Modal Sosial Partisipasi Warga yang Di
Kajian Politik Lokal & Sosial-Humaniora
Tahun VII no. 1. 2007
Daftar IsI
Penanggung Jawab
Pradjarta Dirdjosanjoto
Ketua Dewan Redaksi
Nico L Kana
Dewan Redaksi
Budi Lazarusli
Gerry van Klinken
Herudjati Purwoko
Ignatia M Hendrarti
Maksim D Prabowo
Nico L Kana
Ph Quarles van Ufford
Wisnu T Hanggoro
Roland Peek
Redaktur PelaksanaSekretaris Redaksi
Ninik Handayani
(dibantu Ambar Istiyani)
ISSN
1411-7924
■ DAFTAR ISI,
■ PRAWACANA
▪ “Governance Bencana”
– Dr. Nico L. Kana, 3
■ KAJIAN TEORITIS PENANGANAN BENCANA
▪ Governance by Accident in Indonesian Disaster
Mitigation: A Theoretical Literary Review
– Benny D. Setianto, SH. LL.M. MIL, 5
▪ Bencana dalam Perspektif Teologi Kontekstual
– Dr. Zakaria Ngelow, S.Th, M.Th, 37
▪ Bencana dalam Berita: Komodiikasi dan
Simpliikasi Fakta
–Triyono Lukmantoro, MA, 44
▪ Entitlement, Vunerability and Social Security:
Theoritical Contribution to Disaster Mitigation
– Kristian Tamtomo, MA, 6
■ MANAJEMEN BENCANA
▪ Komunikasi dan Manajemen Resiko Bencana Flu
Burung di Kawasan Perkotaan, Indonesia
– Prof. Dr. Budi Widianarko, 78
▪ Modal Sosial: Partisipasi Warga yang selalu
Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan.
Belajar dari Penanganan Gempa Bumi Yogya Jateng
– AB. Widyanta, S.Sos, 95
▪ Gempa Bumi Yogya - Jateng dan Absennya
Negara
– S. Rahma Mary H, SH & Arum Widayatsih,
S.Sos, 5
▪ Melihat Banjir di Atas Koran dari Segi Semantik
– Herudjati Purwoko, Ph.D, 30
■ DAMPAK DAN ADVOKASI PASCA BENCANA
▪ Kearifan Lokal Jawa dan Resiliensi Bencana
dalam Folklore Indonesia
– Augustina Sulastri, S.Psi, 49
▪ Interpretasi Ulang Makna Spiritualitas Bencana
dalam Cerita Rakyat Indonesia
– Purwanti Kusumaningtyas, M.Hum, 67
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Tahun VII no. 1. 2007
▪ Antisipasi Bencana dalam Kebijakan Tentang
Air. Sebuah Telaah Gerakan Rakyat Menentang
Keluarnya Kebijakan Kenaikan Tarif PDAM
– Geritz Febrianto R. Bataragoa, Ir. Nick T.
Wiratmoko, M.Si, dan Sumadi, 85
▪ Bantuan Bencana: Potensi Korupsi & Korupsi
Potensi
– Yakub Adhi Kristanto, SH, 06
■ TIMBANGAN BUKU
▪ Mendengarkan Suara Korban
– Budi Lazarusli, SH.MH, 3
▪ Dialektiak Natur/Alam, Kultur/Budaya, dan Struktur:
Analisis Konteks, Proses, dan Ranah dalam
Konstruksi Bencana
– Dr. Nico L. Kana, 7
■ TENTANG PARA PENULIS, 3
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Manajemen Bencana
AB. Widyanta, S.Sos
MoDal sosIal:
PartIsIPasI Warga yang DInIsbIkan
DalaM Governance kebencanaan
(Potret Penanganan Gempa Yogya & Jateng)
Abstract
The series of natural disaster that hit recently Indonesia did not bring
the people of Indonesia to become more sensitive and more prepared
in handling any emergency situation. Worse than that, the social capital
that sprang up in the wake of the disasters has been marginalized and
distorted by government policies that serve only the bureaucratism and
corporatism of centralistic government.
Many factors indicated that the central government has undermined local
democracy and the spirit of decentralization using the natural disaster as
an excuse. As a result, “the damaged” caused by government’s action
was no less disastrous than the natural disaster itself.
This article will further scrutinize the implications of post earthquake social
capital strengthening vis a vis the weak role and responsibility of the state
in fulilling basic rights of the people, whether the victims or the survivors
of earthquake. In the frame of nation state practice, the strengthening
social capital should be viewed as people participation which should
be framed, afirmed, and strengthened by state as an effective control
instrument of power to promote disaster governance that is populist,
equal, and digniied.
(Key words: social capital, participation, local democracy, natural disaster,
disaster governance)
Bantuan pencen migunani, nanging langkung migunani malih
krenteg manahipun piyambak-piyambak, gumregah tangi
lajeng makarya. Mboten perlu ngarep-arep bantuan, mangke
mindak kuciwa.Griyo ingkang rubuh njih sampun, mangke
menawi wonten ragat dipun bangun malih.
(Mbah Karto, Buletin Suara Edisi 7,
1 Agustus 2006)
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
95
Tahun VII no. 1. 2007
Menguatnya Modal Sosial
enakjubkan! Kata itulah yang boleh jadi pantas untuk melukiskan tingginya semangat gotong-royong masyarakat Yogja dan
Jateng untuk segera bangkit dan menata diri kembali, setelah
gempa bumi berskala 5,9 skala Richter mengguncang ke dua wilayah tersebut selama kurang dari hitungan 1 menit, pada Sabtu Wage, 27 Mei 2006,
satu tahun silam. Kendati bencana gempa bumi itu sangat dahsyat, hingga
menelan banyak korban dan kerusakan infrastruktur,1 namun bencana itu
tidak serta merta meluluh-lantakkan ikatan solidaritas dan kelembagaan
sosial informal di kedua wilayah tersebut. Meski didera kepanikan dan
kekalutan massa, lantaran harus mengurusi masifnya korban jiwa dan
melarikan korban luka-luka ke rumah sakit (terutama kabupaten Bantul
dan Klaten), disusul dengan beredarnya isu tsunami, dan juga gempa-gempa susulan, warga korban dengan seluruh sisa-sisa naluri reaktifnya berupaya menghidup-hidupkan nalar, kesadaran, kearifan lokal mereka untuk
menghadapi prahara yang belum pernah mereka alami sebelumnya itu.
Forma jejaring masyarakat sipil, yang pada masa normal teramat samar,
mendadak transparan, tergelar, terhampar, dan menggurita hingga menjangkau ke pelosok-pelosok dusun, bahkan melampaui batas-batas wilayah
kabupaten. Dalam hitungan jam, jejaring civil society spontan bangkit dan
menggurita.
Masih segar di ingatan, hari pertama dan kedua pasca bencana,
masyarakat dari luar daerah bencana telah bergerak mengirimkan bantuan logistik maupun relawan untuk membantu warga korban bencana.
Dibantu para relawan, tanpa dikomando, warga masyarakat (perempuanlaki-laki, tua-muda, kaya-miskin) gumregah, bangkit, bergerak, bekerja bahu
membahu, bergotong royong membersihkan puing-puing dan menata
kembali dusunnya masing-masing. Di sana-sini, posko-posko bantuan pun
didirikan dan diorganisir secara sigap oleh berbagai paguyuban masyarakat
sipil. Secara gesit pula warga membentuk dapur-dapur umum untuk me-
M
1.
96
Gempa terjadi akibat pergerakan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang menujam (subducted). Titik pusat
gempa sekitar 37 kilometer sebelah selatan kota Yogya (tepatnya 8,240 LS dn 110,430 BT), pada kedalaman
33.000 meter. Dua daerah yang tingkat kerusakannya paling parah adalah daerah Bantul dan Klaten, karena
dua daerah itu merupakan lintasan garis patahan Sesar Opak (Opak Creek), salah satu formasi geologis
penting di daratan pulau Jawa. Berdasarkan data tertanggal 6 juni 2006, korban meninggal di Yogya 4.805,
Jateng 1.052, total 5.857; korban luka-luka di Yogya 18.702, Jateng 18.527, total 37.229; rumah roboh
di Yogya 53.761, Jateng 30.882, total 84.643; rumah rusak berat di Yogya 70.587, Jateng 64.451, total
135.048; Rumah rusak ringan Yogya 92.386, Jateng 95.848, total 188.234. Lihat lebih lanjut data korban
dan kerusakan di http://insist.or.id. Menurut estimasi Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia, total
kerugian akibat bencana gempa bumi Yogya dan Jateng mencapai 292,2 triliun atau setara dengan 3 miliar
dollar AS. Lihat Harian Kompas, Senin 12 Juni 2006.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
nyajikan makanan bagi warga korban gempa. Tak ada lain, aktivitas massa
itu digerakkan oleh spirit altruisme dan kerelawanan (voluntarism) yang sangat tinggi di antara warga sendiri.
Hari-hari berjalan, gerakan solidaritas warga dari luar daerah kian
tak terbendung, bahkan kian menjadi-jadi bila hari-hari libur atau Ahad
tiba. Dengan menggunakan truk terbuka, lusinan rombongan warga nonkorban baik dari dalam dan luar wilayah bencana berarak menyebar ke berbagai pelosok desa di daerah Bantul, Prambanan, Klaten dan Gunungkidul.
Dalam menjalani misi gotong-royong itu, tanpa ingin merepotkan warga
korban yang hendak dibantu, rombongan warga dari daerah Magelang,
Wonosobo, Temanggung, dan berbagai kabupaten di Jawa Tengah membekali diri mereka dengan peralatan pertukangan masing-masing. Ruparupa nyamikan (makanan ringan), komboran (air minum), nasi bungkus, dan
berbagai ransum ala kadarnya sebagai sajian sambatan pun telah mereka
siapkan dan bawa sendiri. Tak jarang, mereka juga membawakan oleh-oleh
bahan pangan, lusinan batang bambu, bermacam material bangunan, demi
meringankan beban penderitaan warga korban. Bambu-bambu dan material segera bisa digunakan untuk mendirikan naungan sementara, posko,
dapur umum, maupun untuk menyulam beberapa komponen rumah yang
rusak atau bahkan hancur.
Spirit jawa klasik Holobis Kuntul Baris yang tertoreh di ruang-ruang
advertensi publik seolah menjadi mozaik peneguhan atas makna agung dari
laku urip jalma utama: guyub, rukun, dan tepa selira mring pepada (praksis hidup
manusia yang pantas diteladani: solider, rukun, dan bertenggang rasa pada
sesama). Terasa sungguh betapa warga korban menjadi sangat terbantu,
teringankan bebannya, dan terteguhkan hatinya, lantaran kuatnya gerakan
solidaritas di antara jejaring masyarakat sipil tersebut. Tercatat, tiga bulan
pasca bencana telah menjadi saksi atas bangkitnya gerakan sosial laten di
kalangan masyarakat sipil Yogya dan Jateng. Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “gerakan dari rakyat untuk rakyat” (people to people movement).
Ada juga yang mengistilahkannya sebagai “gerakan dari desa ke desa” (village to village movement). Apapun istilahnya, itulah realitas gerakan solidaritas
dari, oleh, dan untuk masyarakat sipil yang spontan muncul pasca bencana
Yogya dan Jateng. Di tengah keporak-porandaan harta material duniawi
itu, pantas kita berbesar hati lantaran masih bisa menemukan harta karun
sosial atau modal sosial yang tak ternilai harganya. Sebuah apresiasi yang
representatif muncul dari Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Lebih jauh, ia menyatakan:2
2.
Harian Kedaulatan Rakyat, 7 juli 2006
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
97
Tahun VII no. 1. 2007
Di balik bencana yang telah merusak banyak hal, ternyata masyarakat
DIY dan Jateng masih memiliki modal sosial yang tidak rusak. Hal ini
terlihat dari tingginya semangat untuk bangkit kembali secara gotong
royong yang muncul dimana-mana. “Modal sosial masyarakat DIY dan
Jateng ini sungguh luar biasa. Ini lebih penting dan jauh lebih bermakna
daripada modal material.
Ungkapan Nashir di atas kiranya tak berlebihan. Memang, musti
diakui bahwa modal sosial atau harta karun sosial itulah yang nyata-nyata
telah menyelamatkan banyak orang dalam penanganan pasca gempa Yogja
dan Jateng tersebut.
Lemahnya Peran Negara
Dalam situasi chaos semacam itu, lantas di manakah sosok negara
sebagai pemegang peran regulatif, pelaksana, penanggungjawab, dan penjamin hak-hak dasar warga? Itulah pertanyaan retoris yang musti direleksikan kembali oleh kita semua, terlebih jajaran state apparatus. Diakui atau
tidak, inisiasi-inisiasi penanganan emergensi (bahkan hingga rehabilitasi,
dan rekonstruksi saat ini) dari berbagai komponen masyarakat sipil Yogya dan Jateng tersebut secara riil telah berhasil mematahkan bottle-neck
penyaluran bantuan kemanusiaan oleh birokrasi pemerintah. Gerakan sosial yang sangat massif dari berbagai komponen masyarakat sipil (seperti
paguyuban warga, ormas, lembaga keagamaan, LSM, dll) terbukti jauh lebih cepat ketimbang respon dan gerak birokrasi pemerintah. Jika kita boleh
menakar, peran komponen masyarakat sipil ini jauh lebih besar ketimbang
peran negara.
