EKSPERIMEN FISIKA I FPMIPA UPI Menentuka

LAPORAN PRAKTIKUM EKSPERIMEN FISIKA I
KECEPATAN CAHAYA DI UDARA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Eksperimen Fisika I
Dosen Pengampu : Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si

Oleh :
Rahayu Dwi Harnum (1305957)

PELAKSANAAN PERCOBAAN :
Hari/Tgl/Jam

: Rabu / 4 November 2015 / 09.30 – 12.00 WIB

Teman Sekelompok : Gisela Adelita
Rizki Fahmi Sumaryono

(1305667)
(1307210)

LABORATORIUM FISIKA LANJUT

PROGRAM STUDI FISIKA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015

A. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan Kecepatan Cahaya di Udara

B. ALAT DAN BAHAN
1. Power Suply
2. Osiloskop
3. Receiver
4. Emitter Laser
5. Cermin
6. Penggaris
7. Kabel Penghubung

C. DASAR TEORI
Usaha pertama untuk mengukur laju cahaya dilakukan oleh Galieo. Ia dan

seorang kawannya berdiri pada puncak bukit dengan jarak yang ditentukan
dengam masing-masing memegang sebuah lentera dan penutupnya. Galileo
mengukur waktu yang dibutuhkan oleh cahaya untuk bergerak bolak-balik
antara mereka berdua. Mula-mula temannya membuka penutup lenteranya dan
ketika yang lain melihat cahaya, maka ia akan membuka penutup lenteranya
juga. Waktu orang pertama untuk melihat kembali cahaya dari yang lain setelah
ia membuka lenteranya akan menjadi waktu yang dibutuhkan cahaya. Percobaan
ini memang masuk akal, namun gagal karena kecepatan cahaya terlalu besar
sehingga jarak waktu yang akan diukur sangat kecil dibandingkan fluktuasi
dalam waktu tanggapan manusia.
Indikasi pertama dalam pengukuran besaran yang benar akan laju cahaya
datang dari pengamatan astronomis dari mengukur waktu antara dua gerhana
periode satelit Jupiter Io. Periode gerhana kira-kira 42.5 jam, tetapi pengukuran
yang dibuat ketika bumi mendekati jupiter sepanjang lintasan ABC memberikan
nilai yang lebih besar pada periode ini dibandingkan dengan pengukuranpengukuran yang dibuat ketika bumi mendekati jupiter sepanjang lintasan CDA.
Karen

pengukuran

hanya


berselisih

15

sekon

dari

nilai

rata-rata,

ketidakcocokannya sulit diukur secara akurat. Pada tahun 1675, astronomi Ole
Romer menghubungkan ketidakcocokan ini dengan fakta bahwa laju cahaya tak
terbatas. Selama 42.5 jam antara dua gerhana dari satelit jupiter, jarak antara
bumi dan jupiter berubah yang membuat lintasan bagi cahaya memanjang
maupun memendek. Romer merancang metode untuk mengukur efek kumulatif
dari ketidakcocokan-ketidakcocokan ini. Karena jupiter bergerak jauh lebih
lambat dibandingkan bumi, kita dapat mengabaikan gerakannya. Ketika bumi

dititik A, terdekat ke Jupiter jarak antara bumi dan jupiter sedikit berubah.
Periode gerhana Io diukur, memberikan waktu antara dua permulaan gerhanagerhana sesudahnya. Berdasarkan pengukuran ini, banyaknya gerhana dalam 6
bulan dihitung, dan waktu saat sebuah gerhana harus mulai setengah tahun
berikutnya ketika bumi di titik C diprediksikan. Saat bumi benar-benar berada
di C, permulaan gerhana yang diamati kira-kira 16.6 menit lebih lambat dari
yang diprediksikan. Inilah saat yang diperlukan bagi cahaya untuk memulai
sebuah jarak yang sama dengan diameter orbit bumi.

B

A

JUPITER
Io

C
MATAHARI

D


Pengukuran cahaya secara non astronomis mula-mula dilakukan oleh
fisikawan Perancis, Fizeau pada tahun 1849. Diatas sebuah bukit di Paris , ia
menempatkan sebuah sumber cahaya

dan sebuah sistem lensa yang diatur

sedemikian rupa sehingga cahaya yang direfleksikan dari sebuah cermin
semitransparan difokuskan pada sebuah celah didalam sebuah roda gigi. Diatas
sebuah bukit yang tingginya kira-kira 8.63 m dari bukit pertama, ia
menempatkan sebuah cermin untuk memantulkan kembali cahaya agar dapat
dilihat oleh pengamat. Roda bergerigi tersebut diputar, lalu laju putaran diubah-

