Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiska

2014

Seminar Keuangan Publik

UTANG PEMERINTAH
DAN KESINAMBUNGAN
FISKAL
Kelas 8D DIV Akuntansi Kurikulum
Khusus
Kelompok 1
Baktiarman Ramadhan (07)
Devri Radistya (10)
Putu Niti Pradnya Dika (21)
Rudyansah Wisnu Indarto (25)

1

Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara

BAB I

OVERVIEW UTANG PEMERINTAH INDONESIA
A. KONSEP DASAR UTANG PEMERINTAH INDONESIA
1. Latar Belakang Utang Pemerintah
Dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah memiliki berbagai pilihan sumber
pembiayaan baik itu pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri. Namun sumber penerimaan
dalam negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta penerimaan luar negeri
lainnya belum cukup untuk membiayai pembangunan yang dicanangkan pemerintah karena porsi
belanja negara masih lebih besar daripada sumber penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah
mengupayakan pembiayaan pembangunan dari utang dan kebijakan tersebut termasuk salah satu
kebijakan ekonomi yang tidak berubah sejak pemerintahan orde baru hingga pemerintahan Indonesia
yang sekarang. Pembiayaan defisit anggaran dengan pinjaman/utang merupakan bagian dari
pengelolaan keuangan negara yang lazim dilakukan oleh semua negara di dunia termasuk negara
maju sekalipun.
Di Indonesia, utang merupakan bagian dari Kebijakan Fiskal (APBN) yang menjadi bagian dari
Kebijakan Pengelolaan Ekonomi secara keseluruhan dan merupakan konsekuensi dari postur APBN
(yang mengalami defisit), dimana Pendapatan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara.Tujuan
Pengelolaan Ekonomi tersebut adalah menciptakan kemakmuran rakyat dalam bentuk penciptaan
kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, menguatkan pertumbuhan ekonomi; dan menciptakan
keamanan
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor No. 37/KMK.08/2013 tentang Strategi Pengelolaan

Utang Negara tahun 2013-2016, tujuan umum pengelolaan utang negara dapat dibagi per periode
waktu yaitu:
a. Tujuan jangka panjang
1) Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya minimal pada
tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal dapat terpelihara.
2) Mendukung upaya untuk menciptakan pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang dalam, aktif
dan likuid.
b. Tujuan jangka pendek
Memastikan tersedianya dana untuk menutup defisit dan pembayaran kewajiban pokok utang
secara tepat waktu dan efisien. Dalam jangka pendek, kebijakan utang mengacu pada Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN setiap tahunnya dengan sasaran pencapaian konsolidasi
fiskal dan penurunan lebih lanjut rasio utang negara terhadap PDB hingga di bawah 60% (enam
puluh persen) yang dilakukan dengan; mempertahankan stabilitas ekonomi makro; mendorong
pertumbuhan ekonomi yang memadai; melakukan restrukturisasi dan reprofiling utang untuk
mengurangi risiko pembiayaan kembali; melanjutkan konsolidasi fiskal; dan mendukung
pengembangan pasar SUN.
Berdasarkan tujuan pengelolaan utang dan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan utang yang
semakin menurun, fokus pengelolaan utang negara pada tahun 2013 – 2016 adalah pengembangan
pasar SBN domestik agar semakin dalam, aktif dan likuid.
Dalam mencapai tujuan tersebut, diperlukan panduan dalam pengelolaan utang yang diwujudkan

melalui penyusunan strategi pengelolaan utang, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Penyusunan strategi pengelolaan utang negara bertujuan untuk:
a. memberikan pedoman umum kepada setiap unit/lembaga/otoritas yang terkait dengan
pengelolaan utang agar proses pengambilan keputusan merefleksikan keselarasan antar kebijakan
pengelolaan utang, fiskal, moneter dan pengembangan pasar keuangan;

2

b. memberikan keyakinan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan
keuangan negara bahwa utang Pemerintah akan dikelola secara baik dan bertanggung jawab
melalui suatu proses pengelolaan utang yang transparan dan akuntabel;
c. memfasilitasi penyusunan indikator kinerja utama (KPI/Key Performance Indicator) unit
pengelola utang;
d. menerapkan praktek pengelolaan utang yang lazim di seluruh dunia untuk mencapai pengelolaan
utang yang baik(sound debt management).
2. Pengertian Utang Pemerintah
Utang negara berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 merupakan jumlah uang yang wajib
dibayar pemerintah pusat dan/atau kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain
yang sah.

3. Klasifikasi Utang Pemerintah
Pada umumnya utang negara dapat dikelompokkan melalui berbagai kategori, yaitu berdasarkan
manfaat yang diperoleh, jangka waktu, dan sumber utang tersebut.
a. Reproductive debt dan unreproductive debt
Utang yang diharapkan dapat menciptakan aset yang menghasilkan pendapatan dan dapat
digunakan untuk membayar kembali pokok dan bunga utang disebut utang produktif. Dengan
kata lain, utang tersebut diharapkan dapat melunasi dirinya sendiri. J.L. Hanson menyebut utang
ini sebagai reproductive debt.
Di sisi lain, unproductive debt adalah utang yang digunakan untuk mendanai aset yang tidak
mengahasilkan aliran pendapatan atau pengeluaran yang tidak produktif. Utang ini disebut juga
dead weight debt. Contoh unproductive debt adalah utang yang digunakan untuk perang.
b. Utang pemerintah jangka panjang dan jangka pendek
Utang pemerintah yang dapat dilunasi dalam periode kurang dari satu tahun disebut utang
pemerintah jangka pendek dan jika lewat dari satu tahun disebut utang jangka panjang.
c. Utang pemerintah yang diperoleh secara sukarela dan diwajibkan
Utang dapat diperoleh secara sukarela dari masyarakat. Masayarakat dapat membeli surat utang
pemerintah jika suatu saat diterbitkan dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan mereka.
Utang pemerintah juga dapat timbul karena pemaksaan pemerintah melalui peraturan, hal ini
dapat terjadi dalam keadaan darurat.
d. Utang dalam negeri dan utang luar negeri