Terhitung sejak hari pertama hingga sepekan pasca bencana, aparat
pemerintah daerah sebagai representasi negara di tingkat lokal, sangatlah
lemah, untuk tidak menyebut lumpuh. Dalih pembenar selalu meluncur
latah: “Lantaran banyak aparat pemerintahan juga menjadi korban, wajar
saja jika pemerintahan untuk sementara waktu terganggu”, begitulah kirakira alasan ringkih direka-reka. Alasan itu boleh jadi manusiawi. Namun
dalih itu tetap tak bisa diterima oleh publik yang telah mendaulat mereka
sebagai pemegang tanggungjawab atas penjamin hak-hak dasar warga negara. Publik pun mengantongi argumennya sendiri. Mengandalkan pada
rekaman ingatan dan pengalaman atas praktik kekuasaan selama ini, publik menegaskan: “Jangankan dalam kondisi bencana, dalam kondisi normal pun kinerja pemerintah masihlah compang-camping, bahkan amburadul”.
Praktis, tampuk kendali tatanan sosial sepekan pasca bencana dipegang oleh komponen masyarakat sipil, dengan segenap ragam pola dan
98
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
gaya kepemimpinan alamiahnya. Absennya negara dalam situasi semacam
itu menandaskan argumen betapa negara sangatlah ringkih, tak sebanding
dengan lekatnya karakter angker dan watak represif di masa-masa normal. Sementara di sisi lain, bak mesin gen-set yang serta merta menyala
tatkala arus listrik padam, berbagai komponen civil society secara spontan
juga merangsek, berakselerasi, dan membentang menjadi jejaring yang
tanggap dan tangguh terhadap bencana. Hingga masa rekonstruksi saat ini
pun, dramaturgi penanganan bencana masih saja berulang dengan peran
dan kapasitas birokrasi negara yang sangat minimal. Negara nampak tak
pernah mau belajar dari pengalaman dalam rentetan panjang penanganan
bencana sebelumnya.
Nyata benar, sosok negara lenyap di tengah kebangkitan jejaring
civil society tersebut. Namun jika kita timbang lagi, bukankah ketakhadiran pemerintah itu hanyalah penggalan potret usang dalam album hitam
bangsa kita hingga hari ini? Acapkali ironi kekuasaan memang sulit dipahami, sesulit ketika kita memahami logika seorang Wapres (sekaligus
Ketua Bakornas), Jusuf Kalla, yang teramat responsif (sampai-sampai
melupakan pentingnya koordinasi) dan teramat “ringan mulut” merespon
bencana Yogya dan Jateng dengan menjanjikan dana bantuan sebesar 1020-30 juta rupiah untuk rekonstruksi rumah serta bantuan jadup, pakaian,
dan peralatan rumah tangga. Tak pelak lagi, pada 28 Mei 2006, “gempa
sosial berskala 30 juta” pun mempreteli modal sosial warga Yogya dan
Jateng. Bak beras sedang ditampi, gonjang-ganjing (chaos), kaotik sosial kian
menguat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah praktis menuai protes
massa. Aksi-aksi protes jalanan menuntut janji JK yang digelar oleh berbagai komponen masyarakat sipil turut mewarnai hari-hari sibuk warga
dalam masa pemulihan.3 Berbagai kasus konlik horisontal di tingkatan
warga juga kian meningkat, hingga tak habis-habisnya jadi bahan pemberitaan berbagai media masa. Hal itu berlangsung sampai beberapa bulan
pasca gempa.
Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tak padu
dan saling tumpang tindih semakin menguatkan sinyalemen tentang politisasi bencana di berbagai jenjang state apparatus. Tarik ulur kepentingan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat gamblang terlihat. Dalam berbagai kasus seperti: penentuan parameter tentang bencana
3.
Sejak Jusuf Kalla menebar janji, sederetan aksi massa digelar oleh berbagai gabungan elemen warga korban
bencana, mahasiswa, dan LSM. Gerakan Aksi Tagih Janji (Ganti) merupakan aksi massa terbesar yang
digelar dua hari berturut-turut untuk menyambut kedatangan Jusuf Kalla di Gedung Agung Yogyakarta,
19 juli 2006. Di kemudian hari, keputusan pun ditetapkan, warga akhirnya hanya mendapatkan dana
rekonstruksi sebesar 15 juta dengan 3 tahap pengucuran. SKB Edisi 7, 1 Agustus 2006, Batal 30 Juta, Tuntut
Minta Maaf, hlm. 4-5.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
99
Tahun VII no. 1. 2007
nasional atau bencana lokal; penetapan masa tanggap darurat; penentuan
validasi data korban dan kerusakan; dan penentuan besaran dana jadup
(living cost) dan rekonstruksi; semakin mempertegas tarik ulur kepentingan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada akhirnya, tekananberlebih pemerintah pusat berangsur mengendurkan dramaturgi politisasi
bencana. Kompromi politik akhirnya melahirkan Keppres No 9/2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Gempa
DIY-Jateng dan Pergub DIY No 23/2006 tentang Petunjuk Operasional
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Propinsi DIY. Mau
tidak mau, warga harus menuruti kebijakan yang serba tak bijak, tak partisipatif, dan sarat dengan tambal sulam itu. Agar terkesan partisipatif,
pemerintah propinsi berupaya memoles kebijakan dengan cara mengairmasi pembentukan Kelompok Masyarakat (Pokmas) oleh warga sendiri.
Kebijakan yang seolah bottom-up itu, tak urung terbongkar kedoknya juga.
Alih-alih mendorong dan menguatkan partisipasi warga, kebijakan itu justru memicu konlik horisontal.4
Keruwetan pun kian menjadi-jadi. Tak rela ikatan solidaratas di
tingkat dusun terusik, warga kembali menggelar serangkaian aksi protes
massa yang diberi nama aksi Bagito (dibagi rata). Dalam aksi itu, warga
menuntut dana rekonstruksi—yang putusan inalnya hanya sebesar 15
juta—tersebut dibagi rata. Sementara pemerintah bersikeras memaksakan
dana bantuan dibagi berdasarkan prioritas (Bagitas), yang arahannya nanti, seturut kesepakatan warga dalam Pokmas. Dalam hal ini, pemerintah
propinsi benar-benar terjepit. Di satu sisi ia dituntut untuk mengakomodir
aspirasi warganya, di sisi lain ia ditekan untuk menerapkan kebijakan hasil
rancangan pemerintah pusat. Kasus ini bisa menjadi sumber kajian berharga tentang bagaimana dinamika demokrasi lokal berjalan. Fenomena
tentang Bagito versus Bagitas ini tak lain adalah kasus uji dari problematika
program desentralisasi dan otonomi daerah setengah hati.5 Kemenangan
4.
5.
Simak lebih jauh ulasan Krisdyatmiko tentang Pergub No 23/2006 ini. Menurut Krisdyatmiko Pergub ini
lahir dari banyak tekanan. Pertama, pergub ini lahir untuk menyelamatkan muka pemerintah pusa (Jusuf
Kalla) yang telah terlanjur menjanjikan dana bantuan untuk rekonstruksi rumah 10-30 juta. Kedua, Pergub
ini mengakomodasi tuntutan pemerintah pusat yang menghendaki ada kucuran hutang dari lembaga
donor dalam penanganan bencana. Sebagai konsekuensinya, demi tuntutan akuntabilitas oleh pihak donor
tersebut, maka mengakibatkan pengucuran dana harus melalui birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.
Baca lebih lanjut Krisdyatmiko, Kebijakan Rekonstruksi Rumah yang [seolah-olah] Partisipatif dalam
Jurnal Flamma (Edisi Khusus), Tanggap Bencana, Yogyakarta: IRE, hlm.28-29.
Fenomena Bagito versus Bagitas merupakan salah satu ajang pembelajaran bahwa di era kebangkitan otonomi
daerah (desentralisasi) saat ini, pemerintah masih saja kewalahan menerjemahkan dan mengimplementasikan
praksis demokrasi di tingkat lokal. Untuk mencermati lebih jauh tentang Bagito versus Bagitas ini, baca SKB
Edisi 11, 30 Agustus 2006, Bagito=Bagi Roto, hlm. 4-6; SKB Edisi Khusus Peringatan 100 Hari Gempa, 5
September 2006, Ngenteng-Entengi Gubernur, Prioritasnya: Bagi Roto Saja, hlm. 10; SKB Edisi 14, 20 September
2006, Tiji-Tibeh, Mukti Siji Mukti Kabeh, hlm. 4-5.
00
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
Bagitas semakin menguatkan argumen bahwa aspirasi/partisipasi warga
telah gagal diposisikan dalam kancah demokrasi lokal. Berbagai macam
bentuk modal sosial yang diinisiasi secara partisipatif oleh warga dengan
gampangya dinisbikan, dan dipelintir demi tetap langgengnya kebijakan
pemerintah pusat yang teknokratis. Dalam kasus ini, pemerintah jelasjelas telah melecehkan, dan celakanya lagi, mengeksploitasi peran partisipasi warga. Tanpa adanya transparansi anggaran, pemerintah bersikeras
mendesakkan pembentukan Pokmas dengan alasan bahwa itu merupakan
wujud keberpihakannya terhadap penguatan partisipasi warga. Padalah
jika dicermati lebih jauh, airmasi pembentukan Pokmas oleh pemerintah
daerah ini menyembunyikan kepentingan politis. Pokmas menjadi ajang
cuci tangan pemerintah dari beratnya beban anggaran yang musti dipikul,
dengan cara memanfaatkan/mengeksploitasi tenaga sukerala (baca:gratisan) warga dalam kerja-kerja gotong royong.6 Jelas kiranya, gotong royong (yang lazim dipahami sebagai mekanisme berbagi beban/tanggung
renteng di antara warga lantaran keterbatasan sumberdaya) sebagai salah
satu bentuk modal sosial telah dipolitisir oleh negara demi efektivitas dan
eisiensi anggaran.
Beban warga pun kian bertambah berat tatkala muncul ketetapan
dari pusat bahwa dana rekonstruksi dikucurkan dalam tiga tahap. Dengan
dana yang super cupet itu, warga lagi-lagi harus dihadapkan pada persoalan
melonjaknya harga material bangunan di pasaran. Dalam kasus ini, menajemen pemerintah benar-benar amburadul. Pemerintah loyo syaraf menghadapi kuasa pasar yang membesar seiring meningkatnya permintaan
material lantaran meningkatnya kebutuhan warga. Pemerintah mustinya
bisa menginisiasi kebijakan untuk perlindungan warga, semisal menstabilkan harga dengan melakukan kontrol/ intervensi pasar, atau memotong
jalur distribusi dengan mendirikan sejumlah depo bahan-bahan material.
Meski upaya itu pernah digagas oleh pemerintah propinsi, namun realisasinya tetap jauh panggang dari api. Dari seluruh paparan masalah di atas,
beban berlipat selalu saja jatuh di pundak warga. Warga yang mustinya
dibantu, justru malah dieksploitir dan dijadikan bulan-bulanan oleh kekuasaan negara. Menguatnya modal sosial di tingkat warga tak berarti apapun bagi kekuasaan, selain sebagai tumbal. Tak lebih. Kiranya benar apa
kata pepatah, ular kobra biasanya mematuk dua kali, malapetaka senantiasa memukul beruntun. Berlalunya bencana tak selalu berarti berlalunya
petaka bagi warga korban.
6.
Terkait dengan analisis ini baca Bambang Hudayana, Bukan Sekedar Mitos tentang Kekuasaan: Pelajaran
dari Bencana, dalam Jurnal Flamma Edisi 26, Juli-Agustus 2006, Yogyakarta: IRE, hlm.31
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
0
Tahun VII no. 1. 2007
Negara, Penanganan Bencana, dan Problem Desentralisasi
Dari kasus penanganan bencana Yogya dan Jateng di atas, ada tiga
masalah yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga bagi kita. Tiga masalah itu adalah sebagai berikut:
(1) Menguatnya solidaritas sosial yang diinisiasi secara partisipatif oleh
masyarakat sipil (paguyuban warga/ Community Based Organisation, ormas, LSM, dll) merupakan modal sosial yang besar dalam pemulihan
pasca bencana. Meski pada akhirnya modal sosial itu kembali dinisbikan oleh kebijakan pemerintah yang top-down (yang secara inheren
tak peka terhadap inisiati-inisiatif lokal);
(2) Ketidakjelasan otoritas formal penanganan bencana antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga posisi kebijakan penanganan bencana saling tumpang tindih dengan dokumen kebijakan lainnya
yang telah ada sebelumnya;
(3) Lemahnya kapasitas pemerintah dalam penanganan bencana (seperti
kapasitas respon yang tidak prediktabel; penyediaan anggaran yang
tidak prediktabel dan luwes, tidak transparan, tidak dihargainya martabat warga dengan memposisikan warga sebagai korban yang pasif,
penciptaan ketergantungan, dll) yang berakibat pada terabaikannya
pemenuhan hak-hak dasar penyintas (survivor);
Ketiga masalah tersebut sejatinya tidak mencerminkan seluruh kompleksitas persoalan yang berkembang di masyarakat Yogya dan Jateng pasca bencana. Ketiganya hanyalah potret makro (boleh jadi simplistis) yang perlu
diposisikan sebagai kerangka acuan untuk menguak lebih jauh detil-detil
persoalan yang saling paut satu dengan lainnya. Silang kaitnya persoalan
pasca bencana ini mengindikasikan pentingnya identiikasi atas berbagai
macam faktor, aspek, dan aktor yang saling terlibat pula. Karenanya kompleksitas persoalan dalam penanganan bencana perlu ditelusur titik-titik
simpulnya. Dengannya, kita lebih mudah untuk mengkaji dan menentukan
berbagai metode pendekatan, strategi, dan praksis penanganan bencana.
Dalam penanganan bencana Yogya dan Jateng, masalah mendasar
yang paling banyak mendapat sorotan publik adalah masalah yang terkait
dengan ketidakjelasan otoritas formal penanganan bencana (poin ke-2).