ubah. Pad laju putar yang rendah, tidak ada cahaya yang dapat dilihat karena
cahaya yang dipantulkan terhalang oleh energi roda yang berputar tersebut.
Kemudian laju putaran diperbesar, tiba-tiba cahaya dapat dilihat ketika laju
putaran sedemikian rupa sehingga cahaya yang dipantulkan melewati celah
berikutnya dalam roda tersebut.
Metode yang digunakan oleh Fizeau diperbaiki oleh Foucault, yang
menggantikan roda begerigi dengan sebuah cermin putar bersisi delapan.
Cahaya mengenai satu muka cermin tetap ke muka lain dari cermin putar lalu

ke teleskop pengamat. Saat cermin berputar seperdelapan bagian atau n/8
putaran dengan n bilangan bulat, muka lain dari cermin tersebut berada pada
posisi yang tepat bagi cahaya yang dipantulkan untuk memasuki telskop.
Tahun1850, Foucault mengukur laju cahaya di udara dan di air, kemudian
mennjukan bahwa laju cahaya di air lebih kecil daripada laju cahaya di udara.
Memakai metode yang sama, fisikawan Amerika A.A Michelson membuat
pengukuran yang tepat akan laju cahaya dari tahun 1880 – 1930.

Sumber
Cahaya

Kaca
berputar
Cermin pada
posisi tetap

Teleskop

Metode lain dalam menentukan laju cahaya melibatkan pengukuran
konstanta elektrik � untuk menentukan � dari persamaan � =


√� �

konstanta �

dapat diperoleh dengan mengukur kapasitansi dari kapasitor paralel. Konstanta
� didefinisikan berkenaan dengan definisi ampere yang akhirnya menentukan

coulumb. Dari berbagai metode pengukuran laju cahaya yang telah dilakukan,
sekarang telah ditentukan bahwa kecepatan cahaya didefinisikan secara cepat
2.99792457 m/s.

D. PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Merangkai alat percobaan seperti gambar

receiver
L2

L1

osiloskop

emiter
cermin pemantul

3. Menghubungkan emiter dan receiver pada osiloskop dan ground.
4. Menyalakan emiter, receiver, dan osiloskop.
5. Mengarahkan berkas sinar laser dari emiter ke cermin pemantul.
6. Mengatur posisi cermin pemantul sampai berkas sinar laser yang dipancarkan
emiter tepat di tengah cermin dan sinar dapat terpantul ke receiver.
7. Mengatur posisi vertikal pada osiloskop sehinga channel 1 dan channel 2 berada
pada sumbu horizontal yang sama.
8. Menghitung besarnya beda fase yang terbaca pada osiloskop untuk kedua
gelombang yang terbentuk agar didapatkan waktu tempuh
9. Mencatat besarnya lintasan yang telah ditempuh gelombang.
10. Mengulang percobaan beberapa kali dengan mengubah-ubah jarak antara cermin
pemantul dengan emiter dan receiver, lalu menghitung beda fase gelombang untuk
setiap lintasan yang di tempuh.
11. Mencatat data pada tabel pengamatan


12. Merapihkan kembali alat dan bahan

E. DATA PENGAMATAN
No
1



5





47.4






57

2

5.2

57.6

65.2

3

5.4

61.3

67.5

4


5.6

65.6

71.7

5

5.8

69.3

74.9

6

6

70.8

76.4

7

6.2

72.3

78

8

6.4

74.1

79.6

9

6.6

83

87.8

F. PENGOLAHAN DATA
No





5

1.044

2

5.2

1.228

3

5.4

1.288

4

5.6

1.373

5

5.8

1.442

6

6

1.472

7

6.2

1.503

8

6.4

1.537

9

6.6

1.708

1

1. Menggunakan Grafik (Origin 5.0)

Dari pengolahan data menggunakan origin5.0 didapatkan persamaan
garis linier

=

.

± .



.

± .

. Kecepatan cahaya

hasil percobaan adalah kemiringan garis dari persamaan linier. �̅ =
.

.

×



= .



×

⁄ . Sehingga � =

kesalahan presisi sebesar
2. Menggunakan Statistika
No
1





5



Δ�


×

1.044

dengan ketidakpastian ∆� = .

.



%=

± .

.

.

2.088

× 8 ⁄�
× 8 ⁄�

×

|� − �̅ |





=

dengan presentase

% = . %.

3.16409

=

|� − �̅ |

1.00115

2

5.2

1.228

2.36154

4.28709

1.83792

3

5.4

1.288

2.38519

1.92242

3.69570

4

5.6

1.373

2.45179

4.73763

2.24452

5

5.8

1.442

2.48621

8.17975

6.69083

6

6

1.472

2.45333

4.89240

2.39355

7

6.2

1.503

2.42419

1.97842

3.91413

8

6.4

1.537

2.40156

2.84688

8.10473

9

6.6

1.708

2.58788

1.83469

3.36610

2.40441



3.69429

Dari pengolahan data menggunakan metoda statistika didapatkan hasil
dari besar kecepatan cahaya �̅ = .
∑ �−�̅


∆� = √

=√

presisi sebesar

G. ANALISIS

.
.

.

×


8

= .

%= .

×

%.

×

dengan ketidakpastian sebesar
m/s dengan presentase kesalahan

Pengambilan data dilakukan dengan menetukan satu variabel bebas yaitu
panjang lintasan cahaya dan mendapatkan satu variabel terikat yaitu eaktu
tempuh cahaya. Panjang lintasan dalam percobaan ialah jarak antara emitter ke
cermin pantul dan jarak dari cermin pantul ke receiver dengan kondisi pantulan
cahaya uang berasal dari emitter fokus tepat diterima oleh receiver, tanpa
memperdulikan sudut yang dibentuk antara lintasan emitter dan receiver.
Sedangkan perbedaan waktu dihasilkan dari receiver yang langsung terhubung
dengan osiloskop, sementara waktu cahaya merambat yang berasal dari emitter
harus menempuh total panjang lintasan terlebih dahulu.
Berdasarkan literatur, kecepatan cahaya di udara memiliki besar
2.99792457 m/s (Tipler Jilid II). Hasil perngolahan data yang diperoleh dari
percobaan I menggunakan metode grafik ialah � =

dengan presentase kesalahan presisi sebesar

Δ�


×

.

%=

.

.

± .

× 8 ⁄�
× 8 ⁄�

×



%=

|

. %. Sedangkan presentase kesalahan akurasi dapat ditentukan sebesar

�−��� ��� ��
|
��� ��� ��

%=|

.

.

− .

%=

|

. %.

Sedangkan

hasil

pengolahan data yang diperoleh dari percobaan II menggunakan metode
statistika ialah �̅ =
presisi sebesar

sebesar |

.
.

.

± .

%= .

�−��� ��� ��
|
��� ��� ��

%=|

.

.

×

m/s dengan presentase kesalahan

% dan presentase kesalahan akurasi

− .

|

%=

. %.

Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa pengolahan data menggunakan

metode grafik lebih baik digunakan. Beberapa factor yang menyebabkan hasil
berbeda dengan literature ialah :
1. Pengukuran panjang lintasan dari emitter ke cermin, dan cermin ke
receiver tidak pada acuan yang selalu sama
2. Cahaya pantulan dari cermin yang diterima receiver tidak selalu fokus
3. Ketidaktelitian menetapkan garis puncak kedua gelombang pada
tampilan osiloskop
H. KESIMPULAN
Dalam percobaan menentukan besar kecepatan cahaya di udara
didapatkan Hasil pengolahan data menggunakan metode grafik dan statistika.
Pada percobaan I menggunakan metode grafik dalam menentukan besar
kecepatan cahaya di udara didapatkan � =

.

⁄ dengan

± .

preentase kesalahan presisi sebesar . % dan presentase kesalahan akurasi
. %. Hasil pengolahan data pada percobaan II

terhadap literatur sebesar

menggunakan metode statistika dalam menentukan besar kecepatan cahaya di
udara

didapatkan

�̅ =

kesalahan presisi sebesar
literatur sebesar
I.

SARAN

. %.

.

.

± .

×

m/s

dengan

preentase

% an presentase kesalahan akurasi terhadap

Dalam melakukan praktikum menentukan kecepatan cahaya di udara
hendaknya pengamat benar-benar menguasai konsep serta cara kerja alat
praktikum yang digunakan. Kemudian dalam melakukan pengukuran panjang
lintasan hendaknya menentukan titik acuan pengukuran agar mendapatkan hasil

yang terhitung sama dari titik acuan. Serta dalam memfokuskan cahaya terhadap
receiver hendaknya benar-benar memperhatikan gelombang yang terbentuk
pada osiloskop apakah jelas atau tidak? Serta dalam memplot garis antara
puncak kedua gelombang benar-benar dilakukan dengan teliti.
J. DAFTAR PUSTAKA
Tipler, Paul A. 2001. Fisika Untuk Sains dan Teknik Jilid 2 Edisi Ketiga.
Jakarta : Erlangga.