Disorganisasi Keluarga dan Dampaknya ter

Disorganisasi Keluarga dan Dampaknya terhadap Anak

Ananda Kumba Bhakti
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Indonesia
[email protected]

Peran
pembentukan

dari

organisasi

kepribadian

keluarga

dan

sangatlah


karakter

anak

besar

dalam

bagi

suatu

proses

keluarga.

Organisasi keluarga, terutama dalam keluarga batih (nuclear family) dapat
dipastikan menjadi tempat utama dimana dasar kepribadian anak terbentuk
untuk kemudian bisa mengambil peran dalam institusi-institusi sosial yang

lebih luas, yaitu pada sistem kemasyarakatan dengan tingkat kompleksitas
tertentu. Namun, beberapa kasus terakhir banyak menyinggung tentang
disorganisasi

keluarga.

Apakah

yang

sebenarnya

dimaksud

dengan

disorganisasi keluarga? Serta bagaimanakah dampak dari disorganisasi
keluarga

itu


sendiri

terhadap

proses

tumbuh

dan

berkembangnya

kepribadian serta karakter anak?
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit
dikarenakan anggota-anggotanya gagal memenuhi segala kewajibannya
yang sesuai dengan peranan sosial yang seharusnya. Pengertian lainnya
mengatakan

bahwa


disorganisasi

keluarga

merupakan

suatu

bentuk

ketidakharmonisan keluarga sebagai suatu unit masyarakat terkecil yang
disebabkan oleh adanya kegagalan masing-masing anggota keluarga dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan status dan peranannya
masing-masing.
Disorganisasi keluarga dapat terjadi dalam setiap tingkatan dalam
keluarga.

Tidak


terkecuali,

disorganisasi

keluarga

bisa

terjadi

dalam

masyarakat kelas bawah, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat
kelas atas. Semuanya memiliki masalahnya tersendiri dan sewaktu-waktu
bisa saja menjadi pemicu terjadinya disorganisasi keluarga. Sangat banyak
kasus yang bisa menjadi penyebab terjadinya disorganisasi keluarga.
Disorganisasi dalam keluarga berkaitan erat dengan disharmonisasi dalam
suatu keluarga yang berada dalam suatu masyarakat secara keseluruhan.
Disorganisasi keluarga memiliki kecenderungan terjadi pada masyarakatmasyarakat yang lebih sederhana. Pada dasarnya, masalah tersebut
disebabkan karena kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan

tuntutan-tuntutan kebudayaan. Pada zaman modern ini, disorganisasi
keluarga sering juga terjadi karena kegagalan seorang atau lebih anggota
keluarga dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan dalam institusi
keluarga batih, adanya hubungan diluar pernikahan (perselingkuhan),
terjadinya perceraian antara suami dan isteri, buruknya komunikasi yang
terjalin antara setiap anggota keluarga yang ada, seorang kepala keluarga
yang meninggalkan keluarganya sendiri, dan lain sebagainya. Sebuah
nuclear family yang dibentuk melalui sebuah pernikahan bukanlah hal yang
mudah

untuk

diwujudkan.

Karena

pada

kenyataannya,


dalam

suatu

hubungan pernikahan seringkali memunculkan berbagai masalah yang tidak
dikehendaki, namun juga tidak mampu untuk dihindari.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa penyebab utama dari
adanya disorganisasi keluarga adalah ketidakharmonisan suasana keluarga.
Keluarga yang tidak harmonis akan selalu mengalami kesulitan dalam
melaksanakan proses pendidikan bagi anak-anak mereka. Akibatnya, anakanak akan merasa bahwa mereka tidak mendapatkan atensi yang cukup
dalam

keluarga

yang

kemudian

akan


membuat

mereka

mencari

kompensasinya dengan mencari kegiatan-kegiatan pengalih lainnya yang
cenderung negatif.
Pengaruh keluarga sangatlah besar terhadap pembentukan pola
kepribadian anak. Fungsi sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran

dan kesinambungan, serta adaptasi antara keluarga dengan anggotanya,
dengan lingkungannya, dan lain sebagainya. Jika fungsi sosial tersebut tidak
dapat berjalan dengan lancar, maka akan menjadi akar munculnya
disorganisasi dalam keluarga, yang tepatnya menyebabkan perpecahan
dalam keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan pola perilaku dan
karakter anak dan cenderung mengarah ke dalam hal-hal yang negatif,
seperti

kenakalan


remaja.