Seperti telah diuraian sebelumnya, tarik ulur kebijakan antara pemerintah pusat antara pemerintah daerah telah mempertontonkan dramaturgi
politisasi bencana secara teramat vulgar. Kendati telah tertera dalam Keppres No 9/2006 (tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah Pasca Gempa DIY-Jateng) maupun Peraturan Gubernur DIY
No 23/2006 (tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Gempa Bumi di Propinsi DIY), namun toh dalam implementasinya
0
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
tetap saja tak jelas dan serba tumpang tindih. Persoalan ini sebenarnya
merupakan persoalan fundamental yang secara substansial menjadi simpul
dari dua persoalan lain (terkait dengan poin 1 dan 3) yang muncul dalam
penanganan bencana Yogya dan Jateng.
Jika memang negara ini masih berpegang pada semangat desentralisasi dan demokrasi lokal, maka mustinya pemegang otoritas penanganan bencana ada di tangan pemerintah daerah. Kejelasan otoritas ini
bagaimanapun juga sangatlah penting agar: pertama, pemerintah daerah
memiliki wewenang yang leluasa untuk segera menghimpun dan memobilisir berbagai sumberdaya yang ada demi percepatan pemulihan pasca bencana (menjawab kebutuhan anggaran); kedua, pemerintah daerah mengantongi wewenang untuk mengatasi masalah-masalah aktual di tingkat lokal
(menjawab partisipasi rakyat dan inisiatif lokal); ketiga, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menginisiasi sumber informasi utama bagi
warga, sehingga warga tidak terombang-ambingkan oleh isu-isu yang beredar di media massa (menjawab kebutuhan atas koordinasi dan layanan
informasi terpadu).
Dalam konteks ini, negara musti mensinergikan lagi antara dokumen-dokumen kebijakan penanganan bencana dengan dokumen-dokumen kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Meskipun dalam sejumlah aspek cukup pelik, semisal masalah perimbangan anggaran antara
pusat dan daerah, namun kebijakan penanganan bencana harus tetap
mengacu pada prinsip-prinsip dalam dokumen kebijakan desentralisasi
tersebut. Tanpa berpegang pada prinsip pokok subsidiaritas (subsidiarity)7
sebagai ruh dari desentralisasi itu sendiri, maka niscaya penanganan bencana tak akan sanggup menjawab berbagai kebutuhan lokal dari warga sebagai penerima manfaat (beneiciaries). Berdasarkan catatan sejarah, bangsa
Indonesia sendiri telah meyakini sejak awal bahwa:8
Desentralisasi merupakan sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, mengembangkan pemerintahan yang
demokratis, menghargai berbagai keragaman lokal, menghormati
dan mengembangkan potensi penghidupan masyarakat lokal, serta
memelihara integrasi nasional.
7.
8.
Konsep subsidiarity menunjuk pada pengertian tentang praksis pelokalisiran atas pengambilan keputusan
dan penggunaan kewenangan oleh struktur atau organisasi di level bawah. Baca lebih lanjut Abdur Rozaki,
dkk, Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press, 2005, hlm.160.
Pada dekade 1970-an, desentralisasi telah mejadi isu mondial. Indonesia sendiri mengenalnya sejak awal
kemerdekaan. Penerapan desentralisasi dan demokrasi berlangsung secara pasang surut. Titik terendah
desentralisasi terjadi selama tiga dekade pemerintahan Soeharto, kendati terpasang perangkat desentralisasi
yaitu UU No.5/1974 dan UU No.5/1979. Semangat desentralisasi dan demokrasi lokal kembali bangkit
sejak lahirnya UU No.22/1999. Untuk ringkasan dan kutipan ini baca Sutoro Eko, Modal Sosial,
Desentralisasi, dan Demokrasi Lokal, dalam Jurnal Analisis CSIS, Penguatan dan Modal Sosial Masyarakat,
Vol.33 No 3 September 2004, hlm.300.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
03
Tahun VII no. 1. 2007
Dalam seluruh matra idealnya, desentralisasi itu senantiasa berada
dalam “proses menjadi” (state of becoming) seturut determinan sosial-politik
yang melingkupinya. Meskipun harus diakui bahwa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal saat ini—yang berakar pada UU No.22/1999—
masihlah terseok-seok, namun kiranya tugas berat untuk menerapkannya
di masa-masa krisis/bencana tetaplah harus dipikul oleh bangsa ini. Dan
itulah tantangan riil yang musti dijawab oleh bangsa ini jika benar-benar
hendak melahirkan tata-kelola kebencanaan yang handal di masa datang.
Jika dalam setiap penanganan bencana, pemerintah masih menerapkan pola kebijakan yang bertentangan dengan hakikat desentralisasi
tersebut, maka nyaris bisa dipastikan akan menuai banyak persoalan (terkait
dengan poin ke 1). Salah satu contoh riil yang terjadi dalam kasus penanganan bencana Yogya dan Jateng adalah terabaikannya/terpinggirkannya
kearifan lokal, modal sosial, inisiatif-inisiatif lokal. Kasus terpinggirkannya modal sosial sebagaimana telah terpapar di atas menjadi bukti nyata
bahwa pemerintah benar-benar telah abai terhadap sendi-sendi vital sekaligus lubrikan dalam demokrasi lokal yang mewujud dalam bentuk jejaring
masyarakat sipil.9 Dengan kata lain, negara telah menisbikan partisipasi
rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam governance kebencanaan.
Jika situasinya sudah seperti itu, maka itu berarti (terkait dengan
poin ke 3) penanganan bencana oleh pemerintah samasekali tak akuntabel.10 Dalam penanganan bencana Yogya dan Jateng, pemerintah jelasjelas tak mampu memperkuat kapasitasnya untuk menyelamatkan kehidupan dan meringankan penderitaan warga. Sebaliknya pemerintah
justru merendahkan martabat warga, dengan menganggap warga sebagai
obyek, bukannya subyek. Berlarut-larutnya praktik buruk penanganan bencana itu akan menyemai public distrust terhadap pemerintah/ negara. Kita
bisa mencermati berbagai ungkapan warga yang sinis dan apatis terhadap
keberadaan negara. Ungkapan Siwar—warga Sewon, Bantul—misalnya,
9.
Terkait dengan munculnya jejaring sebagai konsekuensi dari desentralisasi ini telah diulas oleh Francis
Fukuyama. Lebih jauh Fukuyama menegaskan: “Jalan keluar lain bagi masalah koordinasi dalam organisasi
yang sangat terdesentralisasi ialah jaringan. Inilah bentuk tatanan spontan yang muncul dari interaksi di
antara para pelaku yang mandiri, dan tidak diciptakan oleh kekuasaan terpusat. Jika jaringan benar-benar
sebuah tatanan yang produktif, mau tidak mau harus mengandalkan norma-norma informal sebagai
pengganti organisasi formal—dengan kata lain mengandalkan modal sosial. Francis Fukuyama, Guncangan
Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru; Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 243
10. Tolok ukur umum untuk akuntabilitas kemanusiaan (dalam penanganan bencana) ini bisa dinilai dari sejauh
mana pemerintah berhasil menguatkan kapasitasnya guna menyelamatkan kehidupan dan meringankan
penderitaan, sehingga martabat warga semakin terkukuhkan. Tolok ukur strategi yang kuantitaf didasarkan
pada penilaian: terbangunnya kapasitas respon yang lebih prediktable dan tersedianya pendanaan yang
lebih prediktabel dan luwes. Sementara untuk tolok ukur strategi kualitatif didasar pada adanya upaya
untuk: melaksanakan tugas secara transparan, menjaga kemanusiaan sebagai intisari tindakan kemanusiaan,
dan melawan kecenderungan public distrust dengan memusatkan perhatian terhadap jutaan orang yang
menderita dari “krisis-krisis yang terlupakan”. Lihat www.oneworld.org/ombudsman.
04
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
boleh jadi mewakili public distrust tersebut. Dimintai komentar perihal janji
palsu Wapres-Jusuf Kalla, lebih jauh Siwar bertutur:11
Dari tetangga saya memang mendengar katanya akan ada bantuan tiga
puluh juta itu. Tapi menurut saya kok ngoyoworo, belum bisa diharapkan.
…Kalaupun ada wuah…banyak sekali tentunya kalau dikalikan dengan
jumlah rumah yang harus diperbaiki. Biar saya ini orang bodho, Mas,
uang itu banyak sekali lho! Apalagi sekarang kan sedang musimnya
bencana alam, untuk Jogja saja sudah segitu banyaknya, terus ada
banjir di Sulawesi, bahkan katanya Aceh juga belum beres. Apa kita
punya uang sebanyak itu?…[Kalau ternyata punya] mendingan buat
memperbaiki organisasi pemerintah saja, itu malah bagus, saya ikhlas.
Pemerintah kita kan perlu diperbaiki, dan untuk memperbaiki kan
butuh biaya. Buat itu saja.
Ditilik dari kultur jawa nrimo ing pandum, ungkapan Siwar di atas
mengindikasikan suatu perlawanan tersembunyi, yang memuat kekhasan
gaya the art of resistance-nya orang Jawa. Kesinisan Siwar yang diverbalkan
secara halus dan seolah-oleh rela menyerahkan sesuatu kepada orang yang
tak berhak seperti itu dalam kosa kata jawa disebut mutung (patah harapan)
dengan cara nglulu (bibir berkata rela, namun sesungguhnya hati tak rela).
Ungkapan Siwar adalah representasi kekecewaan dalam sinisme santun
atas negara. Bisa dipastikan, duplikasi Siwar ada di mana-mana, dan persemaian public distrust pun kian subur. Waktunya negara berkaca dan menata
diri kembali. Pemulihan pasca bencana, pemulihan juga untuk negara.
Governance Kebencanaan: Peta Aktor-Aktor dan Pola Relasinya
Governance sebagai sebuah konsep masih dalam proses pembentukan, belum menjadi gagasan yang solid dan tentu saja masih layak
diperdebatkan. Mendengar kata governance (yang dalam bahasa Indonesia
acap diterjemahkan sebagai “tata-kelola”), kita tentu teringat pada konsep
World Bank yang sangat populer dalam beberapa tahun lalu, yaitu good
governance.
Konsep governance ini mulai latah diadopsi oleh banyak kalangan,
terutama apparatus pemerintahan dan kaum intelektual, ketika World
Bank tengah giat-giatnya melancarkan kebijakan neoliberalisme di Negara-Negara Sedang Berkembang, salah satunya Indonesia. Melalui program
structural adjustment program, implementasi konsep good governance diintervensikan World Bank dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Gambaran
ideal yang biasanya diobral World Bank mengenai konsep good governance
11. Dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi 3, 4 Juli 2006, hlm.1
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
05
Tahun VII no. 1. 2007
antara lain terpapar dalam poin-poin berikut:12 good governance adalah (1)
gambar dari sesuatu yang bisa diramalkan, terbuka, dan merupakan sebuah
pengambilan kebijakan yang bisa melahirkan pencerahan (yaitu, prosesproses transparansi); (2) suatu birokrasi yang diilhami oleh suatu etos kerja
profesional; (3) suatu tangan eksekutif pemerintah yang bertanggungjawab
terhadap setiap kinerjanya; (4) dan keterlibatan suatu masyarakat sipil yang
kokoh dalam kehidupan publik; (5) namun seluruh kegiatan tersebut mesti
dilakukan di dalam sistem dimana hukum sebagai penguasa”.
Senada dengan paparan itu, menurut rincian ESCAP, good governance memuat delapan karakter utama sebagai tolok ukurnya: karakter dasar
yang partisipatif, berorientasi pada sistem permufakatan, bisa dipertanggung-jawabkan, transparan/terbuka, responsif, efektif dan eisien, sama
rata dan inklusif, hukum sebagai penguasa “rule of law”.13
Konsep good governance itu sendiri banyak ditolak oleh kalangan prokerakyatan, lantaran konsep itu bias pada agenda ekonomi politik global
yang sama sekali tak berbasis keadilan. Kemunculan konsep good governance
itu tidak didorong oleh menguatnya perhatian terhadap berbagai kebutuhan hidup rakyat miskin, tetapi disetir oleh kepentingan TNC untuk meluaskan area pasar melalui pengembangan globalisasi ekonomi, dengan
cara mempreteli fungsi-fungsi negara.
Memang tidaklah mudah mendeinisikan istilah governance ini. Konsep governance ini telah diterjemahkan dalam pemahaman yang sangat berragam. Terlebih jika itu dikaitkan dengan konsep ideal dan implementasi
lapangan yang kerap berseberangan. Terlepas dari itu semua, berikut akan
dipaparkan beberapa deinisi lain tentang governance, guna menemukan
arah pemahaman yang relevan untuk kasus penanganan bencana. Dalam
pemahaman yang sederhana, konsep governance mengacu pada tingkat kerumitan aktivitas dengan beragam makna yang luas, serta melibatkan begitu
banyak pemain. Secara hati-hati, Garan Heyden mencoba menjelaskankan
governance sebagai konsep yang mendeinisikan sebuah pendekatan atas
komparasi politik. Heyden mengambil penekanan khusus pada aspek
“potensi kreatif perpolitikan, terutama kapasitas para pemimpin politik dalam mendorong struktur masyarakat untuk merubah aturan main,
sekaligus memberi inspirasi kepada yang lainnya agar bisa ambil bagian
dalam upaya mendorong masyarakat ke arah yang baru dan produktif”.14
Dalam penjelasan lain yang juga tak mampu mendeinisikan governance se12. http://www.worldbank.org/publicsector/overview.html
13. What is Good Governance? United Nations Economic and Social Commision for the Asia and Paciic (UN
ESCAP): Human Settlements Web Page, http://www.unescap.org/huset/gg/governance.html
14. Governance Barometer: Policy Guidelines for Good Governance, Webside of South Africa’s National Party; http://
www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html
06
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
cara operasional, Commission on Global Governance menjelaskan governance
sebagai berikut:15
Governance adalah hasil dari kumpulan pengalaman para individu dan
institusi, umum, dan pribadi, dalam mengelola kehidupan sehari-hari
mereka. Governance adalah sebuah proses yang berkelanjutan dimana
setiap kepentingan yang saling berbenturan atau yang bermacammacam itu bisa diakomodir dan disatukan dalam sebuah kerjasama
konkret. Hal itu melibatkan institusi-institusi formal dan kelompokkelompok yang dikembangkan untuk memenuhi persyaratan yang
ada maupun hal-hal yang bersifat informal, dimana setiap orang dan
institusi terkait telah menyetujuinya atau menerimanya sebagai sesuatu
yang bisa mendukung kepentingan mereka.
