Hegemoni Kekuasaan dan Ideologi. pdf

Hegemoni, Kekuasan dan Ideologi
Daniel Hutagalung

Tulisan ini dimuat dalam Diponegoro 74: Jurnal Pemikiran Sosial, Politik dan Hak
Asasi Manusia, No. 12 (Oktober-Desember) (2004)

Konsep hegemoni, dalam satu abad terakhir ini, telah melahirkan demikian
banyak dan beragam debat serius, baik dalam kajian-kajian filsafat, politik,
sosiologi, sastra, cultural studies, maupun kajian studi lainnya. Konsep hegemoni
mulai dikenal secara luas dalam kajian-kajian di Eropa dan Amerika Utara
semenjak John M. Cammet menerbitkan bukunya yang berjudul Antonio Gramsci
and the Origins of Italian Communism pada 1967, yang sebelumnya merupakan
disertasi doktoralnya di Columbia University, Amerika Serikat.1 Cammet memulai
penelitiannya di tahun 1950an, saat nama Antonio Gramsci belum dikenal terlalu
luas, meskipun Gramsci merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan
politik dalam aliran Marxisme. Semenjak penerbitan buku tersebut, nama Antonio
Gramsci dan teori hegemoninya mulai dikenal di berbagai debat dalam dunia
akademis berbahasa Inggris.
Konsep hegemoni sendiri lahir dan berkembang dalam arus pemikiran
Marxisme. Karena hegemoni sebagai sebuah teori, lahir dari pemikiran kaum
Marxist di Russia dalam menghadapi kekuasaan monarki Russia. Karena itu

hampir seluruh debat mengenai hegemoni mengalir di dalam arus pemikiran
Marxisme. Namun, belakngan ini konsep hegemoni diposisikan menjadi lebih
netral dalam melihat berbagai bentuk relasi kekuasaan, baik dalam hal politik,
sastra, ekonomi, sosial dan budaya.
Hegemoni memiliki keterkaitan erat dengan konsep kekuasaan dan
ideologi, di mana ketiganya bekerja secara simultan, meskipun dapat juga dilihat
secara terpisah. Gramsci melihat hegemoni sebagai praktik dua arah dari dua
1

John M. Cammet, Antonio Gramsci and the Origins of Italian Communism (Stanford: Stanford
University Press, 1967).

1

hubungan yang bersifat subordinasi, yakni kekuasaan negara borjuis dan kelas
buruh.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran atas konsep hegemoni,
dan melihatnya dalam konteks kekuasaan dan ideologi. Keseluruhan tulisan ini
akan melihat relasi kekuasaan, hegemoni dan ideologi dalam perspektif
Marxisme sampai Post-Marxisme, yang dalam paradigma teoritisnya,

menempatkan hegemoni sebagai sentral analisa dalam melihat relasi antara
kekuasaan, ideologi dan gerakan sosial. Dalam tulisan ini akan ditelusuri juga
bagaimana konsep hegemoni, kekuasaan dan ideologi berkembang dari George
Plekhanov, Vladimir Lenin, Louis Althusser, Talcott Parsons, Nicos Poulantzas,
Michel Foucault, Robert Dahl, Steven Lukes, Peter Bachrach, Morton Baratz
sampai uraian yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe.
Kuasa (Power)
Secara umum ada dua konsep mengenai kuasa (power), yakni “power to” dan
“power over”.2 Agaknya kurang tepat jika kita sekedar menyatakan bahwa “Aktor
A memiliki kekuasaan”, karena preposisi itu menjadi abstrak. Konsep “power to”
(kuasa untuk) merujuk pada tindakan sebagaimana: “apa yang bisa dilakukan
Aktor A dengan kekuasaan yang milikinya”. Konsepsi berikutnya adalah “power
over” (kuasa atas), yang kalimatnya bisa dikatakan demikian: Aktor A memiliki
kekuasaan atas Aktor B untuk membuat B melakukan X. Relasi kekuasaan (power
relation) macam apakah yang berlangsung antara A dan B?
Konsep “power to” umumnya dianggap sebagai konsep paling dasar dalam
penggunaan terminologi “power”. Meskipun begitu banyak juga penulis yang
tidak melihat ini sebagai aspek penting kuasa dalam konteks politik. Mereka lebih
melihat kuasa dari seorang aktor atas aktor lainnya sebagai hal penting dalam
melihat kekuasan politik (political power). Sekarang ini penjelasan mengenai

kedua konsep tersebut lebih dilihat sebagai hubungan yang saling berimplikasi,
di mana “power over” berimplikasi juga sebagai “power to”, misalnya A memiliki
kekuasaan atas (power over) B untuk membuat B melakukan (to do) X.
Menurut Keith Dowding, konsep “power over” dan “power to” bisa
digambarkan sebagai “outcome power” (yang dihasilkan oleh penggunaan
kekuasaan) dan “social power” (kekuasaan di dalam hubungan sosial). Yang
pertama disebabkan karena kekuasaan yang membawa hasil-hasil tertentu, yang
kedua disebabkan karena kekuasaan memerlukan keterlibatan hubungan sosial

2

Keith Dowding, Power (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), hal. 4-5.

2

antara – setidak-tidaknya – dua aktor atau subyek.3 Definisi formal dua konsep
tersebut dijabarkan Dowding sebagai berikut,4

outcome power
social power


kemampuan dari aktor/subyek untuk membawa atau membantu
menghasilkan sesuatu (outcomes)
kemampuan dari aktor/subyek secara deliberatif mengubah
struktur insentif dari aktor atau aktor-aktor lainnya untuk
membawa serta atau membantu menghasilkan sesuatu.