Akan dibahas pada bagian selanjutnya.
4. Utang Dalam Negeri dan Utang Luar Negeri
Pengelompokan utang negara didasarkan pada asalnya yaitu utang dalam negeri dan utang luar
negeri.
a. Utang Dalam Negeri
Sampai saat ini pajak masih merupakan sumber penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang terbesar, namun demikian masih diperlukan sumber pembiayaan lain untuk
mencapai seluruh sasaran pembangunan salah satunya yaitu melalui pembiayaan domestik.
Pembiayaan yang berasal dari dalam negeri terbagi dalam 2 hal yaitu Pinjaman Dalam Negeri
(PDN) dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
1) Pinjaman Dalam Negeri (PDN)
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan Dan
Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah, Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap
pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. Pemberi

3

Pinjaman Dalam Negeri adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pemerintah Daerah, dan
Perusahaan Daerah yang memberi pinjaman kepada Pemerintah. PDN menurut bentuknya

merupakan jenis pinjaman kegiatan dan menggunakan mata uang rupiah.
Tujuan Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri adalah untuk membiayai:
a) kegiatan tertentu Kementerian Negara/Lembaga
Terdiri dari kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan
infrastruktur.
b) kegiatan tertentu Pemerintah Daerah
Terdiri dari pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum dan kegiatan investasi yang
menghasilkan penerimaan.
c) kegiatan tertentu BUMN
pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum diluar kerangka pelaksanaan penugasan
khusus pemerintah dan kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan.
d) kegiatan tertentu Perusahaan Daerah
pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum dan kegiatan investasi yang
menghasilkan penerimaan.
Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri dilakukan berdasarkan prinsip:
a) transparansi
b) akuntabilitas
c) efisien dan efektif
d) kehati-hatian
Pinjaman Dalam Negeri merupakan salah satu sumber pendanaan pembangunan nasional yang

ditujukan untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan domestik dalam rangka meningkatkan
kemandirian pendanaan pembangunan yang berfungsi sebagai sumber pembiayaan defisit dan
salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas industri dalam negeri. Kementerian/Lembaga
yang berpotensi menjalankan kegiatan PDN memiliki minat yang tinggi dan kesiapan
menjalankan kegiatan PDN, namun tata cara dan mekanisme PDN masih belum
tersosialisasikan kepada Kementerian/Lembaga secara menyeluruh.
PDN merupakan bagian dari Nilai Bersih Pinjaman yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud merupakan bagian dari
persetujuan APBN atau APBN Perubahan. Menteri menyusun rencana batas maksimum PDN
selama 1 (satu) tahun anggaran. Rencana batas maksimum PDN disusun dengan
mempertimbangkan:
a) kebutuhan riil pembiayaan;
b) kemampuan membayar kembali;
c) batas maksimum kumulatif pinjaman;
d) kemampuan penyerapan pinjaman; dan
e) risiko utang dari pinjaman.
Apabila dipandang perlu, dalam rangka pengadaan PDN, Menteri dapat meminta pendapat
Bank Indonesia. Rencana batas maksimum PDN merupakan bagian dari rencana penarikan
pinjaman yang menjadi salah satu componen dari pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro dalam Rencana Kerja Pemerintah.

2) Surat Berharga Negara (SBN)
Di pasar keuangan, yang termasuk sekuritas antara lain: saham, obligasi, serta instrumen
derivatif. Sementara untuk utang negara dalam negeri, sekuritas atau disebut juga Surat
Berharga Negara (SBN), meliputi Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN).
a) Surat Utang Negara (SUN)
Sesuai Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang SUN, Surat Utang Negara (SUN)
merupakan surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah

4

maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Terdapat dua bentuk SUN yaitu : warkat yang
diperdagangkan atau tidak, dan tanpa Warkat (scripless) yang diperdagangkan atau tidak
di pasar sekunder. Surat Utang Negara terdiri atas : Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara. Surat Perbendaharaan Negara berjangka waktu sampai dengan 12 (dua
belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Sedangkan Obligasi Negara
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto. Obligasi Negara terbagi dua Coupon Bond dan Zero
Coupon.

[1] Coupon Bond
Tradable: ORI, FR/VR bond, Global bond
Non tradable: SRBI untuk BLBI, dan Surat Utang/SU ke BI untuk penyehatan dan
restrukturisasi perbankan
[2] Zero Coupon
Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut:
a. membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
c. penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun
anggaran;
d. mengelola portofolio utang negara.
b) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Sesuai Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN, Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) atau disebut juga dengan sukuk negara, merupakan surat berharga yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap asset SBSN,
baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. Terdapat dua bentuk SBSN yaitu :
warkat yang
diperdagangkan atau tidak, dan tanpa Warkat (scripless) yang
diperdagangkan atau tidak di pasar sekunder. SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk
membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan

proyek.
SBSN dapat berupa:
[1] SBSN ijarah, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad ijarah (akad sewa
menyewa atas suatu aset)
[2] SBSN mudharabah,yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad mudharabah
(akad kerjasama dimana salah satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan pihak
lainnya menyediakan tenaga dan keahlian ( mudharib) dimana kelak keuntungannya
akan dibagi berdasarkan persentase yang disepakati sebelumnya, apabila terjadi
kerugian maka kerugian tersebut adalah menjadi beban dan tanggung jawab pemilik
modal)
[3] SBSN musyarakah,yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad musyarakah (akad
kerjasama dalam bentuk penggabungan modal)
[4] SBSN istisna’, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad istisna’ (akad jual beli
untuk pembiayaan suatu proyek dimana cara ,jangka waktu penyerahan barang dan
harga barang ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
[5] SBSN berdasarkan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
[6] SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih jenis akad.