Melalui

penjelasan

tentang

definisi

dari

disorganisasi keluarga itu sendiri, seberapa besarkah dampaknya bagi proses
pertumbuhan kepribadian anak dan apa sajakah dampak yang bisa terjadi
karenanya?
Melalui sudut pandang perspektif konflik dan interaksionis, ada
beberapa dampak yang bisa muncul dikarenakan adanya disorganisasi
dalam keluarga, khususnya bagi anak. Alasan mengapa saya menggunakan
dua


perspektif

sosiologi

tersebut

adalah

karena

disorganisasi

atau

disharmonisasi dalam keluarga jelas terjadi karena adanya selisih paham
antar individu yang terjadi didalamnya dan erat kaitannya dengan perihal
komunikasi internal dalam keluarga. Karena konflik yang muncul dalam
keluarga tersebutlah maka bisa didefinisikan beberapa dampaknya bagi
anak. Kemudian alasan yang kedua adalah karena konflik yang terjadi dalam

keluarga tersebut bisa juga berakibat karena adanya disharmonisasi atau
ketidakharmonisan komunikasi yang terjalin dalam keluarga itu sendiri.
Karena buruknya interaksi yang ada dalam keluarga tersebutlah yang
kemudian

bisa

ditemukan

beberapa

dampak

disorganisasi

atau

disharmonisasi dalam keluarga. Beberapa dampak yang sangat umum terjadi
dikarenakan adanya disorganisasi keluarga adalah sebagai berikut.
Dampak yang pertama adalah perasaan frustasi. Karena selalu terjadi
ketegangan didalam keluarga, baik itu antara suami dengan isteri, suami
atau isteri dengan mertuanya, maupun antara suami atau isteri dengan
anaknya. Walaupun tidak selalu berkaitan langsung dengan anak, anak tetap
akan mendapatkan tekanan batin secara terus-menerus dan tentu saja

sangat berpengaruh bagi kestabilan emosi yang dimilikinya. Karena tidak
adanya sarana untuk mengekspresikan perasaan sedihnya tersebut (karena
berhubungan dengan hal yang bersifat keluarga, biasanya disebut dengan
“masalah keluarga”), anak hanya akan memendam apa yang dia rasakan
dan sedikit demi sedikit akan semakin merasa tertekan dan akan merasa
frustasi.
Dampak yang kedua adalah timbulnya perilaku-perilaku di luar batas
kewajaran atau yang lebih umum didefinisikan dengan kenakalan remaja.
Karena kurangnya atensi yang anak-anak bisa dapatkan dari keluarganya
sendiri, juga perasaan frustasi yang secara terus menerus menekan dirinya,
maka tidak heran jika dia lalu melakukan hal-hal yang erat kaitannya dengan
tindakan kenakalan remaja. Semua hal ini dilakukan oleh anak sebagai
bentuk pelarian dari semua beban yang dia rasakan. Pada kasus ini, celah
bagi pengaruh-pengaruh negatif pada masyarakat sangat terbuka dan bisa
sangat

berbahaya

jika

pada

akhirnya

anak-anak

yang

mengalami

disorganisasi dalam keluarganya tersebut juga terpengaruh dengan hal-hal
negatif dalam masyarakat.
Dampak yang ketiga adalah kegagalan anak dalam menyesuaikan
dirinya

dengan

lingkungan.

Karena

disharmonisasi

yang

ada

dalam

keluarganya, secara tidak langsung karena keadaannya yang tertekan, dia
kemudian akan merasa canggung dalam memulai maupun masuk ke dalam
sebuah interaksi komunikatif dalam sebuah komunitas diluar organisasi
keluarganya, karena merasa malu atau tidak mampu berbaur dalam
lingkungan tersebut. Disorganisasi keluarga juga turut menghambat proses
berkembangnya EQ (Emotional Quality) anak yang menyebabkan dia akan
merasa kesepian. Karena buruknya interaksi dan komunikasi yang terjalin
dalam keluarga tersebut pula lah yang membuat anak menjadi menutup diri
terhadap lingkungan interaksi sosialnya, karena adanya rasa takut akan
penolakan

dalam

masyarakat

tersebut.

Aspek

kognitif

merupakan

kemampuan seorang anak untuk menerima, mengubah, dan menggunakan

berbagai informasi mengenai dunia di sekitarnya. Keluarga yang memiliki
peran vital dalam mengembangkan kemampuan aspek kognitif anak yang
memberikan dampak yang sangat besar bagi anak, terutama jika terjadi
disorganisasi dalam keluarga itu sendiri. Dengan adanya disorganisasi dalam
keluarga, maka segala informasi yang diperoleh anak dari dalam institusi
keluarga menjadi tidak sesuai dengan ekspetasi ideal dan kemudian ikut
mempengaruhi pola perilaku dan kepribadiannya dalam masyarakat.
Kemudian dampak yang terburuk yang mungkin saja terjadi adalah
melakukan tindakan kejahatan. Mengapa bisa demikian? Kondisi psikologis
seorang anak yang selalu tertekan secara terus menerus akan memicu anak
untuk melakukan hal-hal yang terkadang diluar batas normal, yang dalam
pengertian lainnya, adalah juga berpotensi melakukan kejahatan. Karena
kurang mendapatkan atensi dari institusi keluarga, juga karena fasilitasfasilitas yang seharusnya diperoleh anak dari keluarga tidak dapat terpenuhi,
akan memicu seorang anak untuk mengambil langkahnya sendiri, seperti
misalnya mencuri atau hal yang serupa dengan hal tersebut. Anak yang
belum sepenuhnya matang dalam berpikir dan mengambil tindakan, yang
dikarenakan juga adanya disorganisasi maupun disharmonisasi dalam
keluarga, cenderung lebih memilih jalan pintas jika dibandingkan harus
berproses dalam dimensi waktu yang lebih lama. Seorang anak cenderung
lebih berani mengambil resiko tersebut dan biasanya tidak akan berhenti
sebelum dia tertangkap dan melewati proses rehabilitasi, karena kemudian
anak cenderung akan menikmatinya.
Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan
sepenuhnya