Berangkat dari paparan di atas, berikut ini kita akan melacak lebih
jauh hal ihwal governance kebencanaan. Di sini, karakter-karakter dasar dari
governance bisa kita jadikan alat bantu untuk memahami governance kebencanaan. Limitasi atas konsep governance kebencanaan akan disaji tuliskan
pula sebagai sebuah pembelajaran penting yang diperoleh berdasar pengalaman penanganan pasca gempa Yogja-Jateng.
Dalam konteks kebencanaan, pola hubungan di antara aktor
yang terlibat dalam penanganan bencana sangatlah menentukan kualitas
suatu governance kebencanaan. Bila dipetakan berdasarkan kategori besar
atas fungsi dan perannya maka terdapat lima entitas aktor yang terlibat
dalam governance kebencanaan. Dalam Bagan 1 kita bisa melihat kelima entitas aktor tersebut adalah: pemerintah, warga, ormas/orpol/LSM, media massa, dan pelaku bisnis. Di setiap entitas aktor tersebut diandaikan
memuat berbagai elemen dan komponen kecil yang tercakup didalamnya.
Setiap entitas aktor tersebut tersambungkan antara satu dengan lainnya
oleh garis penghubung sebagai simbol dari pola relasi yang resiprokal di
antara kelima entitas aktor tersebut. Garis-garis penghubung berpola jejaring segi lima merupakan simbol dari pola relasi yang terintegrasi untuk menjelaskan tentang pentingnya koordinasi dan sharing informasi di
antara entitas aktor-aktor. Persis pada Bagan 1, Bagan 2 menggambarkan
lima entitas aspek yang terintegrasi dalam penangananan bencana: ekologi,
kelembagaan sosial dan budaya, politik kebijakan struktural, ekonomi, hukum dan pengawasan.
Apa yang tergambar dalam Bagan 1 dan 2 tersebut pada dasarnya
hanyalah pembaganan secara sangat sederhana (boleh jadi simplistis) dan
ideal atas kompleksitas governance kebencanaan. Terbentuknya jejaring entitas aktor berikut entitas aspek yang dikelolanya akan sangat menentukan
15. http://www.cgg.ch/welcome.html
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
07
Tahun VII no. 1. 2007
tingkat akuntabilitas governance kebencanaan itu sendiri. Dalam berbagai kasus penanganan bencana, banyak persoalan muncul lantaran tidak adanya
pola relasi yang sinergis. Kesinergisan itu akan tercipta ketika ruang-ruang
dialog, komunikasi, koordinasi, dan sharing data/informasi dijalankan secara intensif di antara entitas aktor di berbagai lini. Ketidakberesan dan
tidak berfungsinya satu entitas aktor pastilah akan berdampak pada ketidakberesan aktor lainnya. Secara hakiki, berbagai mekanisme dalam governance
kebencanaan itu difungsikan demi memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap pemenuhanan hak-hak dasar korban.
Mendasarkan diri pada pembaganan sederhana di atas ternyata tidak memadai dalam perjuangan politik korban. Ketika posisi Negara di
letakkan secara simetris dengan aktor lainnya, maka Negara justru tidak
akan bisa maksimal dalam melakukan peran perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak-hak dasar warganya. Belajar dari penanganan gempa Yogja-Jateng, negara berkecenderungan abai terhadap hak-hak dasar warga
dengan dalih memberi ruang partisipasi bagi aktor-aktor yang lain. Rakyat
misalnya, partisipasi rakyat justru ditelikung melalui pelembagaan Pokmas
yang tidak mengikut mekanisme sosial masyarakat, sekadar untuk menutup lemahnya/rapuhnya Negara.
Atas nama berbagi peran, apparatus Negara memberi kebebasan
seluasnya bagi pelaku bisnis untuk menjalankan mekanisme pasar dalam
penanganan bencana. Walhasil, sebagaimana paparan di atas, harga material yang dibutuhkan warga membumbung tinggi sehingga mengakibatkan
daya beli warga turun. Hukum ekonomi yang bekerja atas dasar permintaan
dan penawaran tak mampu dikendalikan oleh hukum Negara. Kalau kemudian berpijak pada tesis good governance, bahwa Negara memegang fungsi
regulasi, fungsi yang sangat minimalis itupun tak mampu dimainkan secara
adekuat oleh Negara.
Sebagai sebuah gambaran dari sesuatu yang bisa diramalkan, terbuka, dan merupakan sebuah pengambilan kebijakan yang bisa melahirkan
08
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
pencerahan (yaitu, proses-proses transparansi), good governance kebencanaan
sungguh-sungguh tak bekerja. Tiadanya state apparatus yang mampu memprediksi peristiwa bencana secara akurat dan mentransformasikan pada
publik, serta tiadanya kebijakan dan anggaran yang antisipatif dan memadai
untuk mitigasi hingga rekonstruksi bencana, merupakan releksi dari kegagapan atau bahkan kegagalan konsep ini untuk diaplikasikan.
Kegelapan bagi warga merupakan akibat dari cara kerja birokrasi
yang tak peka, tanggap dan tangguh dalam menghadapi situasi krisis kebencanaan. Ketika pabrik mie instant dan material bangunan bisa lekas berkoordinasi untuk membuat perencanaan sistematis dalam rangka merespon
kebutuhan yang meningkat di daerah bencana, state apparatus negara ini
malah sibuk bersilang statement dan saling lempar tanggung jawab. Koordinasi antar state apparatus untuk membuat perencanaan strategis lamban
digagas karena diperkeruh oleh lips service pejabat negara yang justru mempertunjukkan gagal koordinasi dengan jajarannya.
Birokrasi pun bekerja secara sangat tak professional, bahkan tak
punya sense of crisis. Ketegaan meminta persyaratan yang berbelit bagi warga yang hendak mencairkan bantuan jadup selama fase tanggap darurat
merupakan potret ironis birokrasi. Bagaimana mungkin warga yang rumahnya hancur atau bahkan kehilangan sanak saudara masih sempat memikir
untuk menyelamatkan identitas seperti KTP atau bahkan Kartu Keluarga
ketika nyawa terancam kerawanan pangan pasca bencana?
Kekaburan tanggungjawab Negara kian disempurnakan ketika
partisipasi mampu dimainkan dengan lebih peka dan tanggap oleh masyarakat sipil. Problem ketidaktanggungjawaban negara bukan terletak pada
ketiadaan kapasitas negara, namun mindset negara beserta state aparatusnya
tidak dikonstruksi untuk melayani masyarakatnya. Padahal kalau Negara
berkehendak, situasi krisis yang melanda masyarakat bisa menjadi moment
untuk mengikat kembali masyarakat pada makna penting bernegara.
Dengan demikian, good governance sebagai sebuah konsep ideal dimana semua aktor tatakelola pemerintahan didudukkan secara setara adalah
ilusi. Di luar kertas kerja World Bank maupun apparatus pemerintahan,
konsep ini tidak akan pernah bekerja karena dibangun berdasar pada surga
pemikiran. Dalam situasi normal sekalipun, konsep dus aplikasi good governance mendapat kritik yang sangat besar akibat ketidakmampuan untuk
menjawab problem kepemerintahan. Apalagi ketika situasi krisis ketika realitas bekerja berdasar logika lain, gagasan good governance menjadi tak
lebih dari utopia.
Good governance telah memangkas tanggung jawab negara melalui kebijakan privatisasi (de-negaranisasi). Negara emoh untuk bertangKajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
09
Tahun VII no. 1. 2007
gung jawab pada rakyatnya. Cara pikir yang sama ketika diletakkan dalam
governance kebencanaan adalah sebuah petaka bagi rakyat. Negara menyandar pada kapasitas aktor yang lain untuk memberikan peran perlindungan bagi rakyatnya. Namun tak semua aktor governance berangkat dari
semangat memberdayakan. Dari pengalaman penanganan gempa YogjaJateng, pelaku bisnis justru memancing di air keruh, mendulang emas di
balik lumpur. Pelaku bisnis sungguh-sungguh tak bisa diharapkan untuk
memposisikan warga korban di atas kepentingannya untuk mendulang keuntungan (proit).
Pertanyaannya kemudian adalah, dimanakah posisi warga dalam
governance kebencanaan? Dalam situasi normal (tidak terjadi krisis), ketika rakyat berkemampuan untuk berdikari atas hidupnya, negara pun masih
dibutuhkan oleh rakyat. Pelayanan publik, perlindungan hak-hak asasi dan
hak-hak dasar merupakan peran hakiki yang diembankan rakyat kepada
pemerintahnya sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar. Semangat welfare state yang mendasari pembentukan Negara ini masih menjadi semangat yang diidam-idamkan rakyat. Rakyat tidak pernah emoh Negara, apalagi dalam situasi krisis kebencanaan. Terbukti ketika pemerintah
(wakil presiden) mengobral janji 30 juta, rakyat begitu “gembira.” Dan
bukan semata karena 30 juta, tapi karena pemerintah Negara ini yang terkenal abai ternyata masih memikirkan nasib rakyatnya.
Kalau kemudian ludah yang telanjur keluar ditelan kembali oleh
pemerintah, itu masalah lain bahwa pemerintah pura-pura lupa cara bertanggung jawab pada rakyatnya. Reaksi rakyat tak seperti biasanya, perlawanan dalam diam kiranya tak mencukupi lagi. Karenanya, pada tanggal
19 Juli 2007, rakyat melancarkan aksi massa yang dikenal sebagai Gerakan
Aksi Tagih Janji (Ganti). Gerakan untuk membangkitkan tanggungjawab
Negara ini adalah bukti bahwa berbagai elemen warga korban bencana,
mahasiswa, dan LSM masih peduli pada eksistensi Negara.
Dalam wujudnya yang sangat chaotic sekalipun, aksi jalanan itu
merupakan releksi dari macetnya saluran aspirasi rakyat. Melalui aksi
jalanan, rakyat mengingatkan pemerintahnya untuk kembali bertanggungjawab atas mandat yang sudah diberikan. Melalui aksi jalanan ini pula,
rakyat menaikkan posisi tawarnya dihadapan negara yang sudah kelewat
mahal memberi harga pada dirinya sendiri.
Pokmas pun sulit untuk disebut sebagai saluran partisipasi warga. Sejak awal pembentukkannya, Pokmas tidak didesain sebagai ruang
partisipasi. Pokmas tak lebih sebagai ruang implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekontruksi ala pemerintah. Aspirasi warga yang berkembang
dalam pokmas tak berarti apapun untuk merubah kebijakan pemerintah.
0
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
Dalam desain pokmas, keterlibatan warga hanya sebagai pelaksana program pemerintah.
Partisipasi warga dilokalisir hanya pada tataran yang sangat akar
rumput. Partisipasi pada level yang lokal itupun seringkali mengalami kegagalan dan berujung pada sejumlah konlik horizontal akibat ketidakmampuan Pokmas memperjuangkan aspirasi warga. Fenomena ini tergelar di sejumlah Pokmas. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan top down Pokmas tidak
sesuai dengan kondisi sosial kultural masyarakat. Ketidakpuasan warga
inilah yang memicu sejumlah konlik horisontal. Ketika pemerintah pusat
dan daerah bisa menutup mata atas resistensi masyarakat. Aparat dusun,
desa maupun kecamatan-lah yang sering menuai badai karena kebijakan
yang tak menghargai dinamika lokal. Respon atas gerakan ketidakpuasan
rakyat pun sangat parsial: sejumlah kepala desa maupun camat diganti, dan
bukannya pada perubahan substansi kebijakan itu sendiri.
Penanganan gempa bumi Yogja-Jateng memberi pembelajaran
betapa berharganya partisipasi warga meski dalam aras yang sangat lokal
sekalipun. Model-model partisipasi yang sangat spontan, mandiri dan digerakkan oleh spirit altruistik dan norma informal merupakan ciri modal
sosial yang berbasiskan warga. Sebagaimana ditandaskan oleh Fukuyama,
modal sosial yang mewujud dalam jaringan warga merupakan jalan pintas
yang mengatasi masalah koordinasi dalam organisasi yang sangat terdesentralisasi.16 Dalam penanganan gempa bumi Yogja-Jateng, modal sosial berbasis warga inilah yang menjadi jaring pengaman bagi korban dan penyintas (survivor) untuk melampaui krisis pasca bencana.
Modal sosial yang digerakkan oleh norma sosial terabaikan dalam
pendekatan teknokrasi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kebijakan pemulihan pasca gempa yang cenderung top down bahkan menisbikan warga sebagai entitas yang aktif dalam pemulihan harkat hidupnya.
Pokmas, sebagaimana dicontohkan di atas hanyalah penggalan kecil dari
penisbian warga dalam governance kebencanaan.
Perlawanan rakyat melalui gerakan aksi tagih janji dan sejumlah perlawanan pada level akar rumput merupakan releksi proses governance (tata
kelola) yang tak tertata dengan baik. Governance kebencanaan mensyaratkan
tegasnya posisi Negara dalam menjaminkan hak-hak dasar warga korban.