Sementara, dalam pandangan Gramsci hubungan antara A dan B bisa
berupa hubungan dominasi langsung atau bisa juga merupakan hubungan yang
hegemonik. Bagaimana membedakannya adalah bagaimana praktik itu dijalankan
(exercise). Pada bagian ini akan coba diuraikan berbagai perspektif dalam melihat
power relation (hubungan kuasa) secara teoritis.
Salah satu teori kekuasaan yang cukup mengemuka diajukan Steven Lukes
dalam karyanya Power: A Radical View (1974). Dalam bukunya Lukes mengajukan
konsepsi tiga dimensi tentang kekuasaan (three dimensional conception of
power) untuk mengkritik konsepsi kuasa kaum behavouralist, sekaligus
menawarkan sebuah analisa baru yang ia nilai lebih memadai dalam memahami
kuasa. Lukes melakukan kritik atas konsepsi kuasa satu dimensi (one-dimensional
conception of power) dari Robert Dahl5, dan juga konsepsi dua wajah kekuasaan
(two faces of power) dari Peter Bachrach dan Morton Baratz,6 yang disebut Lukes

konsepsi dua dimensi tentang kuasa (two-dimensional conception of power).
Robert Dahl mendefinisikan power sebagai sebuah usaha yang berjalan baik
dari A untuk memerintahkan B melakukan sesuatu yang bahkan tidak dikehendaki

3

Keith Dowding, Rational Choice and Political Power (Aldhersot: Edward Elgar, 1991), hal. 48.
Dowding memberikan penjelasan lebih rinci mengenai social power yang dijelaskannya bahwa
kekuasaan atas aktor lainnya merupakan hubungan yang kompleks. Mendapatkan sesuatu hasil X
dengan menggunakan aktor lain untuk melakukannya mungkin bisa berlangsung dalam cara-cara
yang mencolok atau halus. Jarak (mencolok dan halus) ini bisa dilihat dengan incentive structures
(struktur insentif), di mana seorang aktor merupakan separangkat biaya sekaligus keuntungan
berperilaku di dalam satu cara dibanding cara lainnya. Secara tipikal aktor-aktor memiliki
kekuasaan atas aktor-aktor lainnya sejauh mereka dapat memanipulasi struktur insentif dari aktoraktor lainnya. Dengan mengambil pilihan-pilihan dari seperangkat pilihan, atau memperhitungkan
ongkos sebuah tindakan menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, demikian juga dengan membuat
keuntungan menjadi lebih besar atau lebih sedikit. Lihat Keith Dowding, “Choice: Its Increase and
Its Value” dalam British Journal of Political Science, No.22 (1992).
5
Robert. A. Dahl, “The Concept of Power” dalam Behavioral Science Vol. 2 (2) (1957).
6

Peter Bachrach and Morton S. Baratz, Power and Poverty: Theory and Practice (Oxford: Oxford
University Press, 1970).
4

3

oleh B.7 Menurut Lukes, analisa Dahl atas distribusi kekuasaan politik berfokus
kepada “perilaku (behaviour) dalam mengambil sebuah keputusan terhadap
suatu isu di mana terdapat konflik kepentingan (subyektif) yang dapat
diobservasi, dilihat sebagai preferensi kebijakan, yang diperlihatkan oleh
partisipasi politik”.8 Dalam pandangan Dahl, kuasa berlangsung (exercised) pada
saat A mampu menyuruh B untuk melakukan hal-hal yang bahkan tidak
dikehendaki oleh B. Namun, menurut Bachrach dan Baratz, kuasa juga
berlangsung pada saat A mencurahkan seluruh energinya untuk menciptakan
atau memperkuat nilai-nilai sosial dan politik dan praktik-praktik institusional yang
membatasi wilayah proses politik menuju pertimbangan publik terhadap isu-isu
yang secara relatif tidak akan merusak A.9 Karena itu Bachrach dan Baratz melihat
bahwa kuasa memiliki dua wajah (two faces): yaitu hal yang berhubungan dengan
pembuatan keputusan (decision-making) dan juga hal-hal yang tidak
berhubungan dengan pembuatan keputusan (nondecision-making). A

menjalankan kekuasaan atas B (power over) pada saat pilihan A secara reguler
berlaku dalam keputusan atas setiap isu penting mengenai adanya konflik yang
jelas, dan pada saat A berhasil dalam mengontrol agenda politik melalui apa
yang disebut nondecision untuk mencegah isu-isu yang berpotensi mengancam
kepentingan-kepentingan A.
Lukes menilai Bachrach dan Baratz juga gagal sebagaimana Dahl dalam
melihat relasi kekuasaan; pertama, karena konsepsi tentang kekuasaan tidak
pernah beranjak dengan tetap berfokus pada perilaku aktual aktor sebagai
sumber kekuasaan (source of power). Kedua, kegagalan dalam menjelaskan
variabel-variabel yang tidak dapat diobservasi dalam menghasilkan political
outcome (akibat politis); Ketiga, hanya melihat bagaimana kuasa secara ilusif
menciptakan preferensi sosial dalam masyarakat karena mereka terlalu
menitikberatkan pada “events” sebagai lokasi utama kuasa. Dengan kata lain
Lukes menilai bahwa analisa atas kekuasaan seharusnya tidak hanya terfokus
pada perilaku aktor dalam konteks otoritas formal dalam pengambilan keputusan
serta dinamika aktual yang melingkupi agenda formal, tetapi juga harus lebih
melihat kompleksitas dan arena yang lebih luas. Karena itu Lukes menganjurkan
pentingnya pendekatan sosiologis untuk memahami hubungan kekuasaan secara
lebih dalam. Bagi Lukes apa yang merupakan “non events” membuat kebijakan
menjadi lebih signifikan ketimbang “event” pengambilan keputusan. Jadi Lukes

secara umum melihat kuasa sebagai ideologi dominan, sebagai sebuah bentuk
produksi mental dalam masyarakat. Di dalam Lukes kuasa adalah seperangkat
preferensi yang menentukan suatu bentuk, sebagai ideologi dominan, yang ia
7

Robert A. Dahl, op.cit.
Steven Lukes, Power: A Radical View (London: Palgrave Macmillan, 2005), hal. 19.
9
Peter Bachrach and Morton.S. Baratz, op.cit., hal. 7.
8

4

sebut sebagai konsepsi tiga dimensi tentang kuasa (three dimensional
conception of power).10
Dalam pandangan Lukes, konsepsi kuasa yang dikemukakan Dahl dan juga
Bachrach dan Baratz, gagal dalam melihat aksi kolektif dan efek sistemik yang
tidak bisa direduksi dalam keputusan atau perilaku individual. Juga gagal dalam
melihat bahwa kuasa juga menyertakan upaya aktor A untuk mencegah konflik
dengan maksud mempengaruhi, membentuk atau menentukan keinginan dari

