perizinan dari hulu ke hilir, menata ulang
kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas, mempercepat revisi UndangUndang Migas, dan merevisi proses bisnis untuk mencegah adanya pemburu rente dalam
setiap rantai nilai industri migas.

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri tengah
menyusun anggota timnya yang akan melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan pada
sektor minyak dan gas bumi. Faisal, antara lain, akan melibatkan personel Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). "UKP4 sudah punya
aksi pencegahan dan pemberantasan mafia migas. Rencana aksi, penanggung jawab, instansi
terkait, kriteria keberhasilan, kami ajak saja masuk ke dalam," kata Faisal ketika
ditemui Tempo di Jakarta, Rabu, 19 November 2014. Pegiat antikorupsi, Teten Masduki,
rencananya diajak bergabung dalam tim ini. Faisal juga berencana merekrut pengamat
minyak dan gas, Pri Agung Rahmanto, perwakilan masyarakat sipil dari Extractive Industries
Transparency Initiative, dan akademikus Universitas Gadjah Mada. "Ada yang berfungsi
sebagai board, kemudian ada kelompok-kelompok kerjanya, hulu, hilir, dan lain-lain," kata
Faisal. Tim Reformasi Tata Kelola Migas ditugasi untuk meninjau seluruh proses perizinan di
sektor migas, dari hulu ke hilir. Selain itu, menyusun rekomendasi penataan ulang
kelembagaan yang mengelola sektor migas, mempercepat revisi Undang-Undang Minyak dan
Gas Bumi, dan merevisi proses bisnis untuk menutup ruang gerak pemburu rente. Tim ini
akan bekerja selama enam bulan setelah mendapat penugasan sejak November 2014.
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi
Faisal Basri menyatakan modus operandi mafia migas mengalami pergeseran. Dalam
wawancara dengan Tempo, ia mengungkapkan setidaknya ada tiga modus baru mafia ini.
Pertama, terjadi pergeseran fokus. Bila awalnya hanya berfokus pada penyelewengan di
sektor hulu migas, sekarang para pemain dalam industri ini memilih modus bisnis di sisi hilir.
"Sekarang modus bisnis mafia makin ke hilir karena menjanjikan sekali," kata Faisal dalam
wawancara denganTempo di Jakarta, Rabu, 19 November 2014. Menurut Faisal, modus
operandi mafia pada sepuluh tahun silam masih berkutat pada sektor hulu. Sebab, saat itu
Indonesia masih sebagai negara pengekspor minyak dengan konsumsi yang masih lebih
rendah dibandingkan produksi, yakni 390 ribu barel per hari banding 1,6 juta barel per hari.
Sekarang Indonesia dominan melakukan kegiatan impor minyak mentah maupun produk
bahan bakar minyak. Dengan produksi hanya sekitar 741 ribu barel per hari, konsumsi justru
melonjak dua kali lipat mencapai 1,6 juta barel per hari. "Ada selisih 741 ribu barel per hari,
dikalikan US$ 5 per barel saja sudah US$ 3,5 juta per hari, lebih menguntungkan," ujarnya.
Namun pemberantasan di sisi ini, menurut dia, cenderung lebih mudah. Selama ini kegiatan
importasi minyak oleh PT Pertamina dilakukan oleh Petral, anak usaha yang berbasis di
Singapura. Tim, menurut dia, bisa merekomendasikan pembenahan mekanisme jual-beli
minyak pada institusi tersebut. "Kami tidak prejudice. Kalau Petral ada gunanya, kenapa
harus dibubarkan? Masalahnya hanya memperbaiki mekanisme agar lebih transparan dan
akuntabel," ujar Faisal.