5


b. Utang Luar Negeri
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia juga memiliki utang luar negeri diawali sejak
era orde lama hingga saat ini. Awalnya utang tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan
namun dikemudian hari selain untuk pembiayaan pembangunan, utang luar negeri juga
merupakan tambahan pembiayaan defisit anggaran guna memacu pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, Utang Luar Negeri adalah setiap
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun
dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Besarnya utang luar negeri pemerintah setiap
tahunnya disesuaikan dengan kebijakan pembangunan yang direncanakan pemerintah,
pengeluaran apa saja yang dibutuhkan dan seberapa besar sumber penerimaan dalam negeri
mampu membiayai pembangunan tersebut untuk mencapai tujuan pemerintah.
Selain pinjaman luar negeri, terdapat juga penerimaan dalam bentuk hibah. Hibah Luar Negeri
adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,
rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri
yang tidak perlu dibayar kembali.
Tujuan pengadaan Pinjaman Luar Negeri digunakan untuk:
1) membiayai defisit APBN;
2) membiayai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga;
3) mengelola portofolio utang.
4) diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah;
5) diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau
6) dihibahkan kepada Pemerintah Daerah.
Pinjaman Luar Negeri dan penerimaan Hibah harus memenuhi prinsip:
1) transparan;
2) akuntabel;

6

3) efisien dan efektif;
4) kehati-hatian;
5) tidak disertai ikatan politik; dan
6) tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan Negara.
Dilihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan dalam:
1) Pinjaman dari Kreditur Multilateral, yaitu pinjaman dari lembaga keuangan internasional yang
beranggotakan beberapa negara, yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman
yang berasal dari lembaga multilateral seperti badan-badan internasional, misalnya World
Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).

2) Pinjaman dari Kreditur Bilateral, yaitu pinjaman yang berasal daripemerintah negara asing
atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk
pemerintah negara asing yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah.

3) Pinjaman dari Kreditor Swasta Asing ,yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan
asing, lembaga keuangan nasional, atau lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan
melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan
pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari lembaga
penjamin kredit ekspor.
4) Pinjaman dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor adalah lembaga yang ditunjuk negara asing
untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan
keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan atau bagian terbesar dari
dana tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara bersangkutan yang
berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Pinjaman luar negeri dapat digolongkan juga menjadi dua macam, yaitu:
1) Pinjaman Program
Untuk budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix di bidang
kegiatan untuk mencapai MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan
korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change dan infrastruktur.
2) Pinjaman proyek
Untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (perhubungan, energi, dll); proyekproyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).

7

Pinjaman Luar Negeri merupakan bagian dari Nilai Bersih Pinjaman yang disetujui DPR. Nilai
Bersih Pinjaman adalah selisih lebih atau selisih kurang pinjaman dalam pos pembiayaan APBN
tahun berjalan. Selisih lebih Nilai Bersih Pinjaman terjadi jika pinjaman yang diterbitkan atau
ditarik lebih besar dibandingkan dengan pinjaman yang dilunasi. Sedangkan selisih kurang Nilai
Bersih Pinjaman terjadi jika pinjaman yang diterbitkan atau ditarik lebih kecil dibandingkan
dengan pinjaman yang dilunasi (Penjelasan PP No. 10 tahun 2011). Perubahan pinjaman yang
tidak menambah selisih lebih dari NBP, tidak memerlukan persetujuan DPR. Persetujuan DPR
yang dimaskud merupakan bagian dari persetujuan APBN.
Menteri menyusun rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri yang ditinjau setiap tahun.
Rencana batas maksimum PLN sebagaimana dimaksud disusun dengan mempertimbangkan:
1) kebutuhan riil pembiayaan;
2) kemampuan membayar kembali;
3) batas maksimum kumulatif pinjaman;
4) kapasitas sumber Pinjaman Luar Negeri; dan
5) risiko utang.
Rencana batas maksimal Pinjaman Luar Negeri merupakan alat pengendali Pinjaman Luar
Negeri. Apabila dipandang perlu, dalam rangka pengadaan PDN, Menteri dapat berkonsultasi
dengan Gubernur Bank Indonesia.
B. LANDASAN HUKUM UTANG PEMERINTAH INDONESIA
Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan utang negara dibagi dalam pedoman umum dan
pedoman khusus sebagai berikut:
1. Pedoman Umum meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat (3) beserta
penjelasannya dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah
Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Dan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Dan Pemerintah Daerah, yang
mengatur bahwa:
 Jumlah kumulatif defisit APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dibatasi tidak melebihi 3 (tiga) persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun bersangkutan
(UU 17 tahun 2003);
 Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemda dibatasi tidak melebihi dari 60 (enam
puluh) persen dari PDB tahun yang bersangkutan. (PP 23 tahun 2003)
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 38, yang mengatur
antara lain:
 pembebanan biaya pengadaan utang/hibah Pemerintah pada APBN;
 tata cara pengadaan utang negara dan penerusan utang/ hibah luar negeri kepada Pemda dan
BUMN/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Tahun 2014.
Undang-Undang tentang APBN yang ditetapkan setiap tahun yang antara lain menyebutkan
bahwa Pemerintah dapat melakukan perubahan instrumen utang dalam hal terdapat sumber utang
yang lebih menguntungkan.
2. Pedoman Khusus meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara yang antara lain mengatur
tentang tujuan penerbitan Surat Utang Negara (SUN), yaitu untuk membiayai defisit APBN,
menutup kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang negara.
b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang antara lain
mengatur tentang tujuan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yaitu untuk
membiayai APBN.