B. 11 Kuasa bekerja ketika keinginan-keinginan diproduksi oleh sebuah sistem
kerja yang berlawanan dengan keinginan B yang sebenarnya. 12 Lukes
berkesimpulan bahwa yang paling utama dan paling tersembunyi namun
berbahaya dari bekerjanya kuasa adalah,
[…] to prevent people, to whatever degree, from having grievances by shaping their
perception, cognitions and preferences in such a way that they accept their role in
the existing order of things.13

Konsep kuasa Steven Lukes masih melihat otonomi relatif aktor dalam
menjalankan kekuasaan. Berbeda dengan Lukes, Talcott Parsons dan Nicos
Poulantzas melihat kekuasaan dalam pandangan strukturalis. Parsons, seorang
teoritisi struktural-fungsionalis, tidak memahami kuasa (power) dalam istilah
hubungan di antara agen-agen sosial, mereka sebagai individu-individu,
kelompok-kelompok atau negara-negara. Kuasa dipahami Parsons sebagai
bagian dari sistem-sistem sosial. Kuasa berarti memiliki kontrol atas hasil (output),
atau dalam bahasa Parsons,
A specific mechanism operating to brings about changes in the action of other units,
individual or collective, in the process of social interaction.14

Parsons melihat daya tahan sebuah sistem sosial dimungkinkan atas

pemenuhan empat fungsi dasar: pencapaian tujuan (goal attainment),
pemeliharaan pola (pattern maintenance), adaptasi (adaptation) dan integrasi
(integration). Fungsional ini mensyaratkan kecocokan terhadap sub-sistem sosial
yang berbeda. Sub-sistem politik menitikberatkan perhatiannya pada problem
pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan secara kolektif mensyaratkan performa
kewajiban yang mengikat setiap unit di dalam sistem, dan kuasa didefinisikan

10

Steven Lukes, op.cit., hal. 23-25.
Ibid., hal. 21-23.
12
Ibid., hal. 27.
13
Ibid., hal. 28.
14
Talcott Parson, “Power and Social System” dalam Steven Lukes (Ed.), Power (Oxford: Basil
Blackwell, 1986), hal. 95.
11


5

sebagai kapasitas untuk menjaga kewajiban yang mengikat tersebut. Pada saat
semuanya dilegitimasi dengan merujuk pada tujuan-tujuan kolektif mereka, dan
ketika pada situasi di mana terjadi keadaan yang berlawanan, di situ akan ada
asumsi berupa pelaksanaan sanksi-sanksi.15
Poulantzas, seorang teoritisi Marxis, juga memahami kuasa dalam cara
pandang sistemik. Poulantzas mendefinisikan kuasa sebagai, “kapasitas sebuah
kelas sosial untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu mereka secara
obyektif”16, sebagaimana Poulantzas menjabarkannya,
[…] just as the concept of class points to the effects of the ensemble of the levels of
the structure on the supports, so the concept of power specifies the effects of the
ensemble of these levels on the relations between social classes in struggle. It points
to the effects of the structure on the relations of conflict between the practices of the
various classes ‘in struggle’.17

Untuk menjelaskan hal ini, Poulantzas menyimpulkan bahwa kuasa tidaklah
menempati tingkatan-tingkatan struktur, tetapi sebagai sebuah efek dari akibatakibat umum tingkatan-tingkatan tersebut, sementara pada saat yang bersamaan
mencirikan masing-masing tingkatan perjuangan kelas, atau dalam bahasa
Poulantzas, “kelas kapitalis memiliki kekuasaan/kekuatan (power) untuk
menopang dan menjaga aturan-aturannya yang berkaitan dengan posisinya
dalam cara produksi kapitalisme modern”.18
Berbeda dengan Lukes, Parsons, Poulantzas, dan para strukturalis lainnya,
Michel Foucault memahaminya dengan melihat bagaimana kuasa bekerja dan
bagaimana kuasa digunakan dalam cara pandang yang berbeda. Foucault
memandang bahwa kuasa tidak melekat pada subyek sebagaimana dalam
pandangan Lukes, maupun dalam struktur sosial maupun kelas sosial
sebagaimana Parsons maupun Poulantzas. Bagi Foucault kuasa bukanlah sebuah
fungsi kesadaran, kuasa eksis pada saat dijalankan/digunakan (exercising), yang
dalam bahasa Foucault dikatakannya, “kuasa hanya eksis pada saat ia
digunakan”.19 Jadi kuasa tidak melekat atau berada di tangan subyek tertentu
atau aktor tertentu, tetapi lebih pada tindakan yang mengekspresikan kuasa itu
sendiri, sebagaimana dipahami Foucault,
Power must be analysed as something which circulates, or rather as something which
only functions in the form of a chain. It is never localised here or there, never in
15

Ibid., hal. 103.
Nicos Poulantzas, Political Power and Social Classes (London: Verso, 1987), hal.104.
17
Ibid., hal. 99.
18
Ibid, hal. 99-100.
19
Michel Foucault, “The Subject and Power” dalam Kate Nash (Ed.), Readings in Contemporary
Political Sociology (London: Blackwell, 2000), hal. 19.
16

6

anybody’s hands, never appropriated as a commodity or piece of wealth. Power is
employed and exercised through a net-like organisation. And not only do individuals
circulate between its threads; they are always in the position of simultaneously
undergoing and exercising this power. They are not only its inert or consenting
target; they are always the elements of its articulation. In other words, individuals are
the vehicles of power, not its point of application.20