Pengalaman penanganan gempa kemarin menunjukkan ketidaktegasan
posisi negara yang berdiri diantara dua kapal, terkadang Negara berposisi
Tahun VII no. 1. 2007
Daftar IsI
Penanggung Jawab
Pradjarta Dirdjosanjoto
Ketua Dewan Redaksi
Nico L Kana
Dewan Redaksi
Budi Lazarusli
Gerry van Klinken
Herudjati Purwoko
Ignatia M Hendrarti
Maksim D Prabowo
Nico L Kana
Ph Quarles van Ufford
Wisnu T Hanggoro
Roland Peek
Redaktur PelaksanaSekretaris Redaksi
Ninik Handayani
(dibantu Ambar Istiyani)
ISSN
1411-7924
■ DAFTAR ISI,
■ PRAWACANA
▪ “Governance Bencana”
– Dr. Nico L. Kana, 3
■ KAJIAN TEORITIS PENANGANAN BENCANA
▪ Governance by Accident in Indonesian Disaster
Mitigation: A Theoretical Literary Review
– Benny D. Setianto, SH. LL.M. MIL, 5
▪ Bencana dalam Perspektif Teologi Kontekstual
– Dr. Zakaria Ngelow, S.Th, M.Th, 37
▪ Bencana dalam Berita: Komodiikasi dan
Simpliikasi Fakta
–Triyono Lukmantoro, MA, 44
▪ Entitlement, Vunerability and Social Security:
Theoritical Contribution to Disaster Mitigation
– Kristian Tamtomo, MA, 6
■ MANAJEMEN BENCANA
▪ Komunikasi dan Manajemen Resiko Bencana Flu
Burung di Kawasan Perkotaan, Indonesia
– Prof. Dr. Budi Widianarko, 78
▪ Modal Sosial: Partisipasi Warga yang selalu
Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan.
Belajar dari Penanganan Gempa Bumi Yogya Jateng
– AB. Widyanta, S.Sos, 95
▪ Gempa Bumi Yogya - Jateng dan Absennya
Negara
– S. Rahma Mary H, SH & Arum Widayatsih,
S.Sos, 5
▪ Melihat Banjir di Atas Koran dari Segi Semantik
– Herudjati Purwoko, Ph.D, 30
■ DAMPAK DAN ADVOKASI PASCA BENCANA
▪ Kearifan Lokal Jawa dan Resiliensi Bencana
dalam Folklore Indonesia
– Augustina Sulastri, S.Psi, 49
▪ Interpretasi Ulang Makna Spiritualitas Bencana
dalam Cerita Rakyat Indonesia
– Purwanti Kusumaningtyas, M.Hum, 67
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Tahun VII no. 1. 2007
▪ Antisipasi Bencana dalam Kebijakan Tentang
Air. Sebuah Telaah Gerakan Rakyat Menentang
Keluarnya Kebijakan Kenaikan Tarif PDAM
– Geritz Febrianto R. Bataragoa, Ir. Nick T.
Wiratmoko, M.Si, dan Sumadi, 85
▪ Bantuan Bencana: Potensi Korupsi & Korupsi
Potensi
– Yakub Adhi Kristanto, SH, 06
■ TIMBANGAN BUKU
▪ Mendengarkan Suara Korban
– Budi Lazarusli, SH.MH, 3
▪ Dialektiak Natur/Alam, Kultur/Budaya, dan Struktur:
Analisis Konteks, Proses, dan Ranah dalam
Konstruksi Bencana
– Dr. Nico L. Kana, 7
■ TENTANG PARA PENULIS, 3
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Manajemen Bencana
AB. Widyanta, S.Sos
MoDal sosIal:
PartIsIPasI Warga yang DInIsbIkan
DalaM Governance kebencanaan
(Potret Penanganan Gempa Yogya & Jateng)
Abstract
The series of natural disaster that hit recently Indonesia did not bring
the people of Indonesia to become more sensitive and more prepared
in handling any emergency situation. Worse than that, the social capital
that sprang up in the wake of the disasters has been marginalized and
distorted by government policies that serve only the bureaucratism and
corporatism of centralistic government.
Many factors indicated that the central government has undermined local
democracy and the spirit of decentralization using the natural disaster as
an excuse. As a result, “the damaged” caused by government’s action
was no less disastrous than the natural disaster itself.
This article will further scrutinize the implications of post earthquake social
capital strengthening vis a vis the weak role and responsibility of the state
in fulilling basic rights of the people, whether the victims or the survivors
of earthquake. In the frame of nation state practice, the strengthening
social capital should be viewed as people participation which should
be framed, afirmed, and strengthened by state as an effective control
instrument of power to promote disaster governance that is populist,
equal, and digniied.
(Key words: social capital, participation, local democracy, natural disaster,
disaster governance)
Bantuan pencen migunani, nanging langkung migunani malih
krenteg manahipun piyambak-piyambak, gumregah tangi
lajeng makarya. Mboten perlu ngarep-arep bantuan, mangke
mindak kuciwa.Griyo ingkang rubuh njih sampun, mangke
menawi wonten ragat dipun bangun malih.
(Mbah Karto, Buletin Suara Edisi 7,
1 Agustus 2006)
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
95
Tahun VII no. 1. 2007
Menguatnya Modal Sosial
enakjubkan! Kata itulah yang boleh jadi pantas untuk melukiskan tingginya semangat gotong-royong masyarakat Yogja dan
Jateng untuk segera bangkit dan menata diri kembali, setelah
gempa bumi berskala 5,9 skala Richter mengguncang ke dua wilayah tersebut selama kurang dari hitungan 1 menit, pada Sabtu Wage, 27 Mei 2006,
satu tahun silam. Kendati bencana gempa bumi itu sangat dahsyat, hingga
menelan banyak korban dan kerusakan infrastruktur,1 namun bencana itu
tidak serta merta meluluh-lantakkan ikatan solidaritas dan kelembagaan
sosial informal di kedua wilayah tersebut. Meski didera kepanikan dan
kekalutan massa, lantaran harus mengurusi masifnya korban jiwa dan
melarikan korban luka-luka ke rumah sakit (terutama kabupaten Bantul
dan Klaten), disusul dengan beredarnya isu tsunami, dan juga gempa-gempa susulan, warga korban dengan seluruh sisa-sisa naluri reaktifnya berupaya menghidup-hidupkan nalar, kesadaran, kearifan lokal mereka untuk
menghadapi prahara yang belum pernah mereka alami sebelumnya itu.
Forma jejaring masyarakat sipil, yang pada masa normal teramat samar,
mendadak transparan, tergelar, terhampar, dan menggurita hingga menjangkau ke pelosok-pelosok dusun, bahkan melampaui batas-batas wilayah
kabupaten. Dalam hitungan jam, jejaring civil society spontan bangkit dan
menggurita.
Masih segar di ingatan, hari pertama dan kedua pasca bencana,
masyarakat dari luar daerah bencana telah bergerak mengirimkan bantuan logistik maupun relawan untuk membantu warga korban bencana.
Dibantu para relawan, tanpa dikomando, warga masyarakat (perempuanlaki-laki, tua-muda, kaya-miskin) gumregah, bangkit, bergerak, bekerja bahu
membahu, bergotong royong membersihkan puing-puing dan menata
kembali dusunnya masing-masing. Di sana-sini, posko-posko bantuan pun
didirikan dan diorganisir secara sigap oleh berbagai paguyuban masyarakat
sipil. Secara gesit pula warga membentuk dapur-dapur umum untuk me-
M
1.
96
Gempa terjadi akibat pergerakan lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang menujam (subducted). Titik pusat
gempa sekitar 37 kilometer sebelah selatan kota Yogya (tepatnya 8,240 LS dn 110,430 BT), pada kedalaman
33.000 meter. Dua daerah yang tingkat kerusakannya paling parah adalah daerah Bantul dan Klaten, karena
dua daerah itu merupakan lintasan garis patahan Sesar Opak (Opak Creek), salah satu formasi geologis
penting di daratan pulau Jawa. Berdasarkan data tertanggal 6 juni 2006, korban meninggal di Yogya 4.805,
Jateng 1.052, total 5.857; korban luka-luka di Yogya 18.702, Jateng 18.527, total 37.229; rumah roboh
di Yogya 53.761, Jateng 30.882, total 84.643; rumah rusak berat di Yogya 70.587, Jateng 64.451, total
135.048; Rumah rusak ringan Yogya 92.386, Jateng 95.848, total 188.234. Lihat lebih lanjut data korban
dan kerusakan di http://insist.or.id. Menurut estimasi Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia, total
kerugian akibat bencana gempa bumi Yogya dan Jateng mencapai 292,2 triliun atau setara dengan 3 miliar
dollar AS. Lihat Harian Kompas, Senin 12 Juni 2006.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
nyajikan makanan bagi warga korban gempa. Tak ada lain, aktivitas massa
itu digerakkan oleh spirit altruisme dan kerelawanan (voluntarism) yang sangat tinggi di antara warga sendiri.
Hari-hari berjalan, gerakan solidaritas warga dari luar daerah kian
tak terbendung, bahkan kian menjadi-jadi bila hari-hari libur atau Ahad
tiba. Dengan menggunakan truk terbuka, lusinan rombongan warga nonkorban baik dari dalam dan luar wilayah bencana berarak menyebar ke berbagai pelosok desa di daerah Bantul, Prambanan, Klaten dan Gunungkidul.
Dalam menjalani misi gotong-royong itu, tanpa ingin merepotkan warga
korban yang hendak dibantu, rombongan warga dari daerah Magelang,
Wonosobo, Temanggung, dan berbagai kabupaten di Jawa Tengah membekali diri mereka dengan peralatan pertukangan masing-masing. Ruparupa nyamikan (makanan ringan), komboran (air minum), nasi bungkus, dan
berbagai ransum ala kadarnya sebagai sajian sambatan pun telah mereka
siapkan dan bawa sendiri. Tak jarang, mereka juga membawakan oleh-oleh
bahan pangan, lusinan batang bambu, bermacam material bangunan, demi
meringankan beban penderitaan warga korban. Bambu-bambu dan material segera bisa digunakan untuk mendirikan naungan sementara, posko,
dapur umum, maupun untuk menyulam beberapa komponen rumah yang
rusak atau bahkan hancur.
Spirit jawa klasik Holobis Kuntul Baris yang tertoreh di ruang-ruang
advertensi publik seolah menjadi mozaik peneguhan atas makna agung dari
laku urip jalma utama: guyub, rukun, dan tepa selira mring pepada (praksis hidup
manusia yang pantas diteladani: solider, rukun, dan bertenggang rasa pada
sesama). Terasa sungguh betapa warga korban menjadi sangat terbantu,
teringankan bebannya, dan terteguhkan hatinya, lantaran kuatnya gerakan
solidaritas di antara jejaring masyarakat sipil tersebut. Tercatat, tiga bulan
pasca bencana telah menjadi saksi atas bangkitnya gerakan sosial laten di
kalangan masyarakat sipil Yogya dan Jateng. Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “gerakan dari rakyat untuk rakyat” (people to people movement).
Ada juga yang mengistilahkannya sebagai “gerakan dari desa ke desa” (village to village movement). Apapun istilahnya, itulah realitas gerakan solidaritas
dari, oleh, dan untuk masyarakat sipil yang spontan muncul pasca bencana
Yogya dan Jateng. Di tengah keporak-porandaan harta material duniawi
itu, pantas kita berbesar hati lantaran masih bisa menemukan harta karun
sosial atau modal sosial yang tak ternilai harganya. Sebuah apresiasi yang
representatif muncul dari Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Lebih jauh, ia menyatakan:2
2.
Harian Kedaulatan Rakyat, 7 juli 2006
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
97
Tahun VII no. 1. 2007
Di balik bencana yang telah merusak banyak hal, ternyata masyarakat
DIY dan Jateng masih memiliki modal sosial yang tidak rusak. Hal ini
terlihat dari tingginya semangat untuk bangkit kembali secara gotong
royong yang muncul dimana-mana. “Modal sosial masyarakat DIY dan
Jateng ini sungguh luar biasa. Ini lebih penting dan jauh lebih bermakna
daripada modal material.
Ungkapan Nashir di atas kiranya tak berlebihan. Memang, musti
diakui bahwa modal sosial atau harta karun sosial itulah yang nyata-nyata
telah menyelamatkan banyak orang dalam penanganan pasca gempa Yogja
dan Jateng tersebut.
Lemahnya Peran Negara
Dalam situasi chaos semacam itu, lantas di manakah sosok negara
sebagai pemegang peran regulatif, pelaksana, penanggungjawab, dan penjamin hak-hak dasar warga? Itulah pertanyaan retoris yang musti direleksikan kembali oleh kita semua, terlebih jajaran state apparatus. Diakui atau
tidak, inisiasi-inisiasi penanganan emergensi (bahkan hingga rehabilitasi,
dan rekonstruksi saat ini) dari berbagai komponen masyarakat sipil Yogya dan Jateng tersebut secara riil telah berhasil mematahkan bottle-neck
penyaluran bantuan kemanusiaan oleh birokrasi pemerintah. Gerakan sosial yang sangat massif dari berbagai komponen masyarakat sipil (seperti
paguyuban warga, ormas, lembaga keagamaan, LSM, dll) terbukti jauh lebih cepat ketimbang respon dan gerak birokrasi pemerintah. Jika kita boleh
menakar, peran komponen masyarakat sipil ini jauh lebih besar ketimbang
peran negara.
Terhitung sejak hari pertama hingga sepekan pasca bencana, aparat
pemerintah daerah sebagai representasi negara di tingkat lokal, sangatlah
lemah, untuk tidak menyebut lumpuh. Dalih pembenar selalu meluncur
latah: “Lantaran banyak aparat pemerintahan juga menjadi korban, wajar
saja jika pemerintahan untuk sementara waktu terganggu”, begitulah kirakira alasan ringkih direka-reka. Alasan itu boleh jadi manusiawi. Namun
dalih itu tetap tak bisa diterima oleh publik yang telah mendaulat mereka
sebagai pemegang tanggungjawab atas penjamin hak-hak dasar warga negara. Publik pun mengantongi argumennya sendiri. Mengandalkan pada
rekaman ingatan dan pengalaman atas praktik kekuasaan selama ini, publik menegaskan: “Jangankan dalam kondisi bencana, dalam kondisi normal pun kinerja pemerintah masihlah compang-camping, bahkan amburadul”.