1.2.2 Pro Kontra Tim Reformasi Tata Kelola Migas
Kotra tentang tim reformasi tata kelola migas
Tersaji dalam seminar yang di adakan di UP 45 Yogyakarta yang dimuat dalam berita berikut
ini :
TEMPO.CO, Yogyakarta - Diskusi tentang Tata Kelola Migas Indonesia di Universitas
Proklamasi 45 mempertemukan dua kubu yang selama ini saling tuding mengenai isu mafia
di tubuh anak usaha Pertamina, Petral. Seminar itu dihadiri Ketua Tim Reformasi Tata Kelola
Migas Faisal Basri, Humas Pertamina Ali Mudzakir, dan Head of Finance, Risk, and General
Affairs PT Pertamina Energy Trading (Petral) Simson Panjaitan.
Rektor Universitas Proklamasi 45, Dawam Rahardjo, mengatakan sebenarnya seminar itu
rencananya dihadiri juga oleh Presiden Direktur PT Petral Bambang Irianto. Bambang sudah
datang di Yogyakarta. "Tapi tadi pagi, dia mendadak harus ke Jakarta karena dipanggil
pimpinan PT Pertamina," kata Dawam, Selasa, 2 Desember 2014. Cendekiawan sepuh itu
menjelaskan seminar tersebut sengaja mempertemukan beragam pihak yang saat ini terlibat
langsung dalam pengelolaan sektor migas. Dawam mengaku awalnya gembira ketika ada
orang baru seperti Faisal Basri yang menempati posisi di lembaga reformasi tata kelola
migas. Dawam menyayangkan ternyata lembaga tersebut hanya bertugas memberikan
rekomendasi perbaikan tata kelola sektor migas. "Saya kira itu lembaga superbody, ternyata
bukan," kata dia. Faisal membenarkan pernyataan Dawam. Begitu mendapatkan kesempatan
berbicara, Faisal langsung tancap gas. "Tugas kami membangun pagar agar kebun migas kita
tidak dijarah mafia pemburu rente," kata dia. Faisal menuding pemerintahan SBY sebagai
biang kebangkrutan sektor migas nasional. Menurut Faisal, sebelum SBY jadi presiden,
sektor migas masih memberikan surplus US$ 300 juta. Di tahun pertama SBY, sektor ini
justru defisit hingga sekarang. Faisal menjelaskan sumber utama defisit berasal dari impor
minyak yang besar. Indonesia hanya memproduksi 700-an ribu barel per hari, tapi
mengkonsumsi 1,4 juta barel per hari. Celah kebutuhan yang dipenuhi oleh impor sebanyak
741 ribu barel per hari. Sayangnya, menurut Faisal, rantai perdagangan impor minyak
diganggu jaringan mafia yang berkolaborasi dengan PT Petral. Faisal mengaku menerima
banyak laporan dari orang dalam di Pertamina dan Petral. "Ada calonya, mereka
dapat fee US$ 80 ribu untuk setiap transaksi pengapalan minyak impor," kata Faisal. Faisal
juga mempertanyakan aktivitas bisnis Petral yang berlokasi di Singapura. Faisal mengatakan
akibat aktivitas bisnis itu, pajak besar dari perdagangan impor minyak ke Indonesia justru
dinikmati Singapura. Fakta ini, menurut dia, ironis karena Indonesia saat ini merupakan
pengimpor bensin Premium, Pertamax, dan solar terbesar di dunia. "Buat apa (ada Petral),
kalau hanya beri untung sedikit ke negara," ujarnya.
Mendengar ucapan Faisal, Simson Panjaitan dari Petral tak mau kalah. Simson mengatakan
tudingan adanya mafia migas di Petral tidak benar. "Kami selalu transparan, tapi sering
dijadikan kambing hitam," kata Simson.

Begitu Simson naik podium, Faisal berjingkat dari kursinya. Dia beralih duduk di kursi
peserta bagian depan agar bisa melihat materi presentasi Simson di layar LCD. Simson
beralasan Singapura menjadi lokasi bisnis Petral karena negara ini menjadi basis bisnis
banyak perusahaan minyak besar, baik swasta asing maupun milik negara lain. Di sana, Petral
bisa mendapatkan kebutuhan layanan bisnis dan jaminan hukum yang lebih memadai. "Kami
wajib bayar pajak 5 persen dari omzet, itu nilai terkecil hanya 30-an perusahaan minyak yang
dapat hak itu," kata dia.Tudingan Faisal soal fee bagi calo perdagangan minyak impor untuk
Petral juga dibantah Simson. Menurut Simson, setiap aktivitas pengapalan minyak hanya
bernilai US$ 300 ribu. "Isu itu sulit dibuktikan, tak sesuai dengan business nature," kata dia.
Sebelum meninggalkan lokasi seminar, Faisal kembali membantah pembelaan wakil Petral.
Dia mengaku isu fee untuk calo ada buktinya di data keputusan pengadilan di Singapura. Soal
tarif pajak di Singapura, "Nilainya 2,5 juta dolar AS per hari," kata Faisal.
Pro dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas
Dari sekian pendapat yang dikemukakan banyak yang mengatakan dukungan tentang
reformasi tata kelola migas, masayarakat sangat mendukung karena mafia migas sangat
merugikan bangsa Indonesia. Begitupun PT. Pertamina (persero) yang mendukung roformasi
ini karena merasa selalu di kambing hitamkan dalam urusan mengenai kelangkaan dan harga
dari BBm di Indonesia, berikut penyataan dari PT. Pertamina (persero).