Maka pandangan Foucault tentang kuasa bisa disarikan sebagai berikut: (1)
kuasa ada di mana-mana, bukan karena ia merangkul apa saja, tetapi ia muncul
dari mana-mana; (2) kuasa tidak bisa diperoleh, ditangkap, atau dibagi, karena itu
bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki (possessed).21
Kuasa dimaknai sebagai otoritas subyek atau juga bentuk dominasi subyek
atau institusi terhadap subyek lainnya. Meskipun dalam ranah pemikiran
mengenai kuasa perdebatannya masih belum berujung pada titik temu, namun
dari perbedaan tersebut bisa kita lihat bagaimana konsep kuasa berkembang.
Lalu dari dua konsep hegemoni dan kuasa, bagaimana kita bisa menarik sebuah
relasi yang berkaitan dan logis antara satu dengan lainnya? Bagaimana bisa
menjahit dua konsep tersebut dalam sebuah analisa mengenai hubungan kuasa
dan hegemoni? Di bagian terakhir ini saya mencoba untuk melihat keterkaitan
kedua konsep tersebut, ditambah dengan konsep ideologi, yang dalam
pandangan saya tidak dapat dipisahkan dengan hegemoni dan kuasa.
Hegemoni: Genealogi Sebuah Konsep
Hampir sebagian besar perdebatan mengenai konsep hegemoni mengerucut
kepada satu nama: Antonio Gramsci. Tidak dapat disangkal bahwa Gramsci
merupakan filsuf dan aktivis politik yang mengembangkan teori hegemoni, yang
ia gunakan untuk melihat perjuangan kaum buruh di Italia di bawah rezim fasis
Benito Mussolini. Meskipun jauh sebelum Gramsci konsep hegemoni sudah
dikembangkan untuk melihat kegagalan perjuangan buruh di Rusia.
Konsep hegemoni sendiri, dalam pemikiran Marxisme, awalnya
diperkenalkan oleh George Plekhanov dan juga Vladimir Lenin. Plekhanov
menuliskan bahwa kondisi obyektif yang ada di Rusia (pada saat sebelum
Revolusi Bolshevik) membutuhkan model perjuangan yang baru, yang menjadi
syarat untuk menghasilkan “pukulan mematikan” untuk menjungkalkan tatanan
lama (old order) yang telah berurat-akar. Jantung perjuangan model baru ini
adalah: aktivitas politik harus mempunyai atau memainkan peran utama dalam
20

Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (New
York: Pantheon Books, 1980), hal. 98.
21
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 3: The Care of the Self (Harmondsworth:
Penguin, 1990), hal. 93-96.

7

melakukan kontrol terhadap kekuasaan; dan setiap bagian dari model perjuangan
politik yang baru tersebut harus mampu mencoba, menciptakan dan menjaga
posisi yang dominan dalam menciptakan hegemoni kelas, atau yang ia sebut
gegemoniya.22
Dalam tulisannya Socialism and Political Struggle, Plekhanov melakukan
kritik terhadap taktik yang dilakukan oleh aliansi populis di Rusia waktu itu. Ia
mengatakan hanya melalui perjuangan politik yang dapat memacu dan
mempercepat terciptanya gerakan emansipasi yang luas. Gerakan ini yang akan
memiliki kekuatan untuk merobohkan bangunan besar bernama absolutisme.23
Untuk mampu mencapai tahapan tersebut, maka kaum proletar, lanjut Plekhanov,
harus mampu melakukan dua kerja strategis sekaligus: pertama, kaum proletar
harus mampu menciptakan secara terbuka dan diterima secara legal, organisasi
partai dan serikat-serikat buruh, dan harus mempunyai akses terhadap media
untuk dapat menyampaikan dan menerima pesan-pesan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Kedua, kaum proletariat di Rusia, sebagai kekuatan independen,
harus dapat terlibat secara giat dan sungguh-sungguh dalam perjuangan yang
sedang maupun akan datang untuk meruntuhkan absolutisme, dan membawa
kepentingan-kepentingan mereka sendiri (self-interests), dalam artian tidak
terkontaminasi oleh kepentingan elit politik borjuis. Untuk mencapai hal tersebut,
Plekhanov menyimpulkan bahwa peran khusus harus dapat dimainkan oleh kaum
intelektual sosialis, yang harus secara benar menjalankan tugas untuk menelurkan
kesadaran kaum proletariat.24
Menurut Jeremy Lester, meskipun Plekhanov dalam karya-karyanya tidak
secara jelas memberikan definisi yang jernih dan jelas tentang konsep hegemoni,
namun, bagi Lester itu sudah cukup untuk menilai bahwa konsep hegemoni
Plekhanov memiliki pengaruh strategis yang sangat besar dalam pemahamannya
tentang bagaimana kelas pekerja Rusia berhasil mengambil alih kekuasaan di
Rusia di masa depan.25 Bagi Lester, seperti juga Plekhanov, Lenin menegaskan
bahwa kelas pekerja, terlepas dari pentingnya posisi independen, dalam dirinya
mempunyai tugas untuk menciptakan sebuah tatanan (orde) borjuis yang
konstitusional, yang artinya di mana kaum kelas pekerja seharusnya diberikan alat

22

Jeremy Lester, Dialogue of Negation: Debates on Hegemony in Russia and the West (London:
Pluto Press, 2000), hal. 31.
23
George Plekhanov, Selected Philosophical Works: Volume I (London Lawrence and Wishart,
1961), hal. 60.
24
George Plekhanov, Ibid., hal. 117. Lihat juga Samuel H. Baron, Plekhanov: The Father of
Russian Marxism (London: Routledge, 1963), hal. 117-118.
25
Jeremy Lester, op.cit., hal. 40.