Praktis, tampuk kendali tatanan sosial sepekan pasca bencana dipegang oleh komponen masyarakat sipil, dengan segenap ragam pola dan
98
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
gaya kepemimpinan alamiahnya. Absennya negara dalam situasi semacam
itu menandaskan argumen betapa negara sangatlah ringkih, tak sebanding
dengan lekatnya karakter angker dan watak represif di masa-masa normal. Sementara di sisi lain, bak mesin gen-set yang serta merta menyala
tatkala arus listrik padam, berbagai komponen civil society secara spontan
juga merangsek, berakselerasi, dan membentang menjadi jejaring yang
tanggap dan tangguh terhadap bencana. Hingga masa rekonstruksi saat ini
pun, dramaturgi penanganan bencana masih saja berulang dengan peran
dan kapasitas birokrasi negara yang sangat minimal. Negara nampak tak
pernah mau belajar dari pengalaman dalam rentetan panjang penanganan
bencana sebelumnya.
Nyata benar, sosok negara lenyap di tengah kebangkitan jejaring
civil society tersebut. Namun jika kita timbang lagi, bukankah ketakhadiran pemerintah itu hanyalah penggalan potret usang dalam album hitam
bangsa kita hingga hari ini? Acapkali ironi kekuasaan memang sulit dipahami, sesulit ketika kita memahami logika seorang Wapres (sekaligus
Ketua Bakornas), Jusuf Kalla, yang teramat responsif (sampai-sampai
melupakan pentingnya koordinasi) dan teramat “ringan mulut” merespon
bencana Yogya dan Jateng dengan menjanjikan dana bantuan sebesar 1020-30 juta rupiah untuk rekonstruksi rumah serta bantuan jadup, pakaian,
dan peralatan rumah tangga. Tak pelak lagi, pada 28 Mei 2006, “gempa
sosial berskala 30 juta” pun mempreteli modal sosial warga Yogya dan
Jateng. Bak beras sedang ditampi, gonjang-ganjing (chaos), kaotik sosial kian
menguat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah praktis menuai protes
massa. Aksi-aksi protes jalanan menuntut janji JK yang digelar oleh berbagai komponen masyarakat sipil turut mewarnai hari-hari sibuk warga
dalam masa pemulihan.3 Berbagai kasus konlik horisontal di tingkatan
warga juga kian meningkat, hingga tak habis-habisnya jadi bahan pemberitaan berbagai media masa. Hal itu berlangsung sampai beberapa bulan
pasca gempa.
Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tak padu
dan saling tumpang tindih semakin menguatkan sinyalemen tentang politisasi bencana di berbagai jenjang state apparatus. Tarik ulur kepentingan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat gamblang terlihat. Dalam berbagai kasus seperti: penentuan parameter tentang bencana
3.
Sejak Jusuf Kalla menebar janji, sederetan aksi massa digelar oleh berbagai gabungan elemen warga korban
bencana, mahasiswa, dan LSM. Gerakan Aksi Tagih Janji (Ganti) merupakan aksi massa terbesar yang
digelar dua hari berturut-turut untuk menyambut kedatangan Jusuf Kalla di Gedung Agung Yogyakarta,
19 juli 2006. Di kemudian hari, keputusan pun ditetapkan, warga akhirnya hanya mendapatkan dana
rekonstruksi sebesar 15 juta dengan 3 tahap pengucuran. SKB Edisi 7, 1 Agustus 2006, Batal 30 Juta, Tuntut
Minta Maaf, hlm. 4-5.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
99
Tahun VII no. 1. 2007
nasional atau bencana lokal; penetapan masa tanggap darurat; penentuan
validasi data korban dan kerusakan; dan penentuan besaran dana jadup
(living cost) dan rekonstruksi; semakin mempertegas tarik ulur kepentingan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada akhirnya, tekananberlebih pemerintah pusat berangsur mengendurkan dramaturgi politisasi
bencana. Kompromi politik akhirnya melahirkan Keppres No 9/2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Gempa
DIY-Jateng dan Pergub DIY No 23/2006 tentang Petunjuk Operasional
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Propinsi DIY. Mau
tidak mau, warga harus menuruti kebijakan yang serba tak bijak, tak partisipatif, dan sarat dengan tambal sulam itu. Agar terkesan partisipatif,
pemerintah propinsi berupaya memoles kebijakan dengan cara mengairmasi pembentukan Kelompok Masyarakat (Pokmas) oleh warga sendiri.
Kebijakan yang seolah bottom-up itu, tak urung terbongkar kedoknya juga.
Alih-alih mendorong dan menguatkan partisipasi warga, kebijakan itu justru memicu konlik horisontal.4
Keruwetan pun kian menjadi-jadi. Tak rela ikatan solidaratas di
tingkat dusun terusik, warga kembali menggelar serangkaian aksi protes
massa yang diberi nama aksi Bagito (dibagi rata). Dalam aksi itu, warga
menuntut dana rekonstruksi—yang putusan inalnya hanya sebesar 15
juta—tersebut dibagi rata. Sementara pemerintah bersikeras memaksakan
dana bantuan dibagi berdasarkan prioritas (Bagitas), yang arahannya nanti, seturut kesepakatan warga dalam Pokmas. Dalam hal ini, pemerintah
propinsi benar-benar terjepit. Di satu sisi ia dituntut untuk mengakomodir
aspirasi warganya, di sisi lain ia ditekan untuk menerapkan kebijakan hasil
rancangan pemerintah pusat. Kasus ini bisa menjadi sumber kajian berharga tentang bagaimana dinamika demokrasi lokal berjalan. Fenomena
tentang Bagito versus Bagitas ini tak lain adalah kasus uji dari problematika
program desentralisasi dan otonomi daerah setengah hati.5 Kemenangan
4.
5.
Simak lebih jauh ulasan Krisdyatmiko tentang Pergub No 23/2006 ini. Menurut Krisdyatmiko Pergub ini
lahir dari banyak tekanan. Pertama, pergub ini lahir untuk menyelamatkan muka pemerintah pusa (Jusuf
Kalla) yang telah terlanjur menjanjikan dana bantuan untuk rekonstruksi rumah 10-30 juta. Kedua, Pergub
ini mengakomodasi tuntutan pemerintah pusat yang menghendaki ada kucuran hutang dari lembaga
donor dalam penanganan bencana. Sebagai konsekuensinya, demi tuntutan akuntabilitas oleh pihak donor
tersebut, maka mengakibatkan pengucuran dana harus melalui birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.
Baca lebih lanjut Krisdyatmiko, Kebijakan Rekonstruksi Rumah yang [seolah-olah] Partisipatif dalam
Jurnal Flamma (Edisi Khusus), Tanggap Bencana, Yogyakarta: IRE, hlm.28-29.
Fenomena Bagito versus Bagitas merupakan salah satu ajang pembelajaran bahwa di era kebangkitan otonomi
daerah (desentralisasi) saat ini, pemerintah masih saja kewalahan menerjemahkan dan mengimplementasikan
praksis demokrasi di tingkat lokal. Untuk mencermati lebih jauh tentang Bagito versus Bagitas ini, baca SKB
Edisi 11, 30 Agustus 2006, Bagito=Bagi Roto, hlm. 4-6; SKB Edisi Khusus Peringatan 100 Hari Gempa, 5
September 2006, Ngenteng-Entengi Gubernur, Prioritasnya: Bagi Roto Saja, hlm. 10; SKB Edisi 14, 20 September
2006, Tiji-Tibeh, Mukti Siji Mukti Kabeh, hlm. 4-5.
00
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
Bagitas semakin menguatkan argumen bahwa aspirasi/partisipasi warga
telah gagal diposisikan dalam kancah demokrasi lokal. Berbagai macam
bentuk modal sosial yang diinisiasi secara partisipatif oleh warga dengan
gampangya dinisbikan, dan dipelintir demi tetap langgengnya kebijakan
pemerintah pusat yang teknokratis. Dalam kasus ini, pemerintah jelasjelas telah melecehkan, dan celakanya lagi, mengeksploitasi peran partisipasi warga. Tanpa adanya transparansi anggaran, pemerintah bersikeras
mendesakkan pembentukan Pokmas dengan alasan bahwa itu merupakan
wujud keberpihakannya terhadap penguatan partisipasi warga. Padalah
jika dicermati lebih jauh, airmasi pembentukan Pokmas oleh pemerintah
daerah ini menyembunyikan kepentingan politis. Pokmas menjadi ajang
cuci tangan pemerintah dari beratnya beban anggaran yang musti dipikul,
dengan cara memanfaatkan/mengeksploitasi tenaga sukerala (baca:gratisan) warga dalam kerja-kerja gotong royong.6 Jelas kiranya, gotong royong (yang lazim dipahami sebagai mekanisme berbagi beban/tanggung
renteng di antara warga lantaran keterbatasan sumberdaya) sebagai salah
satu bentuk modal sosial telah dipolitisir oleh negara demi efektivitas dan
eisiensi anggaran.
Beban warga pun kian bertambah berat tatkala muncul ketetapan
dari pusat bahwa dana rekonstruksi dikucurkan dalam tiga tahap. Dengan
dana yang super cupet itu, warga lagi-lagi harus dihadapkan pada persoalan
melonjaknya harga material bangunan di pasaran. Dalam kasus ini, menajemen pemerintah benar-benar amburadul. Pemerintah loyo syaraf menghadapi kuasa pasar yang membesar seiring meningkatnya permintaan
material lantaran meningkatnya kebutuhan warga. Pemerintah mustinya
bisa menginisiasi kebijakan untuk perlindungan warga, semisal menstabilkan harga dengan melakukan kontrol/ intervensi pasar, atau memotong
jalur distribusi dengan mendirikan sejumlah depo bahan-bahan material.
Meski upaya itu pernah digagas oleh pemerintah propinsi, namun realisasinya tetap jauh panggang dari api. Dari seluruh paparan masalah di atas,
beban berlipat selalu saja jatuh di pundak warga. Warga yang mustinya
dibantu, justru malah dieksploitir dan dijadikan bulan-bulanan oleh kekuasaan negara. Menguatnya modal sosial di tingkat warga tak berarti apapun bagi kekuasaan, selain sebagai tumbal. Tak lebih. Kiranya benar apa
kata pepatah, ular kobra biasanya mematuk dua kali, malapetaka senantiasa memukul beruntun. Berlalunya bencana tak selalu berarti berlalunya
petaka bagi warga korban.
6.
Terkait dengan analisis ini baca Bambang Hudayana, Bukan Sekedar Mitos tentang Kekuasaan: Pelajaran
dari Bencana, dalam Jurnal Flamma Edisi 26, Juli-Agustus 2006, Yogyakarta: IRE, hlm.31
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
0
Tahun VII no. 1. 2007
Negara, Penanganan Bencana, dan Problem Desentralisasi
Dari kasus penanganan bencana Yogya dan Jateng di atas, ada tiga
masalah yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga bagi kita. Tiga masalah itu adalah sebagai berikut:
(1) Menguatnya solidaritas sosial yang diinisiasi secara partisipatif oleh
masyarakat sipil (paguyuban warga/ Community Based Organisation, ormas, LSM, dll) merupakan modal sosial yang besar dalam pemulihan
pasca bencana. Meski pada akhirnya modal sosial itu kembali dinisbikan oleh kebijakan pemerintah yang top-down (yang secara inheren
tak peka terhadap inisiati-inisiatif lokal);
(2) Ketidakjelasan otoritas formal penanganan bencana antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga posisi kebijakan penanganan bencana saling tumpang tindih dengan dokumen kebijakan lainnya
yang telah ada sebelumnya;
(3) Lemahnya kapasitas pemerintah dalam penanganan bencana (seperti
kapasitas respon yang tidak prediktabel; penyediaan anggaran yang
tidak prediktabel dan luwes, tidak transparan, tidak dihargainya martabat warga dengan memposisikan warga sebagai korban yang pasif,
penciptaan ketergantungan, dll) yang berakibat pada terabaikannya
pemenuhan hak-hak dasar penyintas (survivor);
Ketiga masalah tersebut sejatinya tidak mencerminkan seluruh kompleksitas persoalan yang berkembang di masyarakat Yogya dan Jateng pasca bencana. Ketiganya hanyalah potret makro (boleh jadi simplistis) yang perlu
diposisikan sebagai kerangka acuan untuk menguak lebih jauh detil-detil
persoalan yang saling paut satu dengan lainnya. Silang kaitnya persoalan
pasca bencana ini mengindikasikan pentingnya identiikasi atas berbagai
macam faktor, aspek, dan aktor yang saling terlibat pula. Karenanya kompleksitas persoalan dalam penanganan bencana perlu ditelusur titik-titik
simpulnya. Dengannya, kita lebih mudah untuk mengkaji dan menentukan
berbagai metode pendekatan, strategi, dan praksis penanganan bencana.
Dalam penanganan bencana Yogya dan Jateng, masalah mendasar
yang paling banyak mendapat sorotan publik adalah masalah yang terkait
dengan ketidakjelasan otoritas formal penanganan bencana (poin ke-2).
Seperti telah diuraian sebelumnya, tarik ulur kebijakan antara pemerintah pusat antara pemerintah daerah telah mempertontonkan dramaturgi
politisasi bencana secara teramat vulgar. Kendati telah tertera dalam Keppres No 9/2006 (tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah Pasca Gempa DIY-Jateng) maupun Peraturan Gubernur DIY
No 23/2006 (tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Gempa Bumi di Propinsi DIY), namun toh dalam implementasinya
0
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
tetap saja tak jelas dan serba tumpang tindih. Persoalan ini sebenarnya
merupakan persoalan fundamental yang secara substansial menjadi simpul
dari dua persoalan lain (terkait dengan poin 1 dan 3) yang muncul dalam
penanganan bencana Yogya dan Jateng.