Kabar24.com, YOGYAKARTA - PT Pertamina (Persero) mendukung Tim Reformasi Tata
Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri untuk segera membuktikan ada atau tidaknya mafia
migas di perusahaan itu. "Silakan saja dibuktikan, kalau ada, saya minta segera diproses
hukum. Jangan institusinya (yang dilibatkan), tapi oknum-oknumnya," kata Vice President
Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir di Kampus Universitas Proklamasi
Yogyakarta,
Selasa.
Pihaknya menginginkan agar reformasi migas inisiatif pemerintah itu dapat segera terlaksana.
Sehingga, berbagai tudingan mengenai keberadaan mafia migas di lingkup Pertamina dapat
segera terjawab. "Kami tunggu realisasinya seperti apa nanti. Kami lelah jadi 'kambing hitam'
terus," kata dia. Menurut Ali, Pertamina mendukung penuh upaya pemberantasan mafia
migas melalui Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk pemerintah. Sehingga,
apapun data atau keperluan lain yang akan diminta oleh tim itu, akan segera difasilitasi.
"Jangankan tim bentukan pemerintah, LSM pun selama bisa dipertanggungjawabkan, kami
kasih (data)," kata dia. Dalam rangka transparansi perusahaan, ia menegaskan hingga kini
Pertamina rutin melaporkan kepada Bank Indonesia (BI) dan Direktorat Jenderal Migas
mengenai data impor maupun ekspor minyak. Baik mengenai asal minyak yang diimpor,
jenis minyak, maupun nilai impor maupun ekspor. "Bahkan, sebelum Pertamina menjadi
perusahaan terbuka, kami sudah melakukan 'best practice' seperti perusahaan terbuka
(menyajikan
transparansi
bisnis),"
katanya.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin ekonom Faisal Basri dibentuk oleh
Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN untuk meninjau kebijakan pemerintah di

sektor energi dari hulu sampai hilir, serta mengkaji ulang keberadaan SKK Migas dan BP
Migas.
Polemik mengenai peran, kinerja, proses bisnis, Pertamina Energy Trading Limited (Petral)
saat ini menjadi salah satu fokus kajian tim itu. (Antara)

1.3 Hubungan dengan kegiatan Pengeboran
Hubungan tata kelola migas indonesia denagan kegiantan hulu migas adalah pengaturan
tentang tenaga kerjanya. 97 % tenaga kerja hulu migas ternyata orang indonesia.
(kompas.com)
Industri hulu migas kerap dianggap disominasi oleh pekerja asing karena sebagian
perusahaan asing menjadi kontraktor kontrak kerja sama pada proyek hulu migas. Industri
hulu migas bekerja berdasarkan kontrak bagi hasil atau PSC. Menurut kontrak ini, pemilik
usaha hulu migas adalah negara. Sementara itu perusahaan nasional maupun asing bertindak
sebagai kontraktor yang mengoperasikan proyek negara itu. Penggunaan tenaga kerja harus
mengutamakan prinsip-prinsip efektifitas dan efisien serta mengutamakan TKI. SKK migas
mnggunakan aturan ketat tentang penggunaan TKA oleh kontraktor KKS.
Sejak 2008 sampai saat ini, penggunaan TKI dapat di pertahankan pada kisaran 96% dari
total tenaga kerja permanen. Kebijakan ini merupakan bukti berpihakny industri hulu migas
terhadap tenaga kerja nasional.