8

politik dan ruang politik untuk selanjutnya bekerja untuk melakukan hegemoni di
masa depan.26
Di sisi lain, menurut Roger Simon, bagi Lenin konsep hegemoni adalah
bagian dari strategi revolusi, sebuah strategi di mana kelas pekerja dan yang
merepresentasikannya harus mengambil dukungan dari mayoritas yang besar,
namun dalam pemikiran Lenin, kerjasama ini haruslah bersifat temporer, demi
menjaga keamanan (securing) kepentingan kelas buruh. Jadi, secara umum Lenin
melihat hegemoni sebagai kepemimpinan politik kelas buruh dalam aliansi kelaskelas yang lebih luas.27
Gramsci menambahkan dimensi-dimensi baru atas konsep hegemoni
dengan memperluas konsep tersebut sambil juga memasukkan praktik-praktik
kelas kapitalis atau yang merepresentasikannya, untuk mengambil kekuasaan atas
negara, kemudian mempertahankan dan memelihara kekuasan tersebut setelah
berhasil diperoleh.
Salah satu sentrum pemikiran Antonio Gramsci adalah konsepsinya tentang
hegemoni. Konsepsi hegemoni Gramsci mengacu kepada hubungan antara apa
yang disebutnya “civil society” dan “state” atau negara, di mana keduanya ada
pada level superstruktur, sebagaimana Gramsci mengacu kepada pemikiran
Marx,
What we can do, for the moment, is to fix two major superstructural ‘levels’: the one
that can be called ‘civil society’, that is the ensemble of organisms commonly called
‘private’, and that of ‘political society’ or ‘the State’. These two levels correspond on
the one hand to the function of ‘hegemony’ which the dominant group exercises
throughout society and on the other hand to that of ‘direct domination’ or command
exercised through the State and ‘judicial’ government.28

Gramsci kemudian menjelaskan peran penting kaum intelektual dalam
konsep hegemoninya. Menurut Gramsci, hubungan antara kaum intelektual dan
wilayah produksi (dalam istilah Marx hubungan produksi) bersifat tidak langsung,
tidak seperti kelompok-kelompok sosial yang secara fundamental masuk ke

26

Lester menambahkan bahwa asosiasi tersebut merupakan hal-hal utama dalam perjuangan
politik, yakni: aliansi kelas secara temporer, bagaimana memelihara otonomi kelas tanpa aliansi
dengan kelas manapun, dan pentingnya menumbuhkan kesadaran yang dibentuk oleh kaum
intelektual organik merupakan ranah yang sengat penting, bukan hanya dalam keterbatasan
konsep hegemoni Plekhanov, tetapi dalam menciptakan poin-poin referensi di masa depan atas
terminologi yang telah secara dalam digunakan secara luas dan signifikan oleh para pemikir
revolusioner Russia berikutnya, terutama Lenin. Lihat Jeremy Lester, op.cit., hal. 43.
27
Roger Simon, Gramsci’s Political Thought: An Introduction (London: Lawrence and Wishart,
1982).
28
Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks. Eds. by Quintin Hoare and Geoffrey N.
Smith (London: Lawrence and Wishart, 1986), hal. 12.

9

dalam hubungan tersebut (misal: buruh, pemiliki modal), tetapi dalam tingkat
yang berbeda, yang “dimediasi” oleh keseluruhan produksi yang dihasilkan
masyarakat dan kompleksitas wilayah superstruktur, di mana kaum intelektual
merupakan para “fungsionaris-nya”.
Gramsci melanjutkan, bahwa sudah semestinya dimungkinkan untuk
mengukur “kualitas organik” berbagai macam strata intelektual, dan tingkat
hubungan mereka dengan kelompok-kelompok sosial fundamental, dan untuk
membangun sebuah skala perubahan fungsi-fungsi mereka dan juga wilayah
superstruktur dari bawah ke atas.
Lebih jauh lagi, Roger Simon menulis bahwa poin awal konsep hegemoni
adalah bahwa sebuah kelas merepresentasikan dan menjalankan kekuasaan atas
kelas-kelas yang tersubordinasi melalui kombinasi cara-cara kekerasan (coercion)
dan persuasif (persuasion).29 Pada titik ini, hegemoni adalah sebuah hubungan,
yang bukan melalui cara dominasi lewat cara-cara kekerasan, tetapi terbentuk
atas dasar persetujuan suatu cara-cara kepemimpinan politik dan ideologis.
Intinya bagaimana mengorganisir kesepakatan atau persetujuan bersama.
Bagi Gramsci, poin pokok pada pernyataannya tentang pentingnya
kepemimpinan dan upaya-upaya untuk memenangkan kekuasaan pemerintahan,
serta kriteria metodologis yang harus menjadi dasar adalah dengan melihat
bahwa,
[…] supremacy of a social group manifests itself in two ways, as ‘domination’ and as
‘intellectual and moral leadership’. A social group dominates antagonistic groups,
which it tends to ‘liquidate’, or to subjugate perhaps even by armed forces; it leads
kindred and allied groups. A social groups can, and indeed must, already exercise
‘leadership’ before winning governmental power (this indeed is one of the principal
conditions for the winning o such power); it subsequently becomes dominant when it
exercise power, but even if it holds it firmly in its grasp, it must continue to ‘lead’ as
well.30

Karena itu, dalam pandangan Gramsci, konsekuensi dari kelas yang
tersubordinasi dalam berjuang hanya dapat menjadi kelas yang hegemonik
dengan membangun kapasitas dirinya untuk mengambil dukungan dari kekuatan
sosial atau kelas lainnya. Kaum proletar dapat mengambil kepemimpinan atas
kekuatan-kekuatan lainnya dalam melawan kapitalisme dengan mengubah arah
politik kekuatan-kekuatan yang pasti, dan dapat menyerap blok historis dari
politik-ekonomi menjadi lebih homogen, tanpa harus menciptakan kontradiksi

29
30

Roger Simon, op.cit., hal. 21
Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hal. 57-58.