Jika memang negara ini masih berpegang pada semangat desentralisasi dan demokrasi lokal, maka mustinya pemegang otoritas penanganan bencana ada di tangan pemerintah daerah. Kejelasan otoritas ini
bagaimanapun juga sangatlah penting agar: pertama, pemerintah daerah
memiliki wewenang yang leluasa untuk segera menghimpun dan memobilisir berbagai sumberdaya yang ada demi percepatan pemulihan pasca bencana (menjawab kebutuhan anggaran); kedua, pemerintah daerah mengantongi wewenang untuk mengatasi masalah-masalah aktual di tingkat lokal
(menjawab partisipasi rakyat dan inisiatif lokal); ketiga, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menginisiasi sumber informasi utama bagi
warga, sehingga warga tidak terombang-ambingkan oleh isu-isu yang beredar di media massa (menjawab kebutuhan atas koordinasi dan layanan
informasi terpadu).
Dalam konteks ini, negara musti mensinergikan lagi antara dokumen-dokumen kebijakan penanganan bencana dengan dokumen-dokumen kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Meskipun dalam sejumlah aspek cukup pelik, semisal masalah perimbangan anggaran antara
pusat dan daerah, namun kebijakan penanganan bencana harus tetap
mengacu pada prinsip-prinsip dalam dokumen kebijakan desentralisasi
tersebut. Tanpa berpegang pada prinsip pokok subsidiaritas (subsidiarity)7
sebagai ruh dari desentralisasi itu sendiri, maka niscaya penanganan bencana tak akan sanggup menjawab berbagai kebutuhan lokal dari warga sebagai penerima manfaat (beneiciaries). Berdasarkan catatan sejarah, bangsa
Indonesia sendiri telah meyakini sejak awal bahwa:8
Desentralisasi merupakan sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, mengembangkan pemerintahan yang
demokratis, menghargai berbagai keragaman lokal, menghormati
dan mengembangkan potensi penghidupan masyarakat lokal, serta
memelihara integrasi nasional.
7.
8.
Konsep subsidiarity menunjuk pada pengertian tentang praksis pelokalisiran atas pengambilan keputusan
dan penggunaan kewenangan oleh struktur atau organisasi di level bawah. Baca lebih lanjut Abdur Rozaki,
dkk, Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press, 2005, hlm.160.
Pada dekade 1970-an, desentralisasi telah mejadi isu mondial. Indonesia sendiri mengenalnya sejak awal
kemerdekaan. Penerapan desentralisasi dan demokrasi berlangsung secara pasang surut. Titik terendah
desentralisasi terjadi selama tiga dekade pemerintahan Soeharto, kendati terpasang perangkat desentralisasi
yaitu UU No.5/1974 dan UU No.5/1979. Semangat desentralisasi dan demokrasi lokal kembali bangkit
sejak lahirnya UU No.22/1999. Untuk ringkasan dan kutipan ini baca Sutoro Eko, Modal Sosial,
Desentralisasi, dan Demokrasi Lokal, dalam Jurnal Analisis CSIS, Penguatan dan Modal Sosial Masyarakat,
Vol.33 No 3 September 2004, hlm.300.
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
03
Tahun VII no. 1. 2007
Dalam seluruh matra idealnya, desentralisasi itu senantiasa berada
dalam “proses menjadi” (state of becoming) seturut determinan sosial-politik
yang melingkupinya. Meskipun harus diakui bahwa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal saat ini—yang berakar pada UU No.22/1999—
masihlah terseok-seok, namun kiranya tugas berat untuk menerapkannya
di masa-masa krisis/bencana tetaplah harus dipikul oleh bangsa ini. Dan
itulah tantangan riil yang musti dijawab oleh bangsa ini jika benar-benar
hendak melahirkan tata-kelola kebencanaan yang handal di masa datang.
Jika dalam setiap penanganan bencana, pemerintah masih menerapkan pola kebijakan yang bertentangan dengan hakikat desentralisasi
tersebut, maka nyaris bisa dipastikan akan menuai banyak persoalan (terkait
dengan poin ke 1). Salah satu contoh riil yang terjadi dalam kasus penanganan bencana Yogya dan Jateng adalah terabaikannya/terpinggirkannya
kearifan lokal, modal sosial, inisiatif-inisiatif lokal. Kasus terpinggirkannya modal sosial sebagaimana telah terpapar di atas menjadi bukti nyata
bahwa pemerintah benar-benar telah abai terhadap sendi-sendi vital sekaligus lubrikan dalam demokrasi lokal yang mewujud dalam bentuk jejaring
masyarakat sipil.9 Dengan kata lain, negara telah menisbikan partisipasi
rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam governance kebencanaan.
Jika situasinya sudah seperti itu, maka itu berarti (terkait dengan
poin ke 3) penanganan bencana oleh pemerintah samasekali tak akuntabel.10 Dalam penanganan bencana Yogya dan Jateng, pemerintah jelasjelas tak mampu memperkuat kapasitasnya untuk menyelamatkan kehidupan dan meringankan penderitaan warga. Sebaliknya pemerintah
justru merendahkan martabat warga, dengan menganggap warga sebagai
obyek, bukannya subyek. Berlarut-larutnya praktik buruk penanganan bencana itu akan menyemai public distrust terhadap pemerintah/ negara. Kita
bisa mencermati berbagai ungkapan warga yang sinis dan apatis terhadap
keberadaan negara. Ungkapan Siwar—warga Sewon, Bantul—misalnya,
9.
Terkait dengan munculnya jejaring sebagai konsekuensi dari desentralisasi ini telah diulas oleh Francis
Fukuyama. Lebih jauh Fukuyama menegaskan: “Jalan keluar lain bagi masalah koordinasi dalam organisasi
yang sangat terdesentralisasi ialah jaringan. Inilah bentuk tatanan spontan yang muncul dari interaksi di
antara para pelaku yang mandiri, dan tidak diciptakan oleh kekuasaan terpusat. Jika jaringan benar-benar
sebuah tatanan yang produktif, mau tidak mau harus mengandalkan norma-norma informal sebagai
pengganti organisasi formal—dengan kata lain mengandalkan modal sosial. Francis Fukuyama, Guncangan
Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru; Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 243
10. Tolok ukur umum untuk akuntabilitas kemanusiaan (dalam penanganan bencana) ini bisa dinilai dari sejauh
mana pemerintah berhasil menguatkan kapasitasnya guna menyelamatkan kehidupan dan meringankan
penderitaan, sehingga martabat warga semakin terkukuhkan. Tolok ukur strategi yang kuantitaf didasarkan
pada penilaian: terbangunnya kapasitas respon yang lebih prediktable dan tersedianya pendanaan yang
lebih prediktabel dan luwes. Sementara untuk tolok ukur strategi kualitatif didasar pada adanya upaya
untuk: melaksanakan tugas secara transparan, menjaga kemanusiaan sebagai intisari tindakan kemanusiaan,
dan melawan kecenderungan public distrust dengan memusatkan perhatian terhadap jutaan orang yang
menderita dari “krisis-krisis yang terlupakan”. Lihat www.oneworld.org/ombudsman.
04
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
boleh jadi mewakili public distrust tersebut. Dimintai komentar perihal janji
palsu Wapres-Jusuf Kalla, lebih jauh Siwar bertutur:11
Dari tetangga saya memang mendengar katanya akan ada bantuan tiga
puluh juta itu. Tapi menurut saya kok ngoyoworo, belum bisa diharapkan.
…Kalaupun ada wuah…banyak sekali tentunya kalau dikalikan dengan
jumlah rumah yang harus diperbaiki. Biar saya ini orang bodho, Mas,
uang itu banyak sekali lho! Apalagi sekarang kan sedang musimnya
bencana alam, untuk Jogja saja sudah segitu banyaknya, terus ada
banjir di Sulawesi, bahkan katanya Aceh juga belum beres. Apa kita
punya uang sebanyak itu?…[Kalau ternyata punya] mendingan buat
memperbaiki organisasi pemerintah saja, itu malah bagus, saya ikhlas.
Pemerintah kita kan perlu diperbaiki, dan untuk memperbaiki kan
butuh biaya. Buat itu saja.
Ditilik dari kultur jawa nrimo ing pandum, ungkapan Siwar di atas
mengindikasikan suatu perlawanan tersembunyi, yang memuat kekhasan
gaya the art of resistance-nya orang Jawa. Kesinisan Siwar yang diverbalkan
secara halus dan seolah-oleh rela menyerahkan sesuatu kepada orang yang
tak berhak seperti itu dalam kosa kata jawa disebut mutung (patah harapan)
dengan cara nglulu (bibir berkata rela, namun sesungguhnya hati tak rela).
Ungkapan Siwar adalah representasi kekecewaan dalam sinisme santun
atas negara. Bisa dipastikan, duplikasi Siwar ada di mana-mana, dan persemaian public distrust pun kian subur. Waktunya negara berkaca dan menata
diri kembali. Pemulihan pasca bencana, pemulihan juga untuk negara.
Governance Kebencanaan: Peta Aktor-Aktor dan Pola Relasinya
Governance sebagai sebuah konsep masih dalam proses pembentukan, belum menjadi gagasan yang solid dan tentu saja masih layak
diperdebatkan. Mendengar kata governance (yang dalam bahasa Indonesia
acap diterjemahkan sebagai “tata-kelola”), kita tentu teringat pada konsep
World Bank yang sangat populer dalam beberapa tahun lalu, yaitu good
governance.
Konsep governance ini mulai latah diadopsi oleh banyak kalangan,
terutama apparatus pemerintahan dan kaum intelektual, ketika World
Bank tengah giat-giatnya melancarkan kebijakan neoliberalisme di Negara-Negara Sedang Berkembang, salah satunya Indonesia. Melalui program
structural adjustment program, implementasi konsep good governance diintervensikan World Bank dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Gambaran
ideal yang biasanya diobral World Bank mengenai konsep good governance
11. Dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi 3, 4 Juli 2006, hlm.1
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
05
Tahun VII no. 1. 2007
antara lain terpapar dalam poin-poin berikut:12 good governance adalah (1)
gambar dari sesuatu yang bisa diramalkan, terbuka, dan merupakan sebuah
pengambilan kebijakan yang bisa melahirkan pencerahan (yaitu, prosesproses transparansi); (2) suatu birokrasi yang diilhami oleh suatu etos kerja
profesional; (3) suatu tangan eksekutif pemerintah yang bertanggungjawab
terhadap setiap kinerjanya; (4) dan keterlibatan suatu masyarakat sipil yang
kokoh dalam kehidupan publik; (5) namun seluruh kegiatan tersebut mesti
dilakukan di dalam sistem dimana hukum sebagai penguasa”.
Senada dengan paparan itu, menurut rincian ESCAP, good governance memuat delapan karakter utama sebagai tolok ukurnya: karakter dasar
yang partisipatif, berorientasi pada sistem permufakatan, bisa dipertanggung-jawabkan, transparan/terbuka, responsif, efektif dan eisien, sama
rata dan inklusif, hukum sebagai penguasa “rule of law”.13
Konsep good governance itu sendiri banyak ditolak oleh kalangan prokerakyatan, lantaran konsep itu bias pada agenda ekonomi politik global
yang sama sekali tak berbasis keadilan. Kemunculan konsep good governance
itu tidak didorong oleh menguatnya perhatian terhadap berbagai kebutuhan hidup rakyat miskin, tetapi disetir oleh kepentingan TNC untuk meluaskan area pasar melalui pengembangan globalisasi ekonomi, dengan
cara mempreteli fungsi-fungsi negara.
Memang tidaklah mudah mendeinisikan istilah governance ini. Konsep governance ini telah diterjemahkan dalam pemahaman yang sangat berragam. Terlebih jika itu dikaitkan dengan konsep ideal dan implementasi
lapangan yang kerap berseberangan. Terlepas dari itu semua, berikut akan
dipaparkan beberapa deinisi lain tentang governance, guna menemukan
arah pemahaman yang relevan untuk kasus penanganan bencana. Dalam
pemahaman yang sederhana, konsep governance mengacu pada tingkat kerumitan aktivitas dengan beragam makna yang luas, serta melibatkan begitu
banyak pemain. Secara hati-hati, Garan Heyden mencoba menjelaskankan
governance sebagai konsep yang mendeinisikan sebuah pendekatan atas
komparasi politik. Heyden mengambil penekanan khusus pada aspek
“potensi kreatif perpolitikan, terutama kapasitas para pemimpin politik dalam mendorong struktur masyarakat untuk merubah aturan main,
sekaligus memberi inspirasi kepada yang lainnya agar bisa ambil bagian
dalam upaya mendorong masyarakat ke arah yang baru dan produktif”.14
Dalam penjelasan lain yang juga tak mampu mendeinisikan governance se12. http://www.worldbank.org/publicsector/overview.html
13. What is Good Governance? United Nations Economic and Social Commision for the Asia and Paciic (UN
ESCAP): Human Settlements Web Page, http://www.unescap.org/huset/gg/governance.html
14. Governance Barometer: Policy Guidelines for Good Governance, Webside of South Africa’s National Party; http://
www.gdrc.org/u-gov/governance-understand.html
06
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
cara operasional, Commission on Global Governance menjelaskan governance
sebagai berikut:15
Governance adalah hasil dari kumpulan pengalaman para individu dan
institusi, umum, dan pribadi, dalam mengelola kehidupan sehari-hari
mereka. Governance adalah sebuah proses yang berkelanjutan dimana
setiap kepentingan yang saling berbenturan atau yang bermacammacam itu bisa diakomodir dan disatukan dalam sebuah kerjasama
konkret. Hal itu melibatkan institusi-institusi formal dan kelompokkelompok yang dikembangkan untuk memenuhi persyaratan yang
ada maupun hal-hal yang bersifat informal, dimana setiap orang dan
institusi terkait telah menyetujuinya atau menerimanya sebagai sesuatu
yang bisa mendukung kepentingan mereka.