II. Pembahasan
2.1 Pendapat Mengenai Tata Kelola Migas di Indonesa
Tata kelola migas di indonesia untuk saat ini cukup baik bila melihat tentang model kerja
samanya yaitu PSC ( production sharing contract ) karena dari keseluruhan isi tentang
kontrak tersebut sangat menguntukkan untuk pihak indonesia tetapi bila kontrak tersebut
dikelola dengan baik dan benar oleh semua pihak yang berhubungan dengan kontrak tersebut.
PSC kurang lebih berbunyi seperti berikut ini :
perusahaan migas internasional hanya menjadi kontraktor dan berhak mendapat sebagian
produksi. Karakteristik PSC meliputi, perusahaan migas ditunjuk oleh pemerintah sebagai
kontraktor pada wilayah kerja tertentu. Kontraktor menanggung semua resiko dan biaya
eksplorasi, pengembangan dan produksi. Apabila eksplorasi menemukan migas yang
komersial kontraktor diberi kesempatan untuk memperoleh pengembalian biaya (cost
recovery) dari hasil produksi. Kontraktor juga memperoleh bagian dari produksi setelah
dikurangi cost recovery yang disebut profit share atau dikenal juga dengan istilah profit split.
Kontraktor selanjutnya diwajibkan bayar pajak penghasilan dan pajak lainnya. Semua
peralatan milik negara
Tata kelola migas di indonesia banyak di pengaruhi oleh banyak pihak lain yang tidak
berkepentingan, sehingga dapat merongrong keberadaan perusahaan minyak milik negara.
Transparansi semua pihak baik itu kontraktor, pemerintah, dan regulator haruslah lebih di
tingkatkan. Karena banyak terjadi praktik mafia migas di indonesia pada posisi tersebut.
Transparansi harus dilakukan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat indonesia
terhadap industri migas di indonesia, karena kepercayaan tentang industri migas di indonesia
sangatlah berkurang.
Pertamina sebagai perusahaan migas milik negara haruslah di beri kewenangan lebih
mengenai pengelolaan industri migas di indonesia. Di Indonesia keterlibatan pemerintah
dalam industri migas baik eksplorasi dan produksi jelas hanya dapat dilakukan oleh PT.
Pertamina. Pertamina di indonesia adalah sebagai NOC yang memiliki kewenangan untuk
berkontribusi dalam kegiatan migas nasional. Tetapi permasalahanny pertamina sejauh ini
kurang berkontribusi terhadap produksi migas nasional beda dengan NOC negara lain. Itu
semua dapat dilihat karena migas di indonesia lebih banyak di kelola oleh perusahaan asing.
Pengelolaan lapangan oleh kontraktor asing akan menguntungkan negara bila dilakukan
dengan baik, model kontak kerja sama yaitu PSC. Tetapi semua itu pasti tidak dilakukan
dengan baik sehingga keuntungan tidak di nikmati oleh negara sendiri, semua hal tersebut
terjadi karena banyak praktik mafia migas di dalamnya yang sangat merugikan bagi negara
dalam hal ini Pertamina yang selalu di kambing hitamkan oleh masyarakat indonesia
sebagian besar.
Selain itu Pemerintah terkesan sudah nyaman dengan menikmati posisi sebagai penerima
hasil saja tanpa melakukan pencarian sendiri, dari hasil kontraktor yang mewajibkan bagi

hasil dan pajak dari kontraktor tanpa mau melakukan investasi besar-besaran di sektor migas.
Di titik inilan bagaimana perusahaan migas milik negara tidak dapat bergerak karena
pemerintah tidak mau berinvestasi besar-besaran ke dalam industri migas. Jika pemerintah
mau berinvestasi lebih untuk industri migas makan akan terwujud kemakmuran rakyak
indonesia menikmati hasil alamnya sendiri.
Kesimpulan dari keseluruhan pendapat saya di atas adalah semua tata kelola migas akan
berjalan dengan baik jika dilakukan dengan transparan, jujur dan tidak ada praktik mafia
migas di dalamnya, walaupun lapangan tersebut di kerjakan oleh pihak asing. Tetapi akan
lebih baik lagi jika lapangan migas yang ada di Indonesia di kelola dan dikembangkan oleh
SDM indonesia dan hasil yang di peroleh di nikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia,
sehingga terbentuklah kemakmuran rakyat yang di rindukan selama ini.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/18/090622650/Basmi-Mafia-Migas-Target-Faisal-BasriEnam-Bulan
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/090622530/Cara-Faisal-Basri-Berantas-Mafia-Migas
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/20/090623180/Bersih-bersih-Sektor-Migas-Faisal-AjakTeten
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/02/092625916/p-Isi-Seminar-Faisal-Basri-dan-PetralBersahutan-Soal-Mafia-Migas
http://rovicky.wordpress.com/2012/11/16/perkembangan-tata-kelola-migas-di-indonesia-19002012/
Daniel Johnston, International Petroleum Fiscal System and Production Sharing Contract,
PennWell Corporation, Tulsa, 2008.