10

internal, dan kemudian berhasil membangun formasi yang sudah menjadi
tujuan.31
Gramsci menjelaskan tentang tiga cara bagaimana perbedaan momenmomen kesadaran politik dapat dianalisa dan dibedakan ke dalam tingkatan
yang bervariasi. Momen pertama dan merupakan momen yang paling dasar
adalah momen economic-corporate level: seorang pedagang merasa memiliki
kewajiban moral untuk saling mendukung dengan pedagang lainnya, demikian
juga dengan usaha manufaktur yang satu dengan lainnya, dan lain-lainnya, tetapi
si pedagang belum memiliki perasaan solidaritas dengan mereka yang berusaha
di bidang manufaktur.
Momen kedua adalah momen di mana kesadaran dapat dicapai pada tahap
persamaan kepentingan (solidarity of interest) di antara seluruh anggota di dalam
kelas sosial – tetapi kepentingan yang masih dalam tingkat yang murni pada
wilayah ekonomi.
Momen ketiga adalah momen di mana satu kelompok menjadi sadar akan
pentingnya memiliki satu kepentingan yang lebih luas dan berhubungan di atas
kepentingan-kepentingan lainnya, dalam membangun masa kini dan masa depan
seluruh kelompok, melampaui batasan sekedar hanya kepentingan ekonomi
belaka, dan dapat serta harus juga menjadi kepentingan-kepentingan kelompokkelompok lain yang tersubordinasi. Momen inilah yang oleh Gramsci disebutnya
sebagai momen hegemoni, yakni:
[…] the most purely political phase, and marks the decisive passage from the
structure to the sphere of complex superstructures; it is the phase in which previously
germinated ideologies become ‘party’, come into confrontation and conflict, until
one of them, or at least a single combination of them, tends to prevail, to gain the
upper hand, to propagate itself throughout society – bringing about not only a
unison of economic and political aims, but also intellectual and moral unity, posing
all questions around which the struggle rages not on a corporate but on a ‘universal’
plane, and thus creating the hegemony of a fundamental social group over a series
of subordinate groups.32

Pada tahap inilah peran penting intelektual organik sebagai penata proses
hegemoni mempunyai tugas untuk menciptakan atau melahirkan aspirasi-aspirasi
laten yang koheren, serta potensi-potensi yang secara inheren telah ada dalam
aktivitas kelas pekerja. Hubungan erat antara kaum intelektual organik dan kelas
mereka merupakan proses yang dialektis: mereka melahirkan atau mematerialkan
bentuk-bentuk pengalaman kaum kelas pekerja, dan pada saat bersamaan
menanamkan kesadaran teoritis kepada mereka.33
31

Ibid., hal. 168
Ibid., hal. 181-182.
33
David McLellan, Marxism After Marx (London: Macmillan,1980), hal. 200.
32

11

Pemikiran paling mutakhir mengenai hegemoni lahir dari para teoritisi
politik Post-Marxisme yakni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Meskipun
berpijak pada teori hegemoni Gramsci, Laclau dan Mouffe mengajukan sejumlah
kritik terhadap Gramsci. Selain itu, dasar analisa mereka berpijak pada sebuah
perbedaan penting, di mana Gramsci paradigma teoritiknya berpijak pada
analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe memijakkan paradigma teoritiknya
pada analisa wacana (discourse analysis).
Discourse dalam ranah pemikiran teoritik Laclau dan Mouffe dijelaskan
sebagai, “the structured totality resulting from the articulatory practice”,34 yang
mereka contohkan dengan kegiatan menendang,
If I kick a spherical object in the street or if I kick a ball in a football match, the
physical fact is the same, but its meaning is different. The object is a football only to
extent that it establishes a system of relations with other objects, and these relations
are not given by the mere referential materiality of the objects but are, socially
constructed.35

Jadi, dalam pandangan Laclau dan Mouffe hegemoni secara umum memiliki
validitas dalam menganalisa proses disartikulasi dan reartikulasi yang bertujuan
menciptakan dan menjaga politik sebagaimana juga kepemimpinan moralintelektual. Bagi Laclau dan Mouffe, hegemoni merupakan praktik artikulasi yang
membangun nodal points (titik temu dari sebuah rangkaian) yang secara parsial
memperbaiki makna dari yang-sosial dalam sebuah sistem difference yang
terorganisasi.36
Lalu bagaimana melihat hegemoni dalam konteks politik?
Laclau dan Mouffe melihat bahwa hegemoni akan muncul dalam situasi
antagonisme, misalnya rezim yang menindas rakyat, yang memungkinkan
terbentuknya political frontier. Political frontier akan menciptakan pertarungan
hegemonik, di mana dalam situasi ini akan terbangun apa yang disebut chain of
equivalence di antara kelompok sosial yang melakukan resistensi terhadap rezim
penindas.
Mencari Agen Baru Gerakan Sosial
Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian atas, Gramsci melihat bahwa
hegemoni berhasil ketika kelas penguasa (ruling class) mampu menyingkirikan
34

Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical
Democtaric Politics (London: Verso, 2001), hal 105.
35
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, “Post-Marxist Without Apologies” dalam New Left Review
No.166 (November/December 1987), hal. 82.
36
Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hal. 134-137.

12

kekuatan oposisi dan memenangi persetujuan – baik aktif maupun pasif – dari
sekutunya. 37 Menurut Gramsci, subyek tindakan politik tidak dapat
diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, setelah mereka mencapai bentuk
“keinginan kolektif” yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni
yang diciptakan melalui ideologi. Formasi sebuah keinginan kolektif bukanlah
konsekuensi dari tekanan ideologis kelas dominan atas kelas-kelas lainnya,
melainkan produk reformasi moral dan intelektual, yang mengartikulasikan
kembali elemen-elemen ideologis. Jadi, secara umum bisa dikatakan bahwa
hegemoni dalam pemahaman Gramsci adalah mengorganisir persetujuan –
proses yang dijalankan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi
dibentuk tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi. Blok penguasa ini tidak
hanya beroperasi di tataran ruang politik (political sphere), tetapi juga di seluruh
masyarakat.38
Hegemoni adalah bagaimana elemen yang partikular mampu menciptakan
tuntutan mereka menjadi universal. Dalam pandangan Louis Althusser, proses
seperti dominasi negara terhadap masyarakat berlangsung melalui aparat-aparat
ideologi negera (idelogical state apparatuses) yang membentuk kesadaran palsu
dalam masyarakat, dan membentengi masyarakat dari pembentukan
pengetahuan akan adanya eksploitasi dan penindasan. Kesadaran palsu
membentuk masyarakat menyetujui tindakan-tindakan yang diambil oleh negara,
sekalipun tidak berkesesuaian dengan kepentingan mereka. Proses ini yang
disebutnya proses hegemonisasi yang membuat kelas yang menguasai negara
dapat bertahan lama.39
Namun, hal terpenting dari konsepsi hegemoni Gramsci – maupun lainnya –
adalah melihat bagaimana hegemoni juga merupakan bentuk masyarakat sipil
membangun kekuatan politiknya dalam menghadapai rezim yang menindas dan
represif. Dalam konteks ini Gramsci membedakan dua bentuk hegemoni yakni:
transformisme (transformism) dan hegemoni ekspansif (expansive hegemony).
Kedua bentuk ini melibatkan sebuah proses simultan revolusi-restorasi
(revolution-restoration). Restorasi cenderung mendominasi bentuk transformisme,
sementara revolusi cenderung mendominasi bentuk hegemoni ekspansif.
Transformisme bisa dilihat sebagai tipe defensif dari politik, yang diikuti oleh
kekuatan hegemonik dalam sebuah situasi krisis ekonomi dan politik, melibatkan
penyerapan secara gradual namun terus-menerus, dicapai melalui metode yang
selalu berubah-ubah sesuai dengan efektifitas elemen-elemen aktif yang

37

Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hal. 71
Michelle Barret, “Ideology, Politcs, Hegemony: From Gramsci to Laclau and Mouffe”, dalam
Slavoj Žižek (Ed.), Mapping Ideology (London: Verso, 1994), hal. 238.
39
Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards An
Investigation)”, dalam Slavoj Žižek (Ed.), ibid., hal. 112.
38

13

diproduksi oleh kelompok-kelompok yang beraliansi – dan bahkan dari
kelompok-kelompok atau individu yang merupakan kelompok antagonistik dan
kelihatannya merupakan lawan yang tidak terdamaikan.40 Tujuan dari bentuk ini
adalah sebuah konsensus yang pasif yang bisa menetralisir kekuatan politik yang
antagonistik dan memecah-belah massa. 41 Dengan kata lain, transformisme
merupakan revolusi tanpa massa – revolusi yang pasif.
Hegemoni ekpansif dapat dicirikan sebagai anti revolusi pasif. Strategi dari
hegemoni ekspansif adalah strategi yang berusaha menandingi upaya kaum
borjuis untuk menjaga kepemimpinannya dengan menata ulang dan rekomposisi
kekuatan blok hegemonik. Juga merupakan bentuk strategi ofensif untuk
membangun konsensus aktif untuk memobilisasi massa dalam sebuah revolusi
yang meliputi perubahan superstruktur politik dan ideologis, dan juga
infrastruktur ekonomi. Hegemoni ekspansif meliputi formasi keinginan bersama
dengan karakter nasional-populer, yang dapat memajukan perkembangan utuh
tuntutan partikular, dan akhirnya memimpin revolusi dari kontradiksi yang sudah
dimunculkan.42
Jadi, hegemoni bekerja dari dua arah, yakni top-down, pada saat rezim
opresif melakukan hegemonisasi, juga bottom-up, pada saat terjadi resistensi
masyarakat terhadap penindasan rezim. Namun Gramsci tetap menitikberatkan
bahwa perjuangan hegemonik masih menempatkan buruh sebagai aktor utama
dalam pembentukan new historical block sebagai tahap paling politis dari proses
hegemoni. Ernesto Laclau menambahkan dimensi-dimensi lain dari pemikiran
Gramsci tersebut.
Berbeda dengan Gramsci, Laclau tidak lagi memfokuskan kelas buruh
sebagai agen praktik hegemoni. Laclau mengajukan tesis mengenai gerakan
sosial baru, yang bisa mengisi ruang kosong dalam gerakan-gerakan sosial, ketika
gerakan buruh melemah, dan menjadi kekuatan yang tidak strategis dalam
gerakan sosial di penghujung abad duapuluh. Menurut Laclau, jika perjuangan
hegemonik ingin berhasil, yang harus diperhatikan adalah tidak menempatkan
logika yang diartikulasikan oleh semua bentuk eksternal ke dalam ruang
partikular. Itu harus menjadi sebuah artikulasi yang bekerja di luar logika internal
dari partikularitas itu sendiri. Sebaliknya, munculnya partikularitas bukanlah hasil
dari sebuah otonomi atau gerakan yang dilakukan sendirian, tetapi harus
dipahami sebagai sebuah kemungkinan internal yang dibuka oleh logika yang
diartikulasikan. Dengan kata lain, universalisme dan partikularisme bukanlah
gagasan yang berlawanan, tapi harus dipahami sebagai dua gerak yang berbeda
40

Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hal. 59.
Chantal Mouffe, “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Chantal Mouffe (Ed.), Gramsci
and Marxist Theory (London: Routledge, 1979), hal. 182.
42
Antonio Gramsci, Prison Notebooks, hal. 132-133, bandingkan Chantal Mouffe, ibid., hal. 183.
41

14

(menguniversalkan dan mempartikularkan) yang menentukan sebuah totalitas
artikulasi dan hegemoni. Jadi jangan memahami totalitas sebagai sebuah
kerangka yang ada dalam praktik hegemoni: tetapi kerangka itu sendiri yang
harus diciptakan melalui praktik hegemoni.43
Laclau mengambil contoh Rosa Luxemburg dalam melihat formasi keinginan
kolektif (collective will):
1. Dalam situasi dari penindasan yang ekstrim, kaum buruh memulai
pemogokan menuntut kenaikan upah. Tuntutan ini bersifat partikular, tapi
dalam konteks dari rezim yang menindas, itu dilihat sebagai aktivitas yang
menolak sistem rezim penindas (anti-system). Maka makna dari tuntutan
tersebut terbagi menjadi dua, dari yang paling awal, antara partikularitas nya
sendiri dan sebuah dimensi yang lebih universal (anti-system)
2. Potensialitas dari dimensi yang lebih universal ini dapat menginspirasikan
perjuangan untuk tuntutan yang berbeda dari sektor lainnya – misalnya
mahasiswa yang menuntut agar dibuat kurikulum pendidikan yang lebih
santai dan tidak terlalu disiplin, kaum politisi liberal menuntut kebebasan
pers, dan lainnya. Setiap tuntutan ini ada dalam partikularitasnya masingmasing, tidak berhubungan satu dengan lainnya; apa yang menyatukan
mereka adalah mereka menciptakan di antara mereka sebuah chain of
equivalence (kesetaraan) di mana mereka semua dimaknai sebagai anti
sistem. Munculnya sebuah batas (frontier) yang memisahkan rezim penindas
dengan masyarakat adalah kondisi paling baik bagi universalisasi tuntutan
melalui bermacam-macam kesetaraan (equivalences)
3. Meskipun begitu semakin luasnya chain of equivalences, (rantai yang
membangun kesetaraan) semakin banyak kebutuhan bagi kesetaraan yang
lebih general yang merepresentasikan rantai secara keseluruhan. Makna dari
representasi adalah adanya partikularitas. Jadi satu dari mereka harus
diasumsikan sebagai representasi dari rantai secara keseluruhan. Inilah gerak
hegemonik yang sempurna: pokok dari sebuah partikularitas mengasumsikan
sebagai sebuah fungsi dari representasi universal.44
Namun, pada sisi lain rezim penindas juga melakukan praktik hegemoni dan
mencoba menyerap transformasi (menggunakan istilah Gramsci) dari tuntutan
oposisi. Karena itu garis batas yang memisahkan rezim penindas dengan
kelompok yang berseberangan sangatlah tidak stabil. Karena jika rezim penindas
43

Ernesto Laclau, “Constructing Universality”, dalam Judith Butler, Ernesto Laclau and Slavoj
Žižek, Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary Dialogues on the Left (London:
Verso, 2000), hal. 301-302.
44
Ernesto Laclau, “Constructing Universality”, hal. 302-303.

15

menerima sebagian tuntutan, maka dapat membuyarkan chain of equivalence
dan mengembalikannya kembali pada masing-masing partikularitas. Kondisi ini
disebut logic of difference.
Penutup
Dari paparan di atas, bisa diambil beberapa pokok pikiran bahwa gagasan
hegemoni mengalami berbagai penafsiran dari tradisi Marxisme sampai tradisi
Pasca-Marxisme. Dalam tradisi Marxisme, agen praktik hegemoni adalah kelas
buruh, sementara dalam tradisi Pasca-Marxisme keagenan lebih melihat pada
pluralitas dari yang-sosial. Namun, keduanya memiliki kesamaan, yakni melihat
hegemoni bekerja dalam dua arah, baik dari rezim yang berkuasa, maupun
kelompok yang beroposisi dengannya.
Pada tradisi Marxian, dalam praktik hegemoni relasi antara kekuasaan
(power) dan ideologi memiliki peran penting dalam membentuk hegemonisasi,
sementara dalam tradisi Pasca-Marxisme, peran ideologi dan kekuasaan menjadi
pelengkap, karena yang manjadi fokus adalah menciptakan discourse
hegemonik, pembentukan artikulasi yang menciptakan antagonisme dan political
frontiers.
Dalam praktiknya, kelas yang berkuasa menjalankan fungsi hegemoni
sekaligus dominasi secara bersamaan dalam menjaga kelangsungan
kekuasaan/dominasinya atas yang kelas yang dikuasai. Di sisi lain, praktik
hegemoni dijalankan oleh kelompok yang dikuasai untuk melakukan perlawanan
terhadap otoritas kekuasaan, dengan menjalankan praktik counter-hegemony
terhadap kekuasaan, sekaligus menjadi kekuataan hegemonik di tingkat
kelompok-kelompok yang dikuasai.

Kepustakaan Rujukan

Althusser, Louis, “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an
Investigation), dalam Slavoj Žižek (Ed), Mapping Ideology (London: Verso,
1994).
Bachrach, Peter and Morton S. Baratz, Power and Poverty: Theory and Practice
(Oxford: Oxford University Press, 1970).
Barret, Michelle, “Ideology, Politcs, Hegemony: From Gramsci to Laclau and
Mouffe”, dalam Slavoj Žižek (Ed), Mapping Ideology (London: Verso, 1994).

16

Baron, Samuel. H, Plekhanov: The Father of Russian Marxism (London:
Routledge, 1963).
Dahl, Robert A., “The Concept of Power” dalam Behavioral Science Vol. 2 (2)
(1957).
Dowding, Keith, Power (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996).
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
1972-1977 (New York: Pantheon Books, 1980).
Foucault, Michel, “The Subject and Power” dalam Kate Nash (Ed), Readings in
Contemporary Political Sociology (London: Blackwell, 2000).
Foucault, Michel, The History of Sexuality, The Care of the Self (Volume 3)
(Harmondsworth: Penguin, 1990).
Gramsci, Antonio, Selections From Prison Notebooks, Eds. Quintin Hoare and
Geoffrey N. Smith (London: Lawrence and Wishart, 1986).
Gramsci, Antonio, Selections From Political Writings 1910-1920. Ed. Quintin
Hoare (London: Lawrence and Wishart, 1988).
Laclau, Ernesto, “Constructing Universality”, dalam Judith Butler, Ernesto Laclau
and Slavoj Žižek, Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary
Dialogues on the Left (London: Verso, 2000).
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, “Post-Marxist Without Apologies” dalam
New Left Review No.166, (November/December 1987).
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards
A Radical Democratic Politics (London: Verso, 2001).
Lester, Jeremy, Dialogue of Negation: Debates on Hegemony in Russia and the
West (London: Pluto Press, 2000).
Lukes, Steven, Power: A Radical View (London: Palgrave Macmillan, 2005).
McLellan, David, Marxism After Marx (London: Macmillan, 1980).
Mouffe, Chantal, “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Chantal Mouffe
(Ed), Gramsci and Marxist Theory (London: Routledge, 1979).
Parsons, Talcott, “Power and Social System” dalam Steven Lukes (Ed), Power
(Oxford: Basil Blackwell, 1986).
Poulantzas, Nicos, Political Power and Social Classes (London: Verso, 1987).
Plekhanov, George V., Selected Philosophical Works: Volume I (London:
Lawrence and Wishart, 1961).
Salvadori, Massimo, “Gramsci and the PCI: Two Conceptions of Hegemony” in
Chantal Mouffe (Ed), Gramsci and Marxist Theory (London: Routledge,
1979).
Simon, Roger, Gramsci’s Political Thought: An Introduction (London: Lawrence
and Wishart, 1982).

17