Berangkat dari paparan di atas, berikut ini kita akan melacak lebih
jauh hal ihwal governance kebencanaan. Di sini, karakter-karakter dasar dari
governance bisa kita jadikan alat bantu untuk memahami governance kebencanaan. Limitasi atas konsep governance kebencanaan akan disaji tuliskan
pula sebagai sebuah pembelajaran penting yang diperoleh berdasar pengalaman penanganan pasca gempa Yogja-Jateng.
Dalam konteks kebencanaan, pola hubungan di antara aktor
yang terlibat dalam penanganan bencana sangatlah menentukan kualitas
suatu governance kebencanaan. Bila dipetakan berdasarkan kategori besar
atas fungsi dan perannya maka terdapat lima entitas aktor yang terlibat
dalam governance kebencanaan. Dalam Bagan 1 kita bisa melihat kelima entitas aktor tersebut adalah: pemerintah, warga, ormas/orpol/LSM, media massa, dan pelaku bisnis. Di setiap entitas aktor tersebut diandaikan
memuat berbagai elemen dan komponen kecil yang tercakup didalamnya.
Setiap entitas aktor tersebut tersambungkan antara satu dengan lainnya
oleh garis penghubung sebagai simbol dari pola relasi yang resiprokal di
antara kelima entitas aktor tersebut. Garis-garis penghubung berpola jejaring segi lima merupakan simbol dari pola relasi yang terintegrasi untuk menjelaskan tentang pentingnya koordinasi dan sharing informasi di
antara entitas aktor-aktor. Persis pada Bagan 1, Bagan 2 menggambarkan
lima entitas aspek yang terintegrasi dalam penangananan bencana: ekologi,
kelembagaan sosial dan budaya, politik kebijakan struktural, ekonomi, hukum dan pengawasan.
Apa yang tergambar dalam Bagan 1 dan 2 tersebut pada dasarnya
hanyalah pembaganan secara sangat sederhana (boleh jadi simplistis) dan
ideal atas kompleksitas governance kebencanaan. Terbentuknya jejaring entitas aktor berikut entitas aspek yang dikelolanya akan sangat menentukan
15. http://www.cgg.ch/welcome.html
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
07
Tahun VII no. 1. 2007
tingkat akuntabilitas governance kebencanaan itu sendiri. Dalam berbagai kasus penanganan bencana, banyak persoalan muncul lantaran tidak adanya
pola relasi yang sinergis. Kesinergisan itu akan tercipta ketika ruang-ruang
dialog, komunikasi, koordinasi, dan sharing data/informasi dijalankan secara intensif di antara entitas aktor di berbagai lini. Ketidakberesan dan
tidak berfungsinya satu entitas aktor pastilah akan berdampak pada ketidakberesan aktor lainnya. Secara hakiki, berbagai mekanisme dalam governance
kebencanaan itu difungsikan demi memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap pemenuhanan hak-hak dasar korban.
Mendasarkan diri pada pembaganan sederhana di atas ternyata tidak memadai dalam perjuangan politik korban. Ketika posisi Negara di
letakkan secara simetris dengan aktor lainnya, maka Negara justru tidak
akan bisa maksimal dalam melakukan peran perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak-hak dasar warganya. Belajar dari penanganan gempa Yogja-Jateng, negara berkecenderungan abai terhadap hak-hak dasar warga
dengan dalih memberi ruang partisipasi bagi aktor-aktor yang lain. Rakyat
misalnya, partisipasi rakyat justru ditelikung melalui pelembagaan Pokmas
yang tidak mengikut mekanisme sosial masyarakat, sekadar untuk menutup lemahnya/rapuhnya Negara.
Atas nama berbagi peran, apparatus Negara memberi kebebasan
seluasnya bagi pelaku bisnis untuk menjalankan mekanisme pasar dalam
penanganan bencana. Walhasil, sebagaimana paparan di atas, harga material yang dibutuhkan warga membumbung tinggi sehingga mengakibatkan
daya beli warga turun. Hukum ekonomi yang bekerja atas dasar permintaan
dan penawaran tak mampu dikendalikan oleh hukum Negara. Kalau kemudian berpijak pada tesis good governance, bahwa Negara memegang fungsi
regulasi, fungsi yang sangat minimalis itupun tak mampu dimainkan secara
adekuat oleh Negara.
Sebagai sebuah gambaran dari sesuatu yang bisa diramalkan, terbuka, dan merupakan sebuah pengambilan kebijakan yang bisa melahirkan
08
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
pencerahan (yaitu, proses-proses transparansi), good governance kebencanaan
sungguh-sungguh tak bekerja. Tiadanya state apparatus yang mampu memprediksi peristiwa bencana secara akurat dan mentransformasikan pada
publik, serta tiadanya kebijakan dan anggaran yang antisipatif dan memadai
untuk mitigasi hingga rekonstruksi bencana, merupakan releksi dari kegagapan atau bahkan kegagalan konsep ini untuk diaplikasikan.
Kegelapan bagi warga merupakan akibat dari cara kerja birokrasi
yang tak peka, tanggap dan tangguh dalam menghadapi situasi krisis kebencanaan. Ketika pabrik mie instant dan material bangunan bisa lekas berkoordinasi untuk membuat perencanaan sistematis dalam rangka merespon
kebutuhan yang meningkat di daerah bencana, state apparatus negara ini
malah sibuk bersilang statement dan saling lempar tanggung jawab. Koordinasi antar state apparatus untuk membuat perencanaan strategis lamban
digagas karena diperkeruh oleh lips service pejabat negara yang justru mempertunjukkan gagal koordinasi dengan jajarannya.
Birokrasi pun bekerja secara sangat tak professional, bahkan tak
punya sense of crisis. Ketegaan meminta persyaratan yang berbelit bagi warga yang hendak mencairkan bantuan jadup selama fase tanggap darurat
merupakan potret ironis birokrasi. Bagaimana mungkin warga yang rumahnya hancur atau bahkan kehilangan sanak saudara masih sempat memikir
untuk menyelamatkan identitas seperti KTP atau bahkan Kartu Keluarga
ketika nyawa terancam kerawanan pangan pasca bencana?
Kekaburan tanggungjawab Negara kian disempurnakan ketika
partisipasi mampu dimainkan dengan lebih peka dan tanggap oleh masyarakat sipil. Problem ketidaktanggungjawaban negara bukan terletak pada
ketiadaan kapasitas negara, namun mindset negara beserta state aparatusnya
tidak dikonstruksi untuk melayani masyarakatnya. Padahal kalau Negara
berkehendak, situasi krisis yang melanda masyarakat bisa menjadi moment
untuk mengikat kembali masyarakat pada makna penting bernegara.
Dengan demikian, good governance sebagai sebuah konsep ideal dimana semua aktor tatakelola pemerintahan didudukkan secara setara adalah
ilusi. Di luar kertas kerja World Bank maupun apparatus pemerintahan,
konsep ini tidak akan pernah bekerja karena dibangun berdasar pada surga
pemikiran. Dalam situasi normal sekalipun, konsep dus aplikasi good governance mendapat kritik yang sangat besar akibat ketidakmampuan untuk
menjawab problem kepemerintahan. Apalagi ketika situasi krisis ketika realitas bekerja berdasar logika lain, gagasan good governance menjadi tak
lebih dari utopia.
Good governance telah memangkas tanggung jawab negara melalui kebijakan privatisasi (de-negaranisasi). Negara emoh untuk bertangKajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
09
Tahun VII no. 1. 2007
gung jawab pada rakyatnya. Cara pikir yang sama ketika diletakkan dalam
governance kebencanaan adalah sebuah petaka bagi rakyat. Negara menyandar pada kapasitas aktor yang lain untuk memberikan peran perlindungan bagi rakyatnya. Namun tak semua aktor governance berangkat dari
semangat memberdayakan. Dari pengalaman penanganan gempa YogjaJateng, pelaku bisnis justru memancing di air keruh, mendulang emas di
balik lumpur. Pelaku bisnis sungguh-sungguh tak bisa diharapkan untuk
memposisikan warga korban di atas kepentingannya untuk mendulang keuntungan (proit).
Pertanyaannya kemudian adalah, dimanakah posisi warga dalam
governance kebencanaan? Dalam situasi normal (tidak terjadi krisis), ketika rakyat berkemampuan untuk berdikari atas hidupnya, negara pun masih
dibutuhkan oleh rakyat. Pelayanan publik, perlindungan hak-hak asasi dan
hak-hak dasar merupakan peran hakiki yang diembankan rakyat kepada
pemerintahnya sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar. Semangat welfare state yang mendasari pembentukan Negara ini masih menjadi semangat yang diidam-idamkan rakyat. Rakyat tidak pernah emoh Negara, apalagi dalam situasi krisis kebencanaan. Terbukti ketika pemerintah
(wakil presiden) mengobral janji 30 juta, rakyat begitu “gembira.” Dan
bukan semata karena 30 juta, tapi karena pemerintah Negara ini yang terkenal abai ternyata masih memikirkan nasib rakyatnya.
Kalau kemudian ludah yang telanjur keluar ditelan kembali oleh
pemerintah, itu masalah lain bahwa pemerintah pura-pura lupa cara bertanggung jawab pada rakyatnya. Reaksi rakyat tak seperti biasanya, perlawanan dalam diam kiranya tak mencukupi lagi. Karenanya, pada tanggal
19 Juli 2007, rakyat melancarkan aksi massa yang dikenal sebagai Gerakan
Aksi Tagih Janji (Ganti). Gerakan untuk membangkitkan tanggungjawab
Negara ini adalah bukti bahwa berbagai elemen warga korban bencana,
mahasiswa, dan LSM masih peduli pada eksistensi Negara.
Dalam wujudnya yang sangat chaotic sekalipun, aksi jalanan itu
merupakan releksi dari macetnya saluran aspirasi rakyat. Melalui aksi
jalanan, rakyat mengingatkan pemerintahnya untuk kembali bertanggungjawab atas mandat yang sudah diberikan. Melalui aksi jalanan ini pula,
rakyat menaikkan posisi tawarnya dihadapan negara yang sudah kelewat
mahal memberi harga pada dirinya sendiri.
Pokmas pun sulit untuk disebut sebagai saluran partisipasi warga. Sejak awal pembentukkannya, Pokmas tidak didesain sebagai ruang
partisipasi. Pokmas tak lebih sebagai ruang implementasi kebijakan rehabilitasi dan rekontruksi ala pemerintah. Aspirasi warga yang berkembang
dalam pokmas tak berarti apapun untuk merubah kebijakan pemerintah.
0
Kajian PolitiK loKal & SoSial - Humaniora • Renai
Modal SoSIal: ParTISIPaSI Warga yang Selalu dInISbIkan dalaM GoveRNANce kebencanaan
Dalam desain pokmas, keterlibatan warga hanya sebagai pelaksana program pemerintah.
Partisipasi warga dilokalisir hanya pada tataran yang sangat akar
rumput. Partisipasi pada level yang lokal itupun seringkali mengalami kegagalan dan berujung pada sejumlah konlik horizontal akibat ketidakmampuan Pokmas memperjuangkan aspirasi warga. Fenomena ini tergelar di sejumlah Pokmas. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan top down Pokmas tidak
sesuai dengan kondisi sosial kultural masyarakat. Ketidakpuasan warga
inilah yang memicu sejumlah konlik horisontal. Ketika pemerintah pusat
dan daerah bisa menutup mata atas resistensi masyarakat. Aparat dusun,
desa maupun kecamatan-lah yang sering menuai badai karena kebijakan
yang tak menghargai dinamika lokal. Respon atas gerakan ketidakpuasan
rakyat pun sangat parsial: sejumlah kepala desa maupun camat diganti, dan
bukannya pada perubahan substansi kebijakan itu sendiri.
Penanganan gempa bumi Yogja-Jateng memberi pembelajaran
betapa berharganya partisipasi warga meski dalam aras yang sangat lokal
sekalipun. Model-model partisipasi yang sangat spontan, mandiri dan digerakkan oleh spirit altruistik dan norma informal merupakan ciri modal
sosial yang berbasiskan warga. Sebagaimana ditandaskan oleh Fukuyama,
modal sosial yang mewujud dalam jaringan warga merupakan jalan pintas
yang mengatasi masalah koordinasi dalam organisasi yang sangat terdesentralisasi.16 Dalam penanganan gempa bumi Yogja-Jateng, modal sosial berbasis warga inilah yang menjadi jaring pengaman bagi korban dan penyintas (survivor) untuk melampaui krisis pasca bencana.
Modal sosial yang digerakkan oleh norma sosial terabaikan dalam
pendekatan teknokrasi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kebijakan pemulihan pasca gempa yang cenderung top down bahkan menisbikan warga sebagai entitas yang aktif dalam pemulihan harkat hidupnya.
Pokmas, sebagaimana dicontohkan di atas hanyalah penggalan kecil dari
penisbian warga dalam governance kebencanaan.
Perlawanan rakyat melalui gerakan aksi tagih janji dan sejumlah perlawanan pada level akar rumput merupakan releksi proses governance (tata
kelola) yang tak tertata dengan baik. Governance kebencanaan mensyaratkan
tegasnya posisi Negara dalam menjaminkan hak-hak dasar warga korban.
Pengalaman penanganan gempa kemarin menunjukkan ketidaktegasan
posisi negara yang berdiri diantara dua kapal, terkadang Negara berposisi