8

c. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan Dan Penerusan
Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah, yang antara lain mengatur tentang penggunaan
pinjaman dalam negeri.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.08/2012 tentang Tata Cara Pengadaan Pembiayaan
Yang Bersumber Dari Kreditor Swasta Asing.
f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor No. 37/KMK.08/2013 tentang Strategi Pengelolaan Utang
Negara tahun 2013-2016.
g. Dan peraturan-peraturan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang meliputi peraturan
indonesia atau PBI dan surat edaran bank indonesia (SEBI). Terkait dengan peran Bank Indonesia
sebagai agen lelang, registrasi, kliring, setelmen SUN dan central register.
C. UTANG PEMERINTAH DALAM APBN 2014
UU nomor 23 tahun 2013 tentang APBN tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden RI mencakup
penerimaan dan belanja Negara. Pendapatan Negara direncanakan sebesar Rp. 1.667.140.799.639.000
dan belanja Negara sebesar Rp. 1.249.943.002.116.000 serta anggaran transfer ke daerah sebesar Rp.
592.552.297.797.000.
Tabel APBN dan Utang Pemerintah
APBN 2014
Pendapatan
Belanja
Transfer ke daerah
Defisit

Rp1,667,140,799,639,000
Rp1,249,943,002,116,000
Rp592,552,297,797,000
Rp(175,354,500,274,000)

Pembiayaan anggaran
Pembiayaan Dalam Negeri
Pembiayaan Luar Negeri Neto
Total

Rp196,258,036,783,000
Rp(20,903,536,509,000)
Rp175,354,500,274,000

PDB
Rp10,376,005,933,000
Defisit anggaran terhadap PDB
1,69%
Rasio utang terhadap PDB *)
23%
Total utang pemerintah
Rp2,393,719,000,000
sumber: APBN 2014 dan Profil Utang Pemerintah dari DJPU, diolah
*) diperkirakan oleh pemerintah
Jumlah anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2014 lebih kecil daripada jumlah anggaran
Belanja Negara sehingga dalam Tahun Anggaran 2014 terdapat defisit anggaran sebesar Rp.
175.354.500.274.000 yang akan dibiayai dari Pembiayaan Anggaran. Pembiayaan Anggaran tahun 2014
diperoleh dari sumber-sumber: Pembiayaan Dalam Negeri sebesar Rp. 196.258.036.783.000 dan
Pembiayaan Luar Negeri Neto sebesar negatif Rp. 20.903.536.509.000. Pembiayaan luar negeri neto
negatif ini maksudnya pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang kita lakukan, lebih besar
daripada jumlah utang luar negeri baru dengan tujuan untuk mengurangi porsi utang luar negeri.
Dalam UU APBN 2014 juga disepakati defisit anggaran sebesar 1,69 persen terhadap produk domestik
bruto, dimana PDB ini adalah sebesar Rp. 10.376.005.933.372.780. Posisi utang pemerintah per 30
November 2013 sesuai data dari DJPU pada profil utang pemerintah pusat edisi Desember 2013 adalah
Rp. 2.354,54 Trilliun dan saat ini telah mencapai Rp. 2.393,719 Trilliun

9

10

BAB II
WEWENANG DAN TATA CARA PENGADAAN UTANG NEGARA DAN PENERIMAAN
HIBAH SERTA PENERUSAN UTANG ATAU HIBAH LUAR NEGERI
A. PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT MANAJEMEN UTANG PEMERINTAH
Berikut adalah pihak-pihak yang terkait dalam manajemen utang pemerintah, yaitu:
1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dalam pengelolan utang negara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif
memiliki kewenangan sebagai berikut:
 DPR memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat utang sampai batas tertentu
yang telah ditentukan dalam budget.
 DPR menentukan batas total stock utang pemerintah dan memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk membuat utang sampai batas total stock tersebut.
 DPR memberikan persetujuan atau ratifikasi legislative untuk membuat transaksi utang sampai
jumlah tertentu atau dengan kreditur tertentu.
2. Pemerintah c.q. Menteri Keuangan
Pemerintah sebagai pihak eksekutif melalui Menteri Keuangan melaksanakan kewenangannya untuk
melakukan transaksi utang setelah melalui persetujuan dari legislatif baik itu berupa loan atau
menerbitkan obligasi individual.
3. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Pengelolaan utang menuntut adanya pengaturan kelembagaan yang baik, yang memberikan
kejelasan peranan, tanggung jawab, dan mandat. Pengelolaan operasional utang diserahkan pada satu
unit khusus, yakni “Debt Management Office”. Secara garis besar DMO melaksanakan tiga fungsi
pokok, yakni mobilisasi sumberdaya, analisis hutang dan resiko, dan sistem informasi manajemen
serta penempatan (Kappagoda, 2002).
Fungsi mobilisasi sumber daya mencakup koordinasi kreditor/pendonor, pelaksanaan rencana
pinjaman, persiapan formulasi proyek/propektus, negoisasi pinjaman/penerbitan pasar modal,
jaminan pemerintah, dan selama pinjaman. Fungsi analisis hutang dan resiko mencakup analisis
portofolio, analisis resiko, kebijakan dan rencana pinjaman, strategi pinjaman, kebijakan dalam
jaminan pemerintah and selama pinjaman, serta kebijakan pada kerugian provisi. Adapun fungsi
sistem informasi manajemen dan penempatan mencakup penarikan pinjaman, pembayaran pinjaman,
database pinjaman, laporan, rekening pinjaman dan kewajiban kontijensi.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang adalah lembaga yang berfungsi sebagai “Debt Management
Office” (DMO) di Indonesia. Direktorat Jenderal ini adalah lembaga yang ada di bawah Menteri
Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan pengelolaan utang negara tersebut diatas.
Secara lebih jelasnya fungsi dan tugas dari Ditjen Pengelolaan Utang dapat dilihat sebagai berikut:
 Tugas pokok Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang adalah menyelenggarakan sebagian tugas
pokok Departemen di bidang pengelolaan utang dan hibah sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menyelenggarakan fungsi :
1) perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang pengelolaan utang dan hibah;
2) pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan utang dan hibah;
3) penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pengelolaan utang dan
hibah;
4) pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengelolaan utang dan hibah;
5) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
B. TATA CARA PENGADAAN PINJAMAN DAN/ ATAU HIBAH LUAR NEGERI