puas

memiliki

pandangan

bahwa

kepuasan

itu

sifatnya

sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhankebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut pemuasan, dan begitu
seterusnya. Atas dasar inilah yang kemudian turut memicu anak untuk terus
dan terus melakukan hal serupa untuk memperoleh apa yang dia butuhkan.

Jadi, dari semua dampak tersebut, emosi seorang anak tidak dapat
dikontrol, sehingga sewaktu-waktu mampu menyebabkan adanya perubahan
sikap, seperti misalkan merasa kebingungan, perilaku agresif anak yang
meningkat, dan juga perasaan superior yang terkadang dikompensasikan ke
dalam bentuk-bentuk tindakan yang cenderung negatif, seperti misalnya
apatis terhadap segala hal, memiliki kepribadian yang tertutup, agresif baik
secara fisik maupun secara verbal, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian
juga akan membuat anak mencari pelarian dari problematika tersebut,
seperti melarikan diri dari realita dengan merokok, mengkonsumsi minuman
beralkohol, narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya, dan juga kemudian
melakukan segala tindakan kriminalitas, atau juga kemudian masuk ke
dalam sebuah sub-kebudayaan yang menyimpang.
Kesimpulannya adalah disorganisasi dalam sebuah keluarga terjadi
karena adanya disfungsi peran oleh satu atau lebih anggota keluarga
didalamnya yang kemudian juga turut mempengaruhi proses pertumbuhan
serta perkembangan kepribadian serta karakter anak dalam keluarga
maupun dalam proses internalisasi dalam lingkup masyarakat yang lebih
luas. Disorganisasi keluarga juga menimbulkan kenakalan remaja pada anak.
Hal

ini

memiliki

pengertian

bahwa

semakin

meningkatnya

tingkat

berfungsinya sebuah institusi keluarga dalam melaksanakan setiap tugas,
peranan, fungsi, serta kewajibannya dalam institusi tersebut, maka akan
semakin rendah tingkat kenakalan pada anak atau kualitas kenakalannya
semakin rendah, dan kepribadian yang terbentuk akan jauh lebih matang.
Sebaliknya, jika fungsi suatu institusi keluarga dalam melaksanakan setiap
tugas,

peranan,

fungsi,

serta

kewajibannya

dalam

institusi

tersebut

menurun, maka akan semakin tinggi tingkat atau kualitas kenakalan seorang
anak, dan juga kepribadian juga menjadi tidak secara sempurna atau ideal
terbentuk. Bagi anak, memiliki keluarga yang utuh adalah hal yang sangat
membahagiakan. Mereka sama sekali tidak pernah membayangkan akan
adanya disorganisasi maupun disharmonisasi dalam keluarganya. Keadaan

psikologis anak tentu akan sangat terguncang karena adanya disorganisasi
keluarga. Mereka akan merasa sangat terpukul, kehilangan harapan, dan
cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi
dalam keluarganya. Agar anak tidak terus menerus merasa bersalah,
pemberian perhatian yang tetap dan berkelanjutan dari kedua orangtuanya
sangatlah dibutuhkan. Karena problematika disorganisasi keluarga lebih
menitikberatkan kepada konflik yang terjadi antara suami dan isteri dalam
suatu keluarga. Maka, penting untuk diingat bahwa orangtua harus selalu
ingat bagaimana perasaan serta kepentingan anak. Orangtua juga harus
tetap

mengendalikan

emosi,

perasaan,

maupun

pikirannya

dalam

mengambil tindakan agar tidak terjadi selisih paham dalam praktik
internalisasi dalam keluarga. Bagaimanapun, seorang anak akan selalu
membutuhkan

dan

dibutuhkan pula

mencari

keberadaan

kepekaan orangtua

kedua

untuk

orangtuanya.

mengerti apa

saja

Disini,
yang

dibutuhkan oleh anak, terutama bagi perasaannya, yang juga disesuaikan
dengan usia juga karakter anak. Selain itu, orangtua juga harus mampu
mengikuti tren atau kebiasaan anak seusianya pada masa kini, atau
tepatnya, dari masa ke masa dan juga bersifat terbuka dengan anak.