1. Tata Cara Perencanaan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri
a) Dalam rangka perencanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Presiden menetapkan Rencana
Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri selama 5 (lima) tahun, berdasarkan usulan Menteri Keuangan
dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS (Menteri Perencanaan)
yang disusun sesuai dengan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman
luar negeri.
b) Penyusunan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri dan prioritas bidang pembangunan
dilakukan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
c) Dalam menyusun Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri, Presiden dapat meminta
pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.
d) Kementerian Negara/Lembaga mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan
pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan. Usulan kegiatan Kementerian
Negara/Lembaga tersebut sekurang-kurangnya dilampiri:
1) kerangka acuan kerja; dan
2) dokumen studi kelayakan kegiatan
e) Usulan kegiatan yang diajukan oleh Kementerian Negara/ Lembaga termasuk kegiatan yang
pembiayaannya akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan modal
negara kepada BUMN.
f) Pemerintah Daerah mengajukan usulan kegiatan investasi untuk mendapatkan penerusan
pinjaman luar negeri dari Pemerintah kepada Menteri Perencanaan. Usulan kegiatan Pemerintah
Daerah sekurang-kurangnya dilampiri:
1) kerangka acuan kerja;
2) dokumen studi kelayakan kegiatan; dan
3) surat persetujuan dari DPRD.
g) BUMN mengajukan usulan kegiatan investasi, untuk mendapatkan penerusan pinjaman luar
negeri dari Pemerintah, kepada Menteri Perencanaan dengan persetujuan menteri yang
bertanggung jawab dibidang pembinaan BUMN. Usulan kegiatan BUMN sekurang-kurangnya
dilampiri:
1) kerangka acuan kerja; dan
2) dokumen studi kelayakan kegiatan.
h) Menteri Perencanaan melakukan penilaian atas usulan kegiatan yang diajukan oleh Kementerian
Negara/ Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN.
i) Dalam melakukan penilaian, Menteri Perencanaan memperhatikan Rencana Kebutuhan Pinjaman
Luar Negeri dan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri.
j) Hasil penilaian dituangkan dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
(DRPPHLN).
k) Atas dasar dan rencana pinjaman calon PPLN/PHLN (PPLN: Pemberi Pinjaman Luar Negeri;
PHLN: Pemberi Hibah Luar Negeri), Menteri Perencanaan menyampaikan Daftar Kegiatan yang
dapat dibiayai pinjaman/hibah luar negeri kepada Menteri Keuangan.
2. Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri
a) Dengan mempertimbangkan kebutuhan riil pembiayaan luar negeri, kemampuan membayar
kembali, batas maksimum kumulatif pinjaman, dan kemampuan penyerapan pinjaman, serta
resiko pinjaman bersangkutan, Menteri Keuangan menetapkan alokasi pinjaman Pemerintah
menurut sumber dan persyaratannya.
b) Menteri Keuangan mengajukan usulan pinjaman/hibah kepada calon PPLN/PHLN dengan
mengacu pada DRPPHLN dan alokasi pinjaman Pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam point
1).
c) Berdasarkan komitmen pemberian pinjaman dan/atau hibah luar negeri dari calon PPLN/PHLN,
Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN mempersiapkan pelaksanaan kegiatan

yang akan dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri untuk memenuhi kriteria
kesiapan kegiatan.
d) Pengadaan Pinjaman Pemerintah melalui fasilitas kredit ekspor atau pinjaman komersial
dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:
1) Kementerian Negara/Lembaga mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan
pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan dengan sekurang-kurangnya
melampirkan:
a. kerangka acuan kerja; dan
b. dokumen studi kelayakan kegiatan
2) Menteri Perencanaan melakukan penilaian atas usulan kegiatan yang diajukan dengan tetap
memperhatikan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri dan prioritas bidang pembangunan
yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri.
3) Hasil penilaian dituangkan dalam DRPPHLN yang selanjutnya disampaikan kepada Menteri
Keuangan.
e) Pengadaan barang/jasa yang dibiayai melalui fasilitas kredit ekspor atau pinjaman komersial
dilaksanakan setelah alokasi pinjaman pemerintah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
f) Dalam hal pengadaan barang/jasa dibiayai dengan pinjaman komersial yang tidak dijamin oleh
lembaga penjamin kredit ekspor, maka pengadaan tersebut dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Penyedia barang harus mengajukan bank komersial terkemuka bertaraf internasional sebagai
calon PPLN; dan
2) Pengadaan barang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g) Untuk pinjaman program, Menteri Keuangan dapat mengajukan usulan pinjaman luar negeri
kepada calon PPLN selain yang tercantum dalam DRPPHLN.
h) Perundingan dengan calon PPLN/PHLN baru dapat dilakukan setelah kriteria kesiapan kegiatan
dipenuhi.
i) Perundingan NPPLN/NPHLN dengan calon PPLN/PHLN dilaksanakan oleh Menteri Keuangan
atau pejabat yang diberi kuasa dengan melibatkan unsur-unsur Departemen Keuangan,
Kementerian Perencanaan, Departemen Luar Negeri dan instansi terkait lainnya dengan
didampingi oleh ahli hukum.
j) Perundingan sekurang-kurangnya mencakup aspek keuangan dan hukum.
k) Hasil perundingan dilaporkan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan dan
dituangkan dalam Naskah Perjanjian Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri (NPPHLN).
l) NPPLN/NPHLN ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa oleh
Menteri.
m) NPPLN/NPHLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. jumlah;
b. peruntukan; dan
c. persyaratan pinjaman dan/atau hibah.
n) Salinan NPPLN/NPHLN disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan instansi terkait lainnya.
3. Tata Cara Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri
Adapun Prinsip Dasar Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri adalah:
a) Penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dilaksanakan melalui mekanisme APBN.
b) Realisasi penarikan jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri
dilakukan sesuai dengan alokasi anggaran sebagaimana ditetapkan dalam DIPA
c) Dalam hal diperlukan penarikan jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar
negeri yang melebihi alokasi anggaran dalam DIPA, maka PA/KPA mengajukan usulan revisi
DIPA sesuai ketentuan yang berlaku.

Tata Cara Penarikan Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri dijabarkan sebagai berikut.
a) Pembukaan Letter of Credit (L/C)
Letter of Credit, selanjutnya disingkat L/C, adalah janji tertulis dari bank penerbit L/C (issuing
bank) untuk membayar kepada eksportir (beneficiary) sepanjang memenuhi persyaratan L/C.

Keterangan Skema Pembukaan Letter of Credit:
1. PA/KPA mengajukan SPP-SKPD L/C kepada KPPN Khusus disertai KPBJ.
Surat Pemintaan Penerbitan Surat Kuasa Penarikan Dana, selanjutnya disingkat SPP-SKPD,
adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi KPPN untuk
menerbitkan Surat Kuasa Pencairan Dana PHLN melalui L/C.
Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa, selanjutnya disingkat KPBJ, adalah suatu perjanjian
pengadaan barang dan atau jasa yang melekat pada barang atau naskah lainnya yang dapat
dipersamakan, yang ditandatangani oleh pejabat PA/KPA atau pejabat yang berwenang dengan
rekanan.
2. KPPN Khusus menerbitkan SKPD L/C dan mengirimkan asli SKPD L/C ke BI atau Bank yg
ditunjuk, dan tembusannya ke PA/KPA dan DJBC.
3. Berdasarkan SKPD L/C, PA/KPA memberitahukan kepada rekanan/importir ybs untuk
membuka LC.
4. Rekanan atau importir yang diberi kuasa oleh rekanan, atas dasar KPBJ dan master list yang
disetujui oleh PA/KPA mengajukan permintaan pembukaan L/C kepada BI atau bank lain
yang ditunjuk.
5. BI atau bank lain yang ditunjuk mengajukan permintaan kepada PPHLN untuk menerbitkan
pernyataan kesediaan melakukan pembayaran (letter of commitment)/ P-LOC.
5a. PPHLN menerbitkan Special of Commitment/Letter of Commitment dan kemudian
disampaikan kepada Bank Koresponden.
6. Atas dasar permintaan pembukaan L/C dari rekanan/importir disertai master list. BI atau bank
lain yang ditunjuk melaksanakan pembukaan L/C.
6a. BI atau bank lain yang ditunjuk menyampaikan tembusan dokumen pembukaan L/C kepada
KPPN Khusus.
b) Pembayaran Langsung (Direct Payment)
Pembayaran Langsung, selanjutnya disingkat PL, adalah penarikan dana yang dilakukan oleh
KPPN yang ditunjuk atas permintaan PA/KPA dengan cara mengajukan aplikasi penarikan dana

(withdrawal application) kepada PPHLN untuk mernbayar langsung kepada rekanan/pihak yang
dituju.
Keterangan Skema Pembayaran Langsung:
1. Rekanan mengajukan tagihan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
(PA/KPA)
2. Berdasarkan KPBJ, PA/KPA menyampaikan Surat Permintaan Penarikan Aplikasi Penarikan
Dana Pembayaran Langsung (SPP APD-PL) kepada KPPN.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung, selanjutnya
disingkat SPP-APDPL, adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi
KPPN untuk mengajukan permintaan pembayaran kepada PPHLN untuk membayarkan secara
langsung kepada rekanan/pihak yang dituju.
3. Berdasarkan SPP APD-PL, KPPN menerbitkan APD-PL/ Withdrawal Application dan
mengirimkannya kepada PPHLN.
Aplikasi Penarikan Dana-Pembayaran Langsung, selanjutnya disingkat APD-PL, adalah surat
permintaan pencairan pinjaman dan/atau hibah kepada PPHLN yang dibayarkan secara
langsung kepada pihak yang berhak.
4. Berdasarkan WA, PPHLN melakukan pembayaran langsung kepada rekening rekanan
5. Atas pembayaran tsb, DJPU menerima Notice of Disbursement (NOD) untuk dibukukan
sebagai penarikan pinjaman dan meneruskannya ke KPPN Khusus Jakarta VI.
6. Atas dasar NOD yang diterima dari DJPU, KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan dan
menyampaikan Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan (SP3) kepada BI dan PA/KPA.
c) Rekening Khusus (Special Account)
Rekening Khusus, selanjutnya disingkat Reksus, adalah rekening yang dibuka oleh Menteri
Keuangan pada Bank Indonesia atau Bank untuk menampung sementara dana pinjaman dan/atau
hibah Luar negeri tertentu berupa initial deposit untuk kebutuhan pembiayaan kegiatan selama
periode tertentu dan setelah digunakan diisi kembali dengan mengajukan penggantian
(replenishment) kepada PPHLN.

Keterangan Skema Rekening Khusus:
1. Atas dasar NPHLN DJPB cq. Dit. PKN mengajukan permintaan pembukaan Rekening Khusus
(Reksus) ke BI atau bank lain yg ditunjuk.
2. Setelah Reksus dibuka, sesuai ketentuan dalam NPHLN DJPB mengajukan permintaan Initial
Deposit kepada Lender (ayat 1).
3. Lender/PPHLN mengisi dana Initial Deposit ke Reksus di BI atau bank lain yg ditunjuk.
3APerdirjen DJPB disampaikan ke KPPN.
4. Rekanan mengajukan tagihan ke Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran(PA/KPA).
5. PA/KPA mengajukan SPM atau SPP-SKM RK LC ke KPPN.
Surat Kuasa Membayar atas beban Rekening Khusus untuk Letter of Credit, selanjutnya
disingkat SKM Reksus-L/C, adalah surat kuasa dari Menteri Keuangan kepada Bank
Indonesia untuk melakukan pembayaran realisasi L/C atas beban Reksus.
6. Atas dasar SPM dari PA/KPA, KPPN menerbitkan SP2D untuk disampaikan kepada PA/KPA,
BI, Dit PKN dan atas dasar SPP-SKM RK L/C, KPPN menerbitkan SKM RK-L/C atas beban
Reksus dikirim ke BI atau bank.
d) Penggantian Pembiayaan Pendahuluan (Reimbursement)
Penggantian Pembiayaan Pendahuluan (reimbursement) adalah pembayaran yang dilakukan oleh
PPHLN untuk penggantian dana yang pembiayaan kegiatannya dilakukan terlebih dahulu melalui
Rekening BUN dan/atau Rekening Kas Negara atau Rekening Penerima Penerusan Pinjaman.

Keterangan Skema Penggantian Pembiayaan Pendahuluan:
1. Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) mengajukan bukti-bukti pengeluaran pembiayaan
pendahuluan dan rincian rencana penggunaan uang kepada KPPN.
2. KPPN mengajukan Aplikasi Penarikan Dana (APD) kepada PPHLN dilampiri SP2D(Pembiayaan Pendahuluan) dan dokumen pendukung lainnya yang dipersyaratkan oleh
PPHLN.
3. Atas dasar APD, PPHLN melakukan penggantian (reimbursement) untuk Rekening PPP.
4. Atas dasar APD, DJPU menerima NOD (Notice of Disbursment) dari lender.
5. Berdasarkan NOD yang diterima, KPPN menerbitkan SP3. Surat Perintah
Pembukuan/Pengesahan (SP3).
C. TATA CARA PENGADAAN SURAT BERHARGA NEGARA
1. Tata Cara Pengadaan Surat Utang Negara (SUN)
a) Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut:
1) membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Jika suatu saat APBN mengalami defisit, maka salah satu sumber pembiayaannya adalah
penerbitan Surat Utang Negara. Pilihan atas Surat Utang Negara sebagai sumber dari berbagai
sumber pembiayaan lainnya harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang dapat
meminimalkan biaya utang pada anggaran negara.
2) menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan
dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran
Agar kegiatan-kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan di dalam APBN tidak
mengalami hambatan, penerbitan Surat Utang Negara berjangka pendek (Surat
Perbendaharaan Negara) digunakan untuk menutup kekurangan kas tersebut. Apabila
penerimaan yang direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan untuk menebus
kembali Surat Perbenda-haraan Negara tersebut.
3) mengelola portofolio utang negara
Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk meminimalkan biaya bunga utang pada
tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang negara terutama portofolio
Surat Utang Negara harus dilakukan secara efisien berdasarkan praktek-praktek yang berlaku
umum di berbagai negara. Manajemen portofolio dimaksud meliputipenerbitan, pembelian
kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagian Surat Utang
Negara yang beredar.
b) Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.

c) Persetujuan diberikan atas nilai bersih maksimal Surat Utang Negara yang akan diterbitkan dalam
satu tahun anggaran.
Nilai bersih adalah tambahan atas jumlah Surat Utang Negara yang beredar. Jumlah ini
merupakan selisih antara jumlah Surat Utang Negara yang diterbitkan dengan yang ditarik
kembali sebelum jatuh tempo dan dilunasi selama satu tahun anggaran.
d) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan
pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota
Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
e) Dalam hal-hal tertentu, Menteri Keuangan dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai
bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
 penerbitan Surat Perbendaharaan Negara dalam rangka menutup kekurangan kas jangka
pendek menjelang akhir tahun anggaran yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
jumlah nilai bersih maksimal yang telah disetujui terlampaui.
 penerbitan Obligasi Negara dalam rangka pengelolaan portofolio Surat Negara adakalanya
dilakukan menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan
pasar surat utang, sedangkan realisasi pembelian kembali (buyback) baru dilakukan pada
tahun berikutnya (carry over) sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang disetujui
terlampaui.
f) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penerbitan Surat Utang Negara meliputi
pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Surat
Utang Negara dimaksud.
g) Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo.
h) Dana untuk membayar bunga dan pokok disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
i) Dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok dimaksud melebihi perkiraan dana, Menteri
Keuangan melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
2. Tata Cara Pegadaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
a) SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
termasuk membiayai pembangunan proyek.
b) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan
Penerbit SBSN.
c) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
d) Penerbitan SBSN harus melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan juga Menteri Perencanaan
Pembangunan dalam hal SBSN diterbitkan untuk pembangunan proyek.
e) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada
saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian
dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam
satu tahun anggaran.
f) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta
asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara
maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga
Negara secara hati-hati.

g) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun
yang bersangkutan.
h) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan
Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara
yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN.
i) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan
secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan
dalam Akad penerbitan SBSN.
j) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
k) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana,
Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
l) Semua kewajiban dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
D. TATA CARA PENERUSAN PINJAMAN
1. Penerusan Pinjaman
a) Pemerintah Daerah sebagai calon Penerima Penerusan Pinjaman harus memenuhi syarat paling
sedikit:
1) memiliki jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak
melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya;
2) memiliki proyeksi rasio kemampuan membayar kembali pinjaman paling sedikit 2,5 (dua
koma lima);
3) tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;
4) mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
5) memiliki laporan keuangan yang telah diaudit dan dinyatakan wajar tanpa pengecualian
selama 2 (dua) tahun terakhir; dan
6) mendapat pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
b) BUMN sebagai Calon Penerima Penerusan Pinjaman harus memenuhi syarat paling sedikit:
1) memiliki laba bersih selama 2 (dua) tahun terakhir;
2) tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;
3) mendapat persetujuan dari organ perusahaan sesuai dengan Anggaran Dasar BUMN yang
bersangkutan; dan
4) memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor dan dinyatakan wajar tanpa
pengecualian selama 3 (tiga) tahun terakhir sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan di
bidang BUMN.
2. Tata cara penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA)
a) Menteri menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan
diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan diteruspinjamkan atau
dijadikan penyertaan modal kepada BUMN. Penetapan dilaksanakan sebelum dilakukan
negosiasi dengan PPLN/PHLN.
b) Dalam menentukan penerusan pinjaman kepada Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah,
Menteri memperhatikan kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta
pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Ukuran kemampuan membayar Daerah, antara lain

c)
d)

e)

f)

g)
h)
i)

Debt Service Coverage Ratio (DSCR), posisi outstanding pinjaman, dan tunggakan pembayaran
kewajiban pinjaman. Menteri menetapkan peta kapasitas fiskal daerah.
Menteri menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan/atau penerusan hibah.
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diteruspinjamkan dituangkan dalam NPPP.
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah
dituangkan dalam NPH. NPPP dan NPH sekurang-kurangnya memuat jumlah, peruntukan, dan
persyaratan pinjaman dan/atau hibah.
NPPP dan NPH ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri dengan
Kepala Daerah/Pimpinan BUMN. NPPP dan NPH ditandatangani selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah NPPLN/NPHLN ditandatangani.
Salinan NPPP dan NPH disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan instansi terkait lainnya. Yang dimaksud dengan Instansi terkait adalah Kementrian
Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Daerah/BUMN yang bersangkutan,
Bank Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jumlah atau bagian dari jumlah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang dimuat dalam NPPP
dan NPH dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran Pemerintah Daerah atau BUMN.
Pemerintah Daerah atau BUMN wajib melakukan pembayaran kembali atas penerusan pinjaman
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam NPPP. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerusan
pinjaman dan/atau hibah luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB III
KONDISI DAN STRATEGI UTANG PEMERINTAH INDONESIA
A. KONDISI UTANG PEMERINTAH
1. Rasio Utang terhadap PDB
Rasio utang terhadap PDB atau Debt to GDP ratio adalah perbandingan antara utang pemerintah
terhadap PDB. Dengan membandingkan utang suatu negara terhadap output produksinya, Rasio
utang terhadap PDB mengindikasikan kemampuan suatu negara melunasi utang tersebut.
Tidak ada definisi rasio utang terhadap PDB yang ideal. Jika suatu negara dapat membayar cicilan
utangnya tanpa melakukan refinancing atau menghambat pertumbuhan ekonominya, maka
perekonomian negara tersebut dikatakan stabil. Tetapi, tingkat rasio utang terhadap PDB yang tinggi
dapat menyebabkan suatu negara kesulitan melunasi utangnya dan dapat membuat kreditor
menginginkan tingkat bunga yang lebih tinggi.
Berikut adalah tabel perbandingan utang pemerintah dan rasio terhadap PDB dari tahun 2008 hingga
2013.
Tahun
2008
Pinjaman
730
SBN
906
Total Utang
1,637
PDB
4,954
Rasio
33.04%
(Dalam triliun rupiah)
2. Posisi Pinjaman

2009
611
979
1,591
5,613
28.34%

2010
617
1,064
1,682
6,443
26.11%

2011
621
1,188
1,809
7,427
24.36%

2012
617
1,361
1,978
8,242
24.00%

2013
607
1,593
2,200
9,405
23.39%

3. Penyebab Besarnya Utang Pemerintah Indonesia
Utang pemerintah per akhir Juni 2013 tercatat sebanyak Rp 2.036,14 triliun, meningkat dari jumlah
utang pada akhir 2012 yang hanya sebesar Rp 1.977,71 triliun. Ibaratnya, tiap bayi yang baru lahir di

Indonesia terbebani utang negara sebesar 8 juta rupiah. Berikut merupakan sebab membengkaknya
jumlah utang pemerintah.
a. Akumulasi utang di masa lalu yang memerlukan refinancing dan membebani APBN cukup besar;
b. Dampak krisis tahun 1997 yang mengakibatkan depresiasi Rupiah, kasus BLBI, dan Rekapitulasi
Perbankan;
c. Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan kontrol akan sangat
berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika utang
kepada luar negeri, maka hasil dari utang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan,
sehingga